Tadi Hanz mampir sebentar ke sebuah mini market, membeli beberapa makanan minuman. Meskipun waktu tempuh menggunakan mobil hanya dua jam saja, mereka butuh asupan, terlebih kepada Edwin yang makin lama makin lemas. Sambil menyetir Hanz meneguk kopinya. Dia butuh cairan dan kafein untuk kembali menambah energi dan semangatnya. “Edwin, makanlah rotinya. Jangan sampai kau sakit sungguhan.”Edwin mengulas senyum dan kesulitan bicara. Dia tidak menyangka kalau rupanya Hanz tidak hanya jago perkara IT dan sedikit humoris, tapi juga cukup mahir berakting. “Aku salut pada mu, Hanz, padahal usia mu baru dua puluh. Sementara aku sudah tiga puluh lima. Kita beda jauh, tapi kau luar biasa.”Hanz tidak suka pujian. “Aku tidak sebagus dari apa yang ada di pikiran mu, Edwin. Sebagaimana manusia biasa, aku juga banyak kekurangan dan kesalahan. Jangan berlebihan menilaiku. Tidak ada yang spesial dariku.”Padahal, apa saja yang sudah Hanz lakukan itu sebenarnya luar biasa. Kalau saja bukan Hanz akto
Hanz berjongkok di dekat ban yang pecah. Jika biasanya orang pada mengeluh ketika mendapat musibah, sebaliknya, Hanz tidak berkomentar apa pun dan tidak pula bersedih. Masalah, solusi. Tapi, di sekitar sini cukup sepi dan bengkel pun jauh. Kemudian dia mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi Avraam. “Jangan lebih dari satu jam. Cepatlah!”Sementara Edwin tetap berada di dalam mobil. Dia tidak boleh keluar karena berbahaya. Selagi mereka masih berada di sekitar sini dan belum sampai di rumah, mereka mesti tetap menjaga diri. Mereka belum aman. Hanz menyilangkan tangan di dada sembari meluaskan pandangan. Pemandangan yang sungguh indah. Swiss memang terkenal dengan nuansa alamnya yang bagus. Tetap keren walaupun hanya bentangan alam biasa. Satu jam berada di sini dengan menyaksikan pemandangan tentu bisa sambil merefleksikan diri sementara waktu.Hanz menarik napas cukup dalam sambil tersenyum tipis, berupaya menghilangkan rasa tak nyaman yang barusan melanda dirinya. Bebe
Usai memperhatikan setiap ucapan dan gerak gerik empat pria tersebut, akhirnya Hanz menilai bahwa mereka bukanlah petugas yang sedang melakukan penyamaran, melainkan mereka hanyalah preman jalanan yang kebetulan lewat. Hanz bernapas lega karena dugaannya tidak benar. Dia justru senang kalau mereka ternyata preman, bukan petugas seperti FBI dan kepolisian. Preman tidak lebih menakutkan ketimbang FBI. Hanz malah mengajak mereka bicara, “Apa kalian bisa membantu kami? Ban mobil kami pecah. Entah lah mungkin hanya kempis saja.”Tetap, mereka tidak menggubris omongan Hanz. Ketika Roger sudah berada di dalam mobil, tiga anak buahnya mendesak agar segera melakukan tindakan cepat. “Mereka pasti bawa barang berharga seperti ponsel dan jam tangan.”“Dompet mereka juga pasti ada isinya.”“Kita dapat rejeki nomplok, Bos. Kenapa malah pergi? Kita tidak perlu membegal dan merampok seperti biasanya. Mangsa sudah ada di depan mata.”Roger bersedekap sambil memperhatikan mobil yang menepi di depa
Seiring berjalan nya waktu, Roger pun tergiur juga pada akhirnya. Dia kembali menyalakan rokok dan menikmati setiap asap jahat yang menyerang paru-parunya. “Kau bersedia memberikan uang banyak pada kami?” tanyanya dengan dingin. Walaupun suaranya cukup pelan, tapi ada aura mengerikan yang terpancar. Roger adalah preman senior yang kerap berulah di Swiss. Meski begitu, dia tidak pernah tertangkap oleh petugas sebab dia licin seperti belut. “Tentu,” jawab Hanz. “Asalkan kalian jangan menyakiti kami dan mengambil apa pun.” Barang yang mereka miliki jauh lebih berharga, terutama isi laptop milik Edwin. Ada rahasia besar negara di sana. Jika kedapatan oleh penjahat dan mereka mengerti seberapa berharga nya data-data tersebut, mereka bisa menjualnya kepada seterusnya Amerika dan mereka bisa kaya mendadak. Hanz dan Edwin tidak mau hal itu terjadi. Sudah ada agenda yang mereka tentukan. Dunia pada akhirnya akan tahu, tapi dengan cara yang elegan, bukan seperti ini. Roger tidak bodoh.
Roger termakan rayuan Hanz. Dia mengangguk mau dan berkata dengan cukup antusias. “Baiklah. Berikan padaku lima belar ribu dollar dan kami akan segera pergi dari sini.”Dengan santainya Hanz memasukkan tangannya di saku sweater hoodie-nya sebelum berkata dengan dingin, “Aku tidak percaya begitu saja. Kalian adalah penjahat. Takutnya, setelah aku kirim uang pada kau, nanti kau tetap mengancam kami dan menjarah apa saja yang kami punya. Parahnya, nanti kau juga akan mencelakai kami berdua. Jadi aku tidak mau hal itu terjadi.”Roger batuk keras karena asap rokok tersangkut di tenggorokan nya. “Kami pasti menepati janji.”Roger tidak mau ambil risiko. Setelah dapat duitnya, dia pasti akan segera pergi dari sini bersama anak buahnya. Hanz menggeleng ragu. “Aku tidak percaya. Apa jaminannya kalau kau dan tiga anak buah mu akan jujur. Begini saja, buang semua senjata kalian. Apa pun itu. Buang ke sana!”Satu anak buah Roger tak tahan. “B-bos. Ja-jangan!”BAM! Satu tinjuan kuat mengarah pas
“HAHAHAHA.”Tiga anak buah Roger ngakak sambil memegangi perut. “DIAM KALIAN BERTIGA!” bentaknya murka. “Kalian bertiga tidak ada guna sama sekali! Biar aku yang mengurusi mereka semua. Baru saja aku ditipu rupanya. Mereka tidak tahu kalau aku sangat tidak suka ditipu.”Roger menginjak-injak rokok yang tadi terjatuh sambil mengawasi Hanz, Edwin, dan Avraam yang ada di hadapannya. Darahnya mulai mendidih. Dia tidak suka dibohongi dan dipermainkan, makanya dia naik pitam dan akan memberikan pelajaran menyakitkan pada Hanz. Dia melemparkan ujung telunjuknya seraya memaki kasar. “Dasar bajingan! Kau sudah menipu aku, anak muda! Kau pasti menyesal!”Kedua tangan Hanz masih berada di dalam saku. Karena cukup capek, dia bilang pada Avraam, “Aku tidak mau tanganku kotor, Avraam. Bagaimana pun caranya kau harus bisa membuat mereka pergi dari sini supaya kau segera memperbaiki ban mobilku.”Namun, Avraam pun sama, tidak mau mengotori tangannya hanya untuk menghajar empat preman ini, bukan kar
Tiga anak buah Roger mengeras seperti patung. Bukannya tak tega melihat bos mereka menderita, hanya saja mereka terlebih dahulu harus mendapatkan perintah dan tidak boleh sembrono. Mereka bertiga tidak mau melangkah sebelum diperintahkan. Cukup sudah kejadian tadi. Jadi mereka cuma menonton bos mereka sedang terkapar dan meringkuk di atas aspal kering. Tidak ada yang berani maju sebelum ada perintah. Sepuluh detik kemudian, Roger berusaha bangkit dan marah besar sama mereka. “Bodoh kalian bertiga! Kenapa diam saja? Cepat tolong aku dan serang Bocil itu!” perintahnya dengan kesetanan. Bukannya tadi yang ingin bertarung melawan bocil itu hanya Roger dan tidak boleh diganggu, bahkan Roger sendiri yang melawan tiga orang sekaligus? Tapi kenapa sekarang Roger malah melembek seperti keledai? “Woi binatang! Cepat tolong aku!” lolong Roger gusar. Gesit, tiga orang itu meloncat, lalu membangkitkan dan menggotong tubuh Roger yang rubuh hanya dengan satu pukulan saja. Kemudian mereka
Usai ban baru telah terpasang, mereka kemudian melanjutkan perjalanan kembali menuju Zurich. Iring-iringan dua mobil tersebut berjalan tanpa hambatan apa pun lagi. Ketika telah sampai di rumah, Hanz langsung menyuruh Edwin untuk segera beristirahat karena dia tahu kalau Edwin sangat lelah dan butuh waktu untuk menenangkan diri. “Ini adalah kamar mu untuk beristirahat sementara ini, Edwin. Bilang saja kalau kau butuh sesuatu.” Hanz meletakkan beberapa lembar baju dan celana yang nanti bisa dipakai oleh Edwin. “Terima kasih, Hanz.” Edwin menyandarkan punggungnya dan menarik napas dalam-dalam. Akhirnya perjalanan panjang dari pagi hingga sore hari ini pun kelar. Setidaknya untuk saat ini dia terlepas dari marabahaya yang terus mengejar meskipun para petugas di luar sana masih memburunya. Beruntung, dia punya sahabat online seperti Hanz, dan ternyata dugaannya benar bahwa Hanz adalah orang tepat yang bisa menolong sekaligus menjaga rahasianya. Tidak sembarangan orang bisa melakukan n