"Ouh, mulai peduli." Zein berkata enteng, tersenyum menjengkelkan pada Raka kemudian berjalan mendekati anak-anaknya. "Kemasi tas sekolah kalian, kita pulang."Kedua anak itu bergegas mengambil tas masing-masing. "Zein, Nail dan Aiden masih ingin bermain di sini, jangan bawa mereka pulang," ucap Raka, menatap datar ke arah Zein yang telah duduk di sebelah Alana. "Dan … ada empat kursi kosong di sini," kodenya. Zein langsung menatap sekitar, memperhatikan setiap kursi yang ada di sana. Hingga dia sadar jika dia duduk di sebelah Alana. Zein langsung menatap Raka, menaikkan sebelah alis lalu terkekeh mengejek. "Alana sudah menjadi aunty-ku. Jadi santai saja, Pak Tua," ejek Zein, berdecis geli di akhir kalimat. Lucu juga pamannya. Menolak mengakui perasaannya pada Alana akan tetapi, Zein duduk di sebelah Alana saja Raka sudah terlihat kebakaran. Bodoh! Padahal Raka tahu betapa seorang Zein sangat menggilai Zahra-nya, tak bisa diduakan dan tak akan berpaling juga. Namun, karena menghar
"Maaf, Tuan-- maksudku Ra--Ra- …""Raka!" ucap Raka menyentak, tak sabaran dan greget dengan Alana yang kesulitan menyebut namanya. "Sebut namaku sepuluh kali baru mobil akan ku jalankan," titah Raka selanjutnya, tiba-tiba menghentikan mobil. Alana meneguk saliva secara kasar. Menyebut pria ini sepuluh kali? Ya Tuhan, satu kali saja dia tidak bisa. "Cepat," desak Raka. "Ra-Raka …," cicit Alana hati-hati dan malu-malu. Hanya menyebut nama pria ini, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. "Satu," ucap Raka menghitung, menatap lurus ke depan dan menyender santai ke kursi mobil. "Raka … Raka … Raka …-" Alana cepat-cepat menyebut nama pria itu, hingga sepuluh kali. Dia terburu-buru karena takut Raka yang tak sabaran memarahinya. Setelah itu, Alana duduk kikuk karena tak tahu harus mengatakan apa. Karena Raka menatap lurus ke depan, Alana ikut-ikutab menatap ke arah depan. Saking bingungnya dia. "Katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi," ucap Raka, menyalakan mobil lalu segera melaj
Alana tersenyum pada Enda, cukup salut pada Zahra yang dengan sigap memperkenalkan dirinya sebagai istri Raka pada perempuan ini. Meskipun sudah pernah datang ke mansion dan sudah pernah bertemu dengan perempuan itu, tetapi Alana tetap memperkenalkan diri pada Enda. "Hai, aku Alana David--" Ucapan Alana dipotong begitu saja oleh Zahra. "Alana Melviano," ralat Zahra, senyum paksa pada Alana untuk memperingatinya. Sekarang Alana bukan seorang David lagi, melainkan Melviano. Lagipula marga David adalah marga-- bisa dibilang sumbangan pada semua anak buah Lucas. Sengaja untuk memberikan mereka identitas dan nama belakang. Alana tersenyum kikuk, benar-benar salah tingkah saat Zahra menyebut namanya adalah Alana Melviano. "Oh-oh. Aku Enda," ucap Enda memperkenalkan diri secara singkat, tak semangat seperti tadi. Alana duduk di sebelah Zahra, lalu keduanya mengobrol bersama. Tentunya Enda tetap ikut. Mengingat sesuatu, Zahra mencoba menyinggungnya. "Oh iya, Tante Enda. Jika boleh tahu
"Ti-tidak perlu, Nyonya dan Tuan. Aku …-""Nggak apa-apa, Alana. Sini," ucap Zahra, menarik Alana untuk segera duduk dan bergabung dengan mereka. Alana begitu kikuk, terlebih Zein terlihat kusut dan kesal. Pasti Alana sangat mengganggu momen antara keduanya. Ah ya Tuhan! 'Apa aku hubungi Tuan Raka saja yah? Dengan begitu aku bisa pulang bersamanya dan aku punya alasan ingin berkencan dengan Tuan Raka. Kasihan Tuan Zein, sudah murung seperti anak kecil tak dikasih permen.' batin Alana, diam-diam mengirim pesan supaya Raka secepatnya menjemputnya. "Kamu darimana, Alana?" tanya Zahra dengan nada ceria. Zahra sangat senang karena Zein membawanya keluar rumah, ini pertama kalinya Zein membawanya jalan-jalan secara sederhana di kota mereka. Zahra lebih suka momen-momen seperti ini. Sangat berkesan bagi Zahra!"Aku sehabis membeli buah-buahan dengan rasa yang masam. Nyonya mau?" tawar Alana–Zahra menganggukkan kepala antusias. Zein memijit pangkal hidung, memperhatikan istrinya yang kini
Alana tertegun mendengar perkataan Raka, dia terdiam dan hanya menatap terkejut pada Raka. Pria ini memikirkannya bahkan merasa bersalah karena terlalu sibuk selama beberapa hari ini. Cara Raka yang seperti ini membuat Alana merasa dirinya sedang dicintai secara luar biasa oleh Raka. Namun, bukankah ini hanya ilusi semata? Raka tidak mencintainya dan di hati pria ini masih ada Zahra. 'Bagaimana jika aku memperjuangan cintaku? Apakah aku mampu menggantikan posisi Nyonya di hati Tuan Raka?' batin Alana, masih diam karena tertegun oleh Raka. "Bagaimana? Kau ingin ke mana jadinya?" tanya Raka. Alana tersentak, reflek mengerjab beberapa kali kemudian memilih menghadap lurus ke depan. Meskipun Raka menawarkan dan ini peluang untuk Alana berduaan dengan Raka, tetapi Alana tak akan mengambil kesempatan ini. Suaminya jelas terlihat lelah. "Aku tidak ingin kemana-mana, kita pulang saja, Raka," jawab Alana dengan nada pelan. "Baiklah, kita ke pantai," jawab Raka tiba-tiba, menyalakan mesin
"Tolong jangan datang kemari, Tuan. Aku sedang tidak ingin dekat-dekat denganmu," ucap Alana dengan nada halus dan terkesan lembut, berhasil menghentikan langkah Raka serta menyinggung ego pria itu. Raka sangat tidak suka dengan sikap Alana yang seolah anti padanya. Mereka sudah menikah dan Alana juga tengah mengandung anaknya! Bukannya semakin lengket dengannya, Alana punya banyak cara untuk menciptakan jarak. Seolah Raka adalah kuman! Raka yang sempat berhenti kembali melanjutkan langkah, tak peduli dengan penolakan Alana. "Ini kamarku, terserah aku ingin kemana," jawab Raka setelah berada di sebelah Alana. "Kau sepertinya ada masalah denganku, katakan ada apa?" Alana mengerjap beberapa kali, tertohok oleh ucapan Raka yang menyebut 'ini kamarku. Memang! Ini adalah kamar Raka, tetapi Alana istrinya dan Alana berhak. 'Ah, aku sepertinya terbawa hormon kehamilan. Rasanya aku mudah sakit hati dengan sikap Tuan Raka. Aku sangat baperan. Hanya masalah kata 'kamarku' yang Tuan ucapkan
"Mengenai aku menikahimu karena bayi di perutmu, kau salah," ucap Raka, menatap Alana dengan tampang muka serius. Matanya memancar dan sama sekali tak ada kebohongan di sana. Alana terdiam beberapa saat, tertegun mendengar perkataan Raka. Dia membalas tatapan pria itu, menatap Raka berat dan teliti. Dia ingin melihat kebohongan di sana, akan tetapi Alana tak menemukan. Benarkah dia dinikahi bukan karena bayi di perutnya? Lalu jika memang tidak, kenapa perhatian Raka hanya ditunjukkan pada bayi ini. Sungguh! Alana adalah wanita kejam karena sempat iri pada bayi dalam perutnya sendiri. Bayi ini hadir atas sebuah kesalahan, akan tetapi dia sangat dinantikan dan diharapkan. Sedangkan Alana?! "Lalu kenapa Tuan menikahiku? Dan pertanyaanku yang lain … kenapa anda menyentuhku saat itu? Aku melakukan kesalahan apa?" tanya Alana pelan, spontan begitu saja. Entah kenapa sebuah keberanian muncul dalam dirinya, mendorong Alana supaya menanyakan hal-hal tersebut.Namun, dia memang sudah lama pe
Paginya, setelah menyiapkan pakaian kerja untuk Raka, Alana memutuskan keluar dari kamar. Dia ingin menyiapkan bekal juga pada suaminya. Meskipun pernikahan ini masih membingungkan bagi Alana, akan tetapi dia memilih menikmati. Alana ingin serius dengan pernikahan ini, Raka adalah pria yang dia cintai dan menjadi istri pria itu pernah menjadi mimpinya.Alana menghentikan langkah saat melewati kamarnya, pekerja masuk ke sana–seperti sedang pindah-pindah. Karena penasaran dan takut kamarnya diotak-atik, Alana memilih masuk ke dalam. "Ya Tuhan." Alana memekik pelan, memegang kedua sisi kepala dengan ekspresi kaget. Betapa terkejutnya dia saat melihat kamar yang telah dirombak. Tak ada ranjangnya lagi di sana! Dan saat ini pekerja sedang sibuk memasang sebuah rak besar. "Kalian--" Alana setengah memekik dan menjerit, berusaha menghentikan para pekerja. "Apa yang kalian lakukan pada kamarku?! Berhenti!" pekik Alana. Para pekerja itu berhenti, menatap Alana dengan tampang muka tak enak