Pada akhirnya Alana belanja ditemani oleh Raka, dan dia pulang bersama Raka. Sedangkan Zahra, nyonya-nya tersebut dibawa oleh Zein. Setelah di mansion, Alana rasanya ingin bertanya pada Raka kenapa bisa bersama Enda saat di pusat perbelanjaan dan untuk apa dia di sana, akan tetapi pertanyaan tersebut ia urungkan karena Zahra dan Zein ternyata pulang ke mansion. 'Untuk apa Zein membawa Marcus ke sini?' batin Raka, menatap sinis dan kesal pada Marcus yang tengah duduk di sebuah kursi–outdoor samping, bersama yang lainnya. Marcus terlihat merakit sebuah robot, membantu Nail yang terlihat duduk di sebelah pria itu. "Alana," seru Zahra senang ketika melihat Alana di sana. "Hai, Nyonya," sapa Alana balik, kembali memanggil Alana nyonya karena ada banyak orang di sini. Dia hanya berani memanggil nama Zahra secara langsung saat mereka berdua saja. "Alana, panggil Zahra saja," tegur Zahra tak enak. Selain karena mereka bersantai, juga karena Alana sekarang merupakan istri dari Raka–yang m
Setelah Zein dan Zahra pulang, Alana memilih pergi ke kamar. Dia sudah tidak punya kegiatan dan dia berniat istirahat. Lucas mungkin akan pulang larut malam sehingga Nail dan Aiden ikut kembali dengan orangtuanya. Andai mereka di sini, Alana tak akan kesepian. Namun, bagaimana dia akan menghentikan Zahra membawa Nail dan Aiden? Zahra adalah ibunya dan dia lebih berhak dibandingkan Alana. "Nyonya telah punya anak yang bisa diajak bermain. Tuan muda Nail dan Tuan Aiden juga sangat baik, mereka sangat menyenangkan. Pasti Nyonya tak akan kesepian meskipun Tuan Zein tidak pulang seharian," gumam Alana yang akan berbaring di ranjang. Namun, niatan tersebut ia urungkan ketika melihat sebuah lampu hias yang mirip dengan lampu yang pecah kemarin, berada di atas nakas–sebelah ranjang. Alana duduk di pinggir ranjang, meraih lampu hias tersebut sembari tersenyum lembut. Pasti ini dari Raka. "Tuan sangat aneh." Alana bergumam pelan, hanya melihat lampu ini, rasanya Alana sangat bahagia.
"Tolong jangan melakukannya karena kemarahan." Alana menatap memohon pada Raka. Meskipun dia senang suaminya menginginkannya, akan tetapi dia sedih karena Raka ingin karena tersulut emosi. "Jika kau menurut, aku tidak akan kasar," balas Raka, melayangkan tatapan penuh peringatan supaya Alana tak menolak. Dia melakukan karena marah? Bisa dikatakan begitu. Namun, dia sudah lama ingin hanya saja menahan diri karena Alana hamil dan mungkin membencinya karena Raka merampas mahkotanya. Sekarang Raka punya alasan, menjadikan amarah supaya bisa mendapatkan yang dia inginkan. Alana menganggukkan kepala. Sejujurnya dia merasa sangat murah karena membiarkan Raka menyentuhnya tanpa ada rasa dan diliputi oleh kemarahan. Akan tetapi Alana cukup senang, merasa jika Raka menginginkannya. Pria ini adalah orang yang merampas mahkotanya secara keji. Tetapi setelah itu pria ini mendesak untuk menikahinya. Setelah menikah, Alana sering bertanya-tanya di kepalanya. Mereka sudah menikah tetapi Raka tak p
"Ta-tapi semua orang tahu jika kamu menyimpan perasaan pada Nyonya Zahra," cicit Alana, takut jika ini hanya ilusi semata. Raka terdiam sejenak setelah mendengar penuturan dari Alana. Itu benar! Semua orang tahu dia pernah menyukai Zahra, dan dia bahkan pernah memerintah Alana supaya bersikap sangat baik pada Zahra selama Alana menjadi sekretaris Zahra–menegaskan pada Alana jika Zahra adalah perempuan yang spesial untuknya. "Itu benar," ucap Raka datar, "tetapi sekarang tidak lagi," lanjutnya. Alana menganggukkan kepala, tersenyum hambar dan memilih larut dalam pikiran sendiri. Dia sangat senang Raka mengutarakan perasaan padanya, dia berdebar kencang dan rasanya seperti terbang di langit. Namun, ketika dia menyinggung Zahra, kenapa Raka berubah datar? Jawaban pria ini juga tak memuaskan. Apa memang benar jika Raka hanya menciptakan ilusi, perkataannya tentang rasa sukanya pada Alana hanyalah bullshit?! "Kau tidak senang." Raka meletakkan handuk dan pengering rambut di tempat yan
Sedangkan Alana, dia menatap terkejut bercampur gugup. Namun, dia bertanya-tanya, Raka kenapa? Sejujurnya Alana merinding, was-was dengan sikap aneh Raka. Namun, meskipun begitu Alana tak menolak untuk disuapi oleh Raka. Dia membiarkannya dan menerimanya. 'Apa karena ada Tuan Lucas, oleh sebab itu Tuan Raka bersikap seperti ini padaku? Tetapi apa hubungannya sikap Tuan Raka yang seperti ini dengan Tuan Lucas. Hah, Pria sangat membingungkan.' batin Alana, memperhatikan Raka yang menyuapinya dengan serius. ***"Tuan Lucas kenapa yah menjadi baik sekali padaku?" gumam Alana, di mana saat ini dia sedang di dalam perpustakaan mini yang Lucas buatkan untuknya–kamar Alana yang dulu. "Tadi pagi dia menyuapiku makan dan … saat berangkat bekerja, dia mengecup keningku. Dia memperlakukanku selayaknya seorang suami yang mencintai istrinya." Alana menutup buku yang dia baca, "apa benar dia mencintaiku atau ini bagian ilusi?" Alana benar-benar bingung. Semisal Raka memang mencintainya maka Ala
Raka seketika itu juga menatap ke arah Alana. Wajahnya yang penuh kemarahan serta api cemburu langsung padam, berganti dengan raut muka riang. Akan tetapi ada perasaan bersalah yang memancar di matanya. "Kau membawaku makan siang?" ucap Raka. Nadanya berubah lembut, tangannya yang mencekal kuat lengan Kina berakhir membelai pipi istrinya. "Aku berniat untuk pulang, Tuan," jawab Alana lirih dan pelan, dia terlanjur sakit hati karena Raka memarahinya di depan banyak orang. Raka menggelengkan kepala. "Makan sianglah denganku baru kau ku antar pulang," ucapnya yang kini telah memeluk pinggang Alana secara mesra. Raka tersenyum manis, membawa istrinya dari sana–tanpa mengatakan apapun pada Marcus. Enda mengepalkan tangan kasar, langsung berlari untuk mengejar Raka dan Alana. Sial! Dia tidak akan membiarkan Alana makan siang berdua dengan Raka. Enda! Hanya Enda yang boleh makan siang dengan pria itu. Raka miliknya! "Kak Raka, kamu sudah berjanji makan siang denganku dan putriku. Bagaim
"Dia sudah tidak punya suami, putrinya sedang sakit parah dan putranya mogok bicara semenjak perceraian Enda dengan suaminya," jelas Raka yang sama sekali tak ingin istrinya salah paham mengenai hal tadi. Alana tersenyum simpul padanya, "aku tidak salah paham, Raka." "Baguslah." Raka berkata dongkol, dia memang tak ingin Alana salah paham. Akan tetapi kenapa rasanya menyebalkan melihat respon Alana yang datar begini? Dia ingin melihat Alana cemburu, pertanda jika istrinya merasakan perasaan yang sama dengannya. "Ada yang kurang dengan masakanmu," ucap Raka tiba-tiba. Alana seketika menatap panik pada Raka, alisnya terangkat dan matanya melebar. Benarkah ada yang kurang dari masakannya? Sungguh, Alana memasak dengan sangat hati-hati dan penuh cinta. Ini hidangan untuk suaminya, Alana begitu mempersiapkannya. Tak ada yang Alana lewatkan. Tetapi … mungkinkah rasanya yang kurang bagi Raka? Tidak pas di lidah suaminya? "Coba saja kau menyuapiku, mungkin rasanya akan jauh lebih nikmat.
'Mungkin sama dengan makanan ini, aku akan dicampakkan dengan mudah olehnya.' batin Alana, merasakan sesak di dalam sana. Perih! Ketika ingin menutup bekal, Alana kembali menatap bekal yang dia buat. Tangisannya kembali pecah, air matanya berjatuhan dengan deras–tak tega melihat hasil masakannya menjadi sia-sia begini. Demi Tuhan! Saat dia memasak ini, senyumannya tak henti pudar. Dia membayangkan wajah bahagia Raka ketika menyantap hasil masakannya ini. Dia senang karena Raka memilih makan siang denganya dibandingkan Enda. Tetapi semuanya ilusi! Raka pada akhirnya meninggalkannya di sini. Alana menggembungkan pipi dan mengepakkan tangan, berusaha menahan isakan serta tangisannya. "Untuk apa aku menangis? Cu-cuma makanan doang," gumamnya menguatkan diri. "Aku terlalu lebay," lanjutnya, meraih kotak bekal lalu berjalan ke arah tempat sampah. "Orang lama selalu menang," ucapnya pelan, menatap kotak bekal tersebut dengan perasaan tak rela. Apa dia makan saja sisanya? Sungguh
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s