“Akh!” Anya menjerit seraya meraba pipinya yang terasa remuk. Yang baru saja melayang itu seolah bukan hanya tangan Xandara saja, melainkan juga kemarahan yang bergejolak seperti api disiram minyak. Anya tak berani bertanya mengapa Xandara sampai melakukan itu terhadapnya. Gadis itu lebih memilih diam dan membiarkan Xandara duduk setelah melempar tas miliknya ke atas sofa ruang VIP klub malam tersebut. “Tuangkan aku minuman, Anya!” pinta Xandara setelah keheningan mengurung mereka selama beberapa saat. Anya mengangguk, ia berjalan mendekat dan menurut pada Xandara. Menuangkan minuman mengandung alkohol itu ke dalam gelas berkaki yang ada di atas meja. “Duduk!” titah Xandara sekali lagi. Anya duduk di samping Xandara tetapi baru satu detik berada di sana, ia terlempar jatuh ke lantai. “Kamu berpikir kamu itu pantas duduk di sampingku?” tanya Xandara. Decih kesalnya terdengar saat ia memandang Anya yang lalu berlutut di lantai, tak jauh dari sebelah kanan Xandara duduk menyil
Senin pagi yang tak begitu cerah saat Xandara membuka pintu ruang kerja ayahnya. Kepalanya masih sedikit pusing akibat sisa mabuk semalam. Tetapi karena ia tidak berjumpa ayahnya saat di rumah tadi, maka dengan diantar oleh managernya—Anya—ia pergi ke sini.Kim yang semula duduk di balik meja kerjanya pun seketika bangun melihat kedatangan anak perempuannya.“Xan?” sambutnya hangat. “Kamu sudah baikan? Tadi pagi mamamu bilang kalau kamu kurang enak badan, jadi—““Aku bukannya nggak enak badan,” potong Xandara. “Tapi mabuk. Aku bingung harus melampiaskannya ke mana jadi aku minum semalam.”“Kamu bisa minum di rumah, jangan pergi ke klub malam seperti itu karena kamu public figure. Kalau ada orang yang nanti melihatmu, nanti nama baikmu jadi buruk.”Tapi, kalimat panjang Kim hanya dianggap sebagai sebuah celotehan tak bermakna oleh Xandara.Gadis itu tertawa saat berjalan mendekat pada Kim, melewatinya dan meletakkan tas yang ia bawa ke atas meja kerja sang ayah. Ia duduk di kursi aya
Tangan Laura terulur ke depan, ia menerima buket bunga itu sebelum menarik napasnya sedikit dalam dan menegarkan diri. “Terima kasih,” ucapnya. “Mama dan Papa silahkan duduk.” “Terima kasih,” sambut mereka hampir bersamaan. Laura meletakkan buket bunga itu ke atas meja, kemudian kembali untuk duduk di sofa, berseberangan meja dengan kedua orang tuanya. “Tadi Mama bertanya pada Jake apakah kamu di rumah ataukah di butik,” ujar wanita itu membuka percakapan. “Dia bilang kalau kamu sedang di butik, jadi kami pergi ke sini.” “Mama dan Papa ada perlu sesuatu?” tanya Laura. “Tidak, hanya ingin melihatmu saja,” jawab sang Ayah. “Kami melihat ada sesuatu yang bagus kemarin saat kami pergi ke luar kota, jadi kami membawakannya untukmu.” Hariz mengeluarkan sebuah kotak besar dari dalam paperbag yang ia letakkan di lantai. Ia berikan kotak yang berjumlah dua itu pada Laura, ia letakkan di atas meja agar Laura bisa melihatnya dengan jelas. “Ini pakaian bayi,” ucap Hariz. “Sebelu
Pelukan hangat ayah dan ibunya masih terasa membekas bahkan hingga saat Laura memasuki rumahnya sore hari ini.Ia baru saja dijemput oleh Han—salah satu sopir milik Jake—dan berjalan melewati pintu dengan disambut oleh Rani.“Nona Laura, sudah pulang,” sapanya keibuan.“Iya, Bu Rani.”Rani hampir mengatakan sesuatu lebih jauh sebelum ia melihat Han yang membawa masuk sebuah buket bunga berukuran besar dan beberapa paper bag.“Tolong taruh di meja ruang tengah saja, Pak Han,” pinta Laura.“Baik, Nona.”“Nanti tolong Bu Rani bawa masuk ke dalam kamar ya,” katanya kemudian beralih memandang wanita paruh baya tersebut.“Baik, Nona,” jawabnya. “Tapi dari mana itu jika saya boleh tahu?”“Dari Mama dan Papa.”Jawaban itu membuat Rani terangat kedua alisnya. Hanya beberapa detik keterkejutannya sebelum ekspresinya berubah menjadi rasa senang.“Senang mendengar beliau berdua berusaha memperbaiki hubungan,” ucapnya. “Saya harap Nona mendapatkan kebahagiaan sempurna dan keluarga yang utuh, ditam
Sore hari ini, Laura gugup saat ia berjalan bergandengan tangan bersama dengan Jake sekeluarnya mereka dari mobil yang dikendarai oleh suaminya itu hingga tiba di tempat ini. Halaman yang luas menyambut kedatangan mereka, tempat yang sudah cukup lama tidak didatangi oleh Laura. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali menginjakkan kakinya di sini. Ini adalah rumah Hariz dan juga Agnia, rumah di mana Laura tinggal sebelum ia diperistri oleh Jake. Ia datang ke sini setelah Jake mengajaknya untuk mengunjungi orang tuanya. Semakin cepat mereka melakukan banyak interaksi, maka akan membuat hubungan mereka juga membaik dalam waktu singkat. Dua orang itu menyambut kedatangan mereka di teras rumah, Agnia bahkan berlari kecil menjemput Laura dan senyumnya yang hangat menghujaninya penuh kasih sayang. “Senang melihatmu, Nak,” katanya. “Selamat datang,” imbuh Hariz yang berdiri di belakang Agnia. “I-ini—“ kata Laura terbata, tangannya terarah ke depan saat menyerahkan dua buah paper bag beruku
Kepalanya berat, Zafran seperti tak diizinkan untuk memproses gelombang kejut yang menghantam dadanya.Langkahnya gamang saat ia mendekat pada mobil sedan miliknya yang ia yakini Elsa tengah berada di dalam sana.‘Apa Elsa baik-baik saja?’ tanyanya dalam hati. ‘Apa dia dan Pak Jun selamat?’“MINGGIR! MINGGIR! TOLONG BERI JALAN!” Suara beberapa petugas medis yang dipanggil oleh saksi yang berada di lokasi kejadian membuat Zafran terjaga.Napasnya tertahan, sesak memenuhi setiap ruang kosong di dalam hatinya saat ia melihat rumitnya evakuasi yang mereka lakukan sewaktu membuka pintu mobil.“ELSA!” Seruan Zafran terdengar memecah ketegangan.Ia beringsut menghampiri seorang wanita yang diangkat keluar dari dalam mobil dengan keadaan kepala yang bersimbah darah.“Itu istrinya Tuan Zafran?”“Astaga ... padahal mereka baru menikah.”Suara orang-orang yang ada di sana memperkeruh keadaan.“Ini istri saya,” ucapnya pada seorang petugas medis yang gegas membawa Elsa masuk ke dalam mobil ambu
“Keluarganya Bu Elsafana?” ucap seorang dokter yang wajahnya bisa dilihat jelas oleh Zafran setelah beliau melepas masker yang ia kenakan. “Benar, saya suaminya, Dokter,” jawab Zafran. “Bagaimana keadaan istri saya?” “Bu Elsa mengalami retak pada tangan sebelah kanannya, Pak,” jawab beliau. “Bu Elsa juga mengalami trauma tumpul abdomen yang kabar baiknya ... itu tidak sampai mengenai organ dalamnya. Wajahnya terluka karena terbentur kaca, tapi itu hanya luka luar saja. Meski nanti meninggalkan bekas, setidaknya kami juga tidak mendapati pendarahan yang fatal.” Kedua bahu Zafran merosot lega. Ketakutan yang beberapa saat lalu membayanginya perlahan sirna. Setitik air matanya keluar, ia menunduk di depan dokter saat mengatakan, “Terima kasih, Dokter. Terima kasih banyak.” “Sama-sama,” jawab Dokter tersebut. “Kami akan memindah Bu Elsa ke ruang ICU setelah ini selama masa pemulihan ya, Pak. Mohon maaf, untuk sementara ini beliau tidak bisa dikunjungi sampai waktu yang belum bisa kami
Zafran tengah berdiri memandangi jendela besar yang ada di ruang ICU, sudah beberapa hari berlalu pasca Elsa dipindahkan ke sana tetapi belum ada tanda-tanda istrinya itu akan bangun.Ia menghela dalam napasnya, matanya sejenak terpejam sebelum ia berbalik saat mendengar panggilan dari sebelah kanannya.“Tuan Zafran, selamat sore,” sapa suara bariton pemuda tersebut.Andy, yang menundukkan kepalanya di depan Zafran yang lalu membalas sapaannya, “Sore, Ndy.”“Maaf saya baru bisa datang sekarang,” katanya.“Tidak masalah, bagaimana kantor?”“Baik-baik saja, Tuan,” jawabnya. “Saya membawa beberapa hasil pertemuannya, jika Anda—“Andy berhenti bicara saat Zafran menolak dengan isyarat tangannya, “Kamu simpan saja dulu,” katanya.“Baik. Bagaimana keadaan Nona Elsa?” tanyanya kemudian menoleh ke arah jendela, tempat di mana Zafran berdiri beberapa saat yang lalu dengan mata yang penuh harap.“Dokter bilang kondisinya baik, hanya saja memang kita belum tahu kapan Elsa akan sadar.”Andy menga