"Ayo bercerai, Pak," dingin Zahra, mendongak dengan melayangkan tatapan kosong pada Zein. Zein kaget, terkesima serta tak percaya. Dia menatap Zahra lekat, memperhatikan perempuan tersebut secara teliti. Zahra terlihat serius dan tidak main-main dengan perkataannya. Itu membuat Zein sangat bingung. Tidak mungkin! Zahra tergila-gila padanya, Zahra menginginkannya dan sangat terobsesi menjadi nyonya Melviano. Tidak mungkin perempuan ini meminta cerai. "Kau sedang berdua, jadi berhenti berbicara omong kosong," tegur Zein, tiba-tiba menggenggam tangan Zahra. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Zahra menepis tangan Zein lalu menggelengkan kepala. "Yah, karena aku sedang berduka, Pak. Oleh sebab aku ingin menghentikan duka dan penderitaan ini. Anda tidak mencintaiku, dan wanita yang anda tunggu telah kembali. Jadi, mari bercerai, Pak," ucap Zahra tegas. "Diam!" marah Zein, melayangkan tatapan membunuh serta penuh peringatan pada Zahra. Dia tidak suka perempuan ini mengatakan omong koso
Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra. Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir. "Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah. Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya. Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap
"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut. "Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana. "Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."Zein tanpa pikir
Hujan turun dengan deras, suhu begitu dingin dan rasanya menusuk hingga ke tulang-tulang. Cuaca seperti mendukung kesedihan serta kehancuran hari Zahra yang saat ini berjalan lunglai dengan menyeret koper. Zahra akan kembali ke rumah neneknya dan dia dahulu. Dia akan mengulang hidup baru dan memperbaiki semuanya dengan cara mencintai diri sendiri. Sebenarnya sebelum meninggal, neneknya pernah mengatakan agar Zahra menemui ayah kandungnya. Ayah Zahra adalah sosok yang baik, tetapi dia meninggalkan Zahra, ibunya dan neneknya saat Zahra berusia tujuh tahun. Orang-orang berseragam hitam memaksa ayahnya agar ikut dengannya. Kalung yang saat ini Zahra kenakan adalah kalung pemberian ayahnya saat akan dibawa pergi oleh orang-orang berseragam hitam itu. Neneknya mengatakan agar Zahra menemui ayahnya setelah sang nenek tiada. Sekarang neneknya sudah tiada tetapi Zahra tidak ada niat untuk mencari ayahnya. Dia harus mencari kemana? Dia sendiri saja ragu apa masih mengenali ayahnya. Air mata Z
Saat Zein menyusul Zahra ke tempat terakhir Zahra menghubunginya, dia terlambat. Dia tak menemukan siapapun di sana, bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. "Sial! Aku terlambat," gerutu Zein, menendang sisi bagian samping mobil mewah miliknya lalu segera masuk dalam mobil. Hujan masih turun–walau rintik-rintik, dan kemana perempuan itu pergi? Sialan, entah kenapa Zein mengkhawatirkan Zahra. Ketika ingin pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Marcus–tangan kanan Zein mengirim sesuatu. Zein langsung menggeram marah, melihat dokumen berupa foto dan keterangan. Foto tersebut adalah foto Zahra yang tengah rangkul mesra oleh seorang laki-laki di rumah sakit. Zein tak bisa mengenali laki-laki tersebut sebab diambil dari samping, akan tetapi dia merasa tidak asing dengan sosok tersebut. [Tuan, saya tidak menemukan cela yang membuktikan jika Nyonya selingkuh dari anda. Akan tetapi, hari ini saya tanpa sengaja bertemu dengan Nyonya di rumah sakit dan menjumpai Nyonya dengan pria di foto
'Memohon …,' ucap Zein dengan nada dingin dari seberang sana. Dia tidak akan melepas Zahra. Tidak akan pernah! Zahra tak menjawab apapun, segera menjauhkan benda pipi tersebut dari telinga kemudian langsung menekan tombol merah di layar–menyudahi panggilan Zein padanya. Di sisi lain, Zein yang memantau Zahra dari kejauhan seketika langsung melempar ponsel ke sembarang arah. Dia dalam mobil, mengamuk menyaksikan sikap tenang Zahra di luar sana. Harusnya dalam kondisi sekarang Zahra memohon padanya, bukan malah bersikap tegar dan keras kepala. "Fucking jerk!" umpat Zein marah, memukul setir dengan sekuat tenaga. Dia masih di sana, memperhatikan Zahra yang saat ini duduk di sebuah kursi taman, sembari mengeluarkan HP. Kemarahan Zein tiba-tiba redup, melihat sikap tenang Zahra entah kenapa hatinya merasa bergetar. Aneh! Ini sudah malam tetapi perempuan itu seolah bersinar dibawah penerangan lampu taman. Seolah sinar berasal dari Zahra, bukan satu lampu. Sejujurnya Zahra adalah wanita
Zein duduk termenung di dalam ruang kerjanya, dia melamun memikirkan Zahra yang sudah tiga hari keluar dari rumah akan tetapi tak kunjung menghubunginya. Perempuan itu seharusnya memohon pada Zein, meminta agar kembali kepada Zein. Namun, Zahra sama sekali tak pernah menghubunginya dan tak pernah menemuinya jua. "Zahra Aurelia." Zein menyebut nama istrinya secara pelan. Namun, dia sangat emosional saat melakukan itu. Entah kenapa ada perasaan aneh ketika dia melakukannya. Tiga hari ini Zein merasa hidupnya tak benar. Zahra pergi dari rumah ini, ikut serta membawa hangat serta cahaya di rumah ini. Biasanya pagi, Zahra selalu menyiapkan bekal untuknya. Siang–di kantor, perempuan itu akan mengantar makan siang. Malam, setelah di rumah, dia akan menyiapkan air pemandian untuk Zein. Ketika bekerja di rumah, Zahra akan datang membantunya. Perempuan itu memberikan secangkir kopi lalu selalu peka dengan memijat pundak Zein saat merasa lelah. Sekarang tak ada yang mengurusnya. Baru tiga har
"Jadi Tuan Zein tidak setuju dengan perceraian kalian?" tanya Lucas pada putrinya, Zahra. Lucas sudah mendengar cerita dari Raka yang mengatakan jika tiga tahun yang lalu putrinya telah menikah dengan seorang tuan muda dari keluarga Melviano. Pernikahan mereka karena sebuah kesalahan dan Zein membenci putrinya karena alasan tersebut. Sekarang putrinya menyerah pada Zein namun naas dia sedang mengandung anak dari pria itu. Zahra menganggukkan kepala. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu mengkhawatirkan ku, Ayah," jawab Zahra pelan, menundukkan kepala untuk menutupi kesedihannya. Dia membenci Zein namun di satu sisi dia masih mencintai pria itu. Dia tahu dia bodoh, akan menghapus cinta yang telah bersemayam dihatinya selama tujuh tahun tidak mungkin semudah itu bisa ia lakukan. Meskipun Zein telah melakukan kejahatan padanya, tetapi Zahra tak membencinya. Padahal Zahra sangat ingin membenci Zein, pria itu tidak pantas mendapatkan cintanya."Nak, kamu bisa mengugurkan bayi itu. Dia bisa m
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka