"Jadi begitukah aku di matamu, Pak? Hanya robot pekerja? Aku tidak berharga sebagai i-istri?"
Zein melayangkan tatapan tajam ke arah Zahra, mendekat dengan mengatupkan rahang secara kuat. "Kau berharap apa, Humm? Mencintaimu? Kau adalah perempuan licik dan busuk. Karena jebakan mu tiga tahun yang lalu, Kakekku memaksa untuk menikahiku dan sekarang aku terjebak dengan perempuan busuk sepertimu," ucap Zein, berdesis marah dengan tatapan menjatuhkan pada Zahra.Zahra membatu di tempat, kali ini membiarkan air matanya jatuh. Dia tidak bisa membendung, perkataan Zein sangat menyakitkan. Sedangkan Zein, setelan mengatakan itu, dia langsung pergi–menggenggam tangan Belle secara mesra.Zahra tertunduk sedih, semakin sakit hati ketika melihat Zein pergi dengan menggenggam mesra tangan Belle."Aku tidak menyangka jika kamu masih menganggapku menjebak mu. Setelah apa yang kulakukan tiga tahun ini sebagai istri, ternyata sama sekali tak membuatmu luluh, Pak," gumam Zahra, menangis sedih sebab kecewa pada Zein. Zahra tak menyangka jika ulang tahun pernikahannya akan berakhir sangat buruk, sangat-sangat menyakitkan.***Zahra menunduk, menatap lalu mengelus perutnya yang masih rata. Saat ini dia di sebuah taman untuk menangkan pikiran. "Nak, bagaimana cara Mama memberitahu Papamu jika kamu hadir dalam perut Mama? Apa kamu akan marah jika semisal Papa tidak menginginkan keberadaan mu, Sayang?" gumamnya dengan nada bergetar, menitihkan air mata dengan perasaan yang sangat terluka.Awalnya dia pikir bayi dalam perutnya akan membantu untuk menghangatkan hubungannya dengan suaminya, akan tetapi sekarang dia menyerah. Belle hamil, perempuan itu akan diratukan oleh suaminya. Sedangkan dia? Zein tidak akan peduli pada kehamilannya, sebab dia sudah mendapatkan keturunan dari wanita yang dia cintai."Meskipun Papa tidak menginginkanmu, tetapi Mama sangat ingin. Mama mencintaimu dan sangat menunggu kehadiranmu, Sayang. Apapun yang terjadi Mama harap kamu tetap sehat dalam sana, kamu harus kuat. Okey, Sayang?" ucap Zahra kembali pada perutnya, berbicara seolah anak dalam perutnya tersebut bisa mendengarnya."Zahra."Mendengar seseorang memanggilnya, Zahra langsung menghapus air matanya. Dia menoleh pada seseorang itu sembari tersenyum lembut. "Oh, hai, Paman," sapa Zahra dengan ceria, seolah tidak terjadi apa-apa padanya."Humm." Raka berdehem lembut, duduk di sebelah Zahra walau sebelumnya dia tak izin. Raka Vinsen Melviano adalah paman Zein. Selain kakek Zein, ada Raka yang selalu bersikap baik pada Zahra. Keduanya sangat peduli pada Zahra."Jangan menutup-nutupinya, Zahra. Aku tahu kau sedang bersedih." Raka berucap pelan, menoleh dan memandangi wajah cantik Zahra dari samping, "kau sedih sebab wanita itu kembali pada Zein dan Zein memilihnya?""Hehehe … tidak, Paman." Zahra tertawa sumbang, menutupi luka di hatinya. Bagiamana bisa Raka sangat peka pada keadaannya sedangkan suaminya saja tidak peduli pada perasaannya? "Aku tidak mempermasalahkan itu. Jika memang Pak Zein ingin kembali pada Belle, aku tidak peduli sama sekali," bohongnya."Kudengar kau sangat mencintai Zein." Raka mengamati guratan sedih di wajah Zahra. Dia tahu perempuan ini sedang berbohong padanya. "So, tidak mungkin kau melepasnya? Bagaimana dengan perjuanganmu selama tiga tahun terakhir ini?""Aku berjuang tetapi sekarang aku mulai lelah, Paman. Mencintainya seperti meminum racun sedikit demi sedikit. Awalnya aku kuat, tapi lama kelamaan tubuhku melemah," gumam Zahra pelan. "Ahahaha … jadi curhat. Maaf, Paman," ucapnya kemudian."Tidak apa-apa. Bagaimana dengan mentraktir mu es krim? Mentari belum saatnya terbenam sebab masih ada banyak bunga yang menginginkan sinarmu. Come on, My Queen," ucap Raka dengan begitu lembut dan perhatian.Zahra terkesima sesaat. Sikap inilah yang dia harapkan dari Zein. Namun sepertinya itu mustahil, Zein akan selalu menjadi bongkahan es dihadapannya."Benar, Paman yang akan mentraktir kan? Aku suka gratisan soalnya," celetuk Zahra bahagia, dia sangat suka bersama Raka sebab pria ini sudah ia anggap seperti sosok papa untuknya. Pria ini sangat hangat dan keayahan untuk Zahra yang merindukan sosok ayahnya."Ah, kau sangat menggemaskan, Nak," canda Raka, terkekeh pelan sembari mengusap pucuk kepala Zahra. Dia senang jika Zahra tertawa bahagia seperti sekarang.Namun, baru saja mereka melangkah tiba-tiba saja Handphone Zahra berbunyi.Zahra menempelkan benda pipih canggih tersebut ke telinga. Tak lama wajahnya pucat, mendengar kabar buruk tentang neneknya.***Zahra berlari cepat di lorong rumah sakit, wajahnya pucat pias dan jantungnya berdegup kencang. Neneknya, satu-satunya keluarga Zahra di dunia ini dalam kondisi yang berbahaya.Air mata Zahra jatuh, tubuhnya gemetaran hebat sebab takut kehilangan neneknya."Zahra Aurelia si gadis miskin dan jalang. Cih." Seseorang muncul, menghadang Zahra yang sedang terburu-buru."Aku tidak punya waktu untuk meladeni mu. Nenekku sedang dalam kondisi buruk, menyingkir lah," ucap Zahra dingin. Dia cukup kaget kenapa Belle ada di rumah sakit ini, akan tetapi dia juga tak peduli. Neneknya lebih penting untuk saat ini."Sayang sekali, padahal aku ingin membagi kabar bahagia untukmu. Aku dan Zein baru saja melakukan cek up kandungannya. Zein menemaniku dan selalu di sisiku saat cek up tadi. Ahahaha … kami begitu romantis. Sedangkan kamu? Menyedihkan sekali, neneknya sudah mau mati tapi tak ada satupun orang yang menemanimu di saat masa-masa sedihmu. Kasihan!" ledek Belle, tanpa memikirkan perasaan Zahra sama sekali."Jahat sekali mulutmu," ucap Zahra yang sudah menangis. Keadaannya sangat lemah dan pikirannya sangat kacau. "Aku berharap karma akan segera datang padamu," tambah Zahra dengan penuh perasaan hancur dan sakit.Zein menemani perempuan ini untuk cek kandungan. Sedangkan Zahra?! Dia sendirian di sini!"Karma? Apa itu karma?" sombong Belle, tiba-tiba menjatuhkan diri ke lantai. Dia sengaja sebab melihat Zein berjalan ke sini. Persetan dengan kondisi bayi dalam perutnya, yang dia inginkan Zein semakin muak serta membenci Zahra."Kamu kenap …-" Zahra terlambat, sebab Belle lebih dulu terjatuh. Perempuan itu mengeluarkan banyak darah dan terlihat meringis sakit."Argkkkk … sakiiiiiiit!" pekik Belle kencang, meringkuk di lantai dengan memeluk perutnya."Belle," panik Zein, langsung berlari menghampiri Belle. Dia langsung menggendong perempuan itu, tak langsung pergi sebab dia melayangkan tatapan tajam pada Zahra. "Tunggu di sini dan jangan sekalipun berani melangkahkan kaki dari sini. Kau harus dihukum!" geram Zein dingin, segera berlalu tanpa mendengar jeritan serta permohonan Zahra."Pak, kondisi Nenekku dalam …-" Ucapan Zahra berhenti."Jangan beralasan agar kau bebas dari kesalahanmu!" bentak Zein. Setelah itu benar-benar pergi meninggalkan Zahra.Zahra tidak peduli, memilih menemui neneknya yang mungkin sangat membutuhkan keberadaannya. Namun, setelah di ambang pintu ruangan neneknya di rawat, tubuh Zahra langsung mematung–melihat seorang dokter menutup tubuh neneknya dengan kain. Dia terlambat!Zahra sekarang di pemakaman neneknya, memeluk boneka yang pernah neneknya jahitkan untuknya saat dia kecil dahulu. Zahra menjatuhkan tubuhnya, bersimpuh di kuburan neneknya. Air matanya berlinang dan jatuh dengan deras, terpukul–hancur sebab kehilangan sosok neneknya. Zahra meletakkan bunga kesukaan neneknya di atas kuburan, mengusap batu nisan sang nenek dengan bulir kristal yang berjatuhan. "Terimakasih sudah merawat Zahra dengan baik, Nek. Terimakasih untuk semua cintanya. Dan maaf … maaf jika Zahra belum bisa menjadi cucu yang baik untukmu, Nek," ucap Zahra dengan nada bergetar hebat. Dia kembali menangis, sesenggukan sembari memeluk erat batu nisan neneknya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menyentuh pundaknya, Zahra pikir dia adalah Zein. Namun dia salah, dia Raka. Hah, apa yang Zahra harapkan pada Zein? Mungkin sekarang pria itu sedang bahagia dengan kekasihnya, tengah berpesta sebab sebentar lagi akan punya anak dari perempuan yang dia cintai. "Maaf terlambat datang, Zahra. Da
"Ayo bercerai, Pak," dingin Zahra, mendongak dengan melayangkan tatapan kosong pada Zein. Zein kaget, terkesima serta tak percaya. Dia menatap Zahra lekat, memperhatikan perempuan tersebut secara teliti. Zahra terlihat serius dan tidak main-main dengan perkataannya. Itu membuat Zein sangat bingung. Tidak mungkin! Zahra tergila-gila padanya, Zahra menginginkannya dan sangat terobsesi menjadi nyonya Melviano. Tidak mungkin perempuan ini meminta cerai. "Kau sedang berdua, jadi berhenti berbicara omong kosong," tegur Zein, tiba-tiba menggenggam tangan Zahra. Entah kenapa dia melakukan hal itu. Zahra menepis tangan Zein lalu menggelengkan kepala. "Yah, karena aku sedang berduka, Pak. Oleh sebab aku ingin menghentikan duka dan penderitaan ini. Anda tidak mencintaiku, dan wanita yang anda tunggu telah kembali. Jadi, mari bercerai, Pak," ucap Zahra tegas. "Diam!" marah Zein, melayangkan tatapan membunuh serta penuh peringatan pada Zahra. Dia tidak suka perempuan ini mengatakan omong koso
Zahra termenung dalam kamar, dia di rumah Zein karena paksaan Zein saat itu. Sekarang dia sedang beristirahat, tubuhnya lemah karena kehamilannya. Zahra sedang menunggu Zein, akan tetapi setelah hari pemakaman neneknya Zein tak pernah lagi pulang ke tempat ini. Zein sepertinya memang sudah tak menginginkannya. Sudah ada Belle, pengganti Zahra. Ah, salah. Selama tiga tahun ini Zahra lah yang menjadi pengganti. Sekarang Belle kembali dan posisinya sebagai istri Zein bisa dikatakan telah berakhir. "Aku harus pergi dari sini. Aku tidak boleh membiarkan diriku terus-terusan menderita," monolog Zahra, bangkit dari ranjang lalu buru-buru mengemasi pakaiannya ke dalam koper. Selagi Zein tak di sini, Zahra akan pergi dari rumah. Toh, sejak awal Zein tidak mengharapkan kehadirannya. Selama tiga tahun Zahra berjuang untuk cinta Zein. Meskipun selama ini dia mendapatkan perlakuan dingin, tetapi Zahra percaya jika suatu saat Zein akan membalas cintanya. Namun, mungkin itu mustahil. Belle tetap
"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut. "Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana. "Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."Zein tanpa pikir
Hujan turun dengan deras, suhu begitu dingin dan rasanya menusuk hingga ke tulang-tulang. Cuaca seperti mendukung kesedihan serta kehancuran hari Zahra yang saat ini berjalan lunglai dengan menyeret koper. Zahra akan kembali ke rumah neneknya dan dia dahulu. Dia akan mengulang hidup baru dan memperbaiki semuanya dengan cara mencintai diri sendiri. Sebenarnya sebelum meninggal, neneknya pernah mengatakan agar Zahra menemui ayah kandungnya. Ayah Zahra adalah sosok yang baik, tetapi dia meninggalkan Zahra, ibunya dan neneknya saat Zahra berusia tujuh tahun. Orang-orang berseragam hitam memaksa ayahnya agar ikut dengannya. Kalung yang saat ini Zahra kenakan adalah kalung pemberian ayahnya saat akan dibawa pergi oleh orang-orang berseragam hitam itu. Neneknya mengatakan agar Zahra menemui ayahnya setelah sang nenek tiada. Sekarang neneknya sudah tiada tetapi Zahra tidak ada niat untuk mencari ayahnya. Dia harus mencari kemana? Dia sendiri saja ragu apa masih mengenali ayahnya. Air mata Z
Saat Zein menyusul Zahra ke tempat terakhir Zahra menghubunginya, dia terlambat. Dia tak menemukan siapapun di sana, bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. "Sial! Aku terlambat," gerutu Zein, menendang sisi bagian samping mobil mewah miliknya lalu segera masuk dalam mobil. Hujan masih turun–walau rintik-rintik, dan kemana perempuan itu pergi? Sialan, entah kenapa Zein mengkhawatirkan Zahra. Ketika ingin pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Marcus–tangan kanan Zein mengirim sesuatu. Zein langsung menggeram marah, melihat dokumen berupa foto dan keterangan. Foto tersebut adalah foto Zahra yang tengah rangkul mesra oleh seorang laki-laki di rumah sakit. Zein tak bisa mengenali laki-laki tersebut sebab diambil dari samping, akan tetapi dia merasa tidak asing dengan sosok tersebut. [Tuan, saya tidak menemukan cela yang membuktikan jika Nyonya selingkuh dari anda. Akan tetapi, hari ini saya tanpa sengaja bertemu dengan Nyonya di rumah sakit dan menjumpai Nyonya dengan pria di foto
'Memohon …,' ucap Zein dengan nada dingin dari seberang sana. Dia tidak akan melepas Zahra. Tidak akan pernah! Zahra tak menjawab apapun, segera menjauhkan benda pipi tersebut dari telinga kemudian langsung menekan tombol merah di layar–menyudahi panggilan Zein padanya. Di sisi lain, Zein yang memantau Zahra dari kejauhan seketika langsung melempar ponsel ke sembarang arah. Dia dalam mobil, mengamuk menyaksikan sikap tenang Zahra di luar sana. Harusnya dalam kondisi sekarang Zahra memohon padanya, bukan malah bersikap tegar dan keras kepala. "Fucking jerk!" umpat Zein marah, memukul setir dengan sekuat tenaga. Dia masih di sana, memperhatikan Zahra yang saat ini duduk di sebuah kursi taman, sembari mengeluarkan HP. Kemarahan Zein tiba-tiba redup, melihat sikap tenang Zahra entah kenapa hatinya merasa bergetar. Aneh! Ini sudah malam tetapi perempuan itu seolah bersinar dibawah penerangan lampu taman. Seolah sinar berasal dari Zahra, bukan satu lampu. Sejujurnya Zahra adalah wanita
Zein duduk termenung di dalam ruang kerjanya, dia melamun memikirkan Zahra yang sudah tiga hari keluar dari rumah akan tetapi tak kunjung menghubunginya. Perempuan itu seharusnya memohon pada Zein, meminta agar kembali kepada Zein. Namun, Zahra sama sekali tak pernah menghubunginya dan tak pernah menemuinya jua. "Zahra Aurelia." Zein menyebut nama istrinya secara pelan. Namun, dia sangat emosional saat melakukan itu. Entah kenapa ada perasaan aneh ketika dia melakukannya. Tiga hari ini Zein merasa hidupnya tak benar. Zahra pergi dari rumah ini, ikut serta membawa hangat serta cahaya di rumah ini. Biasanya pagi, Zahra selalu menyiapkan bekal untuknya. Siang–di kantor, perempuan itu akan mengantar makan siang. Malam, setelah di rumah, dia akan menyiapkan air pemandian untuk Zein. Ketika bekerja di rumah, Zahra akan datang membantunya. Perempuan itu memberikan secangkir kopi lalu selalu peka dengan memijat pundak Zein saat merasa lelah. Sekarang tak ada yang mengurusnya. Baru tiga har
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s
"Agatha putriku! Jauhkan tangan kotormu dari rambut putriku," marah Almira, menepis kasar tangan Seline dari atas kepala Agatha. Seline dan Almira saling bertatapan, sepertinya akan saling memakan satu sama lain. Penuh kemaraha! Hingga tiba-tiba saja, Alka datang. "Sya, Agatha, ayo, kita makan siang bersama," ajak Alka, tersenyum manis pada kedua sahabatnya. Akan tetapi, senyumannya seketika pudar saat menyadari aliran ketegangan yang ada di sana. "Calon Mama dan Mama Agatha. Mereka berebut Agatha," bisik Syakila pada Alka, ketika Paci-nya tersebut mendekat ke arahnya. "Kukira Agatha hanya diperebutkan Kakak dan pria luaran sana. Ternyata … ck ck ck," balas Alka, berbisik pada Syakila. Sedangkan Agatha, perempuan itu tiba-tiba sudah mengenakan kacamata hitam. Dia tersenyum lebar, cengengesan lebih tepatnya. "Wah … masih calon bintang saja sudah diperebutkan. Superstar Agatha memang keren. Ahahaha …." Agatha terkekeh geli sendiri, mulai berpose seolah ada kamera yang mengambil g
"Hais, aku capek sekali!" keluh Agatha, berjalan bersebelahan dengan Sandi. Rapat sudah selesai dan Agatha merasa sangat kelelahan. Untung saja sebelum rapat, suaminya memaksanya untuk makan. Jika tidak, Agatha rasa saat ini dia sudah tak punya tenaga lagi. Sekali lagi, untung suaminya pengertian. "Kamu baik-baik saja?" tanya Sandi, menatap wajah Agatha yang cukup pucat. "Hais." Agatha menatap kesal pada Sandi, "masih bertanya? Kamu lihat wajahku, Hah? Lihat?" Agatha berjinjit lalu mencengkeram kesal kerah kemeja Sandi. "I-iya, aku melihat." Sandi mengangkat kedua tangan ke atas, pertanda dia menyerah dan tak berani melawan. "Apa-apaan kalian ini?" Tiba-tiba saja Raka muncul, langsung menarik lengan Agatha supaya menjauh dari Sandi. "Agatha, jangan dekat-dekat dengan pria lain. Kamu sudah punya Nail," lanjut Raka, menegur Agatha–menatap dingin cucu menantunya tersebut. Agatha berkacak pinggang. "Siapa yang dekat-dekat, Kakek? Dia ini bertanya apakah aku baik-baik saja atau
"Tuan Nail, di-dia … perempuan dibelakang anda, dia lah yang menggedor pintu anda. Bu-bukan aku." Tiba-tiba saja Laila muncul, langsung menuduh Agatha. Nail menoleh ke arah belakang, menatap istrinya yang terlihat menyengir sembari menggaruk pipi. "Laila, apa yang kamu lakukan di sini?" ucap Almira tiba-tiba, menarik cepat Laila yang menghalangi jalan Nail. Almira sangat mengenal seperti apa Nail. Pria ini sangat membenci orang-orang yang mengusik dan menghalangi langkahnya. Terlebih Laila bukan siapa-siapa Nail, perempuan ini bisa berakhir mengenaskan jika masih tetep berdiri menghalangi langkah Nail yang pemarah. "Jangan menghalangi jalan Tuan Nail," peringat Almira tegas, melayangkan tatapan dingin pada Laila. Laila membungkuk hormat pada Almira, dia menatap gugup ke arah Nail kemudian beralih menatap benci pada Agatha yang masih bersembunyi di belakang Nail. "Bos Almira, Agatha menggedor pintu Tuan Nail sehingga Tuan Nail sangat marah. Tetapi saat itu aku di sana dan