Paginya, setelah menyiapkan pakaian kerja untuk Raka, Alana memutuskan keluar dari kamar. Dia ingin menyiapkan bekal juga pada suaminya. Meskipun pernikahan ini masih membingungkan bagi Alana, akan tetapi dia memilih menikmati. Alana ingin serius dengan pernikahan ini, Raka adalah pria yang dia cintai dan menjadi istri pria itu pernah menjadi mimpinya.Alana menghentikan langkah saat melewati kamarnya, pekerja masuk ke sana–seperti sedang pindah-pindah. Karena penasaran dan takut kamarnya diotak-atik, Alana memilih masuk ke dalam. "Ya Tuhan." Alana memekik pelan, memegang kedua sisi kepala dengan ekspresi kaget. Betapa terkejutnya dia saat melihat kamar yang telah dirombak. Tak ada ranjangnya lagi di sana! Dan saat ini pekerja sedang sibuk memasang sebuah rak besar. "Kalian--" Alana setengah memekik dan menjerit, berusaha menghentikan para pekerja. "Apa yang kalian lakukan pada kamarku?! Berhenti!" pekik Alana. Para pekerja itu berhenti, menatap Alana dengan tampang muka tak enak
Raka memang memperhatikannya tetapi bukan karena semata-mata untuknya. Dan lelaki soft serta perhatian? Yah, tetapi itu hanya berlaku untuk Zahra. Raka tidak demi kian padanya. Tak lama makanan datang, Alana dan Zahra makan bersama sembari mengobrol. Setelah itu mereka lanjut berbelanja bersama. Mereka tidak menelusuri semua bagian dari pusat perbelanjaan, hanya sedikit yang mereka kunjungi. Kedua wanita ini sedang hamil! "Aku ingin ke toko sebelah, apa Nyonya tidak masalah kutinggal sebentar? Barangnya incaranku dan aku takut diambil orang. Maaf …," pinta Alana pada Zahra, dia sangat ingin ke toko sebelah. Ada sebuah tas cantik berwarna putih tulang yang menarik perhatian Alana, brand Seliza dan dirancang oleh idola Alana. Yah, sang Nyonya. Zahra Aurelia Melviano!Sebagai bentuk dukungan pada karya sang nyonya, tentu Alana harus membeli dan bukan meminta-minta supaya diberi. Alana sudah mengincar lama, tetapi sulit mendapatkannya karena termasuk sangat mahal baginya. Sekarang tabu
"Kamu sedang bekerja, aku tidak mungkin mengganggu," jawab Alana, melepas paksa pelukan Raka. Dia tersenyum tipis pada pria itu, seolah tak merasakan apapun–menutupi perih di hatinya kemudian meraih tas yang jatuh di lantai. Alana mengembalikan tas itu pada pelayan. "Bagian ujung Scarf-nya rusak, Kak. Mungkin terkena anting atau gelang adiknya saat jatuh tadi," ucap Alana lembut, memperlihatkan bagian Scarf yang rusak. Tas tersebut memang memiliki Scarf yang diikat di pegangan tas. Bisa dicopot apabila pemiliknya ingin tampilan tas yang lebih elegan. "Ah, bagaimana ini? Scarf-nya juga mahal," gumam pelayan tersebut, terlihat panik dan gunda secara bersamaan. 'Alana terlihat tak cemburu dan dia sangat tenang.' batin Raka, mengepalkan tangan karena melihat betapa santainya Alana saat sekarang. Dia bahkan sangat khawatir pada Alana, takut perempuan ini salah paham dan cemburu karena Raka datang bersama Enda. Namun, rasanya kekhawatiran Raka tak berlandaskan. Alana sama sekali tak p
Alana terdiam, merasakan dadanya yang sesak dan sakit. Hampir saja dia menitihkan air mata, namun …-"Kenapa hanya diam?! Ambil tasmu dan berhenti melamun," tegur Raka, mengerutkan kening pada istrinya. Sejak tadi pelayan toko terus memanggil Alana akan tetapi istrinya sama sekali tak menyahut, hanya diam bak manekin. Sial, jangan-jangan istrinya kelelahan. Alana sedang hamil, dan dari yang Raka tahu wanita yang sedang hamil sangat mudah lelah dan jenuh. Alana tersentak, menoleh ke arah sebelah lalu buru-buru mengambil tas yang sudah dikemas rapi tersebut. Alana tersenyum kikuk pada pelayan, merasa malu dengan kebodohannya sendiri. Dia mengira Raka memanggilnya untuk menyerahkan tas ini pada Raisa. Ya Tuhan! Ternyata karena Alana bengong dan tak sadar jika peyalan sedang memanggilnya. "Aku sudah selesai jadi aku duluan, Raka," ucap Alana selanjutnya pada Raka, "terimakasih untuk tasnya," lanjut Alana sembari tersenyum tipis, lalu segera beranjak dari sana. Sebelum benar-benar pe
Pada akhirnya Alana belanja ditemani oleh Raka, dan dia pulang bersama Raka. Sedangkan Zahra, nyonya-nya tersebut dibawa oleh Zein. Setelah di mansion, Alana rasanya ingin bertanya pada Raka kenapa bisa bersama Enda saat di pusat perbelanjaan dan untuk apa dia di sana, akan tetapi pertanyaan tersebut ia urungkan karena Zahra dan Zein ternyata pulang ke mansion. 'Untuk apa Zein membawa Marcus ke sini?' batin Raka, menatap sinis dan kesal pada Marcus yang tengah duduk di sebuah kursi–outdoor samping, bersama yang lainnya. Marcus terlihat merakit sebuah robot, membantu Nail yang terlihat duduk di sebelah pria itu. "Alana," seru Zahra senang ketika melihat Alana di sana. "Hai, Nyonya," sapa Alana balik, kembali memanggil Alana nyonya karena ada banyak orang di sini. Dia hanya berani memanggil nama Zahra secara langsung saat mereka berdua saja. "Alana, panggil Zahra saja," tegur Zahra tak enak. Selain karena mereka bersantai, juga karena Alana sekarang merupakan istri dari Raka–yang m
Setelah Zein dan Zahra pulang, Alana memilih pergi ke kamar. Dia sudah tidak punya kegiatan dan dia berniat istirahat. Lucas mungkin akan pulang larut malam sehingga Nail dan Aiden ikut kembali dengan orangtuanya. Andai mereka di sini, Alana tak akan kesepian. Namun, bagaimana dia akan menghentikan Zahra membawa Nail dan Aiden? Zahra adalah ibunya dan dia lebih berhak dibandingkan Alana. "Nyonya telah punya anak yang bisa diajak bermain. Tuan muda Nail dan Tuan Aiden juga sangat baik, mereka sangat menyenangkan. Pasti Nyonya tak akan kesepian meskipun Tuan Zein tidak pulang seharian," gumam Alana yang akan berbaring di ranjang. Namun, niatan tersebut ia urungkan ketika melihat sebuah lampu hias yang mirip dengan lampu yang pecah kemarin, berada di atas nakas–sebelah ranjang. Alana duduk di pinggir ranjang, meraih lampu hias tersebut sembari tersenyum lembut. Pasti ini dari Raka. "Tuan sangat aneh." Alana bergumam pelan, hanya melihat lampu ini, rasanya Alana sangat bahagia.
"Tolong jangan melakukannya karena kemarahan." Alana menatap memohon pada Raka. Meskipun dia senang suaminya menginginkannya, akan tetapi dia sedih karena Raka ingin karena tersulut emosi. "Jika kau menurut, aku tidak akan kasar," balas Raka, melayangkan tatapan penuh peringatan supaya Alana tak menolak. Dia melakukan karena marah? Bisa dikatakan begitu. Namun, dia sudah lama ingin hanya saja menahan diri karena Alana hamil dan mungkin membencinya karena Raka merampas mahkotanya. Sekarang Raka punya alasan, menjadikan amarah supaya bisa mendapatkan yang dia inginkan. Alana menganggukkan kepala. Sejujurnya dia merasa sangat murah karena membiarkan Raka menyentuhnya tanpa ada rasa dan diliputi oleh kemarahan. Akan tetapi Alana cukup senang, merasa jika Raka menginginkannya. Pria ini adalah orang yang merampas mahkotanya secara keji. Tetapi setelah itu pria ini mendesak untuk menikahinya. Setelah menikah, Alana sering bertanya-tanya di kepalanya. Mereka sudah menikah tetapi Raka tak p
"Ta-tapi semua orang tahu jika kamu menyimpan perasaan pada Nyonya Zahra," cicit Alana, takut jika ini hanya ilusi semata. Raka terdiam sejenak setelah mendengar penuturan dari Alana. Itu benar! Semua orang tahu dia pernah menyukai Zahra, dan dia bahkan pernah memerintah Alana supaya bersikap sangat baik pada Zahra selama Alana menjadi sekretaris Zahra–menegaskan pada Alana jika Zahra adalah perempuan yang spesial untuknya. "Itu benar," ucap Raka datar, "tetapi sekarang tidak lagi," lanjutnya. Alana menganggukkan kepala, tersenyum hambar dan memilih larut dalam pikiran sendiri. Dia sangat senang Raka mengutarakan perasaan padanya, dia berdebar kencang dan rasanya seperti terbang di langit. Namun, ketika dia menyinggung Zahra, kenapa Raka berubah datar? Jawaban pria ini juga tak memuaskan. Apa memang benar jika Raka hanya menciptakan ilusi, perkataannya tentang rasa sukanya pada Alana hanyalah bullshit?! "Kau tidak senang." Raka meletakkan handuk dan pengering rambut di tempat yan