Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi.
Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.
Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun.
Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar.
Apakah Aiden akhirnya datang?
Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu.
Amber Reeves.
Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk.
“Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.
Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untuk terus berbicara.
“Kau benar-benar menyedihkan, Primrose. Begitu lemah dan merepotkan!”
Wanita itu mendekat, menatapnya dari atas dengan sorot mata menghina.
“Aku tak habis pikir mengapa keluarga Reeves harus terus mengurusmu. Kau tahu berapa banyak uang yang dihabiskan untuk pengobatanmu? Kau pikir kau pantas mendapatkan itu?”
Primrose menundukkan kepala. Kata-kata itu bagai pisau yang mengiris sisa-sisa harga dirinya yang sudah hampir habis. Tapi Amber tidak berhenti di situ.
“Kau bilang kau akan pergi, kan? Lalu mana buktinya? Nyatanya, kau masih di sini!” cecar wanita tua itu. “Kau pikir dengan mencoba bunuh diri, kau akan mendapatkan simpati? Kau pikir cara murahan seperti itu akan membuatmu diterima di keluarga Reeves?”
Primrose merasakan sesak di dadanya, matanya memanas. Ia menggigit bibir, berusaha menahan tangis yang mengancam jatuh.
Napasnya berat, tapi ia memaksakan diri untuk berbicara, meski suaranya terdengar serak dan lemah.
“Aku juga tidak ingin berada di sini... tapi Aiden-lah yang menyelamatkanku. Kalau Ibu ingin menyalahkan seseorang, salahkan anak Ibu. Bukan aku.”
Amber membelalak, wajahnya memerah karena amarah. “Kau benar-benar tidak tahu diri! Kau tidak pantas menyebut nama Aiden. Jangan pernah berpikir kau punya tempat di hatinya!”
Primrose tersenyum pahit.
Tempat di hati Aiden? Itu terdengar seperti mimpi yang bahkan tidak bisa ia bayangkan.
“Aku tidak pernah menginginkannya,” lirihnya, tapi masih bisa didengar oleh Amber.
Wanita itu menatapnya dengan jijik sebelum berdecak kesal. “Kalau kau tidak segera pergi, aku sendiri yang akan menyeretmu pergi dari hidup kami!”
Primrose menatap Amber lemah, tapi ia masih berusaha mengeluarkan suaranya. “Aiden yang tidak membiarkanku pergi.”
Amber tertawa sinis. Ia menatap Primrose seolah ada yang salah dengan otaknya.
“Kau sudah gila kalau berpikir Aiden menginginkanmu.”
Primrose menghela napas berat. “Aku sudah meminta cerai, Bu... tapi dia menolak.”
Amber tampak terkejut selama beberapa detik, tetapi ia dengan cepat menguasai dirinya.
“Kau benar-benar sudah gila ya? Apa kau pikir aku akan tertipu begitu saja? Jangan bodoh! Kau tidak akan bisa menipuku.”
Setelah menumpahkan amarahnya, Amber berbalik dan pergi, membanting pintu di belakangnya.
Primrose tetap diam, matanya terpaku pada tempat wanita itu berdiri beberapa detik yang lalu.
Ia menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia menggenggam selimut di pangkuannya.
**
Primrose menutup keran setelah membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia menatap bayangannya di cermin, mata sayunya mencerminkan kepedihan yang tak terlukiskan.
“Menyedihkan…,” gumamnya.
Setelah beberapa saat, ia menghela napas dan berbalik keluar.
Namun, ia berhenti ketika mendapati seorang perawat tengah merapikan tempat tidurnya.
Primrose mengerutkan kening. Ini bukan jadwal kunjungan rutin. Ia mendekat dengan langkah ragu-ragu.
“Suster?” panggilnya pelan.
Perawat itu menoleh dan tersenyum ramah. “Oh, Nona Primrose. Saya sedang merapikan kamar. Apakah keluarga Anda akan segera menjemput? Sepertinya akan hujan sebentar lagi.”
Primrose tertegun. “Menjemput? Untuk apa?”
Perawat itu tampak bingung. “Hari ini Anda sudah dijadwalkan untuk pulang, Nona.”
Jantung Primrose berdegup keras. “Pulang? Tadi pagi dokter bilang kalau aku belum diperbolehkan pulang.”
Suster itu mengerutkan dahi, lalu menjelaskan dengan hati-hati, “Tapi keluarga Anda sudah mengurus kepulangan Anda.”
Saat itu, Primrose mulai mengerti. Hanya ada satu nama yang langsung terlintas dalam benaknya.
Amber.
Ibu mertuanya pasti yang melakukan ini. Memastikan ia tidak lagi berlama-lama di rumah sakit yang menghabiskan banyak biaya, tidak peduli apakah kondisinya sudah stabil atau belum.
Primrose mengepalkan tangannya. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
“Baiklah,” gumamnya dengan suara lelah.
Ia segera mulai berkemas, tak ingin merepotkan suster yang sudah cukup baik padanya.
Setelah semua selesai, Primrose melangkah keluar dari rumah sakit tepat saat hujan deras mulai turun.
Angin dingin segera menerpa tubuhnya yang masih lemah. Pakaiannya terlalu tipis untuk melindunginya dari udara dingin yang menggigit.
Ia berdiri di depan lobi, menatap jalanan yang mulai basah, sementara pikirannya berkecamuk.
Bagaimana ia bisa pulang?
Ia tidak punya uang sepeser pun. Ia bahkan tidak tahu ponselnya ada di mana.
Tidak ada seorang pun yang menunggunya di sini. Tidak ada yang peduli ke mana ia pergi setelah ini.
Tubuhnya menggigil, tapi ia tetap berdiri di sana, menatap hujan deras yang turun tanpa belas kasihan.
Sejenak ia merasa begitu kecil dan tidak berdaya. Seperti sampah yang dibuang begitu saja.
Lalu tiba-tiba, sebuah suara memanggil namanya dari belakang.
“Primrose?”
Suara itu dalam dan tegas, tapi ada sedikit keraguan di dalamnya.
Primrose perlahan berbalik.
Seorang pria berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Apa yang kau lakukan di sini?”[]
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Primrose berlutut di depan makam Daisy. Sebuket bunga daisy yang segar ia letakkan tepat di samping nisan.“Selamat ulang tahun, Sayang,” katanya lirih. “Mama kangen kamu, Nak… Mama masih tidak tahu bagaimana menjalani hidup tanpa Daisy di sini.”Hari ini seharusnya menjadi hari yang spesial. Seharusnya ada tawa kecil Daisy, kue coklat stroberi, tiupan lilin, dan doa yang mereka panjatkan bersama. Primrose begitu larut dalam kesedihan, tidak menyadari langkah kaki yang mendekat. Barulah saat seseorang ikut berlutut di hadapannya, ia tersentak dan mendongak.Matthias.Pria itu menaruh sebuket bunga daisy di samping bunga yang baru saja diletakkan oleh Primrose. Dengan suara lembut, Matthias berkata, “Selamat ulang tahun, Daisy.”Primrose membeku, menatap pria itu dengan campuran keterkejutan dan emosi yang sulit ia uraikan.“Seharusnya aku merayakan ulang tahunnya dulu. Aku menyesal baru datang ketika dia sudah tidak ada di sini.”Primrose susah payah menelan ludah, dadanya terasa ber
‘Mencari perhatian?’Ucapan Aiden bergaung di benak Primrose, membuat jantungnya seketika berdegup dengan kencang.Sepasang matanya memindai sekitar dengan resah. Kasak-kusuk kembali memenuhi ruangan seperti dengung lebah.“Ya ampun, Tuan Aiden pasti malu sekali.”“Bisa-bisanya Primrose membuat drama di pesta anak orang!”Dada Primrose terasa sesak. Kata-kata Aiden, hinaan di sekitarnya, seperti hantaman keras yang membuatnya kesulitan bernapas.Mengapa justru dia yang disalahkan? Mengapa orang-orang ini seakan membenarkan apa yang dilakukan oleh Aiden dan keluarganya?Primrose merasa sem
Hari ini, Primrose duduk sendirian di bangku taman panti asuhan yang dulu menjadi tempatnya tubuh hingga cukup dewasa.Anak-anak tampak bermain dengan riang sambil bersenda gurau. Primrose menatap keceriaan mereka dengan tatapan hampa. Pikirannya melayang jauh ke masa lampau.Dulu, ketika tinggal di sini, ia tidak pernah merasa kesepian. Semua orang di sana sudah seperti keluarga yang selalu menemaninya. Namun, semuanya berubah ketika Tuan Anthon—pemilik yayasan—mendadak memintanya untuk menjadi istri Aiden, cucu tertuanya.Ketika Primrose bertanya mengapa ia yang dipilih oleh pria tua itu, Tuan Anthon berkata, “Hanya kau yang bisa aku percaya, Primrose. Aku akan merasa tenang kalau kau yang menemani Aiden setelah aku tiada.”Hingga saat ini, Primrose masih tidak mengerti mengapa lelaki tua itu memilihnya.Tuan Anthon adalah orang yang bijaksana. Apakah ada alasan lain yang lebih besar di balik semua ini?“Tapi semua itu sudah tidak penting lagi,” gumam Primrose. Pada akhirnya, perni
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada
“Ada apa, Tuan?” tanya Thomas saat Aiden berjalan masuk ke dalam hall dan hanya diam menatap hiruk pikuk hall yang sudah disulap menjadi tempat peragaan busana, dengan panggung catwalk yang berdiri megah di tengah-tengahnya. Aiden memasukkan tangan ke dalam saku celana, menunggu dengan tenang, sementara matanya memicing ke arah pintu bertirai hitam di sisi panggung. Ia yakin baru saja melihat Primrose masuk ke dalam sana, entah melakukan apa. Namun, Aiden sudah menyusun beberapa praduga di benaknya. Dan ia ingin memastikan apakah dugaannya benar.Thomas terdiam di sebelahnya, ikut menunggu meski tidak tahu apa yang tengah dinantikan oleh sang tuan. Tak berapa lama kemudian, sosok yang ditunggu akhirnya muncul dari balik tirai hitam itu, tampak berbincang dengan seorang wanita paruh baya berpenampilan modis. “Bukankah itu Nyonya Primrose?” Thomas berujar, terkejut saat menangkap pemandangan yang tidak biasa itu.Tapi Aiden hanya membisu. Sepasang mata elangnya mengikuti Primrose ya
Siang itu, Matthias mengajak Primrose bertemu di jam istirahat. Awalnya Primrose menolak dan berkata bahwa ia sedang sibuk, walau sebenarnya ia hanya ingin menghindari pria itu. Akan tetapi, Matthias bersikeras dan berkata bahwa ia tidak akan lama. “Kau baik-baik saja?” tanya Matthias saat Primrose baru saja tiba di sebuah kafe yang tak jauh dari kantornya.Primrose tersenyum kecil. Lucu membayangkan orang yang paling sering bertanya tentang keadaannya justru adalah orang yang sama sekali tak pernah ia duga akan berada di sisinya saat ia berada dalam kondisi terendah. Primrose lantas mengangguk sebagai jawaban. Matthias memandangnya lamat-lamat, mencari kebohongan di wajah yang tampak tenang itu. “Mau pesan sesuatu?” tanyanya menawarkan.Primrose menggeleng. “Ada apa, Matt? Apakah Aiden mengatakan sesuatu kemarin?” Matthias tampak menghela napas saat menyadari Primrose tidak ingin berbasa-basi. “Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Aiden begitu marah? Apakah kalian bertengkar hebat