Share

Bab 3. Mari Kita Akhiri

Author: Solana
last update Last Updated: 2025-03-10 00:06:02

Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.

“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”

Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil. 

“Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”

Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup. 

Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah derita yang ia rasakan.

Air mata yang sudah berusaha ia tahan, akhirnya jatuh juga, mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Ia terjatuh di sofa, terisak tanpa suara. 

Hatinya begitu hancur, seperti ada bagian dari dirinya yang patah dan tak bisa disambung kembali.

Daisy, anak yang begitu ia cintai, pergi terlalu cepat, tanpa kesempatan untuk dibela, tanpa kesempatan untuk merasakan kasih sayang ibunya lebih lama. 

Anaknya, buah hatinya, satu-satunya alasan ia bertahan hidup, sudah hilang dalam kecelakaan yang tak bisa ia hindari.

Dan sekarang, ia dihadapkan pada kenyataan bahwa bukan hanya Aiden yang tidak peduli, tetapi bahkan keluarga suaminya pun merasa ia tak pantas ada di dunia ini. 

Semua pengorbanan, semua cinta yang ia berikan, ternyata tidak ada artinya. Semuanya sia-sia.

Ia memandang foto Daisy yang ada di meja dekatnya, wajah kecil yang tampak begitu ceria.

Hati Primrose terasa begitu nyeri. Semua yang ia miliki kini hanya kenangan. Namun, ia tak yakin kenangan itu bisa menghidupkannya.

Primrose merasakan kesendirian yang menyesakkan. Dunia terasa gelap, tanpa cahaya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua pintu seolah tertutup rapat.

Tanpa anak, tanpa suami, tanpa dukungan dari siapa pun. Ia merasa seolah terombang-ambing dalam lautan kesepian, tak tahu ke mana harus berenang.

**

Sepasang mata Primrose terpaku pada layar ponsel yang masih menyala. 

Ia baru saja melihat unggahan Celine di media sosial—sebuah foto yang tampaknya diambil dengan sengaja untuk menunjukkan kebahagiaan yang ingin mereka tunjukkan kepada dunia. 

Foto itu tidak memperlihatkan wajah, namun Primrose bisa mengenali sosok yang ada di dalamnya.

Seorang bocah laki-laki yang terlelap dalam dekapan seorang pria. Di bawah foto itu, Celine menuliskan keterangan dengan bangga: ‘Dua hal terbaik yang diberikan hidup kepadaku. Love you.’

Rasa sakit yang luar biasa menyusup ke dalam dada Primrose. Hatinya hancur, seolah terinjak-injak di bawah kaki. 

Ia telah berduka seorang diri, memendam kesedihannya dalam sunyi, sementara Aiden—suaminya—bahagia dengan wanita lain, dengan anak yang lebih dia harapkan.

Dengan perasaan yang hampa, Primrose akhirnya memutuskan untuk menghubungi Aiden.

Satu panggilan, dua panggilan, tiga panggilan—semuanya nihil. Tidak ada jawaban dari Aiden.

Primrose merasa seperti terperosok ke jurang yang dalam. Ia merasa diperlakukan seperti orang yang tidak berarti—bahkan telepon pun diabaikan. 

Namun, ia tidak bisa hanya berdiam diri dan terus dihancurkan oleh sikap Aiden. Ia harus bertemu dengannya. 

Primrose akhirnya keluar dari rumah, menuju tempat yang sudah ia kenali dengan baik—rumah Celine. 

Perasaan cemas dan marah bercampur aduk di dalam dada, tapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan kejelasan.

Sesampainya di depan pintu rumah Celine, Primrose berdiri sejenak, menenangkan napas. Ia menekan bel pintu dengan tangan yang terasa kebas.

Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Celine muncul dengan senyum tipis, seolah sudah menantikan kedatangan Primrose.

Namun, sebelum Celine sempat mengatakan apa-apa, Aiden muncul dari dalam rumah. Matanya terbelalak saat melihat Primrose berdiri di depan pintu. 

“Primrose…” Aiden berkata pelan, mencoba menyembunyikan kekhawatiran di balik sikap dinginnya. 

Primrose menatapnya tajam. “Aku ingin bicara denganmu, Aiden.”

Aiden berdiri diam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke Celine yang berdiri di sampingnya. Celine menatap Primrose dengan tatapan sinis, jelas terlihat bahwa ia tidak senang dengan maksud kedatangan Primrose.

Aiden menghela napas. “Kita bisa bicara nanti, tidak di sini.”

Primrose tetap berdiri tegak, berusaha mengontrol suara yang hampir saja pecah. 

“Tidak, aku ingin bicara sekarang,” katanya. Ia menatap Aiden lurus-lurus. “Aku ingin bercerai,” lanjutnya, suaranya lebih tegas dari yang ia kira.

Tidak hanya Aiden, Celine yang berdiri di sampingnya pun terkejut.

“Apa? Bercerai?” Aiden mengulang kata itu dengan nada yang hampir terdengar tak percaya. 

Primrose mengangguk, matanya tajam menatap Aiden, berusaha menenangkan diri meski hatinya bergejolak. 

“Ya. Mari kita akhiri ini. Bukankah ini yang kau nantikan?” 

Tiba-tiba, Aiden mendekat. Wajahnya berubah, dari kebingungan menjadi kemarahan yang tercetak jelas. 

Tanpa berkata apa-apa, ia menarik tangan Primrose dan membawanya keluar rumah, mengabaikan Celine yang memanggilnya dengan suara cemas.

“Aiden, apa yang kau lakukan?” Primrose berusaha melepaskan tangannya, tetapi Aiden tetap menggenggamnya erat. “Lepaskan aku!”

Mereka keluar dari rumah Celine, dan Aiden menghentikan langkahnya begitu mereka berada di halaman. 

“Apa kau sudah gila?!” sentak Aiden tajam, napasnya sedikit memburu. “Setelah enam tahun, sekarang kau tiba-tiba ingin bercerai?”

Primrose menelan ludah. 

Enam tahun … sudah enam tahun ia bertahan karena dibutakan oleh rasa cintanya pada pria ini. Tapi kini, Primrose tak ingin dibodohi lagi. 

“Aku tidak bisa terus seperti ini, Aiden. Aku tidak ingin hidup seperti ini lagi.”

Aiden terdiam sejenak, lalu tertawa pelan, namun ada kepahitan dalam tawanya.

“Kau sudah menjebakku ke dalam pernikahan ini, dan sekarang kau ingin pergi begitu saja? Kau pikir aku ini mainan yang bisa kau buang kapanpun kau mau?”

Kata-kata itu menusuk hati Primrose seperti pisau tajam. Ia ingin membalas, mengatakan bahwa Aidenlah yang membuat hidupnya menderita, yang membuatnya merasa tidak berharga selama ini.

Tapi saat matanya menatap Aiden, ia menyadari satu hal—Aiden tidak akan pernah mau mendengarkan.

Baginya, semua adalah salah Primrose.

Aiden melangkah maju, wajahnya semakin serius. “Kau yang membuat hidupku berantakan, Primrose!”

“Aku—”

“Setelah menghasut Kakekku dan mendapatkan banyak keuntungan, sekarang kau ingin kabur? Kenapa? Kau sudah tidak punya alat untuk menarik belas kasihan lagi?” 

Primrose membeku. Alat untuk menarik belas kasihan?

“Alat? Apa maksudmu, Aiden?” tanyanya dengan suara bergetar. 

“Ya, alat! Kau menggunakan Daisy untuk bisa bertahan di rumah ini, bukan?”

Primrose nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Bagaimana bisa Aiden memiliki prasangka buruk seperti itu? 

Tidak pernah terlintas sekali pun dalam benak Primrose untuk menjadikan anaknya sebagai alat untuk tujuan tertentu. Primrose menyayanginya dengan tulus. 

“Aku akan menjeratmu dalam pernikahan ini. Kau tidak akan pergi ke manapun,” kata Aiden dengan nada mendesis. “Itu hukuman untukmu.”

Primrose menatap pria itu nanar. “Aiden—” 

Tapi Aiden langsung berbalik. 

Tanpa kata-kata, tanpa penyesalan, ia pergi meninggalkan Primrose sendirian di halaman. 

Primrose berdiri terpaku di tempatnya, tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya terasa kosong, dan tubuhnya seolah tidak mampu bergerak. 

Aiden tidak pernah peduli. Ia adalah orang yang hanya peduli pada dirinya sendiri, dan kini, dia akan mengurung Primrose dalam pernikahan yang semakin terasa seperti neraka.[]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 4. Daisy, Mama Datang...

    Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi. Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat. Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Ti

    Last Updated : 2025-03-10
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 5. Seharusnya Sudah Berakhir

    Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny

    Last Updated : 2025-03-10
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 6. Seperti Sampah yang Dibuang

    Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu

    Last Updated : 2025-03-28
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 7. Pertemuan Tak Terduga

    Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a

    Last Updated : 2025-03-29
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 8. Lebih Dalam dari Amarah

    Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men

    Last Updated : 2025-03-30
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 9. Dokumen Rahasia

    Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu

    Last Updated : 2025-03-31
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 10. Sama-sama Tidak Berguna

    Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t

    Last Updated : 2025-04-01
  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 11. Undangan untuk Primrose

    Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep

    Last Updated : 2025-04-01

Latest chapter

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 11. Undangan untuk Primrose

    Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 10. Sama-sama Tidak Berguna

    Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 9. Dokumen Rahasia

    Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 8. Lebih Dalam dari Amarah

    Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 7. Pertemuan Tak Terduga

    Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 6. Seperti Sampah yang Dibuang

    Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 5. Seharusnya Sudah Berakhir

    Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 4. Daisy, Mama Datang...

    Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi. Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat. Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Ti

  • Tuan Pewaris, Jangan Kejar Aku Lagi!   Bab 3. Mari Kita Akhiri

    Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil. “Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup. Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status