Primrose tertegun. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar ucapan pria di hadapannya itu.
Aiden menatap Primrose lekat. Semburat sedih yang sekilas mewarnai wajahnya sesaat lalu telah lenyap, menyisakan tatapan tajam dan ekspresi dingin yang membuat Primrose membeku.
“Daisy bukan anakku.”
“Apa maksudmu, Aiden?”
Primrose akhirnya menemukan suaranya yang sempat hilang.
“Kau tahu apa maksudku,” sahut Aiden dingin, seolah ia tidak baru saja melukainya dengan tega.
Primrose tahu selama ini Aiden tidak pernah peduli pada Daisy, tapi ia tidak menyangka bahwa pria itu benar-benar tidak menganggap Daisy sebagai anaknya. Darah dagingnya.
“Kau—”
Ucapan Primrose terhenti karena ponsel Aiden berdering. Pria itu segera mengangkatnya.
“Ya?” suara Aiden terdengar dingin dan jauh. “Aku akan segera datang,” lanjutnya.
Primrose merasa seluruh tubuhnya kebas. Hatinya pedih mendengar suara Celine di ujung telepon itu. Celine—wanita yang Aiden prioritaskan di atas segalanya, termasuk anak mereka yang baru saja meninggal.
Aiden menutup telepon dengan satu gerakan cepat. Ia mengalihkan pandangannya ke Primrose, kemudian berkata dengan tenang, “Aku harus pergi. Celine dan Kenzie sedang membutuhkanku.”
Kata-kata itu bagaikan cambuk yang menyayat hati Primrose. Sebuah kehancuran baru yang semakin parah. Sakitnya tak terkira, dan untuk pertama kalinya, Primrose merasa begitu kosong, seakan tak ada lagi yang tersisa dalam hidupnya selain kebencian yang mendalam terhadap suaminya.
“Aku... aku sudah berjuang begitu keras, Aiden. Aku… aku sangat menyayanginya. Aku berjuang demi Daisy, demi kita... Tapi kau? Kau hanya pergi ke sana, ke tempat wanita itu, seperti semua yang terjadi padaku tidak ada artinya!”
Aiden tetap diam, wajahnya datar, seakan tidak mendengarkan. Tangan Primrose mengepal erat, tubuhnya bergetar karena amarah dan rasa sakit yang menyatu.
“Kau benar-benar keterlaluan. Aku tidak tahu apa lagi yang harus kukatakan. Hati apa yang kau miliki hingga bisa sekejam ini?”
Ekspresi Aiden tidak berubah. “Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, Prims. Dan kau tahu itu,” katanya, suaranya tajam dan dingin. “Aku tidak pernah meminta untuk dijodohkan denganmu. Kau dan Kakek yang menjebak aku ke dalam pernikahan ini.”
Primrose terdiam, terlalu terkejut dan terluka mendengar kata-kata Aiden.
Aiden menatapnya lama sebelum berkata, “Kalau saja kau tidak datang, mungkin semuanya akan berbeda.”
Primrose merasa dunia seakan runtuh di depannya.
Ia selalu tahu bahwa Aiden tidak pernah mencintainya, tetapi mendengar kata-kata itu secara langsung membuat hatinya terasa seperti diremukkan.
“Jadi, semua yang terjadi ini salahku? Aku yang salah karena kau terpaksa menikahiku atas tuntutan kakekmu?”
Aiden tidak menjawab, hanya menatapnya tanpa ekspresi. Ia mengambil jaketnya dan melangkah menuju pintu, meninggalkan wanita yang telah memberinya segalanya dan kini hancur dalam kesendirian.
**
Hari-hari setelah kepergian Daisy berlalu dengan penuh kesunyian yang mencekam. Tak ada lagi yang memberikan warna dalam hidupnya.
Setiap pagi, Primrose bangun dengan perasaan kosong, hanya bertahan untuk menghadapinya, meskipun tubuhnya terasa lelah dan hatinya hancur.
Setiap sudut rumah ini mengingatkannya pada putrinya—Daisy yang tak akan pernah kembali.
Hari itu, ketika Primrose sedang duduk di ruang tamu, matanya kosong memandang keluar jendela, lalu ia mendengar pintu rumah terbuka.
Primrose menoleh dan melihat sosok ibu mertuanya.
Amber berdiri di ambang pintu dengan wajah yang datar, matanya menyipit menilai Primrose yang tampak kurus dan kusut.
“Prims,” kata Amber dengan nada mencibir. “Ya ampun, kenapa kau masih terlihat begitu? Belum bisa bangkit setelah kepergian Daisy? Bukankah anak itu sudah lama tak berarti bagi Aiden? Setidaknya kau bisa lebih tegar.”
Primrose menatapnya dengan tatapan hampa, tubuhnya terasa semakin lemah mendengar kata-kata ibu mertuanya.
Setiap kata Amber adalah sembilu yang menambah luka di hatinya.
Bagaimana bisa seorang ibu, yang seharusnya memberikan dukungan, malah berkata seperti itu?
“Kepergian Daisy bukan alasan untuk terus-terusan terpuruk seperti ini, Primrose,” lanjut Amber tanpa empati. “Aiden sudah melanjutkan hidupnya. Dia sudah memilih Celine dan Kenzie, artinya mereka lebih penting daripada kau dan Daisy. Kau harus sadar, kau tidak punya apa-apa yang bisa membuat Aiden peduli.”
Primrose mencoba mengontrol napasnya, meskipun hatinya ingin meledak. “Apa yang Ibu inginkan dariku?” Suaranya parau, seperti tertahan di tenggorokan. “Ibu ingin melihatku lebih menderita?”
Amber terkekeh, seolah apa yang Primrose rasakan adalah hal yang tidak penting. “Kau hanya bisa menyalahkan dirimu sendiri, Prims,” katanya dengan nada tajam. “Siapa yang menyuruhmu menjadi istri Aiden? Siapa yang menyuruhmu menikah dengan anakku, yang sudah jelas lebih memilih wanita dari keluarga terpandang seperti Celine? Kau hanya seorang anak yatim piatu yang berasal dari panti asuhan, sedangkan Celine... dia datang dari keluarga yang terhormat. Sudah jelas siapa yang lebih pantas untuk Aiden.”
Setiap kata yang keluar dari mulut Amber membuat dada Primrose terasa sesak. Celine selalu menjadi ukuran segala sesuatu yang diinginkan ibu mertuanya.
Amber selalu membandingkannya dengan Celine, selalu menghina latar belakangnya, dan menganggap dirinya lebih rendah dibandingkan wanita itu.
Bahkan setelah semua yang terjadi, Amber masih saja tidak bisa melihat Primrose sebagai manusia yang layak dihormati.
“Apa Ibu belum puas menghinaku? Kenapa Ibu selalu melihat aku lebih rendah dibandingkan Celine? Aku adalah menantu Ibu.” Matanya mulai berkaca-kaca, tapi ia berusaha menahan air mata. “Ibu bahkan tidak peduli kalau aku baru saja kehilangan anakku.”
Amber mendengus tak habis pikir. “Aku tak pernah menginginkanmu menjadi menantuku,” sahutnya dengan nada jijik. “Kalau bukan karena tua bangka itu mengancam akan mengalihkan warisan ke tangan orang lain, Aiden tak akan pernah menikahimu!”
Primrose terdiam. Dia tahu soal itu. Kakek Aiden—Tuan Anthon Reeves—menjodohkan mereka sebagai syarat untuk Aiden menjadi ahli waris keluarga Reeves.
Itu terdengar absurd bagi semua orang. Primrose hanyalah anak yatim piatu yang mendapat bantuan penuh dari yayasan panti asuhan yang dikelola oleh keluarga Reeves. Bagaimana mungkin, ia menjadi menantu keluarga terhormat itu?
Namun, Tuan Anthon hanya memberi dua pilihan untuk cucu sulungnya itu, menikah dengan Primrose Avery atau warisan akan diturunkan kepada cucu kedua, sepupu Aiden.
Mau tak mau, Aiden memilih opsi pertama, meski saat itu ia diam-diam sudah bertunangan Celine.
“Kalau saja kau tidak pernah ada, dari dulu Aiden dan Celine sudah hidup bahagia bersama. Semua yang terjadi ini karena kau. Kau yang menghalangi jalan mereka, wanita miskin tidak tahu diri!” lanjut Amber emosi.
Hati Primrose terhempas. Kata-kata ibu mertuanya terasa seperti duri yang menusuk dalam-dalam.
Selama ini ia selalu berjuang untuk pernikahannya, untuk anaknya, tetapi semua itu tampaknya tak berarti bagi Aiden maupun Amber.
“Jadi, menurut ibu aku harus menyerah?” Primrose dengan wajah memerah karena marah dan kesakitan. “Aku harus pergi dan membiarkan Aiden dan Celine hidup bahagia, begitu?”
Amber hanya tertawa kecil, hampir seperti mengejek. “Apa lagi yang ingin kau perjuangkan, Prims? Semuanya sudah selesai. Aiden sudah punya hidup baru. Sementara kau? Kau sudah tidak punya apa-apa lagi. Kembalilah ke panti asuhan, kalau perlu. Mungkin di sana kau akan lebih tahu bagaimana cara untuk merendahkan diri.”[]
Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil. “Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup. Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah d
Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi. Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat. Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Ti
Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny
Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu
Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny
Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi. Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat. Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Ti
Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil. “Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup. Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah d