Kebahagiaan ini seperti déjà vu. Laura dan Jake pernah merasakan ini, kegembiraan yang memenuhi dada mereka beberapa waktu yang lalu sewaktu Karel mengatakan bahwa mereka akan memiliki anak kembar. Kemudian setelah beberapa saat terlewati, mereka kembali ditunjukkan indahnya hidup saat dipihak oleh semesta. Sebab ... kembar yang mereka dapatkan adalah kembar sepasang. Laki-laki dan perempuan, mereka akan mendapatkannya sekaligus. “Sungguh?” kata Jake, memastikan pada Karel bahwa apa yang baru saja tiba di indera pendengarnya bukanlah sebuah kesalahan. “Sungguh,” jawab Karel yakin. “Kamu lihat yang di sini, ini kantong ke satu yang menunjukkan bahwa dia adalah perempuan,” jelasnya seraya menunjuk pada layar monitor. “Dan yang ini kantong ke dua, jenis kelaminnya laki-laki.” Mata Laura megembun, basah oleh air mata haru mendengar Karel. “Selamat ya sekali lagi.” Jake menoleh pada Laura, memeluk dan menjatuhkan bibir di keningnya. “Terima kasih, Laura,” bisiknya manis. “Aku tida
“Aku dibohongi sepupuku, Tuan, Nona,” jawab Farren, pemuda itu menanggapi keterkejutan Jake perihal dirinya yang terpergok ikut kencan buta oleh istrinya—Hani—sehingga hubungan mereka menjadi kurang baik.“Kamu dibohongi sepupumu, atau kamu membohongi istrimu?” tanya Jake memperjelas dan sepertinya itu membuat Farren kesal setengah matim“Aku dibohongi sepupuku,” jawabnya yakin. “Sepupuku itu bilang biar aku menemuinya di kafe yang dia sebutkan, tapi waktu aku tiba di sana, ternyata dia itu sedang janjian dengan perempuan yang dia ajak kenalan lewat dating app,” terang Farren. “Dia mengajakku karena tidak mau datang sendirian. Sialnya ... aku yang datang terlalu cepat jadi aku yang bertemu lebih dulu dengan perempuan itu dan—“Farren menjeda kalimatnya. Ia memberhentikan mobilnya di belakang garis putih saat rambu lalu lintas menunjukkan warna merah. Melihat dari gestur tangannya yang terlihat putus asa, apa yang akan ia katakan ini sepertinya cukup traumatis.“Dan ternyata tanpa sep
Dadanya berdebar-debar. Elsa sedang mencoba menata debar jantungnya yang bertalu lebih cepat dari pada biasanya. Pandangannya jatuh pada gaun putih yang— “Cantiknya ....” Kehadiran sebuah suara itu membuat Elsa mengangkat wajahnya. Ia menemukan seorang wanita yang tampak sangat cantik dengan gaun ibu hamil yang ia kenakan. “Laura,” sapa Elsa, ia hampir berdiri tetapi Laura mencegahnya dan memintanya agar duduk saja. “Aku pikir sudah tidak boleh menemuimu,” kata Laura. “Tapi ternyata aku diizinkan masuk.” “Memangnya siapa yang bisa melarangmu? Aku akan memarahi mereka.” Laura tertawa saat ia semakin dekat dengan Elsa. Ia menunduk dan memeluk sahabatnya itu selama beberapa detik sebelum melepasnya. Matanya terlihat berkaca-kaca saat memindai Elsa yang sangat cantik dalam balutan gaun pernikahan yang ia kenakan. Benar ... ini adalah hari resepsinya dengan Zafran. Malam yang mereka tunggu agar kebahagiaan yang memeluk mereka itu bisa mereka bagikan pada semua orang, sanak kerabat
Berdiri di antara para hadirin yang ada di sana, Laura ikut bertepuk tangan di samping Jake. Melihat interaksi manis di antara Zafran serta Elsa, Laura bisa memastikan bahwa ini adalah kebahagiaan mereka yang sempurna.Acara dilanjutkan dengan keduanya yang berdansa dengan iringan live music. Tapi sayangnya Laura tidak bisa duduk terlalu lama lagi.Pinggangnya terasa sakit, sehingga ia mengatakan pada Jake bahwa ia ingin pulang saja.“Kalian pulang juga?” tanya Jake, saat mereka melihat Farren serta istrinya—Hani—yang juga keluar dari ballroom.Keduanya menyapa Jake serta Laura lebih dulu sebelum menjawab, “Iya, Tuan Jake. Hani bilang kalau pinggangnya sakit.”“Aku pun juga begitu,” sahut Laura, memandang Hani yang sejauh Laura melihatnya, perutnya sudah sedikit turun ketimbang beberapa waktu yang lalu. Hari kelahiran anaknya semakin dekat, ia tahu itu.“Dan agak pusing melihat banyak orang, Nona Laura,” imbuh Hani yang membuat Laura mengangguk membenarkannya.Setelah berbincang sebe
“Akh!” Anya menjerit seraya meraba pipinya yang terasa remuk. Yang baru saja melayang itu seolah bukan hanya tangan Xandara saja, melainkan juga kemarahan yang bergejolak seperti api disiram minyak. Anya tak berani bertanya mengapa Xandara sampai melakukan itu terhadapnya. Gadis itu lebih memilih diam dan membiarkan Xandara duduk setelah melempar tas miliknya ke atas sofa ruang VIP klub malam tersebut. “Tuangkan aku minuman, Anya!” pinta Xandara setelah keheningan mengurung mereka selama beberapa saat. Anya mengangguk, ia berjalan mendekat dan menurut pada Xandara. Menuangkan minuman mengandung alkohol itu ke dalam gelas berkaki yang ada di atas meja. “Duduk!” titah Xandara sekali lagi. Anya duduk di samping Xandara tetapi baru satu detik berada di sana, ia terlempar jatuh ke lantai. “Kamu berpikir kamu itu pantas duduk di sampingku?” tanya Xandara. Decih kesalnya terdengar saat ia memandang Anya yang lalu berlutut di lantai, tak jauh dari sebelah kanan Xandara duduk menyil
Senin pagi yang tak begitu cerah saat Xandara membuka pintu ruang kerja ayahnya. Kepalanya masih sedikit pusing akibat sisa mabuk semalam. Tetapi karena ia tidak berjumpa ayahnya saat di rumah tadi, maka dengan diantar oleh managernya—Anya—ia pergi ke sini.Kim yang semula duduk di balik meja kerjanya pun seketika bangun melihat kedatangan anak perempuannya.“Xan?” sambutnya hangat. “Kamu sudah baikan? Tadi pagi mamamu bilang kalau kamu kurang enak badan, jadi—““Aku bukannya nggak enak badan,” potong Xandara. “Tapi mabuk. Aku bingung harus melampiaskannya ke mana jadi aku minum semalam.”“Kamu bisa minum di rumah, jangan pergi ke klub malam seperti itu karena kamu public figure. Kalau ada orang yang nanti melihatmu, nanti nama baikmu jadi buruk.”Tapi, kalimat panjang Kim hanya dianggap sebagai sebuah celotehan tak bermakna oleh Xandara.Gadis itu tertawa saat berjalan mendekat pada Kim, melewatinya dan meletakkan tas yang ia bawa ke atas meja kerja sang ayah. Ia duduk di kursi aya
Tangan Laura terulur ke depan, ia menerima buket bunga itu sebelum menarik napasnya sedikit dalam dan menegarkan diri. “Terima kasih,” ucapnya. “Mama dan Papa silahkan duduk.” “Terima kasih,” sambut mereka hampir bersamaan. Laura meletakkan buket bunga itu ke atas meja, kemudian kembali untuk duduk di sofa, berseberangan meja dengan kedua orang tuanya. “Tadi Mama bertanya pada Jake apakah kamu di rumah ataukah di butik,” ujar wanita itu membuka percakapan. “Dia bilang kalau kamu sedang di butik, jadi kami pergi ke sini.” “Mama dan Papa ada perlu sesuatu?” tanya Laura. “Tidak, hanya ingin melihatmu saja,” jawab sang Ayah. “Kami melihat ada sesuatu yang bagus kemarin saat kami pergi ke luar kota, jadi kami membawakannya untukmu.” Hariz mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam paperbag yang ia letakkan di lantai. Ia berikan kotak yang berjumlah dua itu pada Laura, ia letakkan di atas meja agar Laura bisa melihatnya dengan jelas. “Ini pakaian bayi,” ucap Hariz. “Sebelu
Pelukan hangat ayah dan ibunya masih terasa membekas bahkan hingga saat Laura memasuki rumahnya sore hari ini.Ia baru saja dijemput oleh Han—salah satu sopir milik Jake—dan berjalan melewati pintu dengan disambut oleh Rani.“Nona Laura, sudah pulang,” sapanya keibuan.“Iya, Bu Rani.”Rani hampir mengatakan sesuatu lebih jauh sebelum ia melihat Han yang membawa masuk sebuah buket bunga berukuran besar dan beberapa paper bag.“Tolong taruh di meja ruang tengah saja, Pak Han,” pinta Laura.“Baik, Nona.”“Nanti tolong Bu Rani bawa masuk ke dalam kamar ya,” katanya kemudian beralih memandang wanita paruh baya tersebut.“Baik, Nona,” jawabnya. “Tapi dari mana itu jika saya boleh tahu?”“Dari Mama dan Papa.”Jawaban itu membuat Rani terangat kedua alisnya. Hanya beberapa detik keterkejutannya sebelum ekspresinya berubah menjadi rasa senang.“Senang mendengar beliau berdua berusaha memperbaiki hubungan,” ucapnya. “Saya harap Nona mendapatkan kebahagiaan sempurna dan keluarga yang utuh, ditam