“Akh! Maaf!” suara Farren datang dari balik pintu yang tiba-tiba terbuka dan membuat Jake beringsut turun dari samping Laura. Pemuda itu segera memutar tubuhnya dan menunjukkan punggungnya yang terbalut dalam kemeja itu pada Jake yang mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Laura berpaling dan memutuskan untuk berbaring serta membungkus kepalanya dengan menggunakan selimut. Lalu sesaat kemudian ia terheran … mengapa ia dan Jake seolah baru saja sedang terpergok melakukan ‘sesuatu’ yang tidak benar padahal mereka adalah suami istri yang sah? “Maaf,” kata Farren sekali lagi. “Aku pikir tadi Tuan dan Nona ….” Ia tak melanjutkan kalimatnya, sepertinya sadar tak menemukan alasan yang tepat sehingga ia memilih untuk jujur. “Aku pikir kalian masih di ruang konsultasi jadi aku masuk untuk meletakkan makanan,” katanya sembari mengangkat sekilas paper bag yang ada di tangannya—sebagai bukti—dengan posisi dirinya yang masih memunggungi Jake. “Itu saja?” tanya Jake, membuat Farren perlahan
Siang hari ini, Laura baru saja selesai menjalani dialisis pertamanya dengan melakukan cuci darah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri meski selama proses itu berlangsung ia tak merasakan apapun. Efeknya justru terasa saat ia berbaring di atas ranjang di dalam ruang rawat naratama miliknya.Saat ia berpikir ingin tidur sejenak, sebuah panggilan yang masuk ke dalam ponselnya membuatnya mengurungkan hal itu.Dari Agnia—ibunya—yang kemudian diterima oleh Laura sehingga suara di seberang sana menyapanya terlebih dahulu.“Laura,” katanya.“Ada apa, Ma?” tanya Laura langsung pada pokok persoalan. Tak ingin terlibat dalam perdebatan atau mendengar kalimat ibunya yang sebagian besarnya terbiasa menyakitkan.“Benar kamu sedang ada di Guangzhou bersama dengan Jake?” tanya sang ibu.“Iya.”“Kelihatannya kamu sudah bisa mengambil hati suamimu,” ujarnya—yang apa tujuan Agnia mengatakan itu Laura pun tak mengetahuinya. “Tapi Mama pikir kamu masih cukup bodoh untuk tidak membuat pria itu sepenuhnya menja
“Aku tidak ingin melihat Fidel ada di sekitarku, Jake.” Laura menatap Jake dalam, diam-diam berpikir apakah Jake akan menolak—mengingat pria itu pernah memiliki rasa yang hebat pada sosok Fidella Magali, cinta pertamanya.Namun, seberkas pikiran buruk Laura itu keliru. Sebab Jake dengan cepat mengiyakan keinginannya.Jake mengangguk sambil tersenyum. “Aku sudah meminta Farren untuk datang padanya dan memintanya pulang, karena skandal ini harusnya juga memperburuk situasi bisnis milik keluarganya, ‘kan?”Laura percaya itu tulus, matanya lebih banyak bicara daripada kata-kata.“Tenanglah … kamu bisa percaya padaku,” Jake mengarahkan tangan kanannya pada Laura yang terlambat menghindar sehingga telapak besar pria itu menyentuh puncak kepalanya dan mengusapnya.“Akan aku ambilkan minum untukmu, sebaiknya sekarang kamu tidurlah,” lanjutnya kemudian beranjak.Saat Jake akan melakukan itu, langkahnya terhenti karena Laura meraih pergelangan tangannya. Jake kembali menoleh dan menghadapkan t
Di dalam kamar rawatnya … Laura terjaga saat ia merasa tenggorokannya kering. Ia bangun dan menggapai air dari atas meja kemudian meneguknya.Ia memandang sofa tempat di mana Jake biasanya tidur di sana untuk menunggunya, tetapi pria itu tak terlihat. Bahkan tanda-tanda ia sempat tidur di sana pun juga tak dijumpai oleh Laura.Saat Laura meraih ponselnya, ia melihat jam telah menunjuk pada pukul dua belas malam lewat beberapa menit yang terasa dingin.‘Apa dia di kamar mandi?’ tanya Laura pada dirinya sendiri. Ia menoleh ke arah pintu kamar mandi dan memutuskan untuk memanggilnya.“Jake?”Tak ada jawaban.“Jake, kamu di kamar mandi?”Tetapi hanya kenihilan yang didapat oleh Laura. Ia meremas dadanya yang terasa sesak, ada kecemasan yang samar menghantuinya. Firasatnya buruk ….‘Apa dia pergi ke luar?’ tanya lain kembali timbul di dalam hatinya.Ia memutuskan untuk menghubungi Jake, setidaknya untuk memastikan di mana keberadaan pria itu. Atau untuk menepis firasat buruk yang tumbuh p
“Kalian?!” Fidel yang terkejut melihat pintu yang terbuka dan kedatangan Laura serta Farren segera melompat turun dari atas Jake. Ia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya, diselubungi oleh kebimbangan, benaknya mempertanyakan bagaimana bisa caranya mereka menemukannya ada di sini?! “TUAN JAKE!” Farren berseru marah, memanggil Jake tetapi tentu saja itu tidak membuahkan hasil. Tuannya itu memiliki kondisi yang sama persis dengan yang dikatakan oleh Laura, tak sadarkan diri. Farren beringsut masuk ke dalam kamar itu, saat ia mendekat pada Jake, bau alkohol tak begitu tercium dari sekitar bibirnya. Yang artinya ia pasti tumbang karena faktor lain, diberi obat-obatan misalkan. Meski Farren tahu siapa yang melakukan ini, dan kepalanya yang telah mereka ulang bagaimana Jake sampai di ranjang ini, Farren sadar ini bukan waktu yang tepat. Ia sekilas menoleh pada Laura yang terpaku di ambang pintu. Matanya menatap lurus pada Fidel yang menepi dan menyandarkan punggungnya di dinding.
Fidel melihat punggung bidang Farren yang tengah memapah Jake untuk keluar dari kamar ini. Langkah kaki mereka menghilang disertai oleh pintu kamar yang tertutup dengan cukup keras, berdebam, seolah itu adalah sebuah peringatan!Fidel melepas selimut yang menutupi tubuhnya, ia melemparnya ke lantai dan menginjak-injaknya dengan sangat marah.“Sialan! Sialan!” umpatnya tak terkendali.Napasnya naik turun diburu oleh amarah. Matanya memanas mengingat tatapan Laura yang nyalang menghujam jantungnya. Ketenangan yang diberikan oleh istri Jake itu seolah sedang mengolok-oloknya, bahwa Fidel tidak akan bisa menang dari Laura, sampai kapanpun!Mengingat itu saja membuatnya meledak.Ia melemparkan barang-barang di atas meja, tak begitu melihat apa saja yang tertata di sana karena wajahnya tertutup oleh sebagian rambut panjangnya yang basah oleh keringat dingin.Fidel tidak pernah merasa takut saat berhadapan dengan seseorang, tapi yang barusan itu ... nyalinya seperti sedang dibuat bertekuk
Tangan Jake terasa kebas saat ia membawa Laura untuk berpindah dari sofa ke atas ranjang rawat miliknya. Ia baringkan perlahan, takut kesalahan kecil yang ia lakukan justru akan menyakiti Laura dengan semakin besar. Ia memanggil dokter yang tak lama kemudian datang diikuti oleh beberapa orang perawat. Jake menyisih dan memberi ruang yang lebih lebar bagi mereka. Jantungnya seperti berhenti berdetak saat ia mendengar dokter yang memeriksa Laura menoleh pada perawat dengan wajahnya yang sedikit panik. “Hubungi OR! Kita bawa pasien ke sana sekarang!” “Baik, dokter.” Begitu perawat itu pergi, perawat yang lain dengan cakap melakukan yang diminta oleh dokter agar Laura diinfus dan dipasangkan alat bantu pernapasan. “Apa yang terjadi, Dokter?” tanya Jake, setidaknya ia ingin tahu sedikit saja mengapa Laura tiba-tiba tak sadarkan diri. “Padahal dia baik-baik saja sebelumnya.” “Tubuh Bu Laura melemah, Pak Jake,” jawab dokter, seperti sedang menata kalimat untuk menjelaskannya pada Jake
Ketakutan memburu Jake, memberinya kecemasan hebat yang menusuk setiap petak di dalam dadanya yang berpikir bahwa ini adalah akhir dunia jika dokter keluar dengan mengabarkan hal buruk ... hal yang paling buruk ... seperti ... kematian.Sepasang netranya menghangat saat dokter Xiao mengatakan, “Mohon maaf karena kami tidak bisa menyelamatkan satu ginjal Bu Laura karena itu memang benar-benar rusak,” ujarnya. “Tapi kondisi satu ginjal lain miliknya dalam kondisi yang baik, dan operasi berjalan dengan lancar.”Jake mematung di tempat ia berdiri, kepalanya tertunduk, diguyur ribuan liter es batu yang melunturkan semua gelisah yang mengekang sekujur tubuhnya selama Laura ada di dalam sana.Matanya terpejam dengan lega, selama lebih dari enam puluh detik yang ia lakukan hanya mengatur napasnya yang naik turun, hingga Farren mewakilinya untuk bicara pada Dokter Xiao.“Terima kasih, Dokter Xiao,” ujar Farren akhirnya. “Kami akan menunggu kabar baik lainnya dari Anda.”“Baik. Kami akan memind