"Alana, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lucas, menatap curiga ke arah Alana–meneliti dari atas hingga bawah. "Aku--" Alana meneguk saliva secara kasar dan susah payah, tak tahu harus menjawab apa pada Lucas. Alana begitu gugup saat melihat tatapan tajam Lucas yang mengarah padanya. "Ouh, Tuan Lucas." Untungnya Raka tiba-tiba datang, sehingga Lucas berhenti melayangkan tatapan mengintimidasi padanya. Lucas seketika menatap Raka. "Kenapa Alana ada di dalam kamarmu?" tanya Lucas pada Raka, "kalian tidak macam-macam, bukan?" "Tidak." Raka menjawab santai, "aku mulai memindahkan barang-barang Alana dalam kamarku karena setelah menikah dia akan satu kamar denganku." "Dia akan tinggal di kamarmu?" Raka mengangguk dengan tenang. "Yah, dengan begitu aku lebih mudah mengurus Alana. Wanita hamil membutuhkan banyak perhatian, Tuan." "Kalian belum menikah!" peringat Lucas, kemudian dia menoleh ke arah Alana. "Alana, sekarang juga kembali ke kamarmu. Jangan mau ditindas oleh Raka, banta
"Kau libur dari pekerjaan apapun hari ini dan kau bisa istirahat," ucap Raka pada Alana setelah mereka sampai di mansion, di mana Raka langsung menggiring Alana ke arah ranjang–isyarat agar perempuan itu segera istirahat. Alana tak mengatakan apapun. Namun, netranya tak lepas dari manik teduh Raka. Ada perasaan sakit dalam hatinya, overthinking membuat Alana lelah. Dia curiga jika Raka menikahinya karena ambisi untuk mengalahkan Marcus. Alana menyadari keanehan Raka mulai terlihat saat Alana dan Marcus semakin dekat. Alana juga tak tahu kenapa Marcus tiba-tiba bisa dekat. Namun, itu awal mula Raka bersikap aneh padanya. Raka selalu menanyakan hubungannya dengan Marcus dan terakhir kali marah hanya karena Alana berjalan berdampingan dengan Marcus. Raka kelepasan dan melecehkannya. Setelah kejadian itu, Raka seperti tak peduli lagi pada Alana. Hingga tiba-tiba Raka keukeuh menikahinya, seolah takut Marcus menikahinya. Bukankah ini ambisi Raka untuk bisa mengalahkan Marcus? Mungkin ke
Setelah Raka keluar dari kamar tersebut, Alana langsung menghela napas karena merasa lega. Dia buru-buru masuk dalam kamar untuk mengenakan pakaian. Setelah berpakaian, Alana keluar dari walk in kloset. Matanya langsung menatap susu di atas nakas. Alana mendekati susu tersebut lalu segera meminumnya. Setelan itu Alana keluar dari kamar, berniat mengantar gelas susu. Menurutnya Raka sangat baik, karena bersedia mengantar susu pada Alana. Mungkinkah Raka mulai membuka hati padanya? Mengingat pria itu juga berusaha memperbaiki lampu hias Alana yang pecah tadi malam. "Tuan Lucas sepertinya kembali ke kantor," gumam Alana pelan karena merasa sepi di rumah. Saat sudah di lantai satu dan berniat ke dapur untuk mengembalikan gelas tersebut, langkah Alana seketika berhenti. Dia menatap Raka yang tengah berpelukan dengan seorang perempuan yang Alana tak kenal sama sekali. Alana memundurkan langkah dengan tengan, bersembunyi di belakang sebuah tembok pembatas rumah. Alana menatap perempuan
"Jangan memanggilku Tuan di hadapan perempuan ini. Panggil aku sayang! Jangan membantah atau kau akan tahu akibatnya, Alana." Alana mendongak pada Raka, menatap tak percaya pada pria itu. Menyadari wajah keduanya yang begitu dekat, Alana bergerak mundur. Namun, tiba-tiba saja Raka menarik pinggangnya–memeluknya erat, sehingga Alana tak dapat kemana-mana. Sejenak, Alana merunduk, menatap tangan kekar Raka yang melingkar di pinggang nya. Perasaan aneh kembali muncul di benak Alana, sedikit kebahagiaan dan bunga dihatinya bermekaran. Alana suka meskipun Raka melakukan ini untuk sebuah tujuan atau kepentingan pribadi. "Jadi Kak Raka su--sudah menikah?" Mata Enda memanas, tersenyum getir ketika dia bersitatap dengan Alana. Awal, melihat Raka mencium perempuan ini, Enda mengira Alana hanyalah kekasih. Namun, ternyata dia salah. Alana bukan sekedar kekasih, melainkan istri. "Aku terlambat?" cicit Enda yang sudah tidak bisa berkata-kata, bahkan suaranya serak dan lemah. "Aku tidak bisa me
"Ouh, mulai peduli." Zein berkata enteng, tersenyum menjengkelkan pada Raka kemudian berjalan mendekati anak-anaknya. "Kemasi tas sekolah kalian, kita pulang."Kedua anak itu bergegas mengambil tas masing-masing. "Zein, Nail dan Aiden masih ingin bermain di sini, jangan bawa mereka pulang," ucap Raka, menatap datar ke arah Zein yang telah duduk di sebelah Alana. "Dan … ada empat kursi kosong di sini," kodenya. Zein langsung menatap sekitar, memperhatikan setiap kursi yang ada di sana. Hingga dia sadar jika dia duduk di sebelah Alana. Zein langsung menatap Raka, menaikkan sebelah alis lalu terkekeh mengejek. "Alana sudah menjadi aunty-ku. Jadi santai saja, Pak Tua," ejek Zein, berdecis geli di akhir kalimat. Lucu juga pamannya. Menolak mengakui perasaannya pada Alana akan tetapi, Zein duduk di sebelah Alana saja Raka sudah terlihat kebakaran. Bodoh! Padahal Raka tahu betapa seorang Zein sangat menggilai Zahra-nya, tak bisa diduakan dan tak akan berpaling juga. Namun, karena menghar
"Maaf, Tuan-- maksudku Ra--Ra- …""Raka!" ucap Raka menyentak, tak sabaran dan greget dengan Alana yang kesulitan menyebut namanya. "Sebut namaku sepuluh kali baru mobil akan ku jalankan," titah Raka selanjutnya, tiba-tiba menghentikan mobil. Alana meneguk saliva secara kasar. Menyebut pria ini sepuluh kali? Ya Tuhan, satu kali saja dia tidak bisa. "Cepat," desak Raka. "Ra-Raka …," cicit Alana hati-hati dan malu-malu. Hanya menyebut nama pria ini, jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. "Satu," ucap Raka menghitung, menatap lurus ke depan dan menyender santai ke kursi mobil. "Raka … Raka … Raka …-" Alana cepat-cepat menyebut nama pria itu, hingga sepuluh kali. Dia terburu-buru karena takut Raka yang tak sabaran memarahinya. Setelah itu, Alana duduk kikuk karena tak tahu harus mengatakan apa. Karena Raka menatap lurus ke depan, Alana ikut-ikutab menatap ke arah depan. Saking bingungnya dia. "Katakan apa yang ingin kau bicarakan tadi," ucap Raka, menyalakan mobil lalu segera melaj
Alana tersenyum pada Enda, cukup salut pada Zahra yang dengan sigap memperkenalkan dirinya sebagai istri Raka pada perempuan ini. Meskipun sudah pernah datang ke mansion dan sudah pernah bertemu dengan perempuan itu, tetapi Alana tetap memperkenalkan diri pada Enda. "Hai, aku Alana David--" Ucapan Alana dipotong begitu saja oleh Zahra. "Alana Melviano," ralat Zahra, senyum paksa pada Alana untuk memperingatinya. Sekarang Alana bukan seorang David lagi, melainkan Melviano. Lagipula marga David adalah marga-- bisa dibilang sumbangan pada semua anak buah Lucas. Sengaja untuk memberikan mereka identitas dan nama belakang. Alana tersenyum kikuk, benar-benar salah tingkah saat Zahra menyebut namanya adalah Alana Melviano. "Oh-oh. Aku Enda," ucap Enda memperkenalkan diri secara singkat, tak semangat seperti tadi. Alana duduk di sebelah Zahra, lalu keduanya mengobrol bersama. Tentunya Enda tetap ikut. Mengingat sesuatu, Zahra mencoba menyinggungnya. "Oh iya, Tante Enda. Jika boleh tahu
"Ti-tidak perlu, Nyonya dan Tuan. Aku …-""Nggak apa-apa, Alana. Sini," ucap Zahra, menarik Alana untuk segera duduk dan bergabung dengan mereka. Alana begitu kikuk, terlebih Zein terlihat kusut dan kesal. Pasti Alana sangat mengganggu momen antara keduanya. Ah ya Tuhan! 'Apa aku hubungi Tuan Raka saja yah? Dengan begitu aku bisa pulang bersamanya dan aku punya alasan ingin berkencan dengan Tuan Raka. Kasihan Tuan Zein, sudah murung seperti anak kecil tak dikasih permen.' batin Alana, diam-diam mengirim pesan supaya Raka secepatnya menjemputnya. "Kamu darimana, Alana?" tanya Zahra dengan nada ceria. Zahra sangat senang karena Zein membawanya keluar rumah, ini pertama kalinya Zein membawanya jalan-jalan secara sederhana di kota mereka. Zahra lebih suka momen-momen seperti ini. Sangat berkesan bagi Zahra!"Aku sehabis membeli buah-buahan dengan rasa yang masam. Nyonya mau?" tawar Alana–Zahra menganggukkan kepala antusias. Zein memijit pangkal hidung, memperhatikan istrinya yang kini