Frank Solonik.
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu namanya melambung tinggi di angkasa bagi para semua napi atau penghuni penjara seram Tripoli. Semua tahanan mengagungkan nama Frank. Betapa tidak, pria ini berani membunuh Feofan Fadeyka, anak kandung dari Tuan Dmitry Fadeyka, lantaran masalah sepele yakni di-PHK secara tidak hormat plus dihina dengan sebutan Komunis Miskin.Namun, seketika itu juga harga diri Frank begitu tercabik-cabik dan hatinya hancur luluh lantak. Oleh sebab itu amarahnya memuncak lalu dengan keji menghabisi anak usia enam tahun yang tidak berdosa demi melampiaskan semua dendamnya dan memuaskan jiwanya. Sejak awal masuk penjara, Frank dihormati dan ditakuti oleh orang-orang di Tripoli.Frank bak seorang raja di sana. Kepala dari semua Kepala Kamar! Sebuah jabatan yang begitu prestisius. Frank tidak betah selama di penjara, tapi dia merasakan kenyamanan. Begitu keluar dari sana, dia malah kembali berurusan dengan Keluarga FadeykHanz kedatangan tamu yang cukup istimewa hari ini. Siapakah mereka? Mark dan Gerald! Dua orang yang dulu sering membully dan menyakiti Hanz. Ada perlu apa mereka ke kantor pusat Fadeyka Energy? Apa mereka masih ingin membully? Dua orang itu dipersilakan masuk dan duduk di ruang kerja CEO Fadeyka Energy. Ya, ruangan kerja Hanz sendiri. Hanz duduk tegap dan menegakkan bahu. “Oh, teman lama. Apa kabar kalian berdua?” Bukankah dua orang ini dulunya akan menawarkan pekerjaan kepada Hanz di Oilzprom? Hanz tidak mungkin pernah lupa. “Baik, Hanz,” jawab mereka nyaris berbarengan. Mereka menatap seperti memelas. Nada bicara seperti orang belum makan seharian. Lemas. Atau mungkin mereka ada sebuah maksud. “Ada perlu apa kalian berdua? Bukannya orang tua kalian akan memasukkan kalian ke Oilzprom?” Hanz menatap tegas. Nada bicarnya juga tegas. Walaupun bisa saja Hanz ingin membalaskan dendamnya, tapi dia tidak mau, karena dua
Semilir angin cukup kencang petang hari ini. Deburan ombak menyapu butiran-butiran pasir di pinggir Pantai Kuta, Bali. Sementara di langit, jingga berpendar-pendar, gumpalan awan putih yang menghiasi jagat. Sebentar lagi, temaram malam akan menyergap. Mempesona, matahari yang tenggelam di sisi barat bumi begitu memikat hati. Cahayanya membias di hamparan air laut yang bergelombang-gelombang. Sebuah pemandangan yang sulit dilupakan. Hanz melangkah pelan di pinggiran pantai. Setelan hawaii-nya berkibar-kibar disepak angin. Dipandanginya sunset yang begitu indah. Pasir-pasir halus menempel di kakinya. Sementara tangannya tak lepas menggenggam erat tangan Julya. Wanita itu pun serasa tidak ingin genggaman itu terlepas. Sesekali manik matanya menangkap wajah yang punya dagu tirus pas di sampingnya. “Ayo berenang!” pekik Avraam sembari melambai-lambaikan tangannya. Badannya sudah tenggelam separuh. Di sebelahnya ada Zahid dan empat orang lainnya.
Hanz melangkah lebar di atas air. Tiba-tiba ada seringai terbit di wajahnya. Sorot matanya tak henti mengawasi dua pria yang sedang menggoda Julya. Lalu Hanz mendorong dua tu cukup keras. “Wanita ini istri temanku,” kata Zahid pakai bahasa Indonesia yang jelas. Sengaja Zahid maju juga. Hanz mencekik leher salah satu dari mereka, namun Zahid segera melerainya. “Sabar, Hanz.” “Maaf, kami tidak tahu kalau dia pergi bersama kalian,” ucap salah satu dari mereka dengan lemah. “Kami kira dia memang sendirian,” timpal yang lainnya. Keributan kecil ini menyita perhatian orang-orang di sekitar. Belasan orang mengerumuni. Avraam berlarian mendekati. “Kenapa Hanz?” Avraam terengah-engah. Zahid langsung mencerocos. “Sabar. Hanya salah paham. Mereka berdua tidak tahu kok kalau Julya bersama kita.” Avraam meremas-remas jari-jemarinya dan siap memukul. Sementara Hanz melepaskan genggaman tangannya dari pria it
Flashback. Sekitar empat bulan lalu. Berlatar di University College London, UK. Misha sudah berumur delapan belas tahun. Meskipun tidak pernah mengikuti pendidikan formal seperti orang pada umumnya, Misha masuk pengecualian dari sistem. Dengan bermodalkan ijazah nembak, kalau di Indonesia disebut paket c, kemudian memang orangnya cerdas, dan faktor paling berpengaruh adalah dia merupakan anaknya Tuan Dmitry Fadeyka. Kali pertama Misha merasakan dunia pergaulan seperti apa karena selama delapan belas tahun dia hanya terbenam di dalam istana, hanya berinteraksi dengan ayah, kakak, guru privat, dan pekerja istana. Hanz berulang kali meminta agar Misha menempuh pendidikan di Swiss, namun wanita yang mulai beranjak dewasa itu sudah termakan isu di internet dan media sosial, bahwa UK terutama Inggris, merupakan tempat paling populer di seluruh Eropa. Maksud hati Hanz menyuruhnya di kuliah di Swiss adalah suasanya yang tenang dan nyaman. Sw
Hanz dan Julya baru saja tiba di istana. Kedatangan mereka disambut dua orang penjaga. Hanz mengerling mengawasi situasi di dalam istana. Tapi, tidak ada masalah besar yang tampak. “Tuan Hanz. Segera ke kamar Misha, Tuan,” ucap seorang pelayan istana. Hanz dan Julya melangkah cepat, naik ke lantai dua, lalu mengetuk-ngetuk pintu kamar Misha. “Misha, buka pintunya. Ini Kakak.” Tak ada jawaban. Tok! Tok! Tok! “Misha, kami ingin masuk,” timpal Julya. Tak lama berselang Tuan Dmitry menghampiri. Wajahnya berubah emosi. “Hanz, kau cari tahu pria itu. Dia sudah kurang ajar.” Hanz terbengong. Hingga saat ini dia belum tahu duduk persoalannya seperti apa. Tiba-tiba disuruh ayahnya mencari pria kurang ajar. Siapa memangnya? Perlahan isak tangis pecah dari dalam kamar. Namun, Misha masih tidak mau membuka pintu kamarnya. Di ruang keluarga yang tertutup, barulah Tuan Dmitry menceritakan semua mas
Hanz bilang pada ayahnya, percuma saja menuntut dan menghajar keluarga Nathan, sementara Misha juga akhirnya akan tetap melahirnya anak itu. Hanz berjam-jam memikirkan persoalan ini, kira-kira apa solusi terbaik yang mesti diambil. Jika melakukan tindakan buruk dengan memberi perhitungan terhadap keluarga Nathan, apa akan menyelesaikan masalah? Hanz juga memahami perasaan adiknya Misha. Memang sangat disayangkan dan disesalkan Misha jatuh ke dalam jurang yang salah, namun harus bagaimana lagi. Sekarang Hanz sebagai salah satu anggota Keluarga Fadeyka, apalagi melihat kondisi ayahnya yang sedang tidak begitu sehat, tentu harus mengambil langkah bijak. Benar-benar di luar perkiraan, Nathan merupakan anak dari Thommas Anderson, seorang pejabat di British Oil yang cukup punya peran sentral di perusahaan milik negara tersebut. Kabarnya, Britis Oil, sebagai perusahaan pemasok minyak tersbesar di UK, meliputi empat negara sekaligus, Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlan
Di London. Masih belum hilang kekesalan Thommas pada Nathan meskipun sepulang dari pertemuan dengan Keluarga Fadeyka fisiknya masih sempurna hingga saat ini. Sebab, dalam perkiraannya sebelum berangkat, dia akan dihajar oleh anak buah Tuan Dmitry. Meskipun demikian, Thommas tetap menanggung beban yang amat berat supaya dia dan keluarganya tetap selamat. Begitu sampai di rumah, Thommas langsung mencecar habis putranya, “Kau harus berhenti kuliah, Nathan!” Nathan tercekat. “Bagaimana bisa, Ayah? Sementara aku baru masuk kuliah.” Thommas menatapnya lurus-lurus. “Pakai apa kau menafkahi istrimu kalau kau tidak bekerja? Kau mau minta uang sama orang tua? Dari mana kau mendapatkan uang, Nathan?” Nathan tak mampu menjawab. Evelyn, mamanya Nathan, menyabarkan putranya. “Kau harus menuruti apa kata papamu, Nathan. Apa yang papa perintah, kau tidak boleh menolaknya. Lihatlah, papa sudah berjuang untuk keselamatan keluarga kita.”
Seusai disibukkan oleh acara pernikahan anaknya yang amat memalukan, Thommas langsung memutar otaknya lagi secepat mungkin, karena jika tidak, Keluarga Fadeyka akan kembali memisahkan hubungan Nathan dan Misha, lalu memberikan perhitungan pada keluarganya. Itulah ancaman dari Tuan Dmtry padanya. Sungguh membuatnya pusing. Sejak dari awal Thommas sudah mengira bahwa dia telah masuk ke dalam lubang buaya. Tak ada jalan keluar, selain bertarung untuk menyelamatkan diri. Dan cara bertarungnya adalah mengikuti aturan main dari mereka. Maka malam ini juga, meskipun dalam keadaan capek baik badan maupun pikiran, Thommas membuka lobian pertamanya. Rekan sesama direktur pun dihubunginya. “Halo Mr.Richard?” sapa Thommas sambil mengatur napasnya, suaranya agak parau. “Halo juga Mr.Thommas. Ada keperluan apa kira-kira malam-malam ini telepon?” “Bukankah posisi kita sedang tekarena belum bisa membenahi keterpurukan yang sedang melanda British Oil