"Ck! Nail Kuku Setan bajingan!" pekik Agatha, setelah itu bangkit lalu melempar bantal ke sembarang arah. Namun, baru beberapa menit duduk, Agatha langsung membaringkan tubuhnya. Hah, kepalanya pusing! Ceklek' Tak lama pintu kamar terbuka, memperlihatkan anak kecil. Agatha hanya melirik sekilas lalu memalingkan wajah. Entah kenapa dia juga kesal pada Sagara. "Mommy." Sagara berjalan cepat menuju mommynya. Dia naik ke atas ranjang kemudian memeluk mommynya. Agatha sama sekali tak merespon apapun, hanya diam dan pura-pura tidur. "Sagara merindukan Mommy," ucap Sagara pelan, cukup sedih karena pelukannya tak dibalas oleh sang mommy. Agatha yang tak tahan pada akhirnya membuka mata, menatap datar ke arah Sagara. "Aku bukan mommymu lagi. Pergi!" "Mommy mengatakan apa?" "Daddymu akan menikah lagi, dan wanita itu akan menjadi mommynya. Pasti kamu senang kan? Oleh sebab itu kamu ikut dengan Daddymu, si Kuku Setan itu ke luar negeri untuk menemui mommy baru kamu. Kalian sengaja pergi t
"Lebih tepatnya kamu menemui calon istrimu.""Kita sudah menikah dan kau di negara ini. Kenapa aku harus menemuimu ke negara lain, Darling?" Nail berucap lembut, kembali menyuapkan jeruk pada istrinya. "Tidak nyambung," gerutu Agatha kesal, mengepalkan tangan karena merasa Nail sengaja memutar-mutar pembicaraan. Apakah Nail berniat menutupi perselingkuhannya? "Sebetulnya kalau memang Pak Nail ingin menikahi perempuan itu, tak apa-apa sih. Tetapi tolong lepaskan aku," lanjut Agatha, kali ini menolak suapan jeruk dari Nail. Dia tiba-tiba mual lagi tetapi Agatha masih bisa menahan. Nail menatap tangannya yang ditepis oleh Agatha. Ucapan Agatha pada akhir kalimat, sejujurnya menampar hatinya. Namun, dia tidak selingkuh dari Agatha dan tak berniat menikah juga. "Aku mencintaimu." Nail berucap lembut. Agatha menggelengkan kepala, menolak mempercayai ucapan Nail. "Aku ke luar negeri murni untuk pekerja. Maaf bila aku tak mengabarimu dan membawa Sagara ikut." Nail meraih toples permen cok
Keduanya ribut! Nail terlihat marah dan Aiden terlihat lesu. "Aku tak bisa membantah kakek, Nail." Aiden berkata lemah, duduk dengan menyender pada sofa yang ada di ruangan Nail. "Hah." Nail menghela napas, memilih tak mengatakan apa-apa ketika melihat istri dan putranya datang ke ruangannya. "Apa yang kalian bawa?" tanya Nail, langsung melunak dan lemah lembut pada Agatha. Tatapan yang tajam dan aura dingin, seketika lenyap. Berganti dengan tampang muka berseri. "Umm … itu--" Agatha berkata gugup, meletakkan kue serta minuman yang ia bawa di meja–depan Nail. "Sagara memintaku membuatkan kue untuk Mon Tresor." Sagara reflek mendongak kaget pada mommynya, ingin protes tetapi sang mommy membekap mulutnya lebih dulu. "Hehehe … Saga bilang Mon Tresor suka sekali dengan kue. Apalagi rasa coklat." Nail menyunggingkan smirk tipis, menaikkan sebelah alis karena merasa geli dengan istrinya. "Seingatku– aku hanya mengonsumsi makanan manis di depanmu, Darling. Hanya kau yang tahu aku s
"Aku seorang adik. Kakak harus mengalah." Nail menarik piring ke arahnya. "Tidak bisa. Aku tamu penting di sini, dan tamu adalah raja." Aiden menarik piring ke arahnya. Hingga keduanya berakhir tarik-tarikan piring. Nail melayangkan tatapan kesal karena Aiden mengincar kue coklat buatan Tata-nya. Sedangkan Aiden melayangkan tatapan penuh peringatan supaya Nail menyerah karena Aiden adalah tamu. Akan tetapi …-Slup'Tangan mungil Sagara mencomot kue tersebut dengan santai, lalu memakannya secara lahap dihadapan daddy dan uncle-nya yang sudah melayangkan tatapan tak terima padanya. "Umm … Yummy!" Sagara menyeru senang ketika mengigit kue. "Saga kenyang. Daaa …," ucapnya kemudian sembari berjalan keluar dari ruangan daddynya. Yang membuat Nail hampir naik pitam dan semakin dendam pada putranya adalah ketika melihat saku celana Saga yang berisikan potongan kue coklat. "Pantas saja cepat habis. Anak itu …!" geram Nail pelan. "Hah." Aiden menghela napas, geleng-geleng kepala melihat
"Aku sangat senang dan bahagia. Karena putri kita sudah kembali pada kita dan dia menerima kita sebagai orangtuanya," ucap Almira yang saat ini sudah dalam kamar bersama Edward–di rumah Nail. Malam ini, mereka menginap di rumah Nail. Besok pagi keduanya ingin sarapan bersama Agatha, putri mereka yang sudah lama terpisah dari mereka. Edward menganggukkan kepala, tersenyum lembut ke arah istrinya. "Humm. Aku juga bahagi …-" Brak' Ucapan Edward berhenti karena tiba-tiba pintu kamar terbuka secara kasar–memperlihatkan Agatha yang berdiri di ambang pintu, menyengir lebar sembari memeluk bantal. "Agatha sayang," ucap Almira lembut. Agatha yang masih nyengir memasuki kamar tersebut. "Aku akan tidur di sini, bersama Mama dan Papa," ucapnya, menampilkan air muka tengil. Akan tetapi itu terlihat lucu bagi Almira dan Edward. Edward dan Almira saking bersitatap, tak menegur Agatha yang ingin tidur bersama mereka. Agatha berjalan ke arah ranjang, melempar bantal ke kepala ranjang–ara
Nail berjalan masuk menuju kamar yang sering ia tempati di mansion kakeknya. Wajahnya menunjukkan raut muka khawatir, mencemaskan istrinya. Namun mengejutkan karena dia menemukan istrinya sedang dirias, tak seperti yang papanya katakan. Di mana Zein menyebut Agatha sakit parah. "Salam, Tuan Nail." Para maid menundukkan kepala pada Nail, mereka menjaga sikap se sopan mungkin. Para merias yang menangani Agatha juga ikut membungkuk hormat pada sang tuan muda. "Hum." Nail berdehem singkat, menoleh pada istrinya yang tengah ditahan kepalanya oleh salah satu perias. Istrinya tengah tidur. Nail geleng-geleng kepala, tersenyum tipis karene tingkah Agatha. See? Tidur pun istrinya terlihat sangat menggemaskan. "Pergilah," ucap Nail, mengambil alih tugas perias untuk menahan kepala istrinya. Agatha duduk di sebuah kursi–menghadap cermin meja rias. Akan tetapi dia sedang tidur pulas, membiarkan para perias memake-up-i wajahnya. Di sana ada maid yang menjaga untuk mengawasi pekerjaan perias.
"Kak Aiden." Di saat semua orang sibuk untuk mempersiapkan acara pertunangan Aiden, Syakila yang sejak awal gelisah, memilih menemui Aiden. Dia tidak bisa membiarkan Aiden menikah dengan Stella, hatinya panas dan Syakila tak terima. Meski Agatha mengatakan jodoh tak kemana, tetapi Syakila tetap akan barbar. Dia akan melakukan sesuatu supaya Aiden menjadi miliknya. Aiden yang sedang duduk di sofa, dalam kamarnya, segera mendongak ke arah sosok perempuan cantik di ambang pintu. Perempuan itu terlihat gelisah dan sedih, mengenakan dress hitam polos–seakan perempuan itu tengah dilanda duka. "Syakila." Aiden tersenyum lembut, berdiri dari sofa lalu berniat menghampiri adiknya. Yah, adik angkat yang membuat jantungnya selalu berdebar kencang. Pantaskan dia jatuh cinta pada adiknya sendiri? Langkah Aiden berhenti begitu saja ketika Syakila mengunci pintu kamar. Perempuan itu berjalan cepat ke arahnya lalu melakukan hal yang mengejutkan. Cup' Syakila langsung mencium bibir Aiden, membu
Pertunangan sudah akan dilaksanakan, hanya menunggu Aiden yang entah menghilang kemana. Stella sudah menunggu dan orangtuanya yang awalnya sangat membantah pernikahan antara Stella dan Aiden, terlihat sangat tak sabar. Sekarang mereka mendukung karena untuk sekarang yang terpenting Stella masuk ke dalam keluarga Melviano. Jika Stella menikah dengan Aidan, mereka berharap hukuman keluarga Melviano terhadap mereka bisa dicabut. Yah, karena masalah penipuan yang Stella lakukan, Zein Melviano memblacklist bisnis keluarga Stella, sehingga perusahaan lain enggan bekerja sama dengan perusahaan mereka. Meskipun Seliza perusahaan yang lebih besar, tetapi tak ada yang berani pada Zein. Pria itu semena-mena, licik dan sangat berbahaya! Tetapi jika Stella menikah dengan Aiden, kemungkinan perusahaan orangtua Stella kembali akan aman. Sebab Zein menyayangi Aiden, bukan? "Akhirnya …." Lucas berucap pelan dan lega, melihat Aiden datang bersama Syakila. Syakila bingung dan hanya menundukkan
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka