"Bagiamana bisa Pak Zein memberiku hadiah kalung mahal, Tante? Sedangkan Pak Zein saja tak peduli dengan ku, membawa bunga tulip ke rumah ini padahal dia tahu aku alergi."
Zein kaget mendengarnya, seketika menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuh. Hell! Dia malu sekali. Bisa-bisanya dia lupa jika istrinya alergi bunga tulip. Dia terlalu bersemangat saat mencari filosofi tentang bunga dan menemukan makna bunga tulip merah muda yang merupakan tanda atau lambang cinta yang tulus dan lembut."Ini bukan untukmu," jawab Zein dingin, menutupi perasaan malu sebab kesalahannya sendiri. Konyol! Dia meletakkan bunga tersebut secara asalan di atas meja nakas yang ada di sana."Aku juga tidak berharap anda memberikan itu padaku. Penyakit!" ketus Zahra sembari mengemasi pakaiannya yang diacak kembali dalam koper. Setelah itu, dia mengeluarkan surat pengunduran diri dan perceraian. "Minta ibu anda mengembalikan kalungku, Pak. Itu kalung-- hadiah terakhir dari ayah saya."Zein tanpa pikir panjang merampas kalung tersebut dari mamanya lalu memberikannya pada Zahra. Dia berharap dengan begitu Zahra memaafkan kesalahannya mengenai bunga ini."Zein, jangan berikan. Itu kalung mahal dan dia berniat membawanya pergi dari rumah ini." pekik Yolanda."Itu kalung milik Zahra, Mah. Jadi dia berhak membawanya kemanapun." Zein membela Zahra, lagi-lagi bertujuan supaya Zahra terkesan padanya. Dia sedikit menyesali perlakuannya beberapa hari ini pada Zahra."Bagaimana bisa dia punya kalung semahal itu? Itu berlian langka sedangkan dia hanya perempuan miskin.""Mama dengar bukan, itu pemberian ayahnya. Dan … miskin?! Setidaknya dia kaya akan ilmu pengetahuan dan berbakat dalam banyak bidang," ucap Zein, tanpa sadar dan spontanitas sebab tidak terima mamanya mengatai istrinya.Pada akhirnya Yolanda menyerahkan kalung tersebut pada Zahra.Zahra terkesima sejenak. Namun, Zahra tak akan luluh. Jika dia bertahan hanya karena dibela oleh Zein hari ini, itu sama saja dengan dia membiarkan dirinya untuk terluka selama seumur hidup."Pak, aku tidak punya banyak waktu. Ini-- surat perceraian kita yang sudah ku tandatangani dan surat pengunduran diriku sebagai sekretaris anda," ucap Zahra sembari menyerahkan surat tersebut paada Zein. Setelah itu, Zahra berniat pergi dari sana. Akan tetapi Zein menarik pergelangan tangannya.Zein seketika mengatupkan rahang, melayangkan tatapan tajam dan membunuh pada Zahra. "Aku tidak akan menceraikanmu, tidak akan melepasmu sampai kapanpun. Sebab kau telah menjadi milikku, Zahra Aurelia Melviano. Selamanya!!" geram Zein dingin.Zahra tersenyum tipis, menyembunyikan luka di balik senyuman itu. "Belle pasti akan kecewa jika mendengar pria yang dia cintai mengklaim wanita lain sebagai miliknya. Caramu berbicara seolah anda mencintaiku, Pak. Tapi tidak mungkin sebab anda berhasil menanam benih di rahim wanita lain. Belle hamil anakmu, jadi lebih baik cepat ceraikan aku lalu menikahlah denganya.""TIDAK!" bentak Zein marah. "Aku tidak akan menceraikanmu dan tidak berniat sedikitpun menikahi Belle. Kau satu-satunya yang berhak mendapat status sebagai istriku."Zahra terdiam sejenak, sedikit tersanjung oleh perkataan Zein. Hanya dia satu-satunya yang berhak?! Su-sungguh?! Namun, ucapan Yolanda membuat hati Zahra kembali menciut, menjatuhkan Zahra sadar diri jika Belle selamanya akan menjadi pemenang."Apa? Belle hamil anak kamu, Sayang? Artinya Mama akan menimang cucu? Ah, bagus kalau begitu. Akhirnya …." Yolanda memekik senang.Zahra tersenyum lembut, menyipitkan mata untuk menutupi bulir kristal. Ibu mertuanya sangat bahagia setelah tahu Belle hamil, padahal Belle bukan istri dari Zein. Apa jika Zahra memberitahu jika dia juga tengah hamil, Yolanda akan bahagia? Tidak, dia hanya akan mendapat caci makian. Atau … anaknya kelak akan mendapat perlakuan tidak adil dari neneknya sendiri. Belle disayangi oleh Yolanda, anaknya akan dimanja oleh Yolanda. Sedangkan anak Zahra, mungkin hanya mendapat sikap dingin. Jadi lebih baik dia tidak mengatakannya! Namun--Zahra menatap perutnya. Sangat sakit!!"Selamat, Tante," ucap Zahra sembari tersenyum lembut setelah itu segera beranjak dari sana sebab perutnya sangat sakit."Zahra, jangan keras kepala dan kembali masuk dalam kamarmu!" Marah Zein."Kita sudah selesai, Pak.""Bagiamana dengan kakek? Kau tidak memikirkan perasaannya? Dia sudah sangat baik padamu." Zein terus mencegah."Aku akan menemuinya dan membicarakan hal ini secara pelan-pelan," jawab Zahra pelan, menahan sakit di perutnya. Di waktu bersamaan, Zahra kecewa. Dia kira Zein menahannya sebab sebuah perasaan. Ternyata Zein menahannya tak lebih karena untuk menjaga perasaan kakeknya saja."Ck, Zein. Biarkan saja dia pergi. Untuk apa menahan perempuan penggila harta seperti dirinya. Lebih baik kamu sekarang fokus pada Belle, dia akan menjadi istrimu dan Mama akan menyambutnya dengan senang hati sebagai menantu Mama.""Mah!" gertak Zein, merasa jika mamanya hanya memperparah keadaan. Zahra tidak boleh pergi darinya dan siapapun akan ia lawan untuk hal itu. "Belle tidak akan pernah kunikahi. Apa yang terjadi padanya-- anak dalam perutnya hanya kecelakaan satu malam. Aku bertanggung jawab tetapi tidak dengan menikahinya!" jelas Zein dengan dingin. Dia tidak terima jika Zahra Keukeh untuk bercerai dengannya. Sekalipun ada perceraian, itu atas kehendak Zein sendiri. Dia yang berhak!"Kecelakaan?" sinis Zahra tiba-tiba, melepas cekalan tangan Zein di pergelangannya. "dengan mudah Pak Zein menyebut yang terjadi pada kalian adalah sebuah kecelakaan semata.""Memang begitu faktanya. Sekarang masuk dalam kamarmu. Wajahmu pucat dan istirahatlah." Zein berkata datar, tetapi perhatian secara bersamaan."Bagaimana dengan malam tiga tahun yang lalu, antara anda dan saya?" Zahra mengangkat alis, berusaha tetap tegas walau perutnya sangat sakit. "Itu juga merupakan sebuah kecelakaan. Tetapi mengapa anda tidak berpikir begitu? Malah anda menyebutnya sebagi jebakan licik untuk menikahi mu," ucap Zahra, setelah itu dia melanjutkan langkahnya. Tak ada lagi yang harus ia bicarakan dengan Zein. Semua sudah usai!Lihat?! Zein tidak menjawabnya, pria ini memang tak menghargainya sama sekali. Untuk apa dia bertahan?!"Satu langkah saja kau berani keluar dari rumah ini, jangan harap kau bisa kembali padaku lagi, Zahra Aurelia Melviano!" teriak Zein marah, berharap dengan begitu Zahra mengurungkan niat untuk pergi dari sini. Namun, Zahra yang sudah diambang kata menyerah sama sekali tak mendengar. Dia bahkan tidak tertarik saat Zein menyertakan nama keluarga pria itu di belakang namanya.Semua terasa hampa! Berakhir!"Zahra, kau tidak akan bisa hidup tanpaku! Kau hanya sedang bermain-main agar aku peduli padamu. Besok juga kau akan kembali ke rumah ini," teriak Zein dengan bersedekap di dada, begitu arogan dan enggan mengejar Zahra. Dia tak akan mencegah Zahra, dia yakin perempuan ini hanya menggertak supaya diperhatikan. Zahra tersenyum tipis mendengar teriakan Zein tersebut. Dia terus melangkah untuk keluar dari rumah ini, tak peduli pada ucapan suaminya. Zein terlalu percaya diri, dan Zahra pastikan kali ini Zein salah besar. 'Aku pastikan aku tidak akan pernah kembali padamu, Pak. Bahkan saat kamu memohon-mohon sekalipun. Aku membencimu!'Hujan turun dengan deras, suhu begitu dingin dan rasanya menusuk hingga ke tulang-tulang. Cuaca seperti mendukung kesedihan serta kehancuran hari Zahra yang saat ini berjalan lunglai dengan menyeret koper. Zahra akan kembali ke rumah neneknya dan dia dahulu. Dia akan mengulang hidup baru dan memperbaiki semuanya dengan cara mencintai diri sendiri. Sebenarnya sebelum meninggal, neneknya pernah mengatakan agar Zahra menemui ayah kandungnya. Ayah Zahra adalah sosok yang baik, tetapi dia meninggalkan Zahra, ibunya dan neneknya saat Zahra berusia tujuh tahun. Orang-orang berseragam hitam memaksa ayahnya agar ikut dengannya. Kalung yang saat ini Zahra kenakan adalah kalung pemberian ayahnya saat akan dibawa pergi oleh orang-orang berseragam hitam itu. Neneknya mengatakan agar Zahra menemui ayahnya setelah sang nenek tiada. Sekarang neneknya sudah tiada tetapi Zahra tidak ada niat untuk mencari ayahnya. Dia harus mencari kemana? Dia sendiri saja ragu apa masih mengenali ayahnya. Air mata Z
Saat Zein menyusul Zahra ke tempat terakhir Zahra menghubunginya, dia terlambat. Dia tak menemukan siapapun di sana, bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. "Sial! Aku terlambat," gerutu Zein, menendang sisi bagian samping mobil mewah miliknya lalu segera masuk dalam mobil. Hujan masih turun–walau rintik-rintik, dan kemana perempuan itu pergi? Sialan, entah kenapa Zein mengkhawatirkan Zahra. Ketika ingin pulang ke rumahnya, tiba-tiba saja Marcus–tangan kanan Zein mengirim sesuatu. Zein langsung menggeram marah, melihat dokumen berupa foto dan keterangan. Foto tersebut adalah foto Zahra yang tengah rangkul mesra oleh seorang laki-laki di rumah sakit. Zein tak bisa mengenali laki-laki tersebut sebab diambil dari samping, akan tetapi dia merasa tidak asing dengan sosok tersebut. [Tuan, saya tidak menemukan cela yang membuktikan jika Nyonya selingkuh dari anda. Akan tetapi, hari ini saya tanpa sengaja bertemu dengan Nyonya di rumah sakit dan menjumpai Nyonya dengan pria di foto
'Memohon …,' ucap Zein dengan nada dingin dari seberang sana. Dia tidak akan melepas Zahra. Tidak akan pernah! Zahra tak menjawab apapun, segera menjauhkan benda pipi tersebut dari telinga kemudian langsung menekan tombol merah di layar–menyudahi panggilan Zein padanya. Di sisi lain, Zein yang memantau Zahra dari kejauhan seketika langsung melempar ponsel ke sembarang arah. Dia dalam mobil, mengamuk menyaksikan sikap tenang Zahra di luar sana. Harusnya dalam kondisi sekarang Zahra memohon padanya, bukan malah bersikap tegar dan keras kepala. "Fucking jerk!" umpat Zein marah, memukul setir dengan sekuat tenaga. Dia masih di sana, memperhatikan Zahra yang saat ini duduk di sebuah kursi taman, sembari mengeluarkan HP. Kemarahan Zein tiba-tiba redup, melihat sikap tenang Zahra entah kenapa hatinya merasa bergetar. Aneh! Ini sudah malam tetapi perempuan itu seolah bersinar dibawah penerangan lampu taman. Seolah sinar berasal dari Zahra, bukan satu lampu. Sejujurnya Zahra adalah wanita
Zein duduk termenung di dalam ruang kerjanya, dia melamun memikirkan Zahra yang sudah tiga hari keluar dari rumah akan tetapi tak kunjung menghubunginya. Perempuan itu seharusnya memohon pada Zein, meminta agar kembali kepada Zein. Namun, Zahra sama sekali tak pernah menghubunginya dan tak pernah menemuinya jua. "Zahra Aurelia." Zein menyebut nama istrinya secara pelan. Namun, dia sangat emosional saat melakukan itu. Entah kenapa ada perasaan aneh ketika dia melakukannya. Tiga hari ini Zein merasa hidupnya tak benar. Zahra pergi dari rumah ini, ikut serta membawa hangat serta cahaya di rumah ini. Biasanya pagi, Zahra selalu menyiapkan bekal untuknya. Siang–di kantor, perempuan itu akan mengantar makan siang. Malam, setelah di rumah, dia akan menyiapkan air pemandian untuk Zein. Ketika bekerja di rumah, Zahra akan datang membantunya. Perempuan itu memberikan secangkir kopi lalu selalu peka dengan memijat pundak Zein saat merasa lelah. Sekarang tak ada yang mengurusnya. Baru tiga har
"Jadi Tuan Zein tidak setuju dengan perceraian kalian?" tanya Lucas pada putrinya, Zahra. Lucas sudah mendengar cerita dari Raka yang mengatakan jika tiga tahun yang lalu putrinya telah menikah dengan seorang tuan muda dari keluarga Melviano. Pernikahan mereka karena sebuah kesalahan dan Zein membenci putrinya karena alasan tersebut. Sekarang putrinya menyerah pada Zein namun naas dia sedang mengandung anak dari pria itu. Zahra menganggukkan kepala. "Aku tidak apa-apa, tidak perlu mengkhawatirkan ku, Ayah," jawab Zahra pelan, menundukkan kepala untuk menutupi kesedihannya. Dia membenci Zein namun di satu sisi dia masih mencintai pria itu. Dia tahu dia bodoh, akan menghapus cinta yang telah bersemayam dihatinya selama tujuh tahun tidak mungkin semudah itu bisa ia lakukan. Meskipun Zein telah melakukan kejahatan padanya, tetapi Zahra tak membencinya. Padahal Zahra sangat ingin membenci Zein, pria itu tidak pantas mendapatkan cintanya."Nak, kamu bisa mengugurkan bayi itu. Dia bisa m
"Zahra Aurelia Melviano!"Mendengar namanya diteriaki, Zahra mendongak ke arah suara tersebut. Langkahnya langsung berhenti, begitu juga dengan Raka dan bodyguard yang mengawal. Zahra terkejut bukan main saat mendapati Zein di depan, sekarang sedang berjalan menghampirinya.Zahra terlihat tegang, gugup dan cukup waspada. Setelah hari itu, sejujurnya Zahra belum siap untuk bertemu dengan Zein. 'Aku pasti bisa. Aku harus menghadapinya.' batin Zahra, mengepalkan tangan kuat untuk memberinya dukungan. Saat Zein telah berada tepat di depannya, Zahra langsung mengangkat dagu secara angkuh. "Apa yang kau lakukan di sini?" geram Zein dingin setelah dia berada di depan Zahra. "Kita sudah tidak punya urusan, Pak Zein. Jadi kurasa aku tidak perlu menjawab pertanyaan tidak penting anda," jawab Zahra datar, mengangkat pandangan–memberanikan diri untuk balas menatap Zein yang mengintimidasi. "Kau bicara apa? Kau masih istriku dan urusanmu adalah urusanku," datar Zein, mengulurkan tangan lalu d
"Aku Belle, bukan Zahra, Zein."Zein menghela napas pelan, kaku menunduk untuk memijit pangkalan hidung. Shit! Bagaimana bisa dia berpikir Zahra masih disini?! Perempuan itu bahkan telah berkhianat dan kini memilih bekerja dengan selingkuhannya."Humm." Zein berdehem rendah, kembali menatap Belle lalu pura-pura sibuk dengan pekerjaannya. Setelah Zahra menggugat cerai dirinya, entah kenapa Zein tak berminat menemui perempuan manapun. Termasuk Belle. "Sedang apa kau ke sini?""Kabar baiknya kehamilanku sudah dalam kondisi baik. Aku sudah bisa bekerja dan mari kita lanjutkan proyek dress musim gugur, Zein. Aku siap menjadi model untuk acara sebesar itu," ucap Belle bersemangat. Ini kesempatannya untuk membuktikan diri pada Zein. Tiga tahun ini Belle berhasil membuat namanya populer di dunia fashion dan model. Tentunya dengan bantuan kekasihnya dahulu. Namun, karena pria itu memilih istrinya dan tak bisa membantu Belle lagi, maka Belle kembali ke sini. Zein berkuasa dan disegani di dunia
"Berapa kali si pengkhianat itu menyentuhmu?" tanya Zein tiba-tiba. Ada kemarahan di nadanya, akan tetapi ada kekecewaan serta kesedihan secara bersamaan. Zahra mengepalkan tangan, marah oleh perkataan Zein. Dengan mengucapkan hal tersebut, Zein termasuk telah merendahkannya. "Jangan samakan saya dengan anda, Pak Zein. Saya tidak pernah membiarkan diri saya disentuh oleh pria manapun!" marah Zahra, menyikut perut Zein lalu kembali memberontak. "Lalu bagaimana dengan anak dalam perutmu?" Zein mengatupkan rahang, mencengkeram lengan Zahra kuat. "Tidak mungkin kau hamil tanpa berhubungan."Zahra membulatkan mata, terdiam dengan wajah panik dan gugup secara bersamaan. Zein sudah tahu jika dia hamil? Bagaimana sekarang? Zahra takut Zein melakukan hal gila pada bayi diperutnya. "Jawab!" bisik Zein dingin, tepat di daun telinga Zahra. Setelah itu, dia mengigit daun tekinga Zahra secara kuat. Zahra meringis sakit. "Agk." Dia mendorong Zein sekuat tenaga kemudian bangkit dari ranjang sece
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin
"Pak Nail yang terhormat, tolong lepaskan aku!" pekik Agatha, berusaha melepaskan diri dari gendongan Nail. Nail menulikan pendengaran, tak melepas Agatha dalam gendongannya. Hingga setelah sampai di ruangannya, barulah Nail melepas istrinya–mendudukkan perempuan itu di atas sofa. "Ck, kenapa Mon Tresor membawaku ke sini? Aku baru saja keluar dari ruangan ini. Aih, di sini sangat membosankan," ucap Agatha bernada mengomel, menoleh ke sana kemari untuk memperhatikan ruangan suaminya yang memang menurutnya sangat membosankan. Agatha kemudian melangkahkan kaki, menyenggol pundak Nail kemudian berniat pergi. Akan tetapi, Nail dengan cepat menahan pergelangan tangan istrinya. "Tolong biarkan aku pergi. Aku ingin makan siang dengan Syakila dan Alka.""Makan siang denganku." Nail menjawab cepat, dia duduk lalu menarik Agatha supaya duduk di atas pangkuannya. "Mon Treros!" Agatha menberontak, berusaha lepas dan bangkit dari atas pangkuan suaminya. Akan tetapi Nail memeluk tubuhnya erat, s
"Agatha putriku! Jauhkan tangan kotormu dari rambut putriku," marah Almira, menepis kasar tangan Seline dari atas kepala Agatha. Seline dan Almira saling bertatapan, sepertinya akan saling memakan satu sama lain. Penuh kemaraha! Hingga tiba-tiba saja, Alka datang. "Sya, Agatha, ayo, kita makan siang bersama," ajak Alka, tersenyum manis pada kedua sahabatnya. Akan tetapi, senyumannya seketika pudar saat menyadari aliran ketegangan yang ada di sana. "Calon Mama dan Mama Agatha. Mereka berebut Agatha," bisik Syakila pada Alka, ketika Paci-nya tersebut mendekat ke arahnya. "Kukira Agatha hanya diperebutkan Kakak dan pria luaran sana. Ternyata … ck ck ck," balas Alka, berbisik pada Syakila. Sedangkan Agatha, perempuan itu tiba-tiba sudah mengenakan kacamata hitam. Dia tersenyum lebar, cengengesan lebih tepatnya. "Wah … masih calon bintang saja sudah diperebutkan. Superstar Agatha memang keren. Ahahaha …." Agatha terkekeh geli sendiri, mulai berpose seolah ada kamera yang mengambil g
"Hais, aku capek sekali!" keluh Agatha, berjalan bersebelahan dengan Sandi. Rapat sudah selesai dan Agatha merasa sangat kelelahan. Untung saja sebelum rapat, suaminya memaksanya untuk makan. Jika tidak, Agatha rasa saat ini dia sudah tak punya tenaga lagi. Sekali lagi, untung suaminya pengertian. "Kamu baik-baik saja?" tanya Sandi, menatap wajah Agatha yang cukup pucat. "Hais." Agatha menatap kesal pada Sandi, "masih bertanya? Kamu lihat wajahku, Hah? Lihat?" Agatha berjinjit lalu mencengkeram kesal kerah kemeja Sandi. "I-iya, aku melihat." Sandi mengangkat kedua tangan ke atas, pertanda dia menyerah dan tak berani melawan. "Apa-apaan kalian ini?" Tiba-tiba saja Raka muncul, langsung menarik lengan Agatha supaya menjauh dari Sandi. "Agatha, jangan dekat-dekat dengan pria lain. Kamu sudah punya Nail," lanjut Raka, menegur Agatha–menatap dingin cucu menantunya tersebut. Agatha berkacak pinggang. "Siapa yang dekat-dekat, Kakek? Dia ini bertanya apakah aku baik-baik saja atau
"Tuan Nail, di-dia … perempuan dibelakang anda, dia lah yang menggedor pintu anda. Bu-bukan aku." Tiba-tiba saja Laila muncul, langsung menuduh Agatha. Nail menoleh ke arah belakang, menatap istrinya yang terlihat menyengir sembari menggaruk pipi. "Laila, apa yang kamu lakukan di sini?" ucap Almira tiba-tiba, menarik cepat Laila yang menghalangi jalan Nail. Almira sangat mengenal seperti apa Nail. Pria ini sangat membenci orang-orang yang mengusik dan menghalangi langkahnya. Terlebih Laila bukan siapa-siapa Nail, perempuan ini bisa berakhir mengenaskan jika masih tetep berdiri menghalangi langkah Nail yang pemarah. "Jangan menghalangi jalan Tuan Nail," peringat Almira tegas, melayangkan tatapan dingin pada Laila. Laila membungkuk hormat pada Almira, dia menatap gugup ke arah Nail kemudian beralih menatap benci pada Agatha yang masih bersembunyi di belakang Nail. "Bos Almira, Agatha menggedor pintu Tuan Nail sehingga Tuan Nail sangat marah. Tetapi saat itu aku di sana dan