“Kamu harus mengambil Laura dari Jake karena Laura pasti akan saaangat bahagia jika dia mendapatkan suami sebaik kamu,” kata Fidel memperjelas. Yang bisa ditangkap oleh Zafran bahwa permintaan Fidel itu agar Jake—yang ia anggap sejak awal sebagai miliknya—bisa jatuh ke pelukannya. “Tidak mau,” tolak Zafran tanpa pikir panjang. Ia bersedekap memandang Fidel yang memutar sepasang bola matanya dengan malas. “Aku tidak mau ikut campur urusan itu,” lanjutnya. “Dan sebaiknya kamu berhenti, Fidel!” “Jangan munafik, Zaf!” kata Fidel lalu tertawa lirih. “Aku tahu kamu bersikap sok tegar seperti ini padahal sebenarnya kamu juga sangat ingin merebut Laura, ‘kan?” ejeknya penuh dengan kemenangan. “Aku tahu dengan hanya melihat tatapanmu pada Laura, Zaf. Kamu jatuh cinta padanya.” Zafran hanya mendengus, suaranya yang dalam terdengar enggan saat mengatakan, “Kamu terlalu sibuk dengan orang lain, Fi,” ujarnya. “Daripada melakukan itu sebaiknya kamu memperbaiki dirimu saja.” “Apa yang harus ak
Laura menghindari tatapan Jake yang mengarah lurus padanya, “Jangan bicara terlalu manis karena itu memperburuk komplikasiku,” katanya yang membuat Jake yang mendengarnya tertawa lirih.Jake senang karena sekarang Laura telah sepenuhnya menerima dirinya dan tidak ada kebencian atas kondisinya yang memang sedang sakit.“Kamu tahu apa yang aku sukai saat kamu mengatakan itu, Laura?” tanya Jake setelah Laura kembali memandangnya.“Apa?” tanya Laura balik.“Dengan menjadikan sakitmu ini sebagai sebuah candaan, artinya kamu bisa menemukan kebahagiaan dalam penderitaan,” jawabnya.“Tapi bukankah aku selalu menemukan kebahagiaanku dalam penderitaan meski pun itu kecil?” Laura mengatakannya dengan tenang, yang Jake sadar itu adalah sebuah sindiran untuknya.Laura menyebut ‘penderitaan’ itu merujuk pada hidupnya selama dua tahun bersama dengan Jake, ia yakin itu.“Iya baiklah kamu benar …” aku Jake. “Maksudku, dengan begini aku harap kamu akan terus percaya bahwa kamu akan cepat sembuh nanti.”
Satu inci lagi, Jake akan menggapai ranum manisnya bibir Laura. Tetapi …. Rencana itu gagal sebab ia mendengar ponselnya yang ada di dasbor bergetar. Seperti dipaksa kembali pada kenyataan yang selalu tak seindah harapan, Jake menarik dirinya dari Laura. Menarik wajah, menarik tangannya. Begitu juga dengan Laura yang dengan cepat membuka kedua matanya. Ia berpaling dan membuka kaca di jendela mobil agar ada udara yang masuk dan mendinginkan panasnya atmosfer yang sesaat barusan sengaja menariknya dalam bujuk rayu. Laura bisa mendengar hela napas Jake yang kesal saat ia meraih ponselnya dan menerima panggilan yang membuat benda pipih itu bergetar. “Farren,” sapa Jake dengan suaranya yang dingin. Laura bisa menjumpai ketidaksukaan pria itu saat mengatakan, “Baiklah, terserah apa yang ingin kamu lakukan. Atur saja yang benar!” setelah keheningan, karena sepertinya sekretarisnya itu melaporkan sesuatu kepadanya. Lalu panggilan mereka mati dan Jake meletakkan ponselnya kembali. Saa
Laura ikut tersenyum, “Siapapun itu … aku harap Pak Zafran juga mendapatkan kebahagiaan,” katanya. “Terima kasih untuk sudah datang dan membuatku percaya bahwa masih ada orang baik yang tanpa pamrih menolong di tengah dunia yang kehilangan empati.”“Sama-sama, Laura ….” tanggap Zafran kemudian meraih cangkir teh yang ada di hadapannya yang baru saja dibawa oleh Hani, dan Laura mempersilahkannya untuk meminumnya.Setelah teh yang wangi rosela itu habis, Zafran beranjak bangun dari duduknya. Ia berpamitan pada Laura serta berterima kasih karena sudah bersedia menemuinya.Laura mengantar kepergiannya hingga ke teras, sosoknya yang tampak cantik dapat dilihat oleh Jake yang telah duduk di balik kemudi mobilnya sebelum mengendarainya pergi dari sana.Melihat perubahan yang baik pada diri Laura … Zafran lega. Karena ini artinya Jake menepati janjinya untuk memperbaiki kesalahan yang pernah ia lakukan dan melakukan yang terbaik untuk istri yang pernah ia sia-siakan.Meninggalkan halaman buti
“Apa yang dia lakukan di sana?” gumam Jake samar. Tapi tak mengurangi betapa kesal pria itu sekarang ini. Laura menoleh pada Jake yang tampak memejamkan matanya dengan tak percaya. Sedang ia meremas tongkat siku yang ada di tangannya semakin erat, mencoba bersikap tenang karena kehadiran Fidel di lounge first class tempat ia bersama dengan Jake serta Farren akan duduk itu telah berhasil merusak ketenangannya. Rasanya kebahagiaan akan kalimat Elsa atau haru biru bersama dengan orang-orang yang tadi mengantar kepergiannya sirna dalam waktu kurang dari satu detik. “Aku tidak tahu kalau dia akan ada di sana, Laura,” ucap Jake, menjelaskan sesederhana mungkin untuk meminimalisir kecurigaan yang barangkali memenuhi benak istrinya. “Entah bagaimana caranya perempuan itu bisa ada di sana,” lanjutnya. Jake mengalihkan matanya dari Laura pada Farren saat mengatakan, “Aku tidak mau berurusan dengannya,” ujarnya. “Kamu saja yang mengurusnya, Ren!” “Baik, Tuan Jake.” Pemuda itu menundukkan
“Tolong jangan mengganggu ketenangan penumpang pesawat yang lain, Bu!” ucap seorang pria dengan pakaian keamanan bandara yang mendekat pada Fidel.Sepertinya teriakannya yang tadi cukup keras saat memanggil Laura telah dilaporkan oleh penumpang lain sehingga beberapa petugas mendatanginya.“Tolong tenang karena jika Anda mengganggu ketertiban kami akan membawa Anda keluar dari bandara,” tegas salah seorang lainnya.Fidel mengepalkan kedua tangannya semakin erat.Tidak sempat membalas apa yang dikatakan oleh Laura karena ia membawa langkah kakinya menjauh dari mereka dan memutuskan untuk duduk serta melihat Laura serta Jake dari kejauhan saja.Matanya sejenak terpejam.Mengingat sebentar ke belakang … Fidel mengetahui soal kepergian Laura yang akan diantar oleh Jake ke Guangzhou ini setelah ia bertanya pada Alina—ibunya Jake.Tetapi sepertinya … keberadaannya di sini tak bisa membuat mental Laura terpecah belah karena perempuan itu sama sekali tak terpengaruh.Apalagi Jake! Pria itu ta
“Akh! Maaf!” suara Farren datang dari balik pintu yang tiba-tiba terbuka dan membuat Jake beringsut turun dari samping Laura. Pemuda itu segera memutar tubuhnya dan menunjukkan punggungnya yang terbalut dalam kemeja itu pada Jake yang mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara Laura berpaling dan memutuskan untuk berbaring serta membungkus kepalanya dengan menggunakan selimut. Lalu sesaat kemudian ia terheran … mengapa ia dan Jake seolah baru saja sedang terpergok melakukan ‘sesuatu’ yang tidak benar padahal mereka adalah suami istri yang sah? “Maaf,” kata Farren sekali lagi. “Aku pikir tadi Tuan dan Nona ….” Ia tak melanjutkan kalimatnya, sepertinya sadar tak menemukan alasan yang tepat sehingga ia memilih untuk jujur. “Aku pikir kalian masih di ruang konsultasi jadi aku masuk untuk meletakkan makanan,” katanya sembari mengangkat sekilas paper bag yang ada di tangannya—sebagai bukti—dengan posisi dirinya yang masih memunggungi Jake. “Itu saja?” tanya Jake, membuat Farren perlahan
Siang hari ini, Laura baru saja selesai menjalani dialisis pertamanya dengan melakukan cuci darah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri meski selama proses itu berlangsung ia tak merasakan apapun. Efeknya justru terasa saat ia berbaring di atas ranjang di dalam ruang rawat naratama miliknya.Saat ia berpikir ingin tidur sejenak, sebuah panggilan yang masuk ke dalam ponselnya membuatnya mengurungkan hal itu.Dari Agnia—ibunya—yang kemudian diterima oleh Laura sehingga suara di seberang sana menyapanya terlebih dahulu.“Laura,” katanya.“Ada apa, Ma?” tanya Laura langsung pada pokok persoalan. Tak ingin terlibat dalam perdebatan atau mendengar kalimat ibunya yang sebagian besarnya terbiasa menyakitkan.“Benar kamu sedang ada di Guangzhou bersama dengan Jake?” tanya sang ibu.“Iya.”“Kelihatannya kamu sudah bisa mengambil hati suamimu,” ujarnya—yang apa tujuan Agnia mengatakan itu Laura pun tak mengetahuinya. “Tapi Mama pikir kamu masih cukup bodoh untuk tidak membuat pria itu sepenuhnya menja