"Berapa kali si pengkhianat itu menyentuhmu?" tanya Zein tiba-tiba. Ada kemarahan di nadanya, akan tetapi ada kekecewaan serta kesedihan secara bersamaan. Zahra mengepalkan tangan, marah oleh perkataan Zein. Dengan mengucapkan hal tersebut, Zein termasuk telah merendahkannya. "Jangan samakan saya dengan anda, Pak Zein. Saya tidak pernah membiarkan diri saya disentuh oleh pria manapun!" marah Zahra, menyikut perut Zein lalu kembali memberontak. "Lalu bagaimana dengan anak dalam perutmu?" Zein mengatupkan rahang, mencengkeram lengan Zahra kuat. "Tidak mungkin kau hamil tanpa berhubungan."Zahra membulatkan mata, terdiam dengan wajah panik dan gugup secara bersamaan. Zein sudah tahu jika dia hamil? Bagaimana sekarang? Zahra takut Zein melakukan hal gila pada bayi diperutnya. "Jawab!" bisik Zein dingin, tepat di daun telinga Zahra. Setelah itu, dia mengigit daun tekinga Zahra secara kuat. Zahra meringis sakit. "Agk." Dia mendorong Zein sekuat tenaga kemudian bangkit dari ranjang sece
"Aku sedang bersama ayah bayiku, Pak. Aku butuh perhatian dari ayah bayiku dan aku menemuinya." Zein mengatupkan rahang di seberang sana, marah mendengar perkataan Zahra. 'Aku suamimu dan aku bisa memberikan perhatian padamu. Cepat katakan di mana kau berada, aku akan datang menjemputmu!'"Oh yah? Memberiku perhatian dengan cara anda pergi menemui wanita lain?" Zahra berkata santai. 'Belle membutuhkanku, dia sedang mengandung bayiku. Mengertilah.'"Aku juga sedang hamil, Pak."'Bukan bayiku. Jadi untuk apa aku peduli?!' Mendengar itu, hati Zahra benar-benar sakit. Matanya langsung berkaca-kaca dan berair. 'Sekalipun kamu tahu ini bayimu, kurasa kamu tetap tidak akan peduli, kamu tetep akan memilih Belle dibandingkan aku, Pak Zein.' dewi batin Zahra, mengusap air mata yang sempat jatuh dengan gerakan ringan. Zahra menghela napas pelan, tersenyum tipis untuk menghibur diri sendiri. Ucapan Zein tadi sangat menusuk hatinya. "Siapa yang mengharapkanmu peduli?" Zahra bersuara lembut, b
"Zein, maafkan aku karena tidak tahu jika kamu alergi pada udang. Aku sangat bersemangat belajar memasak agar aku bisa menyenangkanmu." Belle meminta maaf pada Zein. Dia telah melakukan kesalahan fatal, dia harus memperbaikinya. "Pergilah. Aku ingin sendiri," ucap Zein, menyeruput kopi sedikit tanpa menoleh pada Belle yang berdiri di sebelahnya. Zein berdecak, meletakkan cangkir kopi secara kesal. Kopi ini tidak pas di lidahnya, Zayyan tak suka sama sekali–berbeda dengan kopi buatan Zahra yang selalu pas di lidahnya. "Ya, tapi besok jangan lupa untuk menemaniku cek kandungan." Sebelah mengatakan itu, Belle beranjak dari sana. Dia mengepalkan tangan, kesal sebab sikap dingin Zein padanya. Sedangkan Zein, dia langsung menumpahkan kopi lalu segera masuk dalam rumah. Mulai sekarang Zein membenci kopi. ***Untuk membahas kerja salam dalam proyek fashion musim gugur, Zein kembali datang ke Seliza. Lagi-lagi Belle ikut sebab masih keukeh agar dirinya bisa berpartisipasi dalam acara besa
"Zahra, tunggu." Zein mengejar Zahra. Rapat telah selesai dan Zein ingin membicarakan hal penting dengan istrinya. Dia baru tahu Zahra adalah direktur utama dari Seliza, itu mengejutkan bagi Zein. "Lepaskan!" Zahra menepis tangan Zein dari pergelangannya kemudian melayangkan tatapan tajam pada pria tersebut. "Tolong berhenti menggangguku, Pak Zein. Kita sudah selesai dan tidak ada yang perlu kita bicarakan. Dan aku harap kamu menjauh dariku setelah ini." Zahra mendorong pundak Zein kemudian berjalan cepat dari sana. Namun, Zein dengan geram menarik Zahra untuk ikut dengannya. Dia membawa perempuan itu ke sebuah tempat yang sepi, mendorong Zahra ke tembok lalu langsung mendaratkan ciuman ke bibir Zahra. Zahra memberontak, mendorong Zein sekuat tenaga agar pria itu lepas darinya. Sedangkan Zein, setelah merasa puas, barulah dia melepas Zahra. "Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku tertarik dan menyukaimu? Apakah kau akan kembali padaku?" ucap Zein kemudian sembari memeluk ping
"Jangan menyentuh istriku, Bajingan tua!" murka Zein, menghampiri Lucas dengan langsung melayangkan pukulan kuat ke wajah pria itu. Bug'Zein melayangkan pukulan ke arah wajah Lucas, begitu kuat dan penuh kemarahan. Itu membuat Lucas terjatuh lau berakhir terhempas di lantai. Zein tak puas begitu saja, dia ingin menghajar lebih brutal lagi, akan tetapi Zahra menariknya lalu mendorongnya kuat. "Zahra!" Zein menggeram penuh kesetanan ketika Zahra berlari ke arah Lucas kemudian membantu pria tua bangka itu berdiri. Zein langsung menyentak istrinya kemudian menyeretnya secara kasar dari sana. ***Bug'Setelah sampai di rumahnya, Zein mendorong Zahra cukup kasar ke atas ranjang kemudian tanpa membiarkan perempuan itu mengucapkan sepatah katapun, dia langsung menyetubuhinya. Setelah puas melampiaskannya pada Zahra, Zein memeluk perempuan itu–memaksa Zahra tidur dengannya. "Tidur!""Lepaskan aku! Hiks … kamu sangat bajingan, Zein Melviano. Kamu bajingan!" pekik Zahra, menangis dan berter
"Aku melakukannya demi Zein dan keluarga Melviano, Tante," bisik Belle manis, begitu meyakinkan–membuat Yolanda tersanjung dan terharu padanya. Yolanda balas berbisik, mengatakan perasaan bangganya pada Belle. "Kamu memang pantas menjadi menantuku, Sayang. Zein harus segera menikah denganmu," bisiknya dengan senyum manis pada Belle. "Tuan Lucas, silahkan duduk." Yolanda mempersilahkan Lucas duduk. Lucas bersedekap angkuh tetapi juga menurut untuk duduk di sebuah sofa yang ada di ruangan tersebut. Yolanda langsung menyuruh maid untuk menyiapkan jamuan istimewa pada Lucas, kemudian dia dan Belle mendekati pria yang sangat dihormati dikota ini. Lucas adalah sang legendaris di dunia bisnis, dia misterius dan ditakuti. "Tuan Lucas, saya senang anda datang." Belle berucap manis, tersenyum cukup menggoda untuk merayu Lucas. Dia duduk dengan anggun tetapi gestur tubuhnya melakukan hal lain, sedikit memajukan dada dan memberikan gerakan tipis supaya bagian tubuhnya tersebut terlihat
Zein menatap ke arah pintu, memperhatikan gerak-gerik Marcus yang datang dengan keadaan terburu-buru. "Kau tergesa-gesa karena apa?" tanya Zein saat Marcus telah menghadap padanya. Marcus menggaruk tengkuk, tersenyum malu pada tuannya. Dia tergesa-gesa bahkan tak sabar memberi tahu informasi yang dia bawa pada tuannya. Informasi tersebut akan sangat mengejutkan tetepi Zein mungkin senang mendengarnya. "Tuan Zein, saya sudah mendapatkan informasi mengenai bayi yang Nyonya kandung," ucap Marcus tiba-tiba. Dia mengeluarkan map berisi laporan kemudian menyerahkannya pada Zein. "Sebelumnya, selamat Tuan," tambah Marcus. Zein mengerutkan kening, mendongak lalu memberikan tatapan bingung pada Marcus. Dia meraih laporan tersebut, membuka map dan membaca isi laporan dengan ekspresi acuh tak acuh. Zahra dibawa paksa oleh Lucas, dan Zein kehilangan mood karena hal tersebut. Bukan tidak senang Zahra bertemu dengan ayahnya, setelah sekian lama. Zahra dulu pernah menceritakan tentang ayahnya y
Zahra mematikan telpon sepihak, meletakkan ponsel di atas meja kemudian kembali melanjutkan pekerjaan. Baru saja Zein menghubunginya, mengatakan jika pria itu akan segera datang menjemputnya. Zahra tak terlalu mempermasalahkan. Pertama, Zein tak tahu di mana Zahra berada dan yang kedua pria itu mungkin serius dengan perkataannya. Zein tak pernah mau repot-repot menemui Zahra karena pria itu tak pernah peduli padanya. Dulu, Zahra pernah meminta Zein untuk menyusulnya ke perusahaan mitra akan tetapi Zein menolak datang. Pernah juga Zahra meminta Zein menjemputnya ke supermarket karena Zahra ada di sana dan mobilnya mogok, Zein menolak dan menyuruh Zahra pulang naik taksi. Jadi sekarang, pria itu hanya mengancam. Mungkin supaya Zahra takut atau memikirkannya. "Nona muda." Tiba-tiba pintu ruangan kerja Zahra terbuka, memperlihatkan seorang bodyguard dengan tampang muka khawatir. Bodyguard tersebut membungkuk hormat pada Zahra lalu melapor. "Tuan Zein ada di ruang tamu, dia mengotot un
"Pulanglah lebih dulu, Nak," ucap Zahra, tersenyum lembut dan hangat pada Nail. Tatapannya begitu sendu, berkaca-kaca karena merasa kasihan pada putranya. Tiga tahun! Ternyata selama itu Nail tak pernah pulang, Nail selalu berada di sini–demi menjaga orangtuanya. Zahra baru tahu ini karena Aiden memberitahunya. Sedangkan Aiden, dia beberapa kali menyuruh Nail kembali ke negara mereka untuk mengunjungi Agatha, akan tetapi Nail menolak karena beberapa alasan. Sekarang Zahra sudah mulai membaik, oleh sebab itu Aiden berani mengatakan hal tersebut pada mama mereka. "Mama dan Papa juga akan pulang secepatnya," lanjut Zahra, meraih tangan Nail lalu menggenggamnya erat. "Pulang, Nak. Temui istri dan anak-anakmu."Nail tersenyum kecut, menggelengkan kepala dengan pelan. "Agatha tidak membiarkanku pulang jika tak membawa Mama dan Papa. Jadi cepatklah sembuh, Mah," ujar Nail lembut, menatap wajah teduh mamanya dengan manik sendu. Mamanya duduk di kursi roda, pada kening mamanya ada sebuah b
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k