Makan malam keluarga pun di laksanakan. Para maid begitu santun dan hormat pada Zahra. Tentu, karena Zahra adalah nona muda di rumah ini. Mereka juga begitu menghormati Zein karena mereka tahu siapa suami dari nona mereka tersebut. Di sisi lain, Deana menyungut pada mamanya. Dia iri melihat Zahra yang diperlakukan bak tuan putri oleh semua orang di rumah ini. Ketika Zahra melangkah masuk ke ruang makan, maid yang ada di sana langsung membungkuk dan mempersilahkan. Sedangkan saat dia yang lewat dengan mamanya, maid hanya berdiri diam. "Mah, aku juga ingin dihormati seperti Zahra," sungut Deana pelan pada mamanya. "Sabar, Sayang. Setelan Mama menikah dengan Tuan Lucas, maka kamulah Tuan putri di rumah ini. Zahra bukan apa-apa lagi," bisik Anita pada putrinya. Deana menganggukkan kepala, memanyunkan bibir karena masih tak suka pada Zahra yang begitu dihormati. Saat melihat Zahra duduk di sebelah Zein, perasaan kesal dan iri kembali muncul di benaknya."Mah, kapan Kak Zein jadi milik
Zahra hampir menangis karena ucapan ayahnya. Kenapa ayahnya berpijak pada Deana padahal saat itu sudah ia jelaskan pada ayahnya jika Zein tidak meniduri perempuan itu? Hatinya sangat sakit, ayahnya memilih peduli pada Deana dibandingkan dirinya. Apa kata ayahnya? Deana sedang hamil dan butuh perhatian dari Zein? Lalu bagiamana dengan Zahra? Dia juga sedang hamil, Zein suaminya dan jelas-jelas anak dalam perutnya milik Zein. "Zahra, aku hanya sebentar kok," ucap Deana yang sudah kembali berdiri, tak sabar duduk di sebelah Zein. Zahra terdiam, menatap ayahnya dengan pandangan kecewa dan sakit hati. Mungkin efek hormon kehamilan juga, oleh sebab itu rasanya semakin perih. "Nak, ayolah." Lucas meminta. Zahra menghela napas pelan, berniat berdiri untuk berpindah tempat dengan Deana. Akan tetapi, tangannya ditahan oleh Zein, pria itu mendudukkan Zahra kembali ke tempat tersebut. Setelahnya secara mendadak dan mengejutkan Zein berani menggebrak meja secara kuat–membuat semua orang kaget
"Padahal Paman Raka tampan dan sangat baik," ucap Zahra pada Alana. Alana menanggapi dengan senyuman tipis, terlihat manis akan tetapi pahit dari dalam–dia menyembunyikan perasaan sesak dalam dada. Memang! Raka adalah pria yang baik, manis dan pengertian. Namun, pribadi Raka yang seperti itu hanya berlaku pada Zahra saja. Padanya … Raka sangat cuek dan terkesan tak peduli. "Bagaimana dengan Marcus? Kuperhatikan kalian akhir-akhir ini sangat dekat," lanjut Zahra. "Kamu sudah kuanggap saudara perempuanku, jangan sungkan untuk curhat padaku, Alana. Aku siap mendengar semua keluh kesah dan apa yang kamu rasakan."Kali ini senyuman Alana terlihat lebih nyata, begitu lebar dan terang. Matanya menyipit, seolah ikut tersenyum karena terharu dan senang mendengar perkataan Zahra. Ini yang membuatnya betah dan bahkan tak ragu bersumpah untuk melindungi nyonya-nya, Zahra sangat baik padanya. Sangat!"Saya dan Pak Marcus tidak memiliki hubungan apapun. Saya juga tidak menaruh perasaan padanya, N
"Kebetulan aku suka Strawberry," ucap Raka tenang, setelah merampas kotak kue tersebut. Alana menatap heran pada Raka, memperhatikan pria tersebut yang sedang menikmati kue strawberry dengan santai. Zahra yang sejak tadi memperhatikan, tersenyum tipis–merasa lucu dengan tingkah Raka ketika merampas kue itu dari Alana. Terkesan cemburu bukan? Marcus mengedikkan pundak, acuh tak acuh pada Raka yang merampas kue dari Alana. "Nona Alan, jangan bersedih. Masih ada kue lain untukmu," ucap Marcus rendah, mengeluarkan sebuah kotak kue lain dari kantong–menyerahkannya pada Alana. "Terimakasih, Pak Marcus," ucap Alana lembut, tersenyum tipis pada Marcus, "silahkan duduk, Pak," lanjutnya, menggeser kursi kosong di sampingnya agar Marcus duduk di sebelahnya. Masih ada kursi kosong di sebelah Zahra, tetapi tidak mungkin Marcus duduk di sana. Bisa bahaya jika Zein datang. "Humm." Marcus berdehem, duduk di sebelah Alana. Sehingga sekarang posisi Alana berada di tengah Marcus dan Raka. Diam-dia
"Masuklah secepatnya, jangan berlama-lama di sini," ucap Zein, mengecup ubun-ubun kepala Zahra lalu segera beranjak dari sana. Dia meminjam ruang kerja istrinya yang ada di mansion ini, Zein akan menggunakannya untuk membahas pekerjaan bersama Marcus. "Iya, Zein. Sebentar lagi aku akan masuk," ucap Zahra lembut, "anak-anak masih asyik bermain, biarkan mereka bermain sebentar lagi dan aku akan menemani," lanjutnya. Memang benar! Nail dan Aiden yang mendapat mainan baru, terlihat asyik bermain–tak jauh dari tempat Zahra duduk. Zein menganggukkan kepala, mengacak rambut Zahra kemudian segera beranjak dari sana bersama Marcus. Raka juga ikut masuk, dia yakin Zein dan Marcus pergi bukan untuk membahas pekerjaan. Dia tebak, Zein merencanakan sesuatu tentang masalah tadi. Raka sangat hapal dengan Zein, keponakannya tersebut tak akan tinggal diam jika itu sudah menyangkut Zahra. Zein pasti akan bertindak. Yang tersisa di sana hanya Alana dan Zahra. Zahra menawarkan mangga muda dengan t
"Jangan pikir kamu bisa merebut Ayahku dariku. Kamu dan putrimu hanya sekumpulan sampah yang bisa kusingkirkan dengan mudah." Zahra berkata arogan, mengangkat dagu lalu melayangkan tatapan tajam pada Anita. Di sisi lain, Nail dan Aiden yang melihat hal tersebut buru-buru masuk untuk memanggil papa mereka. Deana tak membiarkan Zahra menyudutkan mamanya. Dia mendekati Zahra lalu langsung menjambak rambut perempuan ini. Dia tahu, Zahra sebenarnya perempuan lemah. Perempuan ini terlihat kuat karena sikapnya yang arogant. Namun, Deana terlalu meremehkan Zahra. Perempuan ini membalas janbakannya dengan begitu kuat. Rasanya kepala Deana akan copot dari leher. "Aaaarhkk … Mamaaaaa …," teriak Deana kesakitan, sudah merintih dan menangis karena rasa sakit akibat tarikan Zahra ditambutnya. "Hei-- lepaskan putriku! Lepaskan Deana, Zahra! Kamu mencelakainya," ucap Anita, berusaha memisahkan Zahra dan Deana. Karena tidak mau lepas, dia ikut menjambak rambut Zahra. Niatnya supaya Zahra melepas
"Kenapa kalian sampai seperti tadi, Humm?" tanya Zein, setelah dia mengganti pakaian istrinya. "Mereka memarahiku karena aku tidak menyetujui Ayah untuk menikah lagi." Zahra menjawab pelan, membaringkan tubuh di atas ranjang. "Aku tahu kamu pasti khawatir pada bayi kita. Maafkan aku …," ucapnya lagi, menoleh pada Zein yang duduk di sebelahnya. Zein menghela napas pelan. Dia membaringkan tubuh lalu menarik Zahra ke dalam dekapannya. "Aku lebih mengkhawatirkanmu, Sweetheart." Cup' Zein mencium kening Zahra lalu mengelus sayang kepala istrinya. "Sekarang beristirahatlah." "Baik, Zein." Zahra menganggukkan kepala, segera memejamkan mata. Syukurlah Zein tidak marah padanya. Akan tetapi besok, dia harus menghadapi ayahnya. Jatuh cinta yang dirasakan oleh ayahnya membuat sang ayah sepertinya berpihak pada Anita. Zahra harus mempersiapkan diri. ***Besok pagi, setelah sarapan bersama, Zahra menemui ayahnya. Dia masuk ke ruangan Lucas, dan duduk di sana–ayahnya menyuruh menunggu. Zahra
"Sepertinya aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini." Zein meletakkan tangan di atas kepala Zahra, menepuk-nepuk pelan pucuk kepala istrinya secara pelan. "Si Tua Bangka itu bisa datang ke sini lalu menculikmu."Zahra menghela napas pelan lalu menggelengkan kepala, "jangan seperti itu, Zein. Ayah tetaplah ayahku." "Ck." Zein berdecak pelan, memilih duduk di sebelah Zahra. Mereka sudah sampai di rumah, lebih tepatnya berada di kamar dan saat ini Zahra sedang duduk di pinggir ranjang. Begitu juga dengan Zein yang kini ikut duduk di sebelah Zahra. Masalah di rumah tadi, Zein tidak terlalu tahu. Akan tetapi melihat cara Lucas menyeret Zahra untuk kembali masuk ke dalam rumah, Zein bisa menebak jika kedua perempuan ular tersebut sudah berhasil menghasut ayah mertuanya. Melihat istrinya diperlakukan seperti itu, tentu Zein dan terima.Sekarang Zein menyuruh Raka untuk memata-matai Lucas dan kedua wanita ular tersebut. Raka memang rivalnya dalam hal mencintai Zahra, akan tetapi sua