Di ruang kerja Samuel yang tenang, Dave menatapnya yang duduk di depannya dengan serius. Setelah beberapa saat, Dave membuka percakapan dengan suara rendah, “Tuan, besok adalah ulang tahun Nyonya Elise. Seluruh keluarga besar akan berkumpul, Nyonya meminta saya agar Tuan menyempatkan untuk hadir.”Samuel mengangguk pelan, tetapi dalam hatinya ada keraguan yang menggelayut. Dia sebenarnya tidak begitu bersemangat untuk menghadiri acara tersebut. Keluarga besar Henry terkenal dengan standar tinggi dan ekspektasi yang sulit dipenuhi. Sering kali, pertemuan semacam itu lebih menyerupai ajang pameran kesempurnaan daripada acara keluarga.Samuel bermonolog dalam hati, merasa ada alasan kuat untuk tidak datang. “Sebenarnya aku sangat malas untuk datang, aku sudah bisa menebak isi acara yang hanya menjadi ajang pamer dan kesempurnaan. Tapi… bagaimana jika Eva di sana?" Pikiran itu segera tergantikan oleh bayangan wajah Eva. Eva adalah istri Henry, yang sering kali menjadi sasaran kritik pe
Ryan duduk tenang, menunggu Eva. Ketika pintu terbuka, dia terpaku. Eva muncul dengan riasan yang begitu cantik, wajahnya bersinar dan matanya berkilau.Gaun hitam yang elegan itu memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna, menampilkan keanggunan yang tak terbantahkan. Kulit mulus lengannya terlihat indah, menambah kesan glamor.Ryan terdiam, tidak bisa berkata-kata, terpesona oleh transformasi Eva. Dia tidak hanya terlihat cantik, dia tampak berbeda, seolah mengeluarkan aura baru yang membuatnya tak dapat berpaling.Dalam hati, Ryan merasa bangga, pasti dengan begini, tuannya juga tidak akan bisa berpaling nanti.“Asisten, Ryan, Saya merasa gaun ini terlalu ketat,” keluh Eva sambil menarik sedikit bagian gaun itu agar lebih turun.Gaun hitam yang elegan dan mewah yang dia kenakan itu memperlihatkan lekuk tubuh dan menampilkan punggung mulusnya.Eva merasa sedikit tidak nyaman. Ini adalah pertama kalinya dia mengenakan model seperti ini, dia merasakan ketegangan di setiap gerakannya. Set
Eva berdiri di tengah kamar hotel megah, dikelilingi oleh kemewahan yang seolah tak ada habisnya. Dinding-dinding berwarna lembut, lampu kristal yang berkilauan, dan jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota yang sibuk. Namun, semua itu terasa hampa baginya.Dia mengamati setiap detail kamar, mencoba mencari ketenangan di tengah hati yang berdegup tak beraturan. “Apa yang akan terjadi nanti?” pikirnya. Dia berusaha menenangkan diri, menarik napas dalam-dalam dan merasakan udara dingin dari AC yang menyentuh kulitnya.Pikirannya melayang ke pesta yang akan berlangsung. Keluarga besar Henry—keluarga yang selalu membuatnya merasa seperti orang asing, bahkan di rumah mereka sendiri.Kenangan akan ejekan dan hinaan yang terlontar dari mulut mereka kembali menghantuinya. Tak jarang, saat dia mencoba berbaur, mereka malah menganggapnya lelucon, memandangnya dengan sinis."Apakah kali ini mereka akan bersikap lebih baik?" pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Namun, hatinya meragu
Henry merasa dadanya bergetar, campuran cemburu dan ketidakpastian melanda. Dia menatap Eva dengan tajam, hatinya berdebar saat membayangkan Samuel memperhatikan keanggunan istrinya. Dia berusaha terlihat acuh, tetapi jawaban Eva terus bergaung di pikirannya, seolah membenarkan ucapannya. Dalam hati, dia berharap Eva tidak melihat perhatian dari orang lain, terutama Samuel.Henry menahan napas sejenak, berusaha menyembunyikan rasa cemburunya. “Menawan? Mungkin. Tapi gaun saja tidak cukup untuk menarik perhatiannya, lihat saja tubuhmu yang terlihat lurus itu!” jawabnya dengan nada mengejek, meski di dalam hatinya, dia merasa terdesak oleh perasaannya sendiri.Dengan spontan Eva kembali melihat pantulan tubuhnya di cermin. Lurus? Kata siapa?Dia menautkan alisnya, rasanya tidak terima Henry mengatainya. Enak saja! Bentuk tubuh sebagus itu dikatai lurus. Henry mengalihkan pandangannya, berusaha terlihat santai. “Aku hanya bilang, gaun itu tidak ada artinya jika dia tidak bisa melihat
Julia tiba di aula hotel menggenggam sebuah kotak kecil berbungkus kecil. Dia bisa melihat Elise tengah berbincang dengan beberapa tamu.Dia menyusun senyum terbaiknya dan berjalan mendekat. “Selamat ulang tahun, Aunty,” sapanya hangat.Tanpa ragu, Julia mencondongkan tubuhnya untuk memberikan ciuman ringan di pipi kanan dan kiri Elise, sebagaimana kebisaan para wanita saat bertemu.Elise tersenyum menerima sapaan itu, matanya memperhatikan Julia dengan perasaan senang. “Terima kasih, Julia. Kau datang sendiri?”Julia mengangguk. “Julia sengaja buru-buru datang hanya ingin menyapa dan memberikan ucapan selamat.” Julia memberikan kontak berbungkus pada Elise. “Julia juga menyiapkan hadiah khusus untuk Aunty. Julia harap Aunty menyukainya.”Elise menerima kotak hadiah dari tangan Julia dengan senyum lebar, menandakan perasaan senang. “Oh, astaga Julia… kau sungguh perhatian. Aunty sangat mernghargainya.”Elise kembali menyambutnya dengan pelukan hangat.Julia tidak bisa menyembunyikan se
Eva melangkah lebih jauh berniat memilih kursi yang berada di sudut ruangan. Namun dengan cepat Henry menariknya, mendudukkannya di kursi yang tidak jauh dari jarak mereka. Eva menatap Henry dengan bingung. “Kenapa kau menarikku ke sini?” tanyanya, mengernyitkan dahi. Dia merasa seperti ada yang tidak beres dengan sikap aneh Henry yang tiba-tiba itu. Henry terdiam, mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak mau nanti harus berjalan jauh ke depan sana,” jawabnya, matanya berkilau serius. “Tapi aku suka tempat yang tenang. Di sudut itu, aku bisa lebih fokus.” Eva melirik ke arah kursi yang ada di sudut. Henry ikut menggerakkan tubuhnya, menutupi sudut tempat yang dilihat Eva.Eva menatap Henry dengan ekspresi kesal, alisnya berkerut dan bibirnya mengerucut. Di dalam hatinya, pertanyaan muncul, ‘Dia kenapa, sih?’ Perasaannya campur aduk, kebingungan dan frustrasi saling bersaing dalam benaknya.“Biarkan aku ke sana, kau di sini. Lagi pula kehadiranku tidak penting di acara puncak nant
Para tamu mulai menyanyikan lagu yang dipersembahkan untuk Elise.Lilin mulai dinyalakan satu per satu, Elise yang menjadi bintang di acara itu tersenyum lebar. Dia menatap lilin-lilin di depannya, lalu menarik napas sebelum meniup lilin itu dengan sekali hembusan. Para tamu bersorak riuh, dan ledakan konfeti melayang di udara. Elise tersenyum lebar, merasakan bahagia tak bisa diutarakan. “Sekali lagi selamat, ya….” Para tamu dan kerabat kembali memberikan ucapan selamat padanya. Setelah acara tiup lilin selesai, aula megah itu kembali dipenuhi oleh suara denting gelas kristal dan tawa hangat para tamu.Acara itu dipenuhi dengan tawa dan keriuhan para tamu undangan serta kerabat yang berbaur dalam kebahagiaan. Musik merdu mengalun di udara, bercampur dengan suara gelas-gelas yang bersulang dan percakapan riuh rendah. Di tengah semua kemeriahan itu, Eva duduk terpencil, jauh dari sorotan dan keramaian. Hatinya terasa hampa, seolah tidak mampu merasakan kehangatan yang menyelimuti p
Julia tersenyum ke arah Henry, berusaha menarik perhatiannya. Dengan gerakan natural, dia berusaha ikut bergabung dalam pembicaraan, berharap kehadirannya bisa mengalihkan pikiran Henry dari Eva. Dengan sengaja, Julia memilih posisi strategis, agar bisa menutupi pandangan Henry dari sudut ruangan, di mana tempat Eva berada.Henry dan para kolega bisnisnya memandang ke arah Julia. Bibir Julia tertarik ke atas membentuk senyuman yang menghiasi wajah cantiknya. Senyumnya yang indah membuat para kolega Henry menatapnya kagum. Vincent tersenyum, lalu menyapa, “Owh, halo, Nona Julia. Senang bisa bertemu Anda kembali.” Alex ikut menimpali, “Lama tidak jumpa, hari ini Anda terlihat memukau, Nona Julia.”Mereka tahu siapa Julia, orang yang berperan membantu pekerjaan Henry selama di kantor. Wajah dan namanya sudah tidak asing di kalangan para kolega Henry. Julia tersipu dengan pujian Alex. “Senang juga bertemu dengan kalian, Tuan-Tuan.” Nada suaranya terdengar lembut dan sopan. Orang-or
2 hari kemudian. Mobil berjenis marcedes itu telah terparkir rapi di basement, berjejer dengan mobil mewah lainnya. Suasana di sana cukup hening, hanya terdengar suara pelan mesin ventilasi yang berputar. Eva menoleh ke arah kursi pengemudi, di sana terdapat Henry yang baru saja mematikan mesin mobilnya. Wajahnya menunjukkan ketidaksetujuan. “Aku ingin pulang, kenapa kau membawaku ke sini?” Keningnya berkerut, hingga alianya itu hampir menyatu. Henry melepas sabuk pengaman, menatap ke arah Eva sekilas. “Bukankah ini rumahmu?” jawabnya dengan santai.Henry tahu, bahwa Eva pasti akan menolak kembali ke penthouse, tempat tinggal mereka berdua sebelumnya. Dia memang sengaja membawa Eva kembali ke penthouse untuk memulai kehidupan mereka setelah drama perceraian. Eva menegang di tempat duduknya, jari-jarinya mengepal di atas pangkuan. "Aku sudah bilang, aku tidak akan kembali ke sini," ucapnya dengan suara rendah, nyaris bergetar.Henry tersenyum kecil, bukan senyum yang hangat, mela
Henry tertawa ringan, tapi ada nada ejekan di dalamnya. “Heh, Samuel?” gumamnya, menatap Eva yang masih duduk di brankar.Ada perasaan aneh saat Eva menyebutkan nama Samuel di depannya. Rasa seperti tak dihargai. Tapi dia tak bisa menyalahkan Eva, karena dia juga yang menutupinya. Eva mengerutkan kening, bingung dengan ekspresi di wajah suaminya. “Kenapa tertawa?” tanyanya. Henry melipat tangannya, menyandarkannya di atas brankar milik Eva, posturnya tegak, tapi tetap santai. Kedua matanya menatap Eva, seperti menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. “Jadi, kau pikir operasi ini semua karena inisiatif Samuel?” katanya, suaranya terdengar datar namun tajam.Eva menatapnya, perlahan mulai memahami arah pembicaraan ini. “Bukankah begitu?”Henry mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Sebenarnya, semuanya terjadi atas perintahku.”Eva terdiam, menatap Henry lekat-lekat, mencoba memastikan apakah dia serius. “Maksudmu…?”Henry mengangkat bahu, seolah itu bukan hal besar. “Aku yang mengur
Bukan hanya Eva, rasa lega terpancar dari wajah para dokter itu. Operasi ini berhasil, dan dengan itu, karir mereka tetap utuh. Tak henti-hentinya mereka mengucapkan rasa syukur. Eva tersenyum penuh haru, air matanya mulai menggenang. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan, memerhatikan satu per satu dari mereka. Matanya berhenti pada sosok Henry yang berdiri tak jauh dari jangkauan para dokter. Wajahnya tampak tegas, tapi menunjukkan kelegaan dalam hatinya. Namun tiba-tiba saja senyum di wajah Eva perlahan luntur. Hatinya merasa sesak ketika orang yang selalu ada untuknya tak berada di sana. Pada momen bahagia ini, seharusnya Samuel berada di sana, turut merayakan kebahagiaan yang ada. Namun, di sisi lain, ia teringat bahwa Samuel memang membutuhkan waktu untuk beristirahat, agar kesehatannya kembali pulih. Meskipun hati ingin sekali bersama, kesadaran akan pentingnya istirahat membuatnya merelakan ketidakhadiran Samuel di momen tersebut."Senang sekali mendengar Anda bisa me
Eva terdiam, merasa setiap kata yang hendak keluar dari mulutnya seperti terjebak di tenggorokannya. Dia ingin menjawab setiap ucapan Henry, tetapi tak tahu harus berkata apa.Ada perasaan bingung yang menghimpit, seolah semua pikiran bercampur aduk. Dia ingin menjelaskan bahwa dia tidak merasa terganggu dengan kehadiran Henry, tapi kata-kata itu terasa begitu sulit untuk diungkapkan.Di satu sisi, Eva tahu bahwa Samuel masih membutuhkan perhatian, dan Henry hanya melakukan apa yang menurutnya benar. Harusnya dia memang menyadarinya, Samuel sudah berkorban banyak hingga membuatnya selalu dalam masalah. Namun, di sisi lain, ada rasa kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa dia hanya dianggap sebagai tanggung jawab, bukan seorang istri yang benar-benar dibutuhkan dan dianggap.Tapi semenjak dia berada di rumah sakit, dia bisa merasakan perubahan drastis dari sikap Henry. Eva masih terdiam, perasaan bingung dan tak percaya menguasainya. Apakah perubahan sikap Henry ini benar-benar da
Kring!Di dalam ruangan yang hening itu, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Pandangan mata Henry mengikuti bunyi ponselnya. Tak perlu waktu lama, dia pun bangkit dan segera mengambil ponsel miliknya. Takut jika suara itu mengganggu waktu tidur Eva. Sebelum menekan tombol hijau, Henry melihat nama kontak yang tertera di layar. Dia memandang Eva sejenak, setelah itu melangkah menjauh dan menekan tombol hijau itu sekali tekan. “Halo.” Suaranya terdengar semakin menjauh. Langkah kakinya semakin dekat dengan pintu keluar. Tanpa dia ketahui, di belakang sana, kening Eva berkerut. Itu adalah tanda bahwa dia baru saja terbangun dari tidurnya, meski kedua matanya tetap terpejam rapat, seolah berusaha menahan rasa kantuk yang masih melingkupi dirinya.Akan tetapi samar-samar telinganya mendengar suara yang begitu dia kenali. Sayangnya suara itu akhirnya hilang di balik pintu yang kembali tertutup. Apa dia ada di sini?Uhuk!Pikirannya itu teralihkan dengan rasa haus yang dia derita kali
Matahari mulai menampakkan diri, langit perlahan berubah warna, menunjukkan gradasi lembut dari biru gelap menuju keemasan yang membentang di cakrawala. Setelah hujan, udara terasa segar dan menenangkan. Udara yang masih basah itu terasa sejuk dan menyegarkan, seolah bumi bernapas lega setelah hujan mengguyurnya. Genangan air di jalanan menjadi cermin, memantulkan bayang-bayang kota dan langit biru yang mulai cerah. Tetesan air yang berjatuhan dari dedaunan dan atap rumah seperti irama yang menenangkan hati. Sama halnya seperti dua insan manusia yang saat ini masih tertidur pulas di dalam satu ruangan yang sama. Keduanya tampak pulas, tanpa terusik sedikitpun. Perlahan pintu terbuka, ujung dari sepatu pantofel itu terlihat di celah-celah pintu. Pintu pun terbuka sepenuhnya, ternyata dia adalah Ryan. Namun pergerakannya terhenti saat di ambang pintu. Kedua matanya tertuju pada dua insan yang tengah tertidur pulas di dalam sana.Eva yang masih berbaring di atas brankar, masih dalam
Jarum jam semakin bergerak ke arah kanan, menandakan waktu terus berjalan. Meski waktu menunjukkan dini hari, kedua mata Samuel masih terjaga. Dia menatap ke arah langit-langit di kamarnya. Matanya tampak kosong, seperti merasakan beban berat di pundaknya. Merasa pikirannya penuh, dia pun bangun dari tidurnya, menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Perlahan, Samuel menurunkan kakinya, menyentuh lantai marmer yang terasa dingin. Dengan langkah hati-hati dia melangkah menuju balkon yang ada di kamarnya. Saat pintu kaca itu terbuka, angin malam menyapu wajah tampannya. Meski waktu sudah begitu larut, tetapi kota itu masih terlihat ramai. Benar. Dia memutuskan mempercepat kepulangannya seusai Eva melakukan operasi. Alasannya sudah sangat jelas. Dia menepati janjinya yang sudah dia katakan pada Henry tempo hari. Walau Henry tiba-tiba berubah pikiran, tetapi dia tetap memenuhi ucapannya. Sebagai laki-laki, dia tidak ingin ingkar dengan janji yang sudah dia ucapkan sendiri. Lagipu
Bandara. Pesawat perlahan mulai merendah, roda-rodanya menyentuh landasan dengan lembut, diiringi getaran halus yang merambat ke seluruh kabin. Suara gesekan roda dengan aspal terdengar samar, disusul rem yang perlahan memperlambat laju pesawat. Dari jendela, lampu-lampu bandara berkilauan di bawah langit malam, menyambut para penumpang yang bersiap untuk kembali ke darat.Dini hari waktu Manhattan, Henry tiba dengan selamat. Semua pertemuan dengan klien dia percepat. Tanpa berlama-lama lagi, Henry segera menuruni pesawat diikuti Christian. Dengan langkah terburu-buru mereka memasuki terminal khusus. “Kau bisa pulang dan istirahat,” ujar Henry dengan tegas. Christian mengangguk, mengiyakan. “Baik, Tuan. Saya permisi dulu. Selamat beristirahat.” Dia membungkukkan badan kemudian melangkah menuju taksi yang ada di sana.“Tunggu!”Langkah kaki Christian terhenti. Dia kembali menoleh kebelakang, dan bertanya, “Apa ada yang harus saya bantu, Tuan?”“Besok ambillah bonusmu di keuangan,
Liliana merogoh ponsel di dalam tasnya. Jari-jemarinya mulai menggulir layar ponselnya.Namun aktivitasnya terhenti saat Samuel mulai mengatakan sesuatu, “Tidak perlu, Ma. Henry sedang ada urusan penting di Chicago. Ini hanya sebentar, tidak apa-apa untuk Samuel.”Liliana mengangkat kepalanya, menatap ke arah putranya. Ada kilatan amarah di dalam bola matanya. “Itu urusan Henry! Harusnya dia yang ada di sini, bukan kamu. Sudah tahu kalau Istrinya dalam masa pengobatan, kenapa dia lebih mementingkan pekerjaannya dan tidak bertanggung jawab dengan Istrinya sendiri!” Amarahnya tidak bisa ditutupi. Di dalam hatinya seperti ada sekumpulan api yang menyebar dengan cepat. Tetapi amarah itu tidak dia tujukan pada Samuel, melainkan pada Henry. Yang menjadi tanggung jawab Eva adalah dirinya, bukan putranya. Terletak di mana hati dan pikirannya saat ini? Istrinya tengah berada di antara hidup dan mati, sementara dia tidak berada di sana. Sikap tanggung jawab Henry itu sama saja dengan mamany