Ella ... E nya apaaa? Edaannnnn anak kocik itu woiii Ella gezzzzzz Roland mana woii? cepat balikkkk
Michelle tak peduli pada tuduhan kejam Ella, termasuk mata-mata penghinaan yang mendominasi di sana. Wanita itu lebih peduli meraup tubuh Leah, menghalau air-air di tubuh Leah yang percuma saja dilakukan.Tidak apa-apa, semua tuduhan Ella tidak benar. Tidak usah pedulikan orang-orang di sana karena hidup Michelle tidak bergantung pada mereka.Toh, Michelle cukup terbiasa berhadapan pada situasi serupa. Sehingga dia memutuskan membawa Leah pergi sembari menyimpan semua penghinaan itu sendiri.“Mau Mommy gendong?” Michelle tersenyum manis membujuk Leah.Leah mengangguk kemudian datang ke pelukan Michelle. “Mom, aku sudah berjalan dengan benar. Aku tidak melakukannya,” bisiknya yang gemetar ketakutan.“Ya, Leah tidak melukai siapa pun.” Michelle bersuara serupa sambil mengelus-elus kepala Leah yang basah.“Michelle Louise!” Ella memekik kencang mencegah Michelle yang ingin beranjak pergi. “Bagaimana bisa kau pergi setelah menjadi ibu yang buruk membela anakmu yang jelas-jelas bersalah? Su
“Apa yang kau harapkan dari wanita kasar seperti itu?”Kritikan sinis dari arah belakang telah mengusik Roland yang fokus menatap kepergian Michelle menggunakan taksi.Pria itu mendenguskan kesal, sementara tangannya mengepal kencang pada seseorang yang mengusik tak tepat waktu itu.“Seharusnya kau menolong Ella dari pada mengejar wanita kasar yang tidak tahu diri itu.”Roland yang sejak tadi menahan diri berakhir menoleh pada Jullian. Mata hazel-nya sudah melayang tajam pada Jullian yang berbicara sembarangan. Roland tak takut bersikap tak sopan pada sosok ayah kandungnya itu, baginya sudah terbiasa bahkan muak meladeni orang tua yang sibuk dengan pemikirannya sendiri.“Kau adalah pemimpin sekaligus wajah dari Trilogi Group. Jika menginginkan wanita, pilihlah wanita yang tepat. Bukan yang tak selevel denganmu.”Roland menertawakan nasihat Jullian. Pria itu sampai berdecak dan geleng-geleng kepala menyepelekan nasihat yang dianggap sampah.“Wanita yang selevel menurut Daddy itu adalah
Setir kemudi yang cukup lama dicengkram kencang berakhir dibebaskan setelah jemari-jemari mulai lemas. Kedua tangan Roland terjatuh pasrah ke pangkuan, mengistirahatkan tangan yang masih gemetaran.Perdebatan tadi sangat menguras emosi Roland. Dia kehilangan seluruh energi sampai membuatnya kelelahan.Entahlah! Roland juga bingung. Dia selalu bisa menahan diri di depan Jullian, walau terkadang mulutnya masih tajam berkata-kata.Ada dorongan yang mendesak sampai Roland bersikap kurang ajar seperti tadi. Sehingga semuanya tertumpahkan tanpa bisa dikendalikan.Anehnya, Roland sama sekali tidak menyesal. Justru sebaliknya Roland merasa lega bisa meluapkan semua hal menyiksa yang lama tertahan diri. Puncak keanehan diri terjadi ketika Roland berakhir menepi di sekitar depan rumah Michelle.Tempat itu seperti penenang bagi Roland. Tak peduli bagaimana Michelle meluapkan emosi, Roland tak berpengaruh pada perkataan Michelle. Tetapi saat itu Roland tak bertindak memaksa Michelle yang dikuasai
Pukul sebelas malam, Michelle diserang kecemasan pada Leah. Dia panik melihat demam Leah yang tak kunjung turun, malah semakin meningkat pada suhu hampir empat puluh derajat.Sebelumnya Michelle telah memberikan penanganan tepat yang dilakukan untuk mengembalikan ke suhu normal. Sayangnya, hal itu tidak mampu menormalkan kembalikan suhu tubuh Leah. Apalagi tingginya suhu tubuh saat itu telah melemahkan Leah.Kesialan yang terjadi malam itu menambah rentetan hal-hal buruk menimpa Michelle. Dia kesulitan memesan taksi pada jam menginjak tengah malam. Alins yang terbiasa tak pernah mengabaikan telepon, tak kunjung menjawab telepon Michelle. Dan Danny, pria itu pasti memiliki jadwal pekerjaan jika tak bisa dihubungi.“Leah, Mommy akan menggendongmu. Kita akan ke rumah sakit,” ucap Michelle berhati-hati meraup tubuh Leah yang panas.Meski keputusannya sedikit konyol, Michelle berharap bisa menemukan taksi atau apa pun di luaran sana yang cepat mengantarnya ke rumah sakit. Michelle tak bisa
“Siapa pria yang tadi bersamamu?” Danny berani bertanya setelah matang-matang memutuskan.Michelle terlihat bergeming pada posisinya duduk di kursi ruangan tunggu. Tatapannya yang lurus ke arah bilik Leah mendapatkan pertolongan penuh kekosongan sulit dijabarkan.“Dilihat dari penampilannya, dia bukan seperti orang biasa-biasa—”“Dia adalah Roland.” Michelle menghela napas panjang setelah cukup lama menahan. “Dia adalah Roland Archer,” lanjut Michelle menegaskan dengan suara lemah.Danny tak bereaksi lebih dikarenakan memahami perasaan Michelle saat itu. Tetapi dia tak bisa menutupi rasa ingin tahu kronologi Leah berakhir di rumah sakit.“Apa yang terjadi? Bukankah kalian pergi ke acara ulang tahun Axel?” tanya Danny penasaran.Michelle berdehem lemah. “Kami berakhir pergi bersama Roland karena tanpa aku tahu Leah meminta Roland untuk ikut ke acara itu. Aku tidak bisa menolak karena Leah yang terus merengek. Dan ternyata Axel merupakan anak dari saudari tirinya Roland. Di sana aku ber
“Terima kasih telah membantuku, tapi aku baik-baik saja—”Bibir Danny langsung terkatup saat matanya beradu dengan Roland. Wajahnya yang memucat telah membeku menatap seseorang yang tak terduga.“Aku rasa Anda sedang tidak dalam keadaan baik.” Roland menatap cemas pria yang bersikap canggung itu.“Tidak! Aku baik-baik saja.” Danny memalingkan tatapannya yang canggung, tetapi wajahnya masih menahan sakit akibat nyeri di dada kiri.Sikap Danny itu dipahami oleh Roland. Jika diingat-ingat keakraban Michelle dengan pria itu di UGD, dia pasti merupakan orang terdekat Michelle setelah pindah dari New York.Bryan juga teringat mengenai Leah yang kerap kali menyebutkan sosok grandpa dan grandma. Mungkinkah Danny dan Alins yang Michelle sebutkan tadi adalah keluarga Michelle?“Anda terlihat tidak baik-baik saja. Biar aku bantu ke UGD agar Anda mendapatkan pertolongan—”“Tidak perlu, Tuan Roland.” Danny masih keras hati pada keputusannya. Dia juga mendorong lembut Roland yang ingin memapah.Perl
Walau tidak berhasil mengantarkan Danny ke rumah, Roland berhasil membujuk Danny pulang menggunakan taksi yang dicari sendiri oleh Roland.Danny sendiri masih geleng-geleng kepala menanggapi sikap Roland. Di sisi lain ada sebuah harapan yang terwujud mengenai sikap Roland tidak lagi berpura-pura demi kembali menyakiti Michelle.Perhatian Danny teralihkan ketika taksi itu telah tiba dengan aman di halaman depan rumahnya. Pria itu langsung keluar dengan tenang, sampai masuk ke dalam rumah tak menimbulkan suara demi tak mengusik tidurnya Alins.“Kau baru pulang, Sayang?”Danny terkejut Alins tiba-tiba menyalakan lampu ruangan.“Kau belum tidur?” Danny berbasa-basi saat berjalan menghampiri istrinya.“Aku terbangun karena mendengar suara mobil. Aku pikir itu bukan kau karena itu adalah taksi. Tapi, setelah mengintip ternyata itu kau. Kenapa tidak naik mobilmu?”Danny tertawa lemah menanggapi istrinya yang cemas. Lebih dulu dia menarik Alins ke dalam pelukannya. “Ban mobilku bocor, jadi aku
Roland dipaksa puas oleh Michelle yang mengabaikan pernyataannya. Dari dini hari sampai matahari telah terik menyinari daratan Los Angeles, Michelle banyak berdiam diri dengan wajah tanpa ekspresi.Apa pun yang Roland lakukan tak Michelle respon. Wanita itu sepenuhnya acuh, sampai-sampai dia tidak menyahuti Roland yang memaksanya berisitirahat.Roland pun tetap pada keputusannya. Dia setia di sisi Michelle tanpa peduli kasarya Michelle mengusir.Pukul sebelas siang, Roland yang lama bergeming menatap Michelle akhirnya beranjak mendekati. Pria itu mengantongi handphone yang sejak tadi dari dipergunakan sembari berjalan menghampiri Michelle yang setia duduk menemani Leah yang sudah terbangun.“Istirahatlah, Michelle. Kau juga belum sarapan sejak pagi.” Roland bersuara rendah membujuk, tetapi nadanya sedikit menekan seperti tak ingin dibantah.Reaski Michelle masih sama. Wanita itu malah lebih peduli pada Leah yang menatap bingung kedua orang dewasa itu.“Apa kau ingin sesuatu?” Michelle
~ Beberapa hari kemudian ~Michelle mengantongi izin pulang setelah dokter memastikan kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Beberapa luka yang menggores di tubuhnya pun mulai menutup, termasuk luka memar di tangan juga sepenuhnya memudar.Meskipun sudah bisa bergerak bebas seperti biasa, Michelle tak diizinkan turun dari ranjangnya. Wanita itu hanya diperbolehkan duduk di sana.Dan tidak usah ditanyakan siapa pelaku yang membuat Michelle kesal. Dia adalah Roland—yang sibuk merapikan barang-barang milik Michelle ke dalam sebuah tas.“Kita akan lebih dulu menjemput Leah di rumah Valen, lalu setelah itu kita akan ke penthouse-ku.” Roland dengan tenangnya memberitahu sembari menyelesaikan kegiatannya merapikan barang-barang ke dalam tas.“Maksudmu dengan kita? Apa aku dan Leah juga akan ke penthouse-mu?” Michelle memprotes, sementara matanya telah menatap tajam pada Roland yang berakhir menatapnya.Sebelum bersuara, lebih dulu Roland mengancingkan tas berisi barang-barang Mich
Tidur yang Roland inginkan adalah berbaring di samping Michelle dengan tangannya menggenggam tangan Michelle. Kehangatan dari jemari yang menyatu mampu menghibur Roland yang menatap dingin langit-langit kamar inap itu.Keinginan sederhana itu membuat jiwa Michelle gelisah. Dia bertanya-tanya di dalam hati dan mulai menerka-nerka masalah apa yang Roland hadapi.Sebelum meninggalkannya bersama Valencia, Michelle mengingat Roland yang menerima telepon. Jika telepon itu berkaitan dengan pekerjaan, Roland tak akan ambil pusing sampai emosinya tak terkendali. Sehingga Michelle menyimpulkan jika telepon itu berkaitan dengan seseorang yang mampu menguras emosi seorang Roland Archer.“Tadi aku menghabiskan makananku.”Alih-alih menanyakan langsung, Michelle sengaja berbasa-basi demi bisa membangun suasana berbicara dengan Roland.Suara tawa ringan Roland merespon, sekaligus berhasil memancing perhatiannya yang lama membisu pasca ciuman erotis beberapa waktu lalu.“Kau memang harus makan dengan
Di taman yang berada di halaman belakang rumah sakit, Roland menata perasaannya. Beberapa puntung rokok dari sebungkus rokok yang dibeli telah dihisap.Meskipun terlihat menikmati bagaimana reaksi rokok tersebut, ekspresi dingin penuh kebencian tak bisa Roland sembunyikan. Dia masih sulit menenangkan pikirannya dari keributan beberapa waktu lalu.David terang-terangan menyesal dan mengaku tersakiti. Dia merasa paling tak beruntung karena tak mendapatkan balasan perasaan dari Michelle.Kesimpulan itu yang membuat Roland naik pitam sampai menimbulkan sebongkah kebencian yang kokoh. Namun di sisi lain, timbul seberkas kekecewaan atas akhir hubungan pertemanan yang terjalin.Bagaimanapun David pernah menghibur Roland yang hancur lebur di masa lalu.Setelah mengembuskan asap dari rokok yang dihisap, Roland berjalan meninggalkan tempat itu. Selain sudah cukup mengatur perasaannya, Roland merasa sudah lama meninggalkan Michelle. Sehingga dia bergegas menemui Michelle.Ada setitik perubahan a
Langkah kaki Roland begitu tak sabar dan tergesa-gesa. Dia sampai tak peduli pada orang-orang yang tidak sengaja tertabrak apalagi meminta maaf.Emosinya memuncak sampai tak bisa diredupkan sedikit pun setelah menjawab telepon dari David. Entah sengaja memprovokasinya keluar dari kamar itu atau tidak, amarah dan kebencian Roland seketika menggelegak setelah mendengarkan ucapan David.David ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada Michelle.Bukan penolakan yang Roland sampaikan, melainkan keinginan bertemu secara empat mata. Dan David menentukan parkiran bawah tanah rumah sakit itu yang sepi tanpa adanya orang-orang.Keputusan Roland tak ingin mengotori tangan dan pandangannya telah lenyap sepenuhnya. Rasa muak yang memuncak dan keinginan amarah untuk dilampiaskan terdorong semakin kencang ketika melihat David keluar dari mobilnya. Logika Roland telah porak-poranda oleh emosi melihat eksepresi muram David.Bugh!Pukulan keras dari tangan Roland menyapa David dengan segenap
Tanpa peduli pada handphone-nya yang Roland kembalikan, Michelle masih betah menatap Roland yang pergi meninggalkannya bersama Valencia.Wanita itu penasaran pada si penelepon yang merubah suasana hati Roland. Tanpa curiga pada apa pun, Michelle berpendapat jika panggilan telepon itu berkaitan dengan pekerjaan.“Padahal pekerjaannya sangat banyak. Tapi dia lebih memilih merawatku dan mengambil cuti tahunan,” Michelle bergumam lemah dengan naifnya.Valencia tersenyum lemah mendengarkan gumaman itu. “Harusnya kau bahagia karena Kak Roland lebih memilihmu dibandingkan pekerjaannya.”Nampan berisi makanan yang Valencia bawa berakhir di letakkan di meja nakas bersebelahan dengan ranjang pasien. Kemudian Valencia mengantur ranjang itu lewat satu tombol di ujung kasur yang berakhir membuat posisi Michelle menjadi duduk tanpa harus bergerak.“Itu artinya kau adalah prioritas utama di hidupnya,” lanjut Valencia mengejek sambil tersenyum.“Tapi aku belum terbiasa.” Michelle mengulas senyuman ke
Sebelum berakhir di depan kamar inap itu, David telah lebih dulu mendatangi rumah Michelle. Pria itu tidak menaruh rasa curiga sedikit pun pada kesunyian yang mendominasi di bagian depan rumah Michelle.Hal itu sudah biasa David temukan setiap kali mendatangi kediaman itu. Namun, langkahnya yang ingin keluar berhenti ketika melihat Daniel sedang berkeliaran di sekitar halaman rumah.Rasa curiganya semakin menguat melihat Daniel yang didampingi seseorang memerhatikan sekitar dengan telitinya. David menduga seseorang itu adalah bodyguard Roland.Apa yang mereka lakukan? Apalagi tingkah mereka seperti mencari-cari sesuatu.Kalimat-kalimat itu membujuk David untuk segera beranjak dari sana. Dia dengan hati-hati mengemudikan mobilnya, berusaha keras tak memancing perhatian Daniel.Dan ketika berhasil berpindah di tempat yang aman, David berusaha mencari-cari seseorang yang ada di lingkungan perumah Michelle.Usahanya itu langsung membuahkan ketika berhasil mencegah langkah seseorang. Lewat
Pria yang selalu kejam dan tak berperasaan itu masih menangis tersedu di kaki Michelle. Dia tak malu memohon ampun dengan ironinya.Padahal selama Michelle mengenalnya tak pernah sekalipun Roland menunjukkan kelemahan apalagi sampai merendahkan diri.Roland sudah benar-benar berubah. Dia menunjukkan ketulusannya tanpa ragu. Dia pula yang melindungi serta menjaga Michelle yang terlilit dalam masalah.Keyakinan itu mendorong Michelle untuk tidak ada lagi alasan tidak memaafkan Roland.Wanita itu cukup kesulitan membujuk Roland yang masih memohon ampunan di kakinya. Sampai akhirnya Michelle berhasil menarik Roland dan menatap wajah pria itu yang dibasahi oleh air mata.Mata keabu-abuan yang terbiasa dingin itu diselimuti rona marah bercampur basahnya air mata. Senyar malu dan tak percaya diri mendominasi tatapan serta wajah tampan Roland.Dibandingkan mengukir senyuman atas ras puas di hati, Michelle lebih memilih membujuk Roland untuk naik ke ranjang sempit itu. Dan di ranjang itu, Mich
Michelle sendiri masih terdiam menafsirkan arah pembicaraan diantara mereka. Keheningan yang membentang tidak membuatnya tenang dalam berpikir. Melainkan tenggelam dalam riak-riak canggung bercampur bingung oleh intimidasi tatapan Roland.Di dalam hati Michelle bertanya-tanya, apa Roland sudah mengetahui perihal Leah?Michelle memiliki firasat kuat jika pendapatnya itu tak salah. Tanpa peduli, dia mengalihkan pandangan ke arah meja di mana amplop cokelat itu berada. Kemudian dia kembali menatap Roland yang menanti jawaban.Pria itu adalah Roland—yang selalu mencari cara untuk memuaskan hati. Bisa dipastikan Roland sudah mencari tahu mengenai kehidupannya sampai berujung pada Leah.Ya! Michelle percaya diri pada kesimpulannya.“Michelle.”Roland memanggil lembut seperti membujuk seorang kekasih. Sentuhan bibirnya di punggung tangan Michelle turut serta merayu dengan cara sama, yaitu menciumi dengan hangat dan sayang.“Aku tidak akan menghakimimu. Tenang saja,” bisiknya penuh ironi.Per
Itu adalah hasil yang dinanti. Alih-alih merasakan kebahagian, segenap rasa bersalah dan penyesalan lebih mendominasi jiwa Roland.Roland menyadari sesuatu, apakah dia pantas menyandang status ayah dari Leah?Roland adalah tersangka utama yang mendorong Michelle ke dalam kesulitan hidup. Egonya menyakiti Michelle. Amarahnya menghardik Michelle sampai tak bisa berkutik. Keputusannya menjadi awal perubahan hidup Michelle yang mencekam.Dia mencampakkan Michelle dengan sadar, sampai terlahirlah Leah yang menjadi korban keduanya.“Aku memang bajingan,” gumamnya frustrasi menyalahkan diri.Lebih tepatnya, Roland adalah bajingan yang tak tahu malu karena masih mengharapkan perasaan Michelle.Tetapi menghindari apalagi menghilangkan permasalahan itu bukan jalan terbaik. Roland telah berniat membahas kabar itu dengan Michelle di waktu yang tepat dan tak menekan Michelle pada situasi yang merusak kenyamanannya.Dengan sesekali menahan sesak, Roland frustrasi dalam diam.Handphone yang bergeta