Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.
Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.
Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.
Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.
Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.
“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Primrose berlutut di depan makam Daisy. Sebuket bunga daisy yang segar ia letakkan tepat di samping nisan.“Selamat ulang tahun, Sayang,” katanya lirih. “Mama kangen kamu, Nak… Mama masih tidak tahu bagaimana menjalani hidup tanpa Daisy di sini.”Hari ini seharusnya menjadi hari yang spesial. Seharusnya ada tawa kecil Daisy, kue coklat stroberi, tiupan lilin, dan doa yang mereka panjatkan bersama. Primrose begitu larut dalam kesedihan, tidak menyadari langkah kaki yang mendekat. Barulah saat seseorang ikut berlutut di hadapannya, ia tersentak dan mendongak.Matthias.Pria itu menaruh sebuket bunga daisy di samping bunga yang baru saja diletakkan oleh Primrose. Dengan suara lembut, Matthias berkata, “Selamat ulang tahun, Daisy.”Primrose membeku, menatap pria itu dengan campuran keterkejutan dan emosi yang sulit ia uraikan.“Seharusnya aku merayakan ulang tahunnya dulu. Aku menyesal baru datang ketika dia sudah tidak ada di sini.”Primrose susah payah menelan ludah, dadanya terasa ber
‘Mencari perhatian?’Ucapan Aiden bergaung di benak Primrose, membuat jantungnya seketika berdegup dengan kencang.Sepasang matanya memindai sekitar dengan resah. Kasak-kusuk kembali memenuhi ruangan seperti dengung lebah.“Ya ampun, Tuan Aiden pasti malu sekali.”“Bisa-bisanya Primrose membuat drama di pesta anak orang!”Dada Primrose terasa sesak. Kata-kata Aiden, hinaan di sekitarnya, seperti hantaman keras yang membuatnya kesulitan bernapas.Mengapa justru dia yang disalahkan? Mengapa orang-orang ini seakan membenarkan apa yang dilakukan oleh Aiden dan keluarganya?Primrose merasa sem
Hari ini, Primrose duduk sendirian di bangku taman panti asuhan yang dulu menjadi tempatnya tubuh hingga cukup dewasa.Anak-anak tampak bermain dengan riang sambil bersenda gurau. Primrose menatap keceriaan mereka dengan tatapan hampa. Pikirannya melayang jauh ke masa lampau.Dulu, ketika tinggal di sini, ia tidak pernah merasa kesepian. Semua orang di sana sudah seperti keluarga yang selalu menemaninya. Namun, semuanya berubah ketika Tuan Anthon—pemilik yayasan—mendadak memintanya untuk menjadi istri Aiden, cucu tertuanya.Ketika Primrose bertanya mengapa ia yang dipilih oleh pria tua itu, Tuan Anthon berkata, “Hanya kau yang bisa aku percaya, Primrose. Aku akan merasa tenang kalau kau yang menemani Aiden setelah aku tiada.”Hingga saat ini, Primrose masih tidak mengerti mengapa lelaki tua itu memilihnya.Tuan Anthon adalah orang yang bijaksana. Apakah ada alasan lain yang lebih besar di balik semua ini?“Tapi semua itu sudah tidak penting lagi,” gumam Primrose. Pada akhirnya, perni
Keesokan paginya, begitu membuka mata, perasaan Primrose terasa jauh lebih ringan dibanding hari-hari sebelumnya.Setelah membersihkan diri, ia langsung bergegas menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan sederhana untuk membuat sarapan.Primrose sadar, selama ini Aiden tidak pernah memakan apapun yang ia hidangkan untuknya. Pria itu biasanya langsung pergi ke kantor tanpa repot-repot singgah ke meja makan.Akan tetapi, Primrose tetap melakukannya. Ini sudah menjadi rutinitas yang ia jalani selama bertahun-tahun.Tak lama kemudian, Aiden turun dari lantai dua. Ia mengenakan jas berwarna navy yang melekat dengan pas di tubuh atletisnya. Wajahnya datar, tak ada ekspresi khusus yang menunjukkan perasaan.
“Terima kasih sudah membantuku,” kata wanita paruh baya itu setelah Primrose meletakkan gulungan kain di atas meja. Mereka baru saja tiba di sebuah ruangan dengan beberapa manekin yang berjejer di dekat dinding. Meja panjang di ruangan itu tampak penuh dengan lembaran keras dan dokumen.“Tidak, Nyonya. Justru saya yang berterima kasih,” sahut Primrose, masih merasa tidak enak hati atas kejadian tadi. “Terima kasih karena sudah mengizinkan saya untuk melihat tempat ini.”Wanita itu tersenyum ramah. “Kau ingin menemui seseorang? Atau ada urusan di sekitar sini?” Primrose menelan ludah. “O-oh, itu… saya hanya—”“Prims!” Mereka menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Elise yang berjalan menghampiri mereka. “Kau benar-benar datang!” seru Elise, terlihat begitu senang melihat Primrose di sana. “Kalian saling kenal?” tanya wanita itu. “Dia teman yang kemarin aku ceritakan, Madam,” kata Elise, lalu memperkenalkan mereka. “Prims, ini Madam Sophie, kepala divisi desain. Madam, ini Primro
Aiden dan Celine akan segera menikah …Istri kedua …Kata-kata itu terus berputar di kepala Primrose hingga esok paginya saat ia dalam perjalanan menuju kantor. Selama enam tahun ini, Primrose tak ubahnya seperti orang ketiga dalam hubungan Aiden dengan Celine. Menjadi istri sah atau istri pertama, itu tidak ada artinya sama sekali.Akan tetapi, membayangkan ia harus tinggal serumah dengan wanita itu … melihat wajahnya setiap hari, mendengar ucapannya yang menyakitkan, Primrose tak sanggup. Membayangkannya saja sudah membuatnya lelah secara mental, apalagi jika menjalaninya dengan kesadaran penuh.“Aku harus pergi,” gumam Primrose. Ya. Bagaimana pun caranya, ia harus segera pergi. Tidak peduli jika Aiden menolak bercerai darinya.‘Aku harus mengumpulkan banyak uang agar bisa hidup mandiri.’ Primrose menjadikan itu sebagai alasan untuk melakukan pekerjaan ini dengan sebaik mungkin. Ia akan bekerja dengan giat, lalu pergi dan memulai hidup yang baru.“Prims!”Wanita itu menoleh bersam
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada
“Ada apa, Tuan?” tanya Thomas saat Aiden berjalan masuk ke dalam hall dan hanya diam menatap hiruk pikuk hall yang sudah disulap menjadi tempat peragaan busana, dengan panggung catwalk yang berdiri megah di tengah-tengahnya. Aiden memasukkan tangan ke dalam saku celana, menunggu dengan tenang, sementara matanya memicing ke arah pintu bertirai hitam di sisi panggung. Ia yakin baru saja melihat Primrose masuk ke dalam sana, entah melakukan apa. Namun, Aiden sudah menyusun beberapa praduga di benaknya. Dan ia ingin memastikan apakah dugaannya benar.Thomas terdiam di sebelahnya, ikut menunggu meski tidak tahu apa yang tengah dinantikan oleh sang tuan. Tak berapa lama kemudian, sosok yang ditunggu akhirnya muncul dari balik tirai hitam itu, tampak berbincang dengan seorang wanita paruh baya berpenampilan modis. “Bukankah itu Nyonya Primrose?” Thomas berujar, terkejut saat menangkap pemandangan yang tidak biasa itu.Tapi Aiden hanya membisu. Sepasang mata elangnya mengikuti Primrose ya
Siang itu, Matthias mengajak Primrose bertemu di jam istirahat. Awalnya Primrose menolak dan berkata bahwa ia sedang sibuk, walau sebenarnya ia hanya ingin menghindari pria itu. Akan tetapi, Matthias bersikeras dan berkata bahwa ia tidak akan lama. “Kau baik-baik saja?” tanya Matthias saat Primrose baru saja tiba di sebuah kafe yang tak jauh dari kantornya.Primrose tersenyum kecil. Lucu membayangkan orang yang paling sering bertanya tentang keadaannya justru adalah orang yang sama sekali tak pernah ia duga akan berada di sisinya saat ia berada dalam kondisi terendah. Primrose lantas mengangguk sebagai jawaban. Matthias memandangnya lamat-lamat, mencari kebohongan di wajah yang tampak tenang itu. “Mau pesan sesuatu?” tanyanya menawarkan.Primrose menggeleng. “Ada apa, Matt? Apakah Aiden mengatakan sesuatu kemarin?” Matthias tampak menghela napas saat menyadari Primrose tidak ingin berbasa-basi. “Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Aiden begitu marah? Apakah kalian bertengkar hebat