"Hah." Nail menghela napas, menatap Agatha yang tertidur pulas di atas sofa panjang–ruang lukis. Nail pikir Agatha meninggalkannya setelah kejadian tadi, ternyata Agatha masih di ruang lukis. Istrinya lebih memilih tidur di ruangan ini dibandingkan kembali ke kamar mereka. Nail mendekat ke arah Agatha, berjongkok di sebelah sofa–dekat wajah istrinya. Nail mengusap rambut sang istrinya, menatapnya sendu tetapi dengan rahang yang mengatup kuat. Gigi Nail bergemelutuk, tetapi dadanya panas melihat Agatha tidur di sini. Nail mendekatkan wajah ke arah kening Agatha. Cup' Dia mengecup kening Agatha, begitu kuat dan lama. Ada pancaran amarah di maniknya, tetapi ada pancaran kesedihan juga di sana. "Aku tidak ingin kau dekat pria manapun selain aku," ucap Nail pelan, meraih tubuh Agatha kemudian membawa perempuan itu ke kamar mereka. Nail menggendong Agatha secara bridal style. *** Agatha terbangun dan dia sudah dalam kamar. Jantungnya langsung berdebar kencang, tubuhnya seketi
Almira menatap lukisan putrinya yang telah rusak. Dia belum melihat karya Agatha secara langsung, hanya melihat dari foto–hasil kiriman asistennya semalam. Hari ini meskipun sibuk di kantor suaminya, tetapi Almira menyempatkan diri ke galeri untuk melihat lukisan putrinya secara langsung. Namun, lukisan tersebut telah rusak. Hati Almira meringis dan pedih melihat lukisan yang rusak tersebut. Sebagai seorang pelukis, dia sesak dan sedih. Namun, saat menatap putrinya, kesedihan itu semakin nyata Almira rasakan. Almira berjalan cepat mendekati Agatha, lalu langsung membawa putrinya dalam pelukannya. "Lukisanku … rusak, Maa …," cicit Agatha, menangis dalam pelukan mamanya. Almira mengusap surai putrinya secara lembut dan halus. "Mama melihatnya, dan Mama akan mencari siapa orang yang telah merusak karya Agatha. Jangan menangis, Sayang," lembut Agatha, berusaha menenangkan putrinya. Agatha memang menganggukkan kepala, tetapi air matanya terus jatuh. Hari ini begitu kacau, peras
"Ck." Nail berdecak kesal, wajah datarnya begitu dingin dan aura mengerikan menguar dari tubuhnya. Pertama, perempuan itu kembali! Dia sepertinya perempuan tak tahu malu, karena setelah penculikan dan tragedi keji yang menimpanya, perempuan itu masih tetap berani muncul. Bodohnya, perempuan tak sadar jika kesialan yang ia terima adalah perbuatan Nail. Kedua, perempuan itu mengirim sebuah foto yang membuat Nail kesal. Nail kesal bukan karena foto yang dikirim, tetapi tindakan bodoh perempuan itu. Hell! Perempuan itu ingin memfitnah istrinya, menuduh Agatha berselingkuh dengan seorang pria yang tak lain adalah papa istrinya sendiri. Konyol!Nail menghela napas kemudian mengantongi handphonenya. "Langsung ke kamar dan mandilah," ucap Nail pada putranya. Sagara menganggukkan kepala secara patuh. Sejujurnya dia ingin menemui mommynya, karena Sagara begitu merindukan sang mommy. Seharian ini, Sagara tak bertemu dengan mommynya. Namun, sepertinya hubungan mommy dan daddynya sedang panas
Tiba-tiba saja Agatha mencium bibir Nail, membuat Nail tak percaya dan kaget sekaligus. "Hehehe …." Agatha melepas ciumannya pada bibir Nail, dia cengengesan kemudian bangkit dari pangkuan Nail–memanfaatkan keadaan suaminya yang termenung dan bengong. "Papaiii …." Agatha melambaikan tangan pelan pada suaminya kemudian setelah itu beranjak dari sana, berlari kecil karena tersipu malu. Apa yang Agatha lakukan tadi diluar kendalinya, dan sekarang Agatha mengaku dirinya cukup malu. Sedangkan Nail, dia masih bengong–duduk diam di kursi sembari meletakkan tangan di dada, merasakan debaran jantung yang menggila. "Cih." Nail berdecis pelan, menoleh ke arah Agatha yang berlari kecil–masuk dalam rumah. Smirk tipis muncul di bibir, geleng-geleng kepala ketika mengingat tingkah Agatha tadi. ***Brak'Agatha menutup pintu kamar secara kuat, buru-buru karena dia gugup dan jantungnya tak terkendali. "Haaaah …." Agatha menyender di pintu, tubuhnya perlahan merosot ke bahwa–di mana tangannya ia
"Daddy?" Nail menatap ke arah pintu, lebih tepatnya ke arah putranya yang berdiri menatap teduh padanya. 'Anak ini.' batin Nail, bangkit dari lantai kemudian duduk di tepi ranjang–sebelah Agatha yang juga sudah duduk. Agatha menatap Nail penuh perasaan bersalah. Ini kedua kalinya dia membuat Nail jatuh dari ranjang, dan selalu penyebabnya adalah Sagara. 'Hubungan Mommy dan Daddy sepertinya semakin buruk. Daddy tidur di lantai.' batin Sagara, menatap tak enak pada daddynya. "Daripada tidur di lantai, Daddy tidur di kamar Saga saja," ucap Sagara, menarik tas lalu berjalan menuju ranjang orangtuanya, lebih tepatnya pada Agatha. "Ck." Nail berdecak pelan, membaringkan kepala ke atas pangkuan Agatha. Dia sengaja supaya menjadi penghalang untuk putranya. "Ini kamar Daddy," lanjutnya, menatap kesal pada Sagara. Lagi-lagi anak ini membuatnya batal mendapatkan kenikmatan.'Daddy sepertinya masih marah.' batin Sagara, memperhatikan wajah dingin pada daddynya. Sagara menghela napas pelan
'Sampai sekarang tak ada yang curiga padaku. Aku aman dan aku bisa maju dalam acara seni nanti.' batin Laila, mengaduk cat dengan kuas lalu mencoret kuas pada kanvas. "Tapi …." Agatha menyeru senang, tersenyum begitu lebar, "Suamiku bilang siapapun yang akan ada yang bisa mengancurkan karya Agatha sang superstar. So-- untuk apa aku sedih? Karyaku tidak hancur, karena sejatinya seniman bisa menciptakan keindahan," lanjut Agatha dengan penuh percaya diri. Sandi ikut tersenyum, bertepuk tangan dengan semangat. "Aku tahu kamu hebat, Agatha.""Ouh jelas! Agatha!" Dengan bangga, Agatha menepuk-nepuk dada. Bahkan dia berdiri, tebar pesona dengan cara mengibas rambut secara anggun. Sandi terkekeh melihat tingkah tengil Agatha. Sangat lucu! "Tapi dibalik kehebatan Agatha, ada suami yang kejam dan mengejar." "Hais!" Agatha mendelik, menatap horor ke arah Sandi kemudian duduk dengan raut muka dongkol. Ada suami yang kejam dan mengejar? Agatha ingin menyangkal tetapi itu benar adanya. 'Apa
Karena ruangan Almira dipakai oleh Nail dan Agatha untuk makan siang, Edward mengalah–membawa keluar istrinya dari sana dan membiarkan Nail serta Agatha memakai tempat tersebut. "Kau tidak menghabiskan donatmu?" tanya Nail ketika melihat istrinya memindahkan donat ke tempat baru, seolah mengasingkan donat supaya bisa diberikan pada orang. Agatha menggelengkan kepala. "Ini untuk Alka, Mon Tresor," jawab Agatha dengan riang, akan tetapi berubah panik saat melihat wajah dingin suaminya. Agatha seketika menggelengkan kepala secara berulang sembari melambaikan tangan pada Nail. "Bu-bukan begitu. Tolong jangan salah paham," pekik Agatha. "Baru kemarin kita bertengkar karena dia." Nail menyender pada sofa, melayangkan tatapan tajam ke arah Agatha. Agatha mendengkus pelan, menggembungkan pipi lalu memanyunkan bibir. Dia menggeser tempat duduk supaya lebih dekat pada suaminya. Agatha meraih tangan Nail lalu menggenggamnya. "Aku tidak sengaja menyiapkan donat untuk Alka, Mon Tresor. Donat
Zein, Marcus dan Raka baru saja melakukan pertemuan penting dengan klien, mereka berniat pulang akan tetapi mengurungkan niat saat melihat Alka dan Agatha. Awalnya Zein ingin ke sana untuk memarahi Agatha dan Alka, akan tetapi Raka dan Marcus menahan Zein, mengatakan jika Alka dan Agatha tak seperti yang Zein katakan. Di tempat lain, ternyata ada Nail, Aiden dan Alvin. Nail sengaja datang ke tempat ini, khusus untuk memantau istrinya. Aiden ikut karena mengira Nail ingin melenyapkan seseorang, begitu juga dengan Alvin. Melihat Nail tiba-tiba pergi dengan wajah marah, Aiden dan Alvin seketika panik–buru-buru menyusul karena khawatir Nail melakukan hal mengerikan pada seseorang. Ternyata …-"Aku sudah tampan tidak?" tanya Alka sembari merapikan sedikit penampilannya. Agatha menganggukkan kepala, mengacungkan dia jempol tangan. "Kamu sangat tampan, Brother. Katakan, kenapa kita ke sini?" jawab Agatha sembari tersenyum manis, setelah itu dia menoleh kesana kemari–membuat Zein, Marcus d
"Mon Tresor sebaiknya istirahat. Pasti Mon Tresor lelah. Iya kan?" ucap Agatha, menoleh ke samping saat Nail akan menciumnya. Saat ini mereka dalam kamar, melepas rindu dengan hal yang lebih intim. Nail sudah melakukannya berkali-kali, akan tetapi dia belum puas dan mengulang lagi. Sejujurnya Agatha tidak ingin menolak akan tetapi dia sudah kelelahan untuk melayani hasrat suaminya yang masih tinggi."Jangan menolakku, Agatha Aditya Melviano," dingin Nail, langsung menahan pipi Agatha supaya tidak menolak ciuman darinya. "Aku sangat merindukanmu dan sudah lama aku memendamnya." "I-iya, aku tahu. Tetapi ada baiknya kita beristirahat dulu." Agatha berkata terbata-bata, cukup gugup oleh nada dingin Nail. Nada bicaranya lemah, karena sudah tak bertenaga. Sialnya, pria ini terus memaksanya. "Sekali lagi," ucap Nail, menaikkan sebelah alis sembari menyunggingkan smirk tipis. Agatha menggembungkan pipi, menatap Nail dengan mata berkaca-kaca dan mimik cemberut. Sekali lagi? Astaga, Agatha
"Hello, Wife," sapa Nail, tersenyum tipis dan menahan geli melihat ekspresi istrinya yang sedang kaget. Sejujurnya pukulan Agatha pada kepalanya cukup sakit. Mungkin memang benar adanya jika senjata ampuh perempuan adalah sandal karena terbukti bagi Nail, sandal Agatha lebih sakit daripada pukulan papanya. Agatha mengerjap beharap kali, masih terkejut dan tak dapat menguasai diri karena sosok di hadapannya saat ini. Sungguh? Ini Nail suaminya? "Kau tidak ingin memelukku?" tanya Nail, merentangkan tangan sembari mengibarkan senyuman yang lebih lebar dari yang sebelumnya. Agatha masih membeku di tempat, dia menatap Nail dari atas hingga bawah lalu bergerak mundur. Alih-alih memeluk suaminya, perempuan itu malah sebaliknya–bergegas masuk ke dalam rumah. "Agatha Aditya Melviano." Nail memanggil, menatap bingung pada Agatha yang meninggalkannya begitu saja. Sedangkan Agatha, dia berlari menjauh dari sana. Ah, tidak! Agatha sepertinya terlalu merindukan Nail sehingga dia berhalusinasi
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng