Para tamu mulai menyanyikan lagu yang dipersembahkan untuk Elise.Lilin mulai dinyalakan satu per satu, Elise yang menjadi bintang di acara itu tersenyum lebar. Dia menatap lilin-lilin di depannya, lalu menarik napas sebelum meniup lilin itu dengan sekali hembusan. Para tamu bersorak riuh, dan ledakan konfeti melayang di udara. Elise tersenyum lebar, merasakan bahagia tak bisa diutarakan. “Sekali lagi selamat, ya….” Para tamu dan kerabat kembali memberikan ucapan selamat padanya. Setelah acara tiup lilin selesai, aula megah itu kembali dipenuhi oleh suara denting gelas kristal dan tawa hangat para tamu.Acara itu dipenuhi dengan tawa dan keriuhan para tamu undangan serta kerabat yang berbaur dalam kebahagiaan. Musik merdu mengalun di udara, bercampur dengan suara gelas-gelas yang bersulang dan percakapan riuh rendah. Di tengah semua kemeriahan itu, Eva duduk terpencil, jauh dari sorotan dan keramaian. Hatinya terasa hampa, seolah tidak mampu merasakan kehangatan yang menyelimuti p
Julia tersenyum ke arah Henry, berusaha menarik perhatiannya. Dengan gerakan natural, dia berusaha ikut bergabung dalam pembicaraan, berharap kehadirannya bisa mengalihkan pikiran Henry dari Eva. Dengan sengaja, Julia memilih posisi strategis, agar bisa menutupi pandangan Henry dari sudut ruangan, di mana tempat Eva berada.Henry dan para kolega bisnisnya memandang ke arah Julia. Bibir Julia tertarik ke atas membentuk senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Senyumnya yang indah membuat para kolega Henry menatapnya kagum. Vincent tersenyum, lalu menyapa, “Owh, halo, Nona Julia. Senang bisa bertemu Anda kembali.” Alex ikut menimpali, “Lama tidak jumpa, hari ini Anda terlihat memukau, Nona Julia.”Mereka tahu siapa Julia, orang yang berperan membantu pekerjaan Henry selama di kantor. Wajah dan namanya sudah tidak asing di kalangan para kolega Henry. Julia tersipu dengan pujian Alex. “Senang juga bertemu dengan kalian, Tuan-Tuan.” Nada suaranya terdengar lembut dan sopan. Orang-or
Eva yang berada di dalam kamar mandi itu segera mengeringkan tangannya menggunakan tisu dengan cepat. Dia merasakan ketidaknyamanan yang menggelayuti hatinya, tetapi dia harus tetap kembali ke pesta.Suasana riuh di dalam aula seolah memanggilnya untuk segera kembali. Dengan satu tarikan napas, ia berusaha menyingkirkan keraguan dan melangkah ke arah pintu.Tangannya terangkat menarik gagang pintu, tetapi pintu kamar mandi itu tidak bisa dibuka. Dia mencoba berkali-kali, tapi pintu itu tak kunjung terbuka.“Terkunci?” ucapnya terkejut.Eva menggedor pintu itu dari dalam kamar mandi, berharap ada seseorang di luar sana yang membukakan pintu untuknya. “Apa ada orang di luar?”“Halo! Apa ada orang di luar?” Dia melakukannya lagi. “Tolong bukakan pintu untukku. Siapapun itu.”Upaya yang dia lakukan tidak membuahkan hasil. Tak ada satu orangpun yang menyahutinya.Eva kembali menggedor pintu. Kali ini, dia melakukannya sedikit lebih keras. “Siapapun di luar, tolong bukakan pintu!” teriaknya
Di saat pikiran Eva berkecamuk, tanpa dia tahu jika suasana di dalam aula itu sedikit riuh, sebab tindakan Henry memukul Samuel tiba-tiba.Tak sedikit dari tamu undangan terkejut melihatnya. Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi? Bukankah mereka masih saudara?Keluarga besar dari Henry dan Samuel pun tak kalah terkejut. Dengan panik kedua orang tua Samuel mendekat.Vivian, mama Samuel, memandang ke arah Henry dengan ekspresi kesal bercampur cemas. “Apa yang kau lakukan pada Putraku, Henry?” Nada kesalnya sedikit tertahan.Meski situasi sedikit memanas, Samuel tetap berusaha bersikap tenang tanpa terpancing emosi. Tangannya mengelap sudut bibirnya yang berdarah, matanya menatap ke arah sepupunya dengan sorot tajam.Samuel mengatur napasnya, mencoba menangkan diri meski merasakan sakit di bibirnya. “Aku baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir.”Vivian mengalihkan pandangannya dari Henry ke sudut bibir Samuel yang terluka. Dia tampak tidak terima, tapi harus tetap bersikap tenang
Di lorong sepi, suasana tak kalah mencekam. Eva dan Henry berdiri saling berhadapan, jauh dari keramaian aula. Eva menatap Henry dengan tajam, sementara Henry mengalihkan pandangannya acuh. Eva merasakan geram dan kesal dengan sikap Henry yang selalu dirasa seenaknya sendiri. “Apa yang kau lakukan pada Samuel?” Suara Eva terdengar sedikit meninggi, tapi tertahan.Rahang Henry mengeras, tidak terima dengan pembelaan Eva untuk Samuel. “Kau membelanya? Dia pantas mendapatkannya! Dia hanya seorang pengganggu yang tidak tahu diri!” jawabnya, nada suaranya datar dan penuh penekanan. “Dia tidak bersalah, Henry!” Ekspresi wajah Eva terlihat merah, menahan amarah. “Kapan kau bisa berpikir dan bertindak waras?”Eva merasa frustasi, cukup lelah menghadapi sikap Henry. Kali ini apa lagi yang ada dipikiran suaminya hingga memukul Samuel di hadapan para tamu. Bahkan dia sendiri tidak tahu jelas alasannya kenapa tiba-tiba saja Samuel mendapatkan pukulan itu. Henry melangkah maju, mendekatkan waj
Sehari setelah pesta, wajah Henry tampak merengut. Tatapannya hanya tertuju pada layar komputer di depannya. Wajahnya terlihat tegang, membuat Ryan berkeringat dingin melihatnya. Dia bisa merasakan gelombang ketegangan di ruangan itu. Itu pasti efek dari kericuhan yang terjadi saat acara pesta ulang tahun Elise yang melibatkannya langsung dan Samuel. “Ini laporan yang Anda minta, Tuan.” Ryan meletakkan berkas di atas meja Henry dengan hati-hati. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.Perlahan wajah Henry terangkat, menatap ke arahnya tajam. “Kau sengaja memilihkan baju itu untuk Eva?”Ryan meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia berpikir, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab Henry dengan tepat. “Emm … gaun itu adalah rekomendasi terbaik di sana, Tuan. Ryan memutar otaknya untuk menghindari kemarahan itu. Dia merasa bahwa gaun itu justru memicu emosi atasannya. Padahal niatnya agar bosnya itu lebih tertarik dengan istrinya
Tak mau berlama-lama, Eva berbalik dan berjalan cepat, menghindari tatapan Henry. Tak ada niat untuk mendekat ke mejanya. Dia memilih menghindar, sengaja menjauh agar tidak menimbulkan keributan.Hatinya berdebar, tapi dia berusaha menjaga langkahnya tetap terjaga. Tanpa melihat lagi, dia melangkah ke belakang, mencoba untuk tidak terbawa perasaan yang semakin kacau.Setelah sampai di dapur, Eva dengan cepat memberikan order slip kepada staf yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. Dia berharap bisa segera kembali ke area depan dan melanjutkan pekerjaannya tanpa gangguan. Namun, dia tampak ragu setelah melihat keberadaan Henry di Restoran itu.Tak biasanya Henry akan datang ke Restoran kecil seperti ini. Eva merasa bahwa Henry memang sengaja datang untuk mengganggu ketenangannya.Eva menarik napas panjang dan berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. Meski dia tidak ingin berhadapan dengan Henry, tapi dia harus profesional dalam menjalankan pekerjaan.Akan tetapi baru saja ia berbalik
Eva memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, kebencian terlanjur memenuhi hatinya. Dia menatap suaminya, dengan tatapan tajam yang penuh pertanyaan dan amarah yang tak bisa disembunyikan.“Apa sih sebenarnya tujuanmu, Henry?” suaranya bergetar, tapi dia mencoba menahannya. “Kenapa kau membeli restoran tempatku bekerja? Apa kau merasa punya kendali atas segalanya, termasuk hidupku?” Eva menarik napas, mencoba mengendalikan diri, tapi tetap saja emosinya keluar begitu saja. “Kau pikir kau bisa mengatur segala hal dalam hidupku, bahkan tempatku bekerja? Apa kau ingin menjadikan semuanya milikmu, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya? Tangannya mengepal semakin kuat di bawah meja, menahan diri untuk tidak meledak lebih jauh. “Kenapa? Apa yang sebenarnya kau cari, Hen? Aku tidak habis pikir lagi apa yang ada di pikiranmu itu! Atau ini hanya caramu untuk mengganggu hidupku lebih jauh?" Dengan suara yang lebih rendah tapi penuh emosi, Eva kembali bertanya, “Apa yang s
Harrison Realty Partners.Julia melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Henry dengan setumpuk berkas di tangannya. Pekerjaannya sebagai sekertaris tentu memudahkannya untuk keluar masuk ke ruangan itu.Hari itu, seperti biasa suasana kantor terlihat sibuk. Semua mondar-mandir dengan pekerjaan masing-masing. Namun semua pekerjaan itu terasa enteng untuk Julia.Kaki jenjangnya mulai memasuki ruangan Henry, dengan bibir yang membentuk lengkungan ke atas. Dengan lembut dia meletakkan berkas itu di meja Henry.“Ini rangkuman berkas di minggu kemarin, Henry,” suarany dibuat selembut mungkin.Henry mengangguk pelan, kedua matanya menatap layar komputer tanpa menunjukkan minat pada kehadiran Julia. “Ya, terima kasih,” nada suaranya terdengar singkat dan cuek.Senyumnya yang dulu ramah seakan menghilang begitu saja, digantikan oleh sikap yang semakin cuek. Julia yang melihat itu mengepalkan tangan di samping tubuhnya.Apa yang terjadi dengan Henry? Kenapa setelah pesta itu, dia terlihat m
“Eva …,” panggilnya, suaranya menunjukkan nada khawatir dan cemas karena tidak ada sahutan dari Eva sama sekali. Dalam hatinya selalu berdoa agar wanita itu baik-baik saja. Samuel dengan sabar menunggu pintu tua itu terbuka. Tak lama terdengar suara knop pintu terbuka, ada sedikit perasaan lega jika Eva ada di apartemen itu.Pintu perlahan terbuka, memperlihatkan sosok Eva yang berdiri di tengahnya. Wajahnya terlihat sayu, dan matanya yang basah oleh sisa-sisa air mata. Eva menampilkan senyum cerahnya meski bayangan wajah pria di hadapannya itu tidak bisa lagi dia lihat. Dia mencoba untuk bersikap seperti biasanya, dan semoga Samuel tidak menyadari kondisi matanya. “Samuel?” Samuel bertanya, “Kau baik-baik saja?” Nada suaranya terdengar cemas. Eva terdiam sejenak, senyumnya sedikit memudar. Namun, dia segera mengangguk pelan, seolah ingin meyakinkan Samuel. “Aku baik-baik saja.”Samuel menatapnya dengan ragu, memperhatikan setiap gerak tubuh Eva. Dia merasakan ada sesuatu yang d
Ryan berdiri di luar gedung apartemen, dengan ponsel Eva di tangannya karena tertinggal di hotel saat pesta, dia menunggu kedatangan sang Nyonya untuk mengembalikannya. Sudah satu jam lebih dia menunggu, berharap Eva segera muncul. Namun, tak ada tanda-tanda kemunculannya. Pikiran Ryan masih dipenuhi dengan pesta kemarin, ditambah lagi dengan sikap Henry yang terlihat tidak suka dengan gaun yang dia pilihkan untuk Eva. “Apa Nyonya masih bekerja sampai hampir larut begini, ya?” gumamnya, berkali-kali memandang ke arah jalan bergantian ke arah apartemen tua itu. “Kasihan sekali.”Wajah cemasnya tidak bisa disembunyikan. Tanpa disadari, Eva kini sedang berada di rumah sakit, jauh dari ponselnya, dia tidak bisa mencari tahu kabarnya. Dia terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.Berbagai alasan yang Eva berikan, akhirnya membuat Dokter Tom menyerah. Dengan raut ragu, dokter itu setuju dia keluar tanpa rawat inap, namun mengingatkan untuk segera datang jika terjadi sesuatu
Henry menarik napas panjang, merasa kesal dengan sikap Eva yang dianggapnya terlalu berlebihan. Dia tidak bisa mengerti kenapa perempuan itu bisa begitu sulit diajak bicara, padahal dia sudah mencoba menunjukkan niat baiknya. Matanya menatap lurus ke jalan, meskipun pikirannya sama sekali tidak fokus pada rute yang diambil saat ini. Tangannya memukul setir mobil dengan sedikit keras. “Memangnya apa salahku kali ini?” katanya frustasi. “Dia tadi merasa kesakitan bukan? Memangnya apa salahku jika aku memerhatikannya?”“Tidak peduli, salah. Peduli, salah. Maunya apa sih?” Sepanjang perjalanan itu Henry tidak henti-hentinya mendumel kesal, merasa apa yang dia lakukan serba salah di mata Eva.Namun di selah-selah rasa kesalnya itu, perasaannya merasa seperti ada yang tidak beres. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang sedang terjadi.Tiba-tiba, dia mengambil keputusan. Gesekan ban mobil terdengar berdecit di aspal, Henry memutar setirnya, berbelok kembali ke arah yang tadi sempat dia tingga
Eva memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Namun, kebencian terlanjur memenuhi hatinya. Dia menatap suaminya, dengan tatapan tajam yang penuh pertanyaan dan amarah yang tak bisa disembunyikan.“Apa sih sebenarnya tujuanmu, Henry?” suaranya bergetar, tapi dia mencoba menahannya. “Kenapa kau membeli restoran tempatku bekerja? Apa kau merasa punya kendali atas segalanya, termasuk hidupku?” Eva menarik napas, mencoba mengendalikan diri, tapi tetap saja emosinya keluar begitu saja. “Kau pikir kau bisa mengatur segala hal dalam hidupku, bahkan tempatku bekerja? Apa kau ingin menjadikan semuanya milikmu, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya? Tangannya mengepal semakin kuat di bawah meja, menahan diri untuk tidak meledak lebih jauh. “Kenapa? Apa yang sebenarnya kau cari, Hen? Aku tidak habis pikir lagi apa yang ada di pikiranmu itu! Atau ini hanya caramu untuk mengganggu hidupku lebih jauh?" Dengan suara yang lebih rendah tapi penuh emosi, Eva kembali bertanya, “Apa yang s
Tak mau berlama-lama, Eva berbalik dan berjalan cepat, menghindari tatapan Henry. Tak ada niat untuk mendekat ke mejanya. Dia memilih menghindar, sengaja menjauh agar tidak menimbulkan keributan.Hatinya berdebar, tapi dia berusaha menjaga langkahnya tetap terjaga. Tanpa melihat lagi, dia melangkah ke belakang, mencoba untuk tidak terbawa perasaan yang semakin kacau.Setelah sampai di dapur, Eva dengan cepat memberikan order slip kepada staf yang sedang sibuk menyiapkan pesanan. Dia berharap bisa segera kembali ke area depan dan melanjutkan pekerjaannya tanpa gangguan. Namun, dia tampak ragu setelah melihat keberadaan Henry di Restoran itu.Tak biasanya Henry akan datang ke Restoran kecil seperti ini. Eva merasa bahwa Henry memang sengaja datang untuk mengganggu ketenangannya.Eva menarik napas panjang dan berbalik, berniat melanjutkan pekerjaannya. Meski dia tidak ingin berhadapan dengan Henry, tapi dia harus profesional dalam menjalankan pekerjaan.Akan tetapi baru saja ia berbalik
Sehari setelah pesta, wajah Henry tampak merengut. Tatapannya hanya tertuju pada layar komputer di depannya. Wajahnya terlihat tegang, membuat Ryan berkeringat dingin melihatnya. Dia bisa merasakan gelombang ketegangan di ruangan itu. Itu pasti efek dari kericuhan yang terjadi saat acara pesta ulang tahun Elise yang melibatkannya langsung dan Samuel. “Ini laporan yang Anda minta, Tuan.” Ryan meletakkan berkas di atas meja Henry dengan hati-hati. Jantungnya tiba-tiba saja berdetak kencang, tetapi dia berusaha untuk tetap bersikap tenang.Perlahan wajah Henry terangkat, menatap ke arahnya tajam. “Kau sengaja memilihkan baju itu untuk Eva?”Ryan meneguk ludahnya dengan susah payah. Dia berpikir, mencoba mencari kata-kata untuk menjawab Henry dengan tepat. “Emm … gaun itu adalah rekomendasi terbaik di sana, Tuan. Ryan memutar otaknya untuk menghindari kemarahan itu. Dia merasa bahwa gaun itu justru memicu emosi atasannya. Padahal niatnya agar bosnya itu lebih tertarik dengan istrinya
Di lorong sepi, suasana tak kalah mencekam. Eva dan Henry berdiri saling berhadapan, jauh dari keramaian aula. Eva menatap Henry dengan tajam, sementara Henry mengalihkan pandangannya acuh. Eva merasakan geram dan kesal dengan sikap Henry yang selalu dirasa seenaknya sendiri. “Apa yang kau lakukan pada Samuel?” Suara Eva terdengar sedikit meninggi, tapi tertahan.Rahang Henry mengeras, tidak terima dengan pembelaan Eva untuk Samuel. “Kau membelanya? Dia pantas mendapatkannya! Dia hanya seorang pengganggu yang tidak tahu diri!” jawabnya, nada suaranya datar dan penuh penekanan. “Dia tidak bersalah, Henry!” Ekspresi wajah Eva terlihat merah, menahan amarah. “Kapan kau bisa berpikir dan bertindak waras?”Eva merasa frustasi, cukup lelah menghadapi sikap Henry. Kali ini apa lagi yang ada dipikiran suaminya hingga memukul Samuel di hadapan para tamu. Bahkan dia sendiri tidak tahu jelas alasannya kenapa tiba-tiba saja Samuel mendapatkan pukulan itu. Henry melangkah maju, mendekatkan waj
Di saat pikiran Eva berkecamuk, tanpa dia tahu jika suasana di dalam aula itu sedikit riuh, sebab tindakan Henry memukul Samuel tiba-tiba.Tak sedikit dari tamu undangan terkejut melihatnya. Dalam hati mereka bertanya-tanya, apa yang terjadi? Bukankah mereka masih saudara?Keluarga besar dari Henry dan Samuel pun tak kalah terkejut. Dengan panik kedua orang tua Samuel mendekat.Vivian, mama Samuel, memandang ke arah Henry dengan ekspresi kesal bercampur cemas. “Apa yang kau lakukan pada Putraku, Henry?” Nada kesalnya sedikit tertahan.Meski situasi sedikit memanas, Samuel tetap berusaha bersikap tenang tanpa terpancing emosi. Tangannya mengelap sudut bibirnya yang berdarah, matanya menatap ke arah sepupunya dengan sorot tajam.Samuel mengatur napasnya, mencoba menangkan diri meski merasakan sakit di bibirnya. “Aku baik-baik saja, Ma. Jangan khawatir.”Vivian mengalihkan pandangannya dari Henry ke sudut bibir Samuel yang terluka. Dia tampak tidak terima, tapi harus tetap bersikap tenang