"Kenapa kalian sampai seperti tadi, Humm?" tanya Zein, setelah dia mengganti pakaian istrinya. "Mereka memarahiku karena aku tidak menyetujui Ayah untuk menikah lagi." Zahra menjawab pelan, membaringkan tubuh di atas ranjang. "Aku tahu kamu pasti khawatir pada bayi kita. Maafkan aku …," ucapnya lagi, menoleh pada Zein yang duduk di sebelahnya. Zein menghela napas pelan. Dia membaringkan tubuh lalu menarik Zahra ke dalam dekapannya. "Aku lebih mengkhawatirkanmu, Sweetheart." Cup' Zein mencium kening Zahra lalu mengelus sayang kepala istrinya. "Sekarang beristirahatlah." "Baik, Zein." Zahra menganggukkan kepala, segera memejamkan mata. Syukurlah Zein tidak marah padanya. Akan tetapi besok, dia harus menghadapi ayahnya. Jatuh cinta yang dirasakan oleh ayahnya membuat sang ayah sepertinya berpihak pada Anita. Zahra harus mempersiapkan diri. ***Besok pagi, setelah sarapan bersama, Zahra menemui ayahnya. Dia masuk ke ruangan Lucas, dan duduk di sana–ayahnya menyuruh menunggu. Zahra
"Sepertinya aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian di sini." Zein meletakkan tangan di atas kepala Zahra, menepuk-nepuk pelan pucuk kepala istrinya secara pelan. "Si Tua Bangka itu bisa datang ke sini lalu menculikmu."Zahra menghela napas pelan lalu menggelengkan kepala, "jangan seperti itu, Zein. Ayah tetaplah ayahku." "Ck." Zein berdecak pelan, memilih duduk di sebelah Zahra. Mereka sudah sampai di rumah, lebih tepatnya berada di kamar dan saat ini Zahra sedang duduk di pinggir ranjang. Begitu juga dengan Zein yang kini ikut duduk di sebelah Zahra. Masalah di rumah tadi, Zein tidak terlalu tahu. Akan tetapi melihat cara Lucas menyeret Zahra untuk kembali masuk ke dalam rumah, Zein bisa menebak jika kedua perempuan ular tersebut sudah berhasil menghasut ayah mertuanya. Melihat istrinya diperlakukan seperti itu, tentu Zein dan terima.Sekarang Zein menyuruh Raka untuk memata-matai Lucas dan kedua wanita ular tersebut. Raka memang rivalnya dalam hal mencintai Zahra, akan tetapi sua
"Jika bukti rekaman CCTV di club belum cukup untuk sebagi bukti, aku masih punya vidio lain, Tuan. Video Deana dan pria itu saat melakukan se* di kamar hotel." Lucas menggelengkan kepala, menatap Raka dengan raut muka meradang. Raka terkekeh pelan, tetapi sebuah kekehan menyepelehkan. "Siapa tahu bukti se terang ini masih belum bisa membuka mata Tuan." "Kau menyindirku?" dingin Lucas. Raka menggelengkan kepala. "Aku hanya sedikit sedih dengan sikap yang anda ambil. Tuan menyaksikan sendiri dulu-- betapa hancurnya Zahra saat Zein lebih memilih peduli pada Belle. Putri yang Tuan cintai menderita, kehilangan bayinya karena hal tersebut. Tetapi sekarang … Tuan melakukan apa yang Zein dulu lakukan pada Zahra. Tuan tidak mempercayainya, tidak mendengarkannya, tidak mempedulikannya, hanya demi sebuah keluarga baru. Bayangkan saja, Tuan, orang-- se brengsek Zein saja terkejut melihat sikap anda yang seperti ini. Meskipun menyebalkan, yah … Zein masih memiliki alasan seperti itu pada Zah
"Siram siram siram! Gulma gulma juga harus disiram supaya cepat mati!" Raka berkata dengan nada ketus, terus mengguyur air ke arah Marcus. "Ark! Kau-- Tuan, kau kenapa?" kesal Marcus, berusaha menghindar tetapi arah air terus padanya. Jelas Raka sengaja. "Tuan Raka, tolong hentikan," ucap Alana, mendekat ke arah Raka untuk meminta pria itu mematikan air. Sejujurnya dia juga basah, tetapi hanya sedikit dan tak separah Marcus. Wajah dan rambutnya yang paling basah. Zein menoleh ke arah Raka, menaikan sebelah alis karena heran melihat Raka. Hell! Ada apa dengan pamannya ini?! "Hei, kau kenapa? Aku menyuruhmu memupuk bagian sana bukan menyiram Marcus. Lagipula Marcus bukan tanaman," ucap Zein, intonasi menegur dengan menatap malas ke arah Raka. Raka menoleh ke arah Zein. Kesal karena merasa Zein mendukung Marcus dengan Alana, Raka beralih menyiram Zein. Zein hanya diam, mempersilahkan Raka menyiram dirinya. Namun, tangannya terkepal, wajah mendadak kaku dengan rahang mengatup
"Humm." Zein menganggukkan kepala, "naik sini," lanjutnya sembari menepuk pundaknya, isyarat agar Aiden naik ke atas. Dengan ragu Aiden naik ke pundak Zein. Setelah di atas pundak papanya, dia sangat senang. Saat Zein berdiri, debaran jantung Aiden melaju cepat. Dia sangat senang! "Nail adalah monster yang akan menjatuhkan pesawat Kakai," seru Nail sangat bersemangat, menggebu-gebu dengan selang yang ia semprotkan ke arah papa dan Kakaknya. Kakai adalah panggilan Nail pada Aiden. Awalnya dia memanggil kakaknya dengan sebutan Kak Ai, lalu pada akhirnya dia menjadi Kakai. "Tidak sampai. Adek kependekan," seru Aiden di atas pundak papanya, tertawa lucu karena air yang Keluar dari selang Nail tidak mengenainya. Zein juga tertawa, ikut bersenang-senang dengan kedua putrinya. "Tidak bisa! Monster Nail tidak boleh kalah." Nail berlari ke arah Raka, "Kakek, gendong Nail. Nail harus menjatuhkan pesawat Kakai." Raka dengan senang hati menuruti kemauan Nail. Mereka terus bersenang-s
Raka melototkan mata, langsung mengatupkan rahang dan hampir saja mengumpat. "Je-"Untungnya Raka masih sadar jika ada anak-anak di sini. Dia menghela napas kemudian mengelus dada untuk mendapatkan kesabaran yang lebih banyak. Hell! Menghadapi Zein memang berpotensi menghabiskan stok kesabaran yang dipunya. Hingga tak lama Zahra akhirnya turun, bersamaan dengan Alana. Deg deg deg'"Maaf, membuat menunggu," ucap Zahra tak enak, langsung mendapat gelengan kepala dari sang suami. "Mama sangat cantik," ungkap Nail, langsung berlari memeluk mamanya. Zein dan Aiden tetap duduk di sofa, terdiam dengan tampang muka kagum ke arah Zahra. Melihat itu, tentunya Zahra tersenyum malu-malu. Raka mengatakan jika ini bukan hanya makan malam saja, Lucas juga akan memberikan kejutan pada Zahra. Oleh karena itu Lucas menyuruh Raka untuk menyampaikan pada Zahra supaya berdandan cantik. "Sudah kukatakan jangan terlalu cantik," ucap Zein, setelah tersadar dari ketermenungannya. Dia tersenyum tipis, ba
"Kau pernah bilang punya crush. Apa Marcus orangnya, Heh?!" Tubuh Alana terasa membeku, matanya semakin melebar–menatap takut pada Raka. Entah apa alasan Raka bertanya seperti itu padanya, Alana cukup kaget. Dia merasa terancam karena ekspresi kemarahan yang kentara keluar dari tubuh pria ini. Ditambah lagi Raka menghimpit tubuhnya, membuat Alana semakin gugup. Sebelumnya, pria ini tidak mau berdekatan dengannya. Akan tetapi sekarang-- ini termasuk intim bagi Alana. "Kenapa Tuan ingin sekali tahu masalah urusan pribadiku?" ucap Alana, berusaha tetap tenang walau punggungnya terasa panas dingin–akibat terlalu gugup. "Tolong menjauh, Tuan. I-ini terlalu intim," lanjutnya menegur, berharap agar Raka melepasnya. Namun, alih-alih melepasnya setelah ia tegur, Raka malah semakin merapatkan tubuh dengan Alana. Wajahnya merunduk, perlahan mengikis jarak dengan wajah Alana."Intim? Menurutmu ini intim, Heh?" serak Raka, berkata rendah tetapi masih dengan ekspresi marah. Alana memalingkan
Alana menyembunyikan kemalangan yang menghampiri dirinya, menekan dirinya supaya kuat dan bisa terlihat baik-baik saja. Alana keluar dari kamar untuk menemui Zahra, sang Nyonya telah menghubunginya dan menyuruhnya untuk bertemu di lantai bawah. Dengan sisa kekuatan dalam diri, Alana menemui Zahra di ruangan yang telah disuruh. "Alana, akhirnya kamu datang," ucap Zahra sangat senang dan antusias saat melihat asistennya tersebut muncul. Alana berusaha tersenyum, walau rasanya sangat pahit dan susah. Matanya terasa panas, tetapi dia terus mengerjap-erjap untuk menghilangkan bulir kristal tersebut. Nyonyanya sedang berbahagia, Alana tidak boleh menunjukkan kesedihannya. "Sepertinya Nyonya dan Tuan Sudah berbaikan." Alana berkata lembut, setelah berada di dekat Zahra. Perempuan cantik dan anggun tersebut menganggukkan kepala, tersenyum dengan sangat indah kepada Alana. 'Rasanya tenang sekali melihat Nyonya Zahra tersenyum. Bagaimana bisa aku mengungkapkan kesedihanku sedangkan seny