Namun, Satya tidak akan membiarkan Clara mati. Dia ingin Clara menemaninya. Clara mengatakan bahwa dia ingin bersekolah. Kalau begitu, mereka akan pergi ke Kota Aruma. Setelah Clara sembuh, Satya akan membiarkan Clara melanjutkan studinya. Clara boleh mempelajari apa pun, yang penting dia bahagia.....Satya kembali ke rumah sakit saat pagi. Clara masih setengah sadar. Satya berjalan masuk ke kamar, lalu duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangan Clara.Clara terkejut. Satya menenangkan Clara, lalu membujuk, "Clara, kamu jangan putus asa, ya. Aku akan mendonorkan organ hatiku kepadamu. Kalaupun kamu butuh donor ginjal, aku juga akan memberikannya kepadamu."Satya bertanya, "Clara, apa kamu masih ingat dulu kamu panggil aku 'kakak'? Kamu bisa panggil aku sekali lagi, nggak?"Clara memandang Satya seraya menceletuk, "Aku ... nggak menginginkan apa pun." Dia juga tidak ingin memanggil Satya "kakak".Tatapan Satya menjadi muram. Dia membelai wajah Clara sembari menimpali, "Aku ta
Annika mendongak dan berujar pedih, "Apa Kakak sudah tanya pendapat Clara? Kalau Kakak memerangkapnya begini, apa bedanya dia dengan aku yang dulu? Kak, kumohon lepaskan dia. Kalau Clara bertahan hidup, biarkan dia membesarkan Joe dan hidup dengan baik. Dia sudah cukup tersiksa. Kak, aku belum pernah memohon apa pun padamu. Kali ini saja, dengarkan permohonanku ...."Ini kedua kalinya Annika dan Satya bertengkar karena Clara. Satya sangat menyayangi Annika, dia tidak ingin menyakiti hati adiknya. Namun, dia juga tidak rela melepaskan Clara.Pada akhirnya, Satya mematikan panggilan dan langsung menjalankan helikopter. Baling-baling berputar, membawa helikopter itu terbang menuju langit biru.Sosok Annika terlihat kian kecil. Dari kejauhan, dia berseru pada Satya, "Kakak sudah lupa? Waktu Kakak keluar dari penjara, seberapa sedihnya Kakak atas pernikahanku? Kakak berulang kali bertengkar dengan Zakki. Kini Clara ada di posisiku waktu itu, tapi kenapa Kakak nggak bisa bersikap lebih baik?
Emosi Clara tiba-tiba meledak. Sorot matanya hanya menyisakan kebencian saat dia berkata, "Satya, aku sudah nggak punya apa-apa lagi! Kakakku nggak bisa bertahan dan hampir hancur di Kota Brata. Kamu bilang aku menghukummu? Nggak, Satya! Aku sedang membalas utangku padamu!""Hidupku dan Joe berada di tanganmu! Apa itu belum cukup? Kenapa kamu harus memaksaku bertahan hidup? Untuk apa lagi aku hidup? Aku nggak percaya apa pun lagi. Satya, apa kamu tahu bagaimana rasanya saat hatimu diinjak-injak? Apa kamu tahu rasanya harus merasa was-was setiap hari? Kamu selalu mengungkit waktu kamu di penjara, kamu kira aku nggak tahu rasanya?""Pada tahun pertama di Kota Aruma, aku bersikap patuh karena cintaku padamu. Waktu kamu tersenyum padaku, hariku berjalan menyenangkan. Kalau kamu berwajah muram, aku sedih dan introspeksi diri. Selama kurun waktu itu, aku perlahan-lahan merasa tercekik!""Belakangan, aku sadar kalau bukan suasana hati atau karena aku berbuat salah, tapi murni karena kamu ngga
"Aku panggil dokter dulu!" ujar Satya sambil berdiri.Namun, Clara meraih tangan Satya dan menahannya. Jari-jarinya yang kurus mengerahkan kekuatan yang entah didapat dari mana. Sorot mata Clara saat menatap Satya tampak lemah dan tidak fokus.Sel kanker menyebar ke mata Clara, mendadak merebut penglihatannya. Akan tetapi, dia menerimanya dengan tenang. Sebutir air mata yang dingin perlahan jatuh ke punggung tangan Satya.Clara mengulum senyum tipis, lalu bergumam tanpa suara, "Satya, aku sudah berhenti mencintaimu. Mencintaimu terlalu menyiksa. Aku sudah menunggu terlalu lama ...."Perjumpaan pertama Clara dan Satya terjadi tiga tahun lalu di Kota Brata. Saat itu, Clara yang baru berusia 21 tahun diproteksi dengan baik oleh Yoyok. Kala itu, dia masih menuntut ilmu di Akademi Seni Brata.Yoyok sangat sibuk dengan pekerjaannya. Belakangan, dia juga sering pulang pergi ke Kota Aruma karena jatuh hati pada seorang wanita. Wanita yang tidak seharusnya dicintainya itu adalah Annika. Alhasil
Pria itu membaringkan teman Clara ke kursi paling belakang. Sementara itu, Clara duduk bersama pria itu membelakangi sopir.Pria itu mengetuk bagian depan mobilnya dan memerintah dengan nada datar, "Pergi ke rumah sakit terdekat.""Baik, Tuan Satya," sahut si sopir sambil mengangguk, lalu menjalankan mobil.Pikiran Clara masih berkabut. Dia sedikit berlutut sambil menggenggam tangan temannya yang berada dalam keadaan syok. Dia membisikkan kata-kata semangat sambil berurai air mata.Satya menyandar ke kursi. Kemeja putihnya yang terkena noda darah sama sekali tidak mengurangi pesonanya. Dia mengambil sebatang rokok dari kotaknya. Namun, dia tidak menyalakannya dan hanya memainkannya pelan. Tatapannya terkunci pada Clara.Clara lebih lugu dari bayangannya, seperti kelinci kecil yang jinak. Gadis itu sedang setengah berlutut dengan bokong mungil yang sedikit tertungging ke atas. Pasti menggemaskan sekali jika dia memiliki sebuah ekor.Clara memiliki kulit putih mulus. Ketika berlutut, kak
Satya sangat bersabar dan terus tersenyum. Dia bahkan mencarikan pengasuh profesional untuk gadis itu, membayar biaya pengobatan sebesar 300 juta, dan memesan kamar VIP terbaik.Dari awal hingga akhir, Satya sama sekali tidak berbicara dengan Clara. Dia bersikap seperti memiliki kesan baik terhadap gadis itu.Sementara itu, Clara merasa agak kecewa, tetapi khawatir ada yang melihatnya. Dia berusaha untuk bersikap normal, tetapi masih terlihat malu-malu.Satya yang sudah profesional tentu tahu pemikiran Clara. Clara yang sekarang tidak ada bedanya dengan ayam yang siap untuk disembelih.Sekitar setengah jam kemudian, Satya akhirnya pergi. Gadis itu tentu merasa enggan. Kemudian, dia menutup wajahnya dan meraih tangan Clara, lalu bertanya dengan nada bicara penuh harapan, "Menurutmu, apa dia menyukaiku? Aku rasa dia tampan sekali. Aku bahkan nggak keberatan kalau harus menikah dengannya sekarang.""Clara, kamu lihat penampilannya tadi? Kakinya panjang sekali. Tatapannya sampai membuatku
Di Akademi Seni Kota Brata, langit sore tampak merah sekaligus keemasan. Clara perlahan-lahan berjalan ke luar akademi. Dia mengenakan kemeja dan rok putih. Kakinya yang putih serta mulus menyita perhatian banyak orang, tetapi dia tidak menyadari apa pun.Ada halte bus di pintu masuk akademi ini. Bus No. 2 perlahan-lahan mendekat, jadi Clara maju dan bersiap-siap untuk menaikinya.Di sampingnya, tiba-tiba muncul Rolls Rayce hitam dengan jendela mobil yang setengah terbuka. Kemudian, terlihat wajah familier yang bermartabat itu. Orang itu tidak lain adalah Satya.Clara termangu, lalu tanpa sadar mundur selangkah. Satya mencondongkan badan untuk membuka pintu di sisi lain. Setelah itu, dia menatap Clara dan berkata dengan suara serak, "Masuk."Bus di belakang terus membunyikan klakson sehingga murid-murid di sekitar memperhatikan Clara dan Satya.Clara menggigit bibirnya, lalu memilih untuk masuk. Begitu dia masuk, Satya langsung menjulurkan tangan untuk membantunya menutup pintu.Satya
Seketika, telapak tangan Clara dipenuhi keringat. Begitu turun dari mobil, dia langsung berlari dengan cepat.Setelah masuk ke rumah, Riani yang merupakan pelayan pun melihat wajah merah Clara. Dia segera menjulurkan kepala untuk memandang ke bawah, lalu menemukan seorang pria tampan berdiri di sebelah mobil mahal. Dilihat dari penampilannya, pria ini seharusnya berusia 30-an tahun.Riani tidak seharusnya ikut campur urusan majikannya. Akan tetapi, ketika merapikan pakaian, dia sengaja berkata, "Waktu itu kakakmu bilang kamu masih terlalu muda untuk pacaran. Aku setuju dengan pendapatnya. Pria sekarang sangat jahat, terutama yang kaya raya. Mereka memacari gadis cantik, lalu mencampakkannya begitu saja setelah bosan."Clara memahami maksud ucapan Riani. Dia segera menyahut dengan lirih, "Dia bukan pacarku. Dia yang menolong temanku waktu itu."Tangan Riani sontak membeku. Kemudian, dia berucap, "Kalau begitu, kamu harus lebih berhati-hati lagi padanya. Biasanya, pria yang menolong wani