Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi.
Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat.
Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.
Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.
Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.
“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?”
Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.
Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.
Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.
Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.
“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang ingin Mama tetap hidup.”
Pundaknya terguncang hebat. Napasnya tersengal di antara tangis yang tak bisa ia hentikan.
Aiden menolak bercerai. Seolah semua derita yang ia tanggung belum cukup, lelaki itu tetap menahannya dalam sangkar tanpa cinta.
Ia tidak punya tempat untuk pulang. Tidak ada yang menunggunya. Tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadirannya. Tidak ada lagi.
“Daisy… tolong bawa Mama bersamamu…,” bisiknya, jemarinya mencengkeram tanah dengan putus asa. “Mama tidak sanggup kalau Daisy tidak ada….”
Hujan semakin deras, seakan langit ikut menangisi kepedihan yang tak tertahankan ini. Namun, Primrose tidak peduli.
Apa gunanya bertahan jika dunianya sudah direnggut darinya?
**
Primrose pulang ke rumah dalam keadaan basah kuyup. Tubuhnya menggigil karena kedinginan, tapi ia tidak peduli sebab hatinya jauh lebih beku.
Ia tidak merasakan apa-apa lagi selain harapan yang pupus dari hari ke hari. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tidak ada lagi yang bisa ia perjuangkan.
Daisy telah pergi untuk selamanya, dan Primrose tidak ingin tetap tinggal di dunia yang hanya memberinya penderitaan.
Ia membuka lemari pendingin, mengambil satu botol bourbon, lalu menenggaknya tanpa peduli dengan rasa panas yang membakar tenggorokannya.
Primrose hanya ingin mati rasa. Ia ingin melupakan semuanya.
Satu teguk. Dua teguk. Tiga. Lalu ia tidak menghitung lagi. Cairan panas itu seolah membakar tubuhnya, tapi tetap tidak mampu menghangatkan hatinya yang beku.
“Aiden…”
Tanpa sadar, nama itu lolos dari bibirnya seperti luka lama yang kembali terbuka.
Primrose tertawa pedih. Sudah berapa lama ia bertahan? Sudah berapa lama ia tetap tinggal di sisi pria itu meski kehadirannya tidak pernah diinginkan?
Primrose memejamkan mata. Ingatan-ingatan itu menghantamnya tanpa ampun.
Malam demi malam yang ia habiskan sendirian di tempat tidur mereka—menunggu Aiden pulang, hanya untuk melihatnya datang dengan sorot penuh kebencian.
Sarapan yang ia buat setiap pagi, hanya untuk ditinggalkan begitu saja tanpa disentuh.
Semua usahanya untuk menggapai hatinya, hanya berujung pada respon dingin yang memupuskan harapan.
Primrose mencintai Aiden. Ia benar-benar mencintai pria itu dengan tulus. Namun, balasan yang ia dapatkan hanya luka dan air mata.
Primrose mengeratkan genggamannya pada botol minuman keras itu, lalu kembali meneguk isinya—lebih banyak, lebih cepat.
Alkohol mulai mengaburkan pikirannya, tapi rasa sakit itu tetap ada, tetap bercokol di sudut hatinya. Seolah enggan beranjak dari sana.
Lalu, pandangannya jatuh pada sebuah botol kecil di atas meja.
Obat tidur. Obat yang menemani malam-malamnya semenjak kepergian Daisy.
Primrose meraih botol itu, tangannya yang gemetar membuka tutupnya dengan sedikit kesulitan.
Sejenak, ia menatap butiran pil di telapak tangannya, lalu menelan satu butir dengan sisa alkohol di dalam mulutnya.
Namun, satu saja tidak cukup. Dengan tangan yang goyah, ia menuangkan lebih banyak pil dan menelan semuanya sekaligus.
Seketika, dunia mulai berputar. Tubuhnya terasa semakin ringan, seperti terlepas dari dirinya sendiri dan kini ia melayang.
“Daisy, tunggu Mama ya, Sayang. Mama akan datang…,” bisiknya pelan.
Primrose seolah bisa melihat sosok kecil Daisy di kejauhan, tengah membentangkan kedua tangan mungilnya, mengundang Primrose untuk memeluknya.
Ia rindu mendekap tubuh mungil itu. Ia ingin sekali membenamkan dirinya dalam pelukan hangat yang menawarkan tempat teraman, tempat di mana tidak ada rasa sakit.
Primrose mengulurkan tangan, mencoba menggapai anaknya. Tapi sebelum ia bisa mendekat, suara langkah kaki berdengung di telinganya.
Seseorang menerjang pintu, lalu berlari ke arahnya.
Primrose dapat merasakan tubuhnya diguncang dengan panik.
“Primrose! Bangun!”
Orang itu berteriak, tapi telinga Primrose seolah disumpal hingga suara itu terdengar begitu jauh. Namun, suara tersebut sangat familier, meski pikirannya terlalu kabur untuk bisa mengenalinya.
Primrose mencoba membuka mata, ingin melihat siapa yang ada di sana. Tapi kelopak matanya yang terasa berat menolak bekerja sama.
“Jangan tutup matamu, sialan! Prims!”
Sebuah tangan besar menggenggam wajahnya, menepuk-nepuk pipinya pelan agar ia tetap sadar. Tapi Primrose tidak bisa melawan kantuk yang semakin kuat.
Di ujung kesadarannya, benaknya hanya mengulang satu pertanyaan.
‘Kenapa kau tidak membiarkanku pergi?’
Setelah itu, semuanya menjadi gelap.[]
Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny
Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Primrose duduk di ruang tamu seorang diri. Kesunyian yang melingkupi rumah besar itu terasa membekukan. Tidak ada lagi suara tawa atau celotehan ringan sang putri yang biasanya membuat rumah itu terasa hangat. Ditatapnya nanar bingkai foto mendiang Daisy yang cemberut saat pertama kali masuk TK.Kala itu, suaminya tak hadir, sehingga Primrose terpaksa berbohong dan mengatakan pada putrinya jika sang ayah harus menyelamatkan banyak nyawa di perusahaannya.“Mama, Papa tidak suka Daisy, ya?” tanya Daisy saat itu. Wajahnya tampak sedih, bahkan hampir menangis. Semua murid didampingi oleh ayah dan ibu mereka, kecuali Daisy. Sepasang matanya yang polos menatap seorang anak seumuran dirinya yang digendong dan tertawa bersama sang ayah.Hati Primrose mencelos mendengar pertanyaan itu. “Bukan begitu, Sayang. Papa hanya sedang sibuk. Daisy tahu kan, Papa bekerja keras untuk kita?” “Jadi kapan Papa tidak sibuk, Mama? Daisy mau main sama Papa.”Senyum getir terbit di wajah Primrose. “Sabar y
Setelah Amber pergi, Primrose baru saja ingin beranjak dari sana ketika suara tawa lembut terdengar hingga ke telinganya.Suara Celine.Primrose tak ingin tahu lebih jauh, tetapi kakinya seolah tercanang di lantai saat mendengar betapa akrabnya Amber dan Celine berbincang.“Wah, kau datang di saat yang tepat, Sayang,” Amber menyambut Celine dengan penuh kehangatan, sesuatu yang tak pernah Primrose dengar dari wanita itu.“Aku kangen mengobrol dengan Ibu,” sahut Celine terdengar ceria, seolah ia adalah menantu yang paling dicintai. “Aku tahu Ibu pasti lelah mengurus banyak hal sendirian, jadi aku datang untuk menemani.”“Oh, kau benar-benar anak yang baik. Tidak sep
Aiden menatap ibunya lekat, matanya tampak menyipit penuh selidik.Amber, yang masih menggenggam map cokelat itu, mengerjap cepat. Namun, ia dengan segera menguasai diri, menampilkan senyum anggun yang sudah ia latih selama bertahun-tahun.“Bukan apa-apa, Sayang. Ibu hanya berbincang dengan teman.”Tatapan Aiden tidak berpindah. “Bukti apa yang tadi Ibu sebutkan?”“Ah, itu,” Amber tertawa kecil, pura-pura geli. “Gosip bodoh dari temanku. Dia mengaku punya bukti kalau suaminya berselingkuh. Tapi itu tidak penting, hanya dugaan tidak berdasar.”Aiden menimbang-nimbang jawaban itu, tapi akhirnya tidak mendesak lebih jauh. Jika memang hanya gosip tidak penting, t
Keesokan harinya, suara gaduh dari luar kamar membangunkan Primrose dari tidurnya. Ia mengerjapkan mata, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Ternyata ia ketiduran di kamar anaknya—satu-satunya ruang di rumah ini yang memberinya rasa aman.Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Primrose bangkit dari kasur dan berjalan ke luar kamar.Namun, saat melihat apa yang terjadi di lorong rumah itu, matanya seketika membelalak.Dua pelayan sibuk memasukkan barang-barang yang dikenalinya ke dalam pastik dan kotak kardus besar. Itu adalah barang-barang dari ruang bermain Daisy.“Apa yang kalian lakukan?” Suara Primrose bergetar saat bertanya. Ia menatap ke arah kedua pelayan yang masih sibu
Keheningan yang terjadi begitu pekat, menciptakan ketegangan di antara mereka.Ekspresi Aiden tampak keras, dengan rahang yang mengatup rapat. Sepasang mata tajamnya menatap Matthias seakan mampu menembus lapisan-lapisan dalam dirinya.Dulu, mereka adalah dua cucu yang bersaing di bawah bayang-bayang kakek mereka, Anthon Reeves.Sebagai cucu pertama, Aiden selalu merasa bahwa posisi pewaris sejati ada di tangannya. Namun, Matthias dengan mudah mendapatkan perhatian dan kasih sayang sang kakek. Sifatnya yang ramah, periang, dan bisa membawa diri dengan baik membuatnya lebih disukai.Itu selalu membuat Aiden kesal. Padahal menurutnya, ia jauh lebih kompeten dibanding Matthias.Dan ketika sang kakek men
Primrose terpaku menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia mengerjapkan mata, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. “Matthias?” suaranya bergetar, nyaris tidak percaya. Sudah beberapa tahun sejak terakhir kali mereka bertemu.Pria itu tersenyum lebar. “Hai.”Primrose masih terkejut. “Kau… kenapa ada di sini? Bukankah seharusnya kau di luar negeri?”Matthias melangkah mendekat, menyingkap sebagian wajahnya yang sempat tertutup bayangan. “Aku sudah pulang beberapa hari yang lalu.”“Oh…” Hanya itu yang bisa Primrose ucapkan. Matthias mengamati Primrose dalam diam. Tatapannya menyapu wajah pucatnya, mata sayu yang dipenuhi kelelahan, serta tubuhnya yang gemetar menahan dingin. Itu membuat Primrose merasa sedikit tidak nyaman. Ia tahu betapa mengenaskan penampilannya sekarang.“Kau baik-baik saja?” Matthias bertanya pelan.Primrose menegang sesaat, lalu mengangguk kecil. “Aku tidak apa-apa.”Matthias tampak tidak yakin. Tanpa banyak bicara, ia melepas jasnya dan menyodorkannya ke a
Hari-hari berlalu, dan Primrose masih terjebak di tempat yang sama. Aiden tidak pernah datang lagi setelah malam itu. Seolah ia menghilang ditelan bumi. Tapi Primrose tak lagi peduli. Ia sudah terlalu lelah untuk berharap.Matanya menatap kosong ke luar jendela, melihat langit yang mulai menggelap. Senja menjatuhkan cahaya keemasan ke dalam kamarnya, tetapi itu tidak membawa kehangatan sedikit pun. Dalam hening, Primrose hanya bisa bertanya-tanya, apa lagi yang tersisa untuknya? Untuk apa ia berada di sini?Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuyarkan lamunannya. Primrose menoleh, dan sejenak jantungnya berdebar. Apakah Aiden akhirnya datang? Namun, harapannya segera pupus saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Amber Reeves.Tatapan wanita itu dingin dan penuh ketidaksabaran saat melangkah masuk. “Jadi, kau masih di sini juga,” katanya, suara sinisnya memenuhi ruangan.Primrose tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk bertengkar, tetapi Amber tidak membutuhkan jawaban untu
Cahaya lampu putih yang dingin menerangi koridor rumah sakit, menciptakan bayangan samar di lantai. Di kursi tunggu, Aiden duduk dengan punggung menegang, tangannya saling bertaut di atas lutut.Tatapannya terpaku pada dinding putih di hadapannya, tapi pikirannya berkelana entah ke mana.Primrose sudah melewati masa kritis. Itu yang dikatakan dokter beberapa saat lalu. Mereka berhasil menyelamatkannya, tapi sampai sekarang, wanita itu belum juga sadar.Aiden menghela napas, mengangkat tangan dan mengusap wajahnya kasar. Bodoh. Benar-benar bodoh!Kenapa wanita itu melakukan hal seperti ini?Saat ia menemukan Primrose beberapa jam yang lalu, tubuhnya sudah lunglai di sofa, napasnya lemah, dan wajahnya pucat pasi. Jika ia terlambat beberapa menit saja, Primrose pasti sudah mati.Pikiran itu membuat dadanya seolah terhimpit oleh sesuatu yang berat. Tapi Aiden buru-buru mengusirnya. ‘Apa peduliku?’ Wanita itu bukan siapa-siapa baginya. Ia menegaskan hal itu berkali-kali dalam pikiranny
Gerimis turun ketika Primrose berdiri di depan pusara kecil yang dingin dan sunyi. Ia meletakkan sebuket bunga daisy di dekat batu nisan berwarna putih itu. Nama Daisy Eleanor Reeves terukir di sana, diiringi tanggal lahir dan wafatnya yang terlalu singkat. Primrose berlutut, jemarinya yang kurus menelusuri ukiran itu seakan ingin menyentuh anaknya sekali lagi.Tapi Daisy tidak ada. Daisy sudah pergi. Dan dia tidak akan kembali.Air mata menggenang di pelupuk mata Primrose, mengaburkan penglihatannya.“Kenapa… kenapa kamu meninggalkan Mama secepat ini, Nak?” Suaranya bergetar, hampir tak terdengar di antara rintik hujan.Dada Primrose terasa kosong, seperti ada lubang menganga yang menelan semua yang tersisa dari dirinya.Ia merenggut tanah basah di depannya, menggenggamnya erat seolah memohon agar Daisy kembali.Tanpa Daisy, dunia terasa begitu gelap dan menakutkan.“Mama sudah berusaha, Sayang. Mama sudah mencoba bertahan... tapi sekarang Mama sendirian. Tidak ada yang peduli. Ti
Primrose terdiam seribu bahasa. Semua kata-kata yang dilontarkan ibu mertuanya seolah mematahkan semangat hidupnya yang sudah nyaris hilang.“Cukup,” kata Primrose dengan suara pelan. “Kalau aku memang bukan siapa-siapa di mata Aiden dan keluarga ini, aku akan pergi. Aku tidak akan tinggal di sini untuk mendengar hinaan kalian lagi.”Amber tersenyum puas mendengarnya, seolah-olah semua usaha untuk menghancurkan semangat Primrose akhirnya membuahkan hasil. “Baiklah, kalau itu yang kau mau,” Amber berkata ringan, lalu melangkah ke arah pintu. “Pergilah. Kau bisa tinggal di tempat lain kalau kau merasa tidak dihargai di sini. Aiden juga tidak akan peduli. Dia sudah punya hidupnya sendiri.”Amber meninggalkan Primrose dalam keheningan. Suasana di rumah itu terasa begitu berat, seolah udara menjadi lebih pekat, lebih sulit untuk dihirup. Primrose hanya berdiri diam di sana, tak tahu harus berbuat apa. Kata-kata Amber berputar-putar di kepala, seperti siulan yang terus bergema, menambah d