Karena ruangan Almira dipakai oleh Nail dan Agatha untuk makan siang, Edward mengalah–membawa keluar istrinya dari sana dan membiarkan Nail serta Agatha memakai tempat tersebut. "Kau tidak menghabiskan donatmu?" tanya Nail ketika melihat istrinya memindahkan donat ke tempat baru, seolah mengasingkan donat supaya bisa diberikan pada orang. Agatha menggelengkan kepala. "Ini untuk Alka, Mon Tresor," jawab Agatha dengan riang, akan tetapi berubah panik saat melihat wajah dingin suaminya. Agatha seketika menggelengkan kepala secara berulang sembari melambaikan tangan pada Nail. "Bu-bukan begitu. Tolong jangan salah paham," pekik Agatha. "Baru kemarin kita bertengkar karena dia." Nail menyender pada sofa, melayangkan tatapan tajam ke arah Agatha. Agatha mendengkus pelan, menggembungkan pipi lalu memanyunkan bibir. Dia menggeser tempat duduk supaya lebih dekat pada suaminya. Agatha meraih tangan Nail lalu menggenggamnya. "Aku tidak sengaja menyiapkan donat untuk Alka, Mon Tresor. Donat
Zein, Marcus dan Raka baru saja melakukan pertemuan penting dengan klien, mereka berniat pulang akan tetapi mengurungkan niat saat melihat Alka dan Agatha. Awalnya Zein ingin ke sana untuk memarahi Agatha dan Alka, akan tetapi Raka dan Marcus menahan Zein, mengatakan jika Alka dan Agatha tak seperti yang Zein katakan. Di tempat lain, ternyata ada Nail, Aiden dan Alvin. Nail sengaja datang ke tempat ini, khusus untuk memantau istrinya. Aiden ikut karena mengira Nail ingin melenyapkan seseorang, begitu juga dengan Alvin. Melihat Nail tiba-tiba pergi dengan wajah marah, Aiden dan Alvin seketika panik–buru-buru menyusul karena khawatir Nail melakukan hal mengerikan pada seseorang. Ternyata …-"Aku sudah tampan tidak?" tanya Alka sembari merapikan sedikit penampilannya. Agatha menganggukkan kepala, mengacungkan dia jempol tangan. "Kamu sangat tampan, Brother. Katakan, kenapa kita ke sini?" jawab Agatha sembari tersenyum manis, setelah itu dia menoleh kesana kemari–membuat Zein, Marcus d
"Aku patah hati … aku patah hati, Agatha." Agatha menatap iba pada sahabatnya yang sedang patah hati tersebut. "I-iya, tapi kenapa bunganya kamu makan?" ucap Agatha tanpa dosa, duduk di sebelah Alka yang masih menangis sesenggukan. "Kamu menyuruhku memakannya." Alka sejenak berhenti menangis, menatap nanar pada Agatha. "Hais! Itu perumpamaan. Hilang satu, tumbuh seribu," ucap Agatha, mengambil tissue lalu menyerahkannya pada Alka. "Kamu minum dulu," lanjutnya, menberikan gelas minum pada Alka. Alka meraih minum tersebut, meneguknya hingga habis setengah lalu menyerahkan kembali pada Agatha. "Apa hubungan memakan bunga dengan perumpaan yang kamu bilang tadi, Agatha?" Agatha menganga karena bingung. Lalu dengan kikuk, mengangkat pundak. "Tidak tahu," jawabnya tanpa dosa, membuat Alka kembali menangis sesenggukan. "Aduuuh … jangan menangis dong. Masih banyak cara meluluhkan hati Kalisa. Meskipun belum jelas kamu diterima tapi apa salahnya terus mencoba. Iya kan?" "Bagiamana
Plak' Agatha dengan enteng memukul punggung Alka. "Gantleman pada perempuanmu, jangan ke semua perempuan. Paham?!" bisiknya lagi. "Paham, Guru," ucap Alka mengangguk-anggukkan kepala. Setelah itu dia berjalan ke arah kursi lain, lalu menariknya. "Silahkan duduk, Kalisa," ucapnya pada Kalisa. "Eh …." Kalisa mengerjap karena bingung. Masalahnya dia sudah duduk bukan? Mata Agatha berkedut-kedut, menatap bengong pada tingkah laku Alka. Dia memutar tubuh untuk membelakangi Alka dan Kalisa, kemudian menjerit tanpa suara. Terlalu stress pada Alka. Ya ampun! Bukan begitu juga! Namun, mata Agatha membelalak ketika melihat sosok tua keladi yang suka menjadi-jadi tak jauh dari mejanya. Matanya bertemu dengan mata elang ayah mertuanya, juga pada manik teduh ayah dari pria bodoh bernama Alka. Ah, ada juga Marcus, asisten kesayangan sang ayah mertua. Ketiga pria yang kepergok tersebut langsung menutupi wajah secara buru-buru. Zein mendekatkan vas bunga ke wajah, Marcus menoleh cepat ke a
Maukah kamu menikah denganku?" "Aku …-" Kalisa begitu gugup, canggung serta malu-malu secara bersamaan. Sedangkan Alka, dia panik karena takut ditolak. Hingga tiba-tiba daja, Kalisa menganggukkan kepala secara pelan–campuran malu-malu dan gugup yang melanda. "Yes!" Alka menyeru senang, hampir memeluk Agatha andai perempuan itu tak melototinya dengan galak. "Aku diterima, Agatha.""Selamat, Alka. Buruan pasang cincinya," balas Agatha senang. Alka meraih tangan Kalisa lalu memasang cincin di jari manis perempuan itu. Kalisa terlihat malu-malu, begitu juga dengan Alka. Karena begitu kikuk, Alka meraih tangkai bunga lalu menyerahkannya pada Kalisa. "Bunga untukmu, Nona Kalisa," ucapnya datar, efek terlalu panik campur deg degkan. Kalisa menatap bunga tersebut secara heran bercampur tak enak. Bunga? Bunga apa? "Di-di mana bunganya, Pak Alka?" tanya Kalisa gugup, menatap tangkai bunga tanpa mahkota atau bunga tersebut. Alka menatap ke arah ujung tangkai, cukup syok melihat tak ada b
"Pengganggu." Nail mendengkus, menatap datar ke arah putranya yang saat ini sedang makan. Sagara begitu tenang, tanpa merasa bersalah sedikitpun karena menjadi orang ketiga dalam makan malam romantis orangtuanya. Agatha tersenyum manis pada putranya. "Betul. Sagara adalah pria paling romantis," jawab Agatha, seketika membuat Sagara tersenyum lebar akan tetapi membuat Nail merasa kesal. "Ck." Nail berdecak kesal, bersedekap di dada sembari menatap tajam ke arah Agatha. Kenapa Sagara? Dia! Dialah pria yang seharusnya paling romantis untuk istrinya. "Setelah Daddy," lanjut Agatha dengan senyuman paling cerah. Kini berganti. Raut muka Nail berubah senang sedangkan Sagara terlihat berang. Pada akhirnya mereka bertiga makan malam di green house. Setelah itu, Agatha lanjut mengerjakan lukisannya yang terkena tumpahan cat hitam. Seperti yang Agatha inginkan, Nail menemaninya. Sagara sendiri izin lebih dulu ke kamarnya karena sudah mengantuk, tidak tahan menunggu sang mommy menyeles
"Ja-jangan aku, Agatha." Sandi menolak menerima dokumen tersebut. Tiba-tiba dia memegang perut lalu buru-buru kabur, "aduh, tiba-tiba aku sakit perut," ucapnya sembari menjauh dari. Yang benar saja?! Syakila yang merupakan adik seorang Nail saja takut, apalagi Sandi yang bukan siapa-siapa di keluarga Nail. Dia bisa tinggal nama di dunia ini. "A-aku juga tiba-tiba sakit perut." Syakila tiba-tiba ikut kabur dari sana. "Aku sakit perut juga." Begitu pun dengan Alka. Hingga kini hanya Agatha yang berdiri di depan ruangan suaminya, memegang dokumen yang seharusnya menjadi tanggung jawab Syakila. "Semua mendadak sakit perut. Jika aku ikut sakit perut, trus siapa yang akan memberikan dokumen ini?" gumam Agatha, menggaruk tengkuk sembari menatap dokumen tersebut dengan nanar. "Ah, Syakila!" keluhnya kemudian. Ceklek' Tiba-tiba saja pintu tersebut, memperlihatkan Alvin dengan muka pucat dan muram. Alvin membelalak kaget ketika melihat Agatha–berada tepat di depannya. "Nyonya,"
Plak' Suara tamparan begitu nyaring terdengar. Laila berakhir terhempas di lantai kasar di lantai. Melihat itu, mata Agatha membelalak lebar. Dia panik, takut bercampur tak percaya dengan apa yang Nail lakukan pada Laila. "Ya ampun! Ba-bagaimana ini?" gugup dan panik Agatha di tempat persembunyiannya. Melihat Nail yang marah dan sampai-sampai memukul Laila, Agatha merasa sangat bersalah. Dialah yang menggedor pintu Nail. Demi apapun! Agatha hanya sedikit jahil, mengira Nail hanya akan marah lalu mengusir Laila. Dia tak menyangka dan tak menduga Nail akan memukul Laila. Ini kesalahan Agatha! "Tu-Tuan, bukan aku …." Suara Laila bergetar penuh ketakutan, mendongak pada Nail dengan mata yang sudah sembab oleh lelehan bulir kristal. Tamparan pria ini sangat sakit! Tulang di rahangnya terasa patah dan pipinya kebas serta panas. Sudut bibirnya mengeluarkan darah, Laila kesakitan. Namun, dominan dia merasa ketakutan. Pria dihadapannya sangat mengerikan! "Enyah dari hadapanku sekaran
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka