"Ada yang harus kau katakan padaku. Ikut denganku," dingin Raka, menyentak Alana dan memaksa perempuan itu untuk ikut dengannya–halaman belakang. Setelah sampai di taman belakang, Raka menarik kursi lalu memperlihatkan Alana untuk duduk di sana. Sedangkan Alana, dia cukup kaget saat Raka begitu. Dia memilih diam karena ragu duduk di sana. Pada akhirnya Raka memaksa Alana untuk duduk di sana. Namun, sebisa mungkin dia bersikap lembut–mengingat perempuan ini sedang mengandung benihnya. "Apa yang ingin Tuan Raka bicarakan?" tanya Alana, mencoba tetap formal serta profesional meskipun perasaan sesak menggerogoti hati. Pria yang saat ini duduk di hadapannya adalah pria yang telah menghancurkan kehidupannya. Namun, dia juga pria yang sama dengan pria yang telah memberikan arti kehidupan bagi Alana. Setelah hari itu, ini pertama kalinya dia dan Raka kembali berhadapan. Alana cukup gugup dan cemas. "Kau hamil?" tanya Raka to the point, bersedekap dengan menyender ke kursi. Raut mukanya di
Setelah makan bersama selesai, Alana berniat menemui Raka. Ada yang ingin dia bicarakan sebelum mereka menikah nanti. Alana cukup tersanjung dan senang karena tadi Raka membelanya di hadapan Lucas. Meskipun Raka tidak mengatakan hal yang sejujurnya apa yang terjadi diantara mereka, akan tetapi Raka tetap mengakui jika dia memaksa Alana sehingga Alana tidak disalahkan oleh Lucas. Alana ingin menemui Raka untuk mengatakan perasaannya. Alana tahu keputusannya mendadak, dan sebagai seorang perempuan Alana menyedihkan. Yah, menyedihkan karena mengungkap perasaan lebih dulu. Namun, tujuan Alana bukan untuk mendapatkan balasan cinta Raka. Dia melakukan ini agar Raka yang akan menjadi suaminya bisa menghargai perasaannya. Alana berharap jika dia telah mengutarakan cinta pada Raka maka Raka akan menjaga pernikahan mereka–tidak menjadikannya sebagai sebuah permainan atau sandiwara belakang. Alana melihat Raka pergi ke arah halaman samping, jadi Alana ke sana. Setelah tiba di sana, Alana menen
"Ingin kabur, Hah?!" gertak Raka dengan nada marah dan menusuk. Dia mencengkeram pundak Alana kuat sembari melayangkan tatapan dingin pada perempuan itu. Dia sangat marah melihat Alana keluar malam dengan membawa koper. Perempuan ini pasti ingin kabur. "Tuan, aku sudah memutuskan untuk tak menikah dengan anda dan siapapun. Mengenai kekhawatiran kalian pada reputasi Nyonya Zahra, a--aku … aku bisa pergi," ucap Alana, mendongak dan menatap serius kepada Raka. Dia membiarkan pria itu mencengkram pundaknya. Meskipun sakit dia menahannya, tak ingin terlihat lemah ataupun ketakutan oleh sikap kasar Raka. Meski sejujurnya Alana takut. "Reputasi Zahra?" ulang Raka pelan, berkata dengan nada dingin yang penuh intimidasi. "Jadi kau berpikir reputasi Zahra akan aman semisal kau pergi?" Alana menganggukkan kepala, dengan tenang dia melepas cengkeraman Raka dari pundaknya. "Benar, Tuan. Menikah dengan anda bukan satu-satunya cara menyelamatkan nama baik Nyonya. Dengan aku pergi, itu juga bisa
"Alana, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas, menatap curiga ke arah Alana–meneliti dari atas hingga bawah. "Aku--" Alana meneguk saliva secara kasar dan susah payah, tak tahu harus menjawab apa pada Lucas. Alana begitu gugup saat melihat tatapan tajam Lucas yang mengarah padanya. "Ouh, Tuan Lucas." Untungnya Raka tiba-tiba datang, sehingga Lucas berhenti melayangkan tatapan mengintimidasi padanya. Lucas seketika menatap Raka. "Kenapa Alana ada di dalam kamarmu?" tanya Lucas pada Raka, "kalian tidak macam-macam, bukan?" "Tidak." Raka menjawab santai, "aku mulai memindahkan barang-barang Alana dalam kamarku karena setelah menikah dia akan satu kamar denganku." "Dia akan tinggal di kamarmu?" Raka mengangguk dengan tenang. "Yah, dengan begitu aku lebih mudah mengurus Alana. Wanita hamil membutuhkan banyak perhatian, Tuan." "Kalian belum menikah!" peringat Lucas, kemudian dia menoleh ke arah Alana. "Alana, sekarang juga kembali ke kamarmu. Jangan mau ditindas oleh Raka, banta
"Kau libur dari pekerjaan apapun hari ini dan kau bisa istirahat," ucap Raka pada Alana setelah mereka sampai di mansion, di mana Raka langsung menggiring Alana ke arah ranjang–isyarat agar perempuan itu segera istirahat. Alana tak mengatakan apapun. Namun, netranya tak lepas dari manik teduh Raka. Ada perasaan sakit dalam hatinya, overthinking membuat Alana lelah. Dia curiga jika Raka menikahinya karena ambisi untuk mengalahkan Marcus. Alana menyadari keanehan Raka mulai terlihat saat Alana dan Marcus semakin dekat. Alana juga tak tahu kenapa Marcus tiba-tiba bisa dekat. Namun, itu awal mula Raka bersikap aneh padanya. Raka selalu menanyakan hubungannya dengan Marcus dan terakhir kali marah hanya karena Alana berjalan berdampingan dengan Marcus. Raka kelepasan dan melecehkannya. Setelah kejadian itu, Raka seperti tak peduli lagi pada Alana. Hingga tiba-tiba Raka keukeuh menikahinya, seolah takut Marcus menikahinya. Bukankah ini ambisi Raka untuk bisa mengalahkan Marcus? Mungkin ke
Setelah Raka keluar dari kamar tersebut, Alana langsung menghela napas karena merasa lega. Dia buru-buru masuk dalam kamar untuk mengenakan pakaian. Setelah berpakaian, Alana keluar dari walk in kloset. Matanya langsung menatap susu di atas nakas. Alana mendekati susu tersebut lalu segera meminumnya. Setelan itu Alana keluar dari kamar, berniat mengantar gelas susu. Menurutnya Raka sangat baik, karena bersedia mengantar susu pada Alana. Mungkinkah Raka mulai membuka hati padanya? Mengingat pria itu juga berusaha memperbaiki lampu hias Alana yang pecah tadi malam. "Tuan Lucas sepertinya kembali ke kantor," gumam Alana pelan karena merasa sepi di rumah. Saat sudah di lantai satu dan berniat ke dapur untuk mengembalikan gelas tersebut, langkah Alana seketika berhenti. Dia menatap Raka yang tengah berpelukan dengan seorang perempuan yang Alana tak kenal sama sekali. Alana memundurkan langkah dengan tengan, bersembunyi di belakang sebuah tembok pembatas rumah. Alana menatap perempuan
"Jangan memanggilku Tuan di hadapan perempuan ini. Panggil aku sayang! Jangan membantah atau kau akan tahu akibatnya, Alana." Alana mendongak pada Raka, menatap tak percaya pada pria itu. Menyadari wajah keduanya yang begitu dekat, Alana bergerak mundur. Namun, tiba-tiba saja Raka menarik pinggangnya–memeluknya erat, sehingga Alana tak dapat kemana-mana. Sejenak, Alana merunduk, menatap tangan kekar Raka yang melingkar di pinggang nya. Perasaan aneh kembali muncul di benak Alana, sedikit kebahagiaan dan bunga dihatinya bermekaran. Alana suka meskipun Raka melakukan ini untuk sebuah tujuan atau kepentingan pribadi. "Jadi Kak Raka su--sudah menikah?" Mata Enda memanas, tersenyum getir ketika dia bersitatap dengan Alana. Awal, melihat Raka mencium perempuan ini, Enda mengira Alana hanyalah kekasih. Namun, ternyata dia salah. Alana bukan sekedar kekasih, melainkan istri. "Aku terlambat?" cicit Enda yang sudah tidak bisa berkata-kata, bahkan suaranya serak dan lemah. "Aku tidak bisa me
"Ouh, mulai peduli." Zein berkata enteng, tersenyum menjengkelkan pada Raka kemudian berjalan mendekati anak-anaknya. "Kemasi tas sekolah kalian, kita pulang."Kedua anak itu bergegas mengambil tas masing-masing. "Zein, Nail dan Aiden masih ingin bermain di sini, jangan bawa mereka pulang," ucap Raka, menatap datar ke arah Zein yang telah duduk di sebelah Alana. "Dan … ada empat kursi kosong di sini," kodenya. Zein langsung menatap sekitar, memperhatikan setiap kursi yang ada di sana. Hingga dia sadar jika dia duduk di sebelah Alana. Zein langsung menatap Raka, menaikkan sebelah alis lalu terkekeh mengejek. "Alana sudah menjadi aunty-ku. Jadi santai saja, Pak Tua," ejek Zein, berdecis geli di akhir kalimat. Lucu juga pamannya. Menolak mengakui perasaannya pada Alana akan tetapi, Zein duduk di sebelah Alana saja Raka sudah terlihat kebakaran. Bodoh! Padahal Raka tahu betapa seorang Zein sangat menggilai Zahra-nya, tak bisa diduakan dan tak akan berpaling juga. Namun, karena menghar