Edwin semakin berkeringat dingin saat melihat dari dalam kalau petugas sudah mau membuka pintu. Kecemasan dan ketakutan semakin menyerang nya. Seandainya petugas benar benar memeriksa nya, bahkan dia tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Ketenangan nya semakin terkikis seiring berjalan nya waktu. Lantas, bagaiamana cerita selanjutnya? Kendati begitu, Hanz segera mengambil ponsel dari saku dan memperlihatkan sesuatu pada mereka. “Berita terbaru. Edwin Joyden sekarang rupanya sedang berada di Freiburg, Jerman. Lihatlah!”Pria berkulit hitam yang tadi ingin membiarkan Hanz pergi lantas membaca berita tersebut, dan tidak lama berselang, dia pun berkomentar, “Benar. Edwin berada di Freiburg. Dia pergi ke utara, bukan ke selatan. Petugas di sana sedang mencarinya.”Si pria berkumis penasaran lalu juga membaca berita yang dipublikasikan oleh media ternama Eropa. Beberapa detik kemudian dia pun terhenyak sambil menghela napas panjang. “Benar. Berita itu benar.”Rekannya menimpali, “Ya
Hanz dan Edwin tersentak kaget. Baru saja mereka bisa bernapas lega dan segera pergi dari tempat berbahaya ini, tiba-tiba saja dua petugas tadi malah menghadang mereka lagi. Edwin tidak bisa menahan cemas yang menggelayut di wajahnya. Jantungnya langsung bergemuruh disiksa rasa gugup yang membuncah. Lantas, apakah ini adalah akhir dari perjalanan hidupnya? Pria hitam berbadan besar itu mengetuk kaca mobil dan cepat menyuruh Hanz untuk segera keluar. Hanz membuka pintu mobil lalu keluar. “Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada yang sedikit ada keresahan, hanya saja sebisa mungkin dia tidak gugup. Namun, Hanz justru melihat sunggingan senyum lebar pada bapak itu. “Hanz, kami lupa mengembalikan SIM-mu dan kartu Identitas teman mu. Maaf ya.” Pria itu belum menghilangkan senyumannya. Oh, rupanya dua kartu itu lupa dikembalikan. Hanz ketawa sedikit sambil menerima dua kartu tersebut. “Hampir saja lupa. Wajar Bapak berdua tampak buru-buru tadi. Kami kira ada apa. Oke baiklah. Terima kasi
Tadi Hanz mampir sebentar ke sebuah mini market, membeli beberapa makanan minuman. Meskipun waktu tempuh menggunakan mobil hanya dua jam saja, mereka butuh asupan, terlebih kepada Edwin yang makin lama makin lemas. Sambil menyetir Hanz meneguk kopinya. Dia butuh cairan dan kafein untuk kembali menambah energi dan semangatnya. “Edwin, makanlah rotinya. Jangan sampai kau sakit sungguhan.”Edwin mengulas senyum dan kesulitan bicara. Dia tidak menyangka kalau rupanya Hanz tidak hanya jago perkara IT dan sedikit humoris, tapi juga cukup mahir berakting. “Aku salut pada mu, Hanz, padahal usia mu baru dua puluh. Sementara aku sudah tiga puluh lima. Kita beda jauh, tapi kau luar biasa.”Hanz tidak suka pujian. “Aku tidak sebagus dari apa yang ada di pikiran mu, Edwin. Sebagaimana manusia biasa, aku juga banyak kekurangan dan kesalahan. Jangan berlebihan menilaiku. Tidak ada yang spesial dariku.”Padahal, apa saja yang sudah Hanz lakukan itu sebenarnya luar biasa. Kalau saja bukan Hanz akto
Hanz berjongkok di dekat ban yang pecah. Jika biasanya orang pada mengeluh ketika mendapat musibah, sebaliknya, Hanz tidak berkomentar apa pun dan tidak pula bersedih. Masalah, solusi. Tapi, di sekitar sini cukup sepi dan bengkel pun jauh. Kemudian dia mengambil ponsel di saku celana dan menghubungi Avraam. “Jangan lebih dari satu jam. Cepatlah!”Sementara Edwin tetap berada di dalam mobil. Dia tidak boleh keluar karena berbahaya. Selagi mereka masih berada di sekitar sini dan belum sampai di rumah, mereka mesti tetap menjaga diri. Mereka belum aman. Hanz menyilangkan tangan di dada sembari meluaskan pandangan. Pemandangan yang sungguh indah. Swiss memang terkenal dengan nuansa alamnya yang bagus. Tetap keren walaupun hanya bentangan alam biasa. Satu jam berada di sini dengan menyaksikan pemandangan tentu bisa sambil merefleksikan diri sementara waktu.Hanz menarik napas cukup dalam sambil tersenyum tipis, berupaya menghilangkan rasa tak nyaman yang barusan melanda dirinya. Bebe
Usai memperhatikan setiap ucapan dan gerak gerik empat pria tersebut, akhirnya Hanz menilai bahwa mereka bukanlah petugas yang sedang melakukan penyamaran, melainkan mereka hanyalah preman jalanan yang kebetulan lewat. Hanz bernapas lega karena dugaannya tidak benar. Dia justru senang kalau mereka ternyata preman, bukan petugas seperti FBI dan kepolisian. Preman tidak lebih menakutkan ketimbang FBI. Hanz malah mengajak mereka bicara, “Apa kalian bisa membantu kami? Ban mobil kami pecah. Entah lah mungkin hanya kempis saja.”Tetap, mereka tidak menggubris omongan Hanz. Ketika Roger sudah berada di dalam mobil, tiga anak buahnya mendesak agar segera melakukan tindakan cepat. “Mereka pasti bawa barang berharga seperti ponsel dan jam tangan.”“Dompet mereka juga pasti ada isinya.”“Kita dapat rejeki nomplok, Bos. Kenapa malah pergi? Kita tidak perlu membegal dan merampok seperti biasanya. Mangsa sudah ada di depan mata.”Roger bersedekap sambil memperhatikan mobil yang menepi di depa
Seiring berjalan nya waktu, Roger pun tergiur juga pada akhirnya. Dia kembali menyalakan rokok dan menikmati setiap asap jahat yang menyerang paru-parunya. “Kau bersedia memberikan uang banyak pada kami?” tanyanya dengan dingin. Walaupun suaranya cukup pelan, tapi ada aura mengerikan yang terpancar. Roger adalah preman senior yang kerap berulah di Swiss. Meski begitu, dia tidak pernah tertangkap oleh petugas sebab dia licin seperti belut. “Tentu,” jawab Hanz. “Asalkan kalian jangan menyakiti kami dan mengambil apa pun.” Barang yang mereka miliki jauh lebih berharga, terutama isi laptop milik Edwin. Ada rahasia besar negara di sana. Jika kedapatan oleh penjahat dan mereka mengerti seberapa berharga nya data-data tersebut, mereka bisa menjualnya kepada seterusnya Amerika dan mereka bisa kaya mendadak. Hanz dan Edwin tidak mau hal itu terjadi. Sudah ada agenda yang mereka tentukan. Dunia pada akhirnya akan tahu, tapi dengan cara yang elegan, bukan seperti ini. Roger tidak bodoh.
Roger termakan rayuan Hanz. Dia mengangguk mau dan berkata dengan cukup antusias. “Baiklah. Berikan padaku lima belar ribu dollar dan kami akan segera pergi dari sini.”Dengan santainya Hanz memasukkan tangannya di saku sweater hoodie-nya sebelum berkata dengan dingin, “Aku tidak percaya begitu saja. Kalian adalah penjahat. Takutnya, setelah aku kirim uang pada kau, nanti kau tetap mengancam kami dan menjarah apa saja yang kami punya. Parahnya, nanti kau juga akan mencelakai kami berdua. Jadi aku tidak mau hal itu terjadi.”Roger batuk keras karena asap rokok tersangkut di tenggorokan nya. “Kami pasti menepati janji.”Roger tidak mau ambil risiko. Setelah dapat duitnya, dia pasti akan segera pergi dari sini bersama anak buahnya. Hanz menggeleng ragu. “Aku tidak percaya. Apa jaminannya kalau kau dan tiga anak buah mu akan jujur. Begini saja, buang semua senjata kalian. Apa pun itu. Buang ke sana!”Satu anak buah Roger tak tahan. “B-bos. Ja-jangan!”BAM! Satu tinjuan kuat mengarah pas
“HAHAHAHA.”Tiga anak buah Roger ngakak sambil memegangi perut. “DIAM KALIAN BERTIGA!” bentaknya murka. “Kalian bertiga tidak ada guna sama sekali! Biar aku yang mengurusi mereka semua. Baru saja aku ditipu rupanya. Mereka tidak tahu kalau aku sangat tidak suka ditipu.”Roger menginjak-injak rokok yang tadi terjatuh sambil mengawasi Hanz, Edwin, dan Avraam yang ada di hadapannya. Darahnya mulai mendidih. Dia tidak suka dibohongi dan dipermainkan, makanya dia naik pitam dan akan memberikan pelajaran menyakitkan pada Hanz. Dia melemparkan ujung telunjuknya seraya memaki kasar. “Dasar bajingan! Kau sudah menipu aku, anak muda! Kau pasti menyesal!”Kedua tangan Hanz masih berada di dalam saku. Karena cukup capek, dia bilang pada Avraam, “Aku tidak mau tanganku kotor, Avraam. Bagaimana pun caranya kau harus bisa membuat mereka pergi dari sini supaya kau segera memperbaiki ban mobilku.”Namun, Avraam pun sama, tidak mau mengotori tangannya hanya untuk menghajar empat preman ini, bukan kar