Selama ini, Satya selalu sukses dalam dunia bisnis. Dia tidak pernah kalah dalam hal apa pun. Kala ini, perkataan Veren justru membuat hatinya terasa sakit. Keluarga Sadali bukan keluarga yang bisa disinggung. Satya tidak bisa melakukan apa-apa selain menjaga sikapnya dan berujar, "Kalau begitu, Vigo mungkin harus menunggu sangat lama."Veren tersenyum tipis sembari berkomentar, "Pak Satya percaya diri sekali. Pantas saja banyak wanita yang mendekatimu. Aku rasa wanita-wanita di acara sosialisasi menyukai kepercayaan dirimu."Mereka berdua sedari tadi saling menyindir dengan tenang.Bagaimana mungkin Satya tidak mengerti maksud ucapan Veren? Pria ini hanya tidak bisa menjawab karena yang dikatakan Veren adalah fakta.Satya memang sudah lama bersenang-senang di luar, bergonta-ganti wanita, dan mabuk-mabukan. Dia pernah berpikir bahwa semua itu adalah penebusan atas hukuman penjaranya selama beberapa tahun. Namun sekarang, dia sudah muak dengan kehidupan seperti itu dan merindukan kehang
Clara bersandar di kursi sambil berlinangan air mata. Dia berucap, "Satya, hal semanis apa pun yang kamu katakan sudah nggak ada gunanya. Kamu juga pernah mendengar cerita 'Serigala Datang', 'kan? Jangan membodohi orang lain hanya untuk mencapai tujuanmu."Clara meraih pegangan pintu seraya melanjutkan, "Biarkan aku turun. Aku sudah janji pada Joe untuk membelikan kue. Joe sedang menungguku di rumah. Dia nggak mau tidur kalau aku belum pulang."Satya tercekat. Dia paham dengan maksud Clara. Jika dia masih tidak melepaskan Clara, dia bukan hanya akan menjadi suami yang buruk, tetapi juga ayah yang buruk. Pada akhirnya, dia membiarkan Clara pergi.....Clara pergi membeli kue. Begitu pulang ke apartemen, Joe malah tidak ada di ruang tamu. Clara mengira anak-anak sudah mengantuk. Aida tiba-tiba keluar dari kamar dengan ekspresi cemas. Dia menyampaikan, "Sepertinya Joe sakit. Sekarang, tubuhnya agak panas. Dia juga nggak bisa tidur nyenyak."Clara meletakkan kue dan buru-buru masuk ke kama
Clara tercengang. Sementara itu, Vigo justru tersenyum tipis dan berucap, "Perawat mengira kita kakak beradik, makanya dia bilang aku dan Joe mirip."Clara berpikir bahwa Vigo hanya bercanda, jadi dia tidak menganggapnya serius. Tidak lama kemudian, perawat sudah selesai memasangkan infus untuk Joe. Vigo tidak ada niat untuk pergi, melainkan menemani Joe berbicara. Bisa dilihat bahwa Joe sangat menyukai Vigo.Setelah cairan di dalam botol infus habis setengah, Joe akhirnya tertidur. Suasana di dalam kamar menjadi hening. Clara baru saja hendak berbicara, tetapi Vigo berbicara lebih dulu. Pria ini menatap Clara seraya bertanya dengan lembut, "Kamu nggak bertanya kenapa aku ada di rumah sakit?""Kenapa?" tanya Clara tanpa ketulusan. Hal ini membuat Vigo terkekeh-kekeh.Vigo tidak marah. Dia berdiri di depan jendela dan memandang langit malam. Setelah diam cukup lama, dia menjelaskan dengan suara rendah, "Aku mengidap kelainan darah. Ketika usiaku 16 tahun, aku menjalani operasi transplan
Malam itu, tidur Clara tidak tenang. Dia memimpikan ibunya yang melompat dari gedung.Ujung gaun ibu Clara berkibar tertiup angin malam kencang. Liliana, sang ibu, berujar pilu, "Roger, aku nggak berbuat kesalahan apa pun, semua ini adalah rencana licikmu.""Ibu ...," lirih Clara kecil sambil memeluk bonekanya. Clara tidak berani mendekat. Dia takut bila dirinya maju selangkah lebih jauh, ibunya benar-benar akan melompat, lalu dia pun akan kehilangan sang ibu.Liliana menoleh dan menatap putri bungsunya untuk terakhir kalinya, lalu berpesan dengan nada lembut, "Kakak akan menjagamu. Clara, tumbuhlah yang baik!"Angin bertiup kencang hari itu. Seiring dengan darah yang tertumpah, ikat pinggang Liliana terbawa angin dan melayang jauh."Ibu!" pekik Clara, seketika terjaga dari mimpi buruk. Punggungnya sudah dibasahi keringat dingin.Suasana di sekitar sangat hening, hanya terdengar hela napas pelan Joe yang diam-diam meredakan pedih di hati Clara. Dia perlahan merebahkan diri lagi. Ha
Clara mengabaikan Satya. Dia menekan bel dan meminta perawat untuk memberikan infus pada Joe.Bertepatan dengan itu, Gracia datang dan membawakan sarapan lengkap. Tahu bahwa Clara sedang marah pada Satya, dia pun berinisiatif berkata, "Sarapan ini aku yang bayar, jadi anggaplah aku yang membelinya. Jangan sampai Joe kelaparan, oke?"Clara sudah bukan lagi pribadi yang bertindak karena dorongan perasaan. Dia tidak menolak sarapan dari Gracia.Gracia yang memiliki dua orang anak sangat lihai membujuk orang. Dia menyajikan bubur sambil menghibur Joe. Bocah kecil itu pun segera melupakan masalah tadi dan menyapa Gracia dengan ceria."Bibi suapin bubur, boleh? Ayah dan ibumu mau bicara," bujuk Gracia.Joe adalah anak yang patuh, selain itu dia juga sangat menyukai Gracia. Jadi, dia duduk dengan manis dan membiarkan Gracia menyuapinya makan.Sementara itu, Satya dan Clara sudah keluar kamar untuk bicara. Sesampainya di ujung koridor, Clara berhenti melangkah dan berujar pelan, "Joe sudah bis
Di dalam kamar rawat.Clara mengejap pelan. Dia yang peka bisa menebak alasan Malik pergi dengan begitu terburu-buru. Itu mungkin karena wajahnya yang familier atau mungkin juga karena pria itu mengingat beberapa hal."Ibu, Ibu!" panggil Joe sambil menarik lengan baju Clara.Clara tersadar dari lamunannya. Dia lantas membungkuk dan menggendong Joe seraya berkata, "Ibu bawa kamu berjemur di lantai bawah, ya." Kemudian, Clara tersenyum menyesal pada Vigo.Vigo mengusap kepala Joe dan berkata dengan lembut, "Kakak bakal datang lagi nanti."Joe sudah pintar bersikap manja dengan menggosokkan kepalanya ke telapak tangan Vigo.Vigo menyusul Malik di halaman lantai pertama dan memanggilnya. Nama lengkap sang kakek adalah Malik Sadali. Pria itu sangat menyayangi Vigo. Ketika Vigo diramalkan akan terlahir dengan tubuh yang lemah, Malik sengaja mencarikan nama dengan arti yang bagus dengan harapan nama itu bisa melindungi Vigo.Malik berbalik badan. Untuk pertama kalinya, dia bicara dengan nada
Malik membelai lembut helai koran yang menguning itu. Sudut matanya dibasahi air mata. Apakah gadis kecil itu adalah anak yang terlahir dari hubungan satu malam itu? Anak yang hadir akibat kesalahannya?Malik sadar bahwa satu keputusannya akan mendatangkan perubahan yang sangat besar. Pada sore singkat itu, dia memikirkan jalan hidupnya, serta mempertimbangkan masa depan dan reputasinya. Malik tahu betul, jika dia mengakui Clara sebagai putrinya, Keluarga Sadali mungkin akan jatuh dalam kekacauan.....Sinar matahari terakhir sudah menghilang dari kaki langit.Veren berjalan masuk sambil membawa teh. Dia menyalakan lampu dan bertanya, "Ayah, langit sudah gelap. Kenapa Ayah nggak menyalakan lampu?"Di bawah pancaran terang lampu, wajah muram Malik yang masih mencemaskan peristiwa masa lalu terlihat kentara. Setelah diam beberapa lama, dia berujar dengan suara serak, "Ternyata Veren, ya! Mana Surya?""Surya sudah balik ke kantor," jawab Veren.Veren menaruh cangkir teh yang baru ke meja
Rambut hitam Veren tergerai bebas di atas bantal. Dia menyandar ke bahu suaminya dan berkata dengan lembut, "Iya, Ayah memang nggak bilang apa-apa, tapi aku bisa lihat kalau dia benar-benar ingin mengakui Clara. Mungkin Ayah hanya khawatir kita nggak senang.""Mana mungkin? Kalau bukan karena Clara, Vigo mungkin sudah nggak bersama kita," sahut Agus sambil tersenyum tipis.Veren memeluk Agus dengan erat. Dia sangat mencintai suaminya dan setiap anggota keluarga ini. Ya, dia bersedia membantu Malik menyelesaikan masalahnya.....Dua hari kemudian.Clara yang sedang memeriksa persediaan di kantor berkata pada asistennya, "Penjualan yang terlalu baik ternyata juga bisa jadi masalah. Bantu aku menghubungi pelukis di daftar ini, tanyakan apa mereka punya stok. Kalau nggak ada, nggak perlu memaksa. Butuh waktu untuk menciptakan karya baru."Si asisten mengiakan dan berjalan keluar. Namun, dia segera kembali dan berujar dengan nada canggung, "Bu Clara, Bu Veren ada di sini. Dia memberikan cek