Zahra Aurelia menghela napas sebab tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Saat ini dia sedang sibuk menyusun agenda dari sang CEO di perusahaannya bekerja, tak lain adalah suaminya sendiri–Zein Melviano Adam. Dia sekretaris Zein, sudah tujuh tahun bekerja dengan perusahaan ini.
Akhir akhir ini Zahra kurang fokus pada pekerjaannya sebab mantan dari suaminya yang sangat dicintai telah kembali. Sekarang wanita tersebut berada di ruangan Zein–suaminya. Harusnya mereka membicarakan proyek kerja sama tetapi sejak tadi mereka terlihat bercanda dan terus tertawa riang. Zahra bisa melihat cukup jelas sebab ruangannya dan Zein dipisah oleh dinding kaca transparan. Melihat Zein yang hangat pada Belle (mantan Zein) itu membuat Zahra sakit hati. Zahra cemburu! Akan tetapi Zahra bisa apa? Sejak dulu, bahkan sebelum mereka menikah, Zein memang telah mencintai Belle. Pernikahannya dan Zein, tiga tahun yang lalu, juga terjadi karena kesalahan satu malam. Dia dan Zein tidak sengaja melakukan one night stand. Kakek Zein yang mengetahui hal itu memaksa keduanya untuk menikah. Kebetulan kakek Zein menyukai Zahra. Zahra memang sudah lama menyukai Zein. Sayangnya, dia memendamnya. Zahra termenung sesaat, Belle adalah perempuan yang sangat cantik dan glamor. Sejujurnya perempuan itu cocok dengan Zein yang sangat tampan, hot serta penuh pesona. Lihatlah diri Zahra?! Tak sebanding dan bukan apa-apa dengan Belle yang luar biasa anggun. Tiba-tiba saja Belle merapatkan tubuhnya dengan Zein, pakaiannya yang seksi dan terbuka itu sangat berbahaya. Zahra kepanasan melihatnya dan tak akan membiarkan Belle mencoba menggoda Zein. Setidaknya dengan status istri, Zahra merasa berhak untuk menegur keduanya. Zahra buru-buru bangkit dari kursi kerja, mengambil dokumen sebagai alibi kemudian melangkah cepat menuju ruangan Zein. Tanpa mengetuk pintu, Zahra masuk. Dia melangkah ke dalam ruangan Zein sembari memandang dua insan yang masih sibuk bercanda tersebut. Zahra terpaku dan terdiam sejenak, merasa sakit di hati dan panas di dada. Selama menjadi istri Zein, dia tak pernah mendapat tawa Zein. Bahkan tersenyum pun Zein tidak padanya. Zein sangat dingin, cuek bahkan tak pernah peduli padanya. Akan tetapi dengan Belle, Zein begitu manis dan hangat. "Ekhemm." Zahra berdehem sejenak supaya Zein menyadari kedatangannya. Akan tetapi pria itu terlihat tak menggubris, menoleh pun tidak. Zahra mengepalkan tangan kuat, menahan rasa gejolak sakit dalam sana. Dia mendekat ke arah Zein lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Pak," panggilnya. Zein menoleh, begitu juga dengan Belle yang terlihat sinis padanya. Pandangan hangat Zein lenyap, berganti dengan sorot dingin bercampur marah yang melayang ke arah Zahra. "Ada urusan apa kau kemari?" dingin Zein. Zahra tersenyum simpul, mengulurkan dokumen ke arah Zein. "Ada dokumen yang harus anda tandatangani, Pak." "Letakkan di mejaku. Nanti akan aku tanda tangani," jawab Zein acuh tak acuh, menatap datar pada Zahra. "Tetapi dokumen ini harus ditandatangani karena …-" "Kau tidak dengar perintahku?!" Zein memotong, berkata begitu dingin dan menusuk. Zahra menangguk patuh lalu memilih meletakkan dokumen tersebut ke meja Zein. Namun, dia tak langsung pergi. Zahra berjalan ke pantry untuk membuat kopi. "Ini kopi anda, Pak," ucap Zahra, meletakkan secangkir kopi di hadapan Zein. Selama di kantor, Zahra selalu berbicara formal pada Zein. Pria ini akan marah padanya jika dia berbicara santai. "Zahra yah?" ucap Belle tiba-tiba, nadanya lembut dan tenang. Zahra hanya mengangguk kepala, sedangkan Belle lanjut berbicara padanya. "Perusahaan Zein memang yang terbaik, pasti kamu nyaman bekerja disini. Apalagi sebagai sekretaris Zein, gajinya lumayan bukan?" Lagi-lagi Zahra menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Kau tidak bisa berbicara? Kau bisu?!" gertak Zein tiba-tiba, kesal karena Zahra hanya mengangguk pada Belle. Menurutnya itu perilaku yang tak sopan. "Tidak apa-apa, Zein. Yang terpenting Zahra masih memberi respon," ucap Belle, tiba-tiba memeluk lengan Zein dengan mesra. Hal tersebut sengaja ia lakukan untuk memanas-manasi Zahra. Dia sangat membenci Zahra sebab perempuan ini adalah istri dari Zein, pria incarannya. "Sekarang pergilah," titah Zein, seolah muak melihat Zahra. Zahra menatap lengan Zein yang dipeluk oleh Belle, sengaja menatapnya secara terang-terangan agar Zein peka. Bagaimanapun Zahra adalah istri dari Zein, meskipun Zein tak ada rasa padanya harusnya Zein bisa sedikit menghargainya. "Belle temanku sejak lama, tidak masalah jika dia memeluk lenganku." Zein berbicara tak acuh, dia paham kenapa Zahra enggan pergi dan terus menatap lengannya. Perempuan ini mempermasalahkan Belle yang memeluk lengannya. "Saya istri anda jika Pak Zein lupa," ucap Zahra berupaya tegas, "tolong hargai saya, Pak," lanjutnya. "Jangan berbicara omong kosong dan pergilah." Zein tak peduli sama sekali, "bawa kopi ini. Aku sedang tidak mood!" lanjutnya dengan nada kesal. Zahra tertegun, terdiam dengan perasaan sesak dan sakit. Zein sangat menghargai hubungan pertemanan tetapi tidak dengan hubungan pernikahan. Apa ini lelucon?! Tuhan, kapan Zein memikirkan perasaannya dan peduli padanya? Bahkan kopi buatannya enggan diminum oleh Zein, semenjak Belle datang. "Apalagi yang kau tunggu?! Cepat pergi dan bawa kopimu ini!" geram Zein marah, tak suka dengan ketermenungan Zahra. Akhir akhir ini Zahra bekerja lambat, dan Zein tidak suka! Harusnya Zahra bekerja gesit seperti biasanya. "Baik, Pak." Zahra patuh. Sejujurnya dia ingin menangis akibat Zein membentaknya di depan Belle. Zahra sakit hati, Zein begitu menjaga nada bicaranya pada Belle yang notabennya hanya mantan atau teman. Sedangkan padanya, Zein tidak segan-segan membentaknya, bahkan sekalipun di depan orang lain. Zein tiba-tiba melepas pelukan Belle di lengannya, bangkit dan berjalan ke arah meja kerja untuk menandatangi dokumen tadi. Di sisi lain, Belle sedikit kesal sebab Zein melepas pelukannya. Dia yakin sekali, Zein sengaja melepas itu sebab terpengaruh oleh perkataan Zahra tadi. Zein pasti ingin menjaga perasaan Zahra. Saat Zahra mengambil cangkir kopi, Belle sengaja menarik cangkir dan membuat kopi tersebut tumpah padanya. "Argkk … Za-Zahra?" pekik dan jerit Belle, berpura-pura kaget serta bingung. "Kenapa kamu menumpahkan kopinya ke aku?" tanya Belle kemudian, dia membalikkan fakta supaya Zein marah pada Zahra. "A-a-aku …-" Baru saja ingin membela diri, Zein tiba-tiba datang dan langsung menarik kasar Zahra dari sana. "Apa yang kau lakukan, Hah?!" amuk Zein pada Zahra. Sedangkan Zahra yang panik dan takut, menggelengkan kepala secara kuat. "A-aku tidak melakukan apapun. Dia yang …-" Lagi-lagi perkataan Zahra terpotong, kali ini oleh Belle. "Aku tahu kamu cemburu, Zahra. Tetapi sikap seperti ini bukanlah sikap profesional. Aku dan Zein hanya berteman, aku di sini untuk membahas proyek kerja sama antar perusahaan, bukan hal lain. Kamu mungkin marah sebab keakraban ku dengan Zein, tetapi tolong jangan melukaiku juga. Kopinya masih panas," ucap Belle memprovokasi agar Zein semakin marah pada Zahra. "Aku tidak melakukannya." Zahra mengelak. "Lihat, gara-gara kelakuanmu lantai jadi basah terkena tumpahan kopi. Kau bukan hanya melukai Belle, tetapi kau berpotensi mencelakai bayi yang Belle kandung. Bagaimana jika Belle terpeleset, Hah?!" marah Zein habis-habis. Tubuh Zahra membeku di tempat, syok bukan hanya karena dimarahi oleh suaminya tetapi juga karena fakta Belle sedang hamil. Zahra bergeming di tepat, matanya memanas dengan perasaan hancur. Sejujurnya Zahra juga sedang hamil, dan dia berniat mengungkapkan kehamilannya tersebut pada Zein di hari ini–tepat di hari ulang tahunnya yang ketiga dengan Zein. Namun, mendengar kabar Belle hamil dan melihat bagaimana Zein protektif terhadap kehamilan Belle, Zahra mengurungkan niat. Zein mungkin tak akan peduli pada kehamilannya! "Belle hamil?" beo Zahra dengan nada serak dan parau, air mata sudah di pelupuk–siap untuk menangis. "Humm." Zein berdehem dingin. "Meminta maaf pada Belle. Sekarang!" lanjut Zein. Zahra menggelengkan kepala. "Aku tidak menumpahkan kopi kepadanya, Pak. Dan aku tidak akan meminta maaf." "Jangan arogan! Cepat meminta maaf!" desak Zein. Diam-diam Belle tersenyum miring, senang karena Zein marah pada Zahra. "Pak, aku masih istrimu kan? Jika iya, kenapa sedikitpun kamu tak percaya pada ucapanku? Kenapa anda tidak menghargai ku sebagai istri?" Air mata Zahra jatuh, tetapi dengan cepat dihapus olehnya. Dia tidak boleh terlihat lemah, walau hatinya sangat hancur saat ini. "Akhir akhir ini kau bekerja sangat buruk. Rasa emosional mu sangat menyebalkan, Zahra," geram Zein. "Ubah sikapmu itu, karena itu mempengaruhi kualitasmu sebagai sekretaris. Dan kau sangat paham betul jika aku tidak suka dengan pekerja yang lambat, bodoh dan ceroboh. Apalagi emosional!" Zahra menggeleng pelan sebab tak percaya dengan ucapan Zein. Hatinya sakit dan dia sangat kecewa. "Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?""Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"Zein melayangkan tatapan tajam ke arah Zahra, mendekat dengan mengatupkan rahang secara kuat. "Kau berharap apa, Humm? Mencintaimu? Kau adalah perempuan licik dan busuk. Karena jebakan mu tiga tahun yang lalu, Kakekku memaksa untuk menikahiku dan sekarang aku terjebak dengan perempuan busuk sepertimu," ucap Zein, berdesis marah dengan tatapan menjatuhkan pada Zahra. Zahra membatu di tempat, kali ini membiarkan air matanya jatuh. Dia tidak bisa membendung, perkataan Zein sangat menyakitkan. Sedangkan Zein, setelan mengatakan itu, dia langsung pergi–menggenggam tangan Belle secara mesra. Zahra tertunduk sedih, semakin sakit hati ketika melihat Zein pergi dengan menggenggam mesra tangan Belle. "Aku tidak menyangka jika kamu masih menganggapku menjebak mu. Setelah apa yang kulakukan tiga tahun ini sebagai istri, ternyata sama sekali tak membuatmu luluh, Pak," gumam Zahra, menangis sedih seba
Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan. "Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat. Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka. Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai. "Maaf terlambat datang, Zahra. Da
"Ayo bercerai, Pak," dingin Zahra, mendongak dengan melayangkan tatapan kosong pada Zein. Zein kaget, terkesima serta tak percaya. Dia menatap Zahra lekat, memperhatikan perempuan tersebut secara teliti. Zahra terlihat serius dan tidak main-main dengan perkataannya. Itu membuat Zein sangat bingung. Tidak mungkin! Zahra tergila-gila padanya, Zahra menginginkannya dan sangat terobsesi menjadi nyonya Melviano. Tidak mungkin perempuan ini meminta cerai. "Kau sedang berdua, jadi berhenti berbicara omong kosong," tegur Zein, tiba-tiba menggenggam tangan Zahra. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Zahra menepis tangan Zein lalu menggelengkan kepala. "Yah, karena aku sedang berduka, Pak. Oleh sebab aku ingin menghentikan duka dan penderitaan ini. Anda tidak mencintaiku, dan wanita yang anda tunggu telah kembali. Jadi, mari bercerai, Pak," ucap Zahra tegas. "Diam!" marah Zein, melayangkan tatapan membunuh serta penuh peringatan pada Zahra. Dia tidak suka perempuan ini mengatakan omong koso
Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra. Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir. "Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah. Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya. Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap
"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut. "Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana. "Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."Zein tanpa pikir
Hujan turun dengan deras, suhu begitu dingin dan rasanya menusuk hingga ke tulang-tulang. Cuaca seperti mendukung kesedihan serta kehancuran hari Zahra yang saat ini berjalan lunglai dengan menyeret koper. Zahra akan kembali ke rumah neneknya dan dia dahulu. Dia akan mengulang hidup baru dan memperbaiki semuanya dengan cara mencintai diri sendiri. Sebenarnya sebelum meninggal, neneknya pernah mengatakan agar Zahra menemui ayah kandungnya. Ayah Zahra adalah sosok yang baik, tetapi dia meninggalkan Zahra, ibunya dan neneknya saat Zahra berusia tujuh tahun. Orang-orang berseragam hitam memaksa ayahnya agar ikut dengannya. Kalung yang saat ini Zahra kenakan adalah kalung pemberian ayahnya saat akan dibawa pergi oleh orang-orang berseragam hitam itu. Neneknya mengatakan agar Zahra menemui ayahnya setelah sang nenek tiada. Sekarang neneknya sudah tiada tetapi Zahra tidak ada niat untuk mencari ayahnya. Dia harus mencari kemana? Dia sendiri saja ragu apa masih mengenali ayahnya. Air mata Z
Saat Zein menyusul Zahra ke tempat terakhir Zahra menghubunginya, dia terlambat. Dia tak menemukan siapapun di sana, bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. "Sial! Aku terlambat," gerutu Zein, menendang sisi bagian samping mobil mewah miliknya lalu segera masuk dalam mobil. Hujan masih turun–walau rintik-rintik, dan kemana perempuan itu pergi? Sialan, entah kenapa Zein mengkhawatirkan Zahra. Ketika ingin pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Marcus–tangan kanan Zein mengirim sesuatu. Zein langsung menggeram marah, melihat dokumen berupa foto dan keterangan. Foto tersebut adalah foto Zahra yang tengah rangkul mesra oleh seorang laki-laki di rumah sakit. Zein tak bisa mengenali laki-laki tersebut sebab diambil dari samping, akan tetapi dia merasa tidak asing dengan sosok tersebut. [Tuan, saya tidak menemukan cela yang membuktikan jika Nyonya selingkuh dari anda. Akan tetapi, hari ini saya tanpa sengaja bertemu dengan Nyonya di rumah sakit dan menjumpai Nyonya dengan pria di foto
'Memohon …,' ucap Zein dengan nada dingin dari seberang sana. Dia tidak akan melepas Zahra. Tidak akan pernah! Zahra tak menjawab apapun, segera menjauhkan benda pipi tersebut dari telinga kemudian langsung menekan tombol merah di layar–menyudahi panggilan Zein padanya. Di sisi lain, Zein yang memantau Zahra dari kejauhan seketika langsung melempar ponsel ke sembarang arah. Dia dalam mobil, mengamuk menyaksikan sikap tenang Zahra di luar sana. Harusnya dalam kondisi sekarang Zahra memohon padanya, bukan malah bersikap tegar dan keras kepala. "Fucking jerk!" umpat Zein marah, memukul setir dengan sekuat tenaga. Dia masih di sana, memperhatikan Zahra yang saat ini duduk di sebuah kursi taman, sembari mengeluarkan HP. Kemarahan Zein tiba-tiba redup, melihat sikap tenang Zahra entah kenapa hatinya merasa bergetar. Aneh! Ini sudah malam tetapi perempuan itu seolah bersinar dibawah penerangan lampu taman. Seolah sinar berasal dari Zahra, bukan satu lampu. Sejujurnya Zahra adalah wanita
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka