Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi.
Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat.
Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.
Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.
Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.
“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?”
Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.
Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.
Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.
Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.
“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang ingin Mama tetap hidup.”
Pundaknya terguncang hebat. Napasnya tersengal di antara tangis yang tak bisa ia hentikan.
Aiden menolak bercerai. Seolah semua derita yang ia tanggung belum cukup, lelaki itu tetap menahannya dalam sangkar tanpa cinta.
Ia tidak punya tempat untuk pulang. Tidak ada yang menunggunya. Tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadirannya. Tidak ada lagi.
“Daisy… tolong bawa Mama bersamamu…,” bisiknya, jemarinya mencengkeram tanah dengan putus asa. “Mama tidak sanggup kalau Daisy tidak ada….”
Hujan semakin deras, seakan langit ikut menangisi kepedihan yang tak tertahankan ini. Namun, Primrose tidak peduli.
Apa gunanya bertahan jika dunianya sudah direnggut darinya?
**
Primrose pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Tubuhnya menggigil karena kedinginan, tapi ia tidak peduli sebab hatinya jauh lebih beku.
Ia tidak merasakan apa-apa lagi selain harapan yang pupus dari hari ke hari. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan.
Daisy telah pergi untuk selamanya, dan Primrose tidak ingin tetap tinggal di dunia yang hanya memberinya penderitaan.
Ia membuka lemari pendingin, mengambil satu botol bourbon, lalu menenggaknya tanpa peduli dengan rasa panas yang membakar tenggorokannya.
Primrose hanya ingin mati rasa. Ia ingin melupakan semuanya.
Satu teguk. Dua teguk. Tiga. Lalu ia tidak menghitung lagi. Cairan panas itu seolah membakar tubuhnya, tapi tetap tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku.
“Aiden…”
Tanpa sadar, nama itu lolos dari bibirnya seperti luka lama yang kembali terbuka.
Primrose tertawa pedih. Sudah berapa lama ia bertahan? Sudah berapa lama ia tetap tinggal di sisi pria itu meski kehadirannya tidak pernah diinginkan?
Primrose memejamkan mata. Ingatan-ingatan itu menghantamnya tanpa ampun.
Malam demi malam yang ia habiskan sendirian di tempat tidur mereka—menunggu Aiden pulang, hanya untuk melihatnya datang dengan sorot penuh kebencian.
Sarapan yang ia buat setiap pagi, hanya untuk ditinggalkan begitu saja tanpa disentuh.
Semua usahanya untuk menggapai hatinya, hanya berujung pada respon dingin yang memupuskan harapan.
Primrose mencintai Aiden. Ia benar-benar mencintai pria itu dengan tulus. Namun, balasan yang ia dapatkan hanya luka dan air mata.
Primrose mengeratkan genggamannya pada botol minuman keras itu, lalu kembali meneguk isinya—lebih banyak, lebih cepat.
Alkohol mulai mengaburkan pikirannya, tapi rasa sakit itu tetap ada, tetap bercokol di sudut hatinya. Seolah enggan beranjak dari sana.
Lalu, pandangannya jatuh pada sebuah botol kecil di atas meja.
Obat tidur. Obat yang menemani malam-malamnya semenjak kepergian Daisy.
Primrose meraih botol itu, tangannya yang gemetar membuka tutupnya dengan sedikit kesulitan.
Sejenak, ia menatap butiran pil di telapak tangannya, lalu menelan satu butir dengan sisa alkohol di dalam mulutnya.
Namun, satu saja tidak cukup. Dengan tangan yang goyah, ia menuangkan lebih banyak pil dan menelan semuanya sekaligus.
Seketika, dunia mulai berputar. Tubuhnya terasa semakin ringan, seperti terlepas dari dirinya sendiri dan kini ia melayang.
“Daisy, tunggu Mama ya, Sayang. Mama akan datang…,” bisiknya pelan.
Primrose seolah bisa melihat sosok kecil Daisy di kejauhan, tengah membentangkan kedua tangan mungilnya, mengundang Primrose untuk memeluknya.
Ia rindu mendekap tubuh mungil itu. Ia ingin sekali membenamkan dirinya dalam pelukan hangat yang menawarkan tempat teraman, tempat di mana tidak ada rasa sakit.
Primrose mengulurkan tangan, mencoba menggapai anaknya. Tapi sebelum ia bisa mendekat, suara langkah kaki berdengung di telinganya.
Seseorang menerjang pintu, lalu berlari ke arahnya.
Primrose dapat merasakan tubuhnya diguncang dengan panik.
“Primrose! Bangun!”
Orang itu berteriak, tapi telinga Primrose seolah disumpal hingga suara itu terdengar begitu jauh. Namun, suara tersebut sangat familier, meski pikirannya terlalu kabur untuk bisa mengenalinya.
Primrose mencoba membuka mata, ingin melihat siapa yang ada di sana. Tapi kelopak matanya yang terasa berat menolak bekerja sama.
“Jangan tutup matamu, sialan! Prims!”
Sebuah tangan besar menggenggam wajahnya, menepuk-nepuk pipinya pelan agar ia tetap sadar. Tapi Primrose tidak bisa melawan kantuk yang semakin kuat.
Di ujung kesadarannya, benaknya hanya mengulang satu pertanyaan.
‘Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?’
Setelah itu, semuanya menjadi gelap.[]
Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny
Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Primrose berlutut di depan makam Daisy. Sebuket bunga daisy yang segar ia letakkan tepat di samping nisan.“Selamat ulang tahun, Sayang,” katanya lirih. “Mama kangen kamu, Nak… Mama masih tidak tahu bagaimana menjalani hidup tanpa Daisy di sini.”Hari ini seharusnya menjadi hari yang spesial. Seharusnya ada tawa kecil Daisy, kue coklat stroberi, tiupan lilin, dan doa yang mereka panjatkan bersama. Primrose begitu larut dalam kesedihan, tidak menyadari langkah kaki yang mendekat. Barulah saat seseorang ikut berlutut di hadapannya, ia tersentak dan mendongak.Matthias.Pria itu menaruh sebuket bunga daisy di samping bunga yang baru saja diletakkan oleh Primrose. Dengan suara lembut, Matthias berkata, “Selamat ulang tahun, Daisy.”Primrose membeku, menatap pria itu dengan campuran keterkejutan dan emosi yang sulit ia uraikan.“Seharusnya aku merayakan ulang tahunnya dulu. Aku menyesal baru datang ketika dia sudah tidak ada di sini.”Primrose susah payah menelan ludah, dadanya terasa ber
Istriku …Istriku.Kata itu bergema di telinga Primrose seperti kaset rusak. Selama enam tahun menikah, tak pernah sekali pun Aiden memperlakukannya sebagaimana istri pada umumnya. Tapi kini, Aiden tiba-tiba mengklaimnya sebagai istri di depan pria lain. Untuk apa? Mengapa baru sekarang setelah Primrose ingin menyerah dan membangun hidupnya yang baru tanpa Aiden di dalamnya?“Aku tidak suka mengulang ucapanku, Matthias,” kata Aiden, penuh penekanan di setiap katanya. Ekspresi wajahnya masih tampak mengeras. Begitu pula dengan Matthias yang masih mencengkeram salah satu pergelangan Primrose, tak berniat melepaskannya meski tatapan Aiden seolah siap membunuhnya.Aiden lantas menarik tubuh Primrose hingga wanita itu terhuyung membentur dadanya.“Akh!”Tapi Matthias tidak melepas tangannya begitu saja.“Primrose pulang bersamaku,” balas Matthias sama keras kepalanya.Primrose menelan ludah melihat kedua pria itu saling melempar tatapan permusuhan yang begitu kental. Udara di sekitar
“Prims, seseorang dari divisi pemasaran mencarimu.” Primrose menoleh pada salah satu rekan kerjanya itu. “Di mana dia?” tanyanya. “Dia menunggumu di pantry.”“Baik. Terima kasih,” sahut Primrose. Ia merapikan kertas-kertas yang berserakan di mejanya, lalu pergi ke arah pantry. Sudah sejak kemarin ia ingin menemui Elise, tapi temannya itu seperti hilang ditelan bumi.“El,” panggilnya begitu tiba di pantry kantor yang tampak sepi. Hanya ada Elise yang duduk sendirian di kursi bar.“Aku mencarimu dari kemarin,” kata Primrose. “Apa yang terjadi?”Elise tampak murung. Kilatan sedih di matanya tidak dapat disembunyikan. “Maafkan aku, Prims….”Primrose mengerutkan kening. Ia belum sempat bertanya kenapa ketika Elise kembali bersuara.“Aku tidak tahu kalau Aiden ternyata orang yang seperti itu,” lirihnya sedih.Primrose mencekal pergelangan tangan temannya khawatir. “El, apa yang dia lakukan padamu?” Elise menggelengkan kepala. “Tidak ada. Dia hanya berkata agar tidak ikut campur dalam ur
“Ada apa, Prims?” tanya Matthias saat melihat Primrose memucat usai berbicara dengan seseorang di telepon. Wanita cantik itu menatapnya sejenak sebelum memaksakan senyum tipis. “Aku harus kembali ke kantor,” katanya. “Aku akan menghubungimu lagi nanti.”Primrose tidak menunggu tanggapan dari Matthias. Ia langsung berbalik dan keluar dari lobi dengan langkah tergesa. Matthias menatap kepergiannya dengan tatapan penuh perhitungan. “Padahal aku bisa mengantarmu,” gumamnya pada diri sendiri.Di sisi lain, Primrose tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.Ia menduga-duga apakah Elise sudah mengatakan yang sebenarnya kepada Madam Sophie, atau Aiden yang menemui atasannya itu secara langsung. Primrose menghela napas panjang. Sepertinya, ia harus mulai mencari pekerjaan yang lain. Ia tidak akan bertahan lama di kantor ini jika Aiden sudah ikut campur.Sesampainya di kantor, Primrose langsung berjalan menuju ruangan Madam Sophie. Ia mengetuk pintu dan membukanya begitu wa
Primrose bergeming. Sementara Elise terkesiap di sebelahnya. “Prims, bukankah dia suami—”Elise tak sempat melanjutkan ucapannya karena Aiden kini sudah berdiri di hadapan mereka. Tatapannya masih terpaku pada Primrose, tampak menikmati kilatan gugup yang mewarnai raut pias wanita itu. Primrose menelan ludah, tidak berani membayangkan apa yang akan dilakukan pria ini di tempat umum! Apalagi, saat ini semua mata tengah tertuju pada mereka, seolah menanti tontonan apa yang akan disuguhkan.Namun, tatapan Aiden berpindah pada wanita berambut pendek di sebelah Primrose. Pria itu mengulas senyum tipis yang membuat siapapun akan terkesima, tidak terkecuali Elise. “Selamat pagi, Nona,” sapanya ramah. Terlalu ramah. Sangat tidak cocok dengan citra Aiden yang selama ini Primrose kenal.“Se-selamat … pagi ….” sahut Elise dengan suara pelan dan terbata, seolah nyawanya tidak benar-benar di sana. Wajahnya bersemu merah muda karena ditatap sedemikian rupa. “A-ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Selama beberapa detik, Primrose tidak berani membuka matanya. Ia diam di posisi yang sama hingga tubuhnya yang kebas mulai gemetar. Napas Aiden masih terasa begitu dekat, namun tidak ada yang terjadi. Aiden tidak melakukan apapun selain diam menikmati ketakutan yang menjalari wanita di bawah kungkungannya itu. Primrose dapat merasakan udara di sekitarnya yang tadinya menyempit mulai mengembang. Hangat yang menguar dari tubuh Aiden seolah menguap, digantikan kelegaan hingga ia bisa menarik napas dalam-dalam.Ia membuka mata dan melihat Aiden sudah menarik diri. Pria itu berdiri selangkah di depannya sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana, tampak angkuh dan puas melihat Primrose yang menciut seperti anak anjing yang ketakutan. “Kalau kau mengaku bersalah dan memohon padaku, aku akan mempertimbangkan ulang pembatalan kerjasama itu,” kata Aiden memberi penawaran yang lebih terdengar seperti ancaman. Primrose menggertakkan gigi, tangannya mengepal seolah berusaha menguatkan diri
Primrose mengepalkan tangan dengan kuat. Intonasi arogan pria itu membuat darahnya seolah membara oleh amarah. Ia tahu dengan pasti, Aiden melakukan ini dengan sengaja. “Tidak bisakah kau membiarkanku pergi, Aiden?” tanya Primrose dengan suara yang ia jaga setenang mungkin, meski sebenarnya ia ingin meledak dan menumpahkan kekesalannya pada pria itu. Aiden berjalan lebih dekat. Seringai keji dari bibirnya masih belum lenyap. “Kalau kau memang berniat pergi, kenapa tak pergi lebih jauh?” sindirnya. “Apa kau sengaja agar aku masih bisa menemukanmu?”Buku-buku jemari Primrose tampak memutih saking kuatnya ia mengepalkan tangan. “Aku tidak pergi untuk dicari, Aiden,” tekannya dengan nada tegas. “Aku hanya ingin memulai semuanya dari awal lagi!”Aiden terkekeh, tampak tidak terpancing oleh kemarahan wanita di hadapannya itu. Ia kemudian berkata dengan nada mengejek, “Setelah memiliki seseorang yang berpihak padamu, kau pikir kau bisa melakukan apapun sesukamu?”Primrose tertegun mendeng
“Dibatalkan? Apa maksudmu?!” Suara Madam Sophie menggelegar hingga terdengar sampai ke ruangan staf. Suasana di kantor pagi itu begitu menegangkan setelah Camille & Co. mendapatkan kabar bahwa pihak Kings Hotel membatalkan kerjasama secara sepihak dan mendadak tanpa pembicaraan apapun sebelumnya. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?! Acara akan diadakan dua minggu lagi! Orang gila mana yang tiba-tiba membatalkan kerjasama begitu saja?!” Setelah rentetan kalimat penuh kemurkaan itu, pintu ruangan kepala divisi desain menjeblak terbuka. Madam Sophie keluar dari ruangannya dan berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Dadanya naik turun dan kemarahan menguasai wajahnya hingga tampak memerah. “Aku akan bertemu dengan direktur. Kalian tetap bekerja seperti biasa,” kata wanita paruh baya itu dengan nada tegas. “Damian, ikut aku!” Ketua tim satu itu dengan gegas mengikuti langkah Madam Sophie meninggalkan ruangan. Keheningan yang pekat memerangkap ruangan divisi desain. Tak ada
“Ada apa, Tuan?” tanya Thomas saat Aiden berjalan masuk ke dalam hall dan hanya diam menatap hiruk pikuk hall yang sudah disulap menjadi tempat peragaan busana, dengan panggung catwalk yang berdiri megah di tengah-tengahnya. Aiden memasukkan tangan ke dalam saku celana, menunggu dengan tenang, sementara matanya memicing ke arah pintu bertirai hitam di sisi panggung. Ia yakin baru saja melihat Primrose masuk ke dalam sana, entah melakukan apa. Namun, Aiden sudah menyusun beberapa praduga di benaknya. Dan ia ingin memastikan apakah dugaannya benar.Thomas terdiam di sebelahnya, ikut menunggu meski tidak tahu apa yang tengah dinantikan oleh sang tuan. Tak berapa lama kemudian, sosok yang ditunggu akhirnya muncul dari balik tirai hitam itu, tampak berbincang dengan seorang wanita paruh baya berpenampilan modis. “Bukankah itu Nyonya Primrose?” Thomas berujar, terkejut saat menangkap pemandangan yang tidak biasa itu.Tapi Aiden hanya membisu. Sepasang mata elangnya mengikuti Primrose ya
Siang itu, Matthias mengajak Primrose bertemu di jam istirahat. Awalnya Primrose menolak dan berkata bahwa ia sedang sibuk, walau sebenarnya ia hanya ingin menghindari pria itu. Akan tetapi, Matthias bersikeras dan berkata bahwa ia tidak akan lama. “Kau baik-baik saja?” tanya Matthias saat Primrose baru saja tiba di sebuah kafe yang tak jauh dari kantornya.Primrose tersenyum kecil. Lucu membayangkan orang yang paling sering bertanya tentang keadaannya justru adalah orang yang sama sekali tak pernah ia duga akan berada di sisinya saat ia berada dalam kondisi terendah. Primrose lantas mengangguk sebagai jawaban. Matthias memandangnya lamat-lamat, mencari kebohongan di wajah yang tampak tenang itu. “Mau pesan sesuatu?” tanyanya menawarkan.Primrose menggeleng. “Ada apa, Matt? Apakah Aiden mengatakan sesuatu kemarin?” Matthias tampak menghela napas saat menyadari Primrose tidak ingin berbasa-basi. “Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa Aiden begitu marah? Apakah kalian bertengkar hebat