Aaaaaa mau jambak Ellaaaa
“Apa yang kau harapkan dari wanita kasar seperti itu?”Kritikan sinis dari arah belakang telah mengusik Roland yang fokus menatap kepergian Michelle menggunakan taksi.Pria itu mendenguskan kesal, sementara tangannya mengepal kencang pada seseorang yang mengusik tak tepat waktu itu.“Seharusnya kau menolong Ella dari pada mengejar wanita kasar yang tidak tahu diri itu.”Roland yang sejak tadi menahan diri berakhir menoleh pada Jullian. Mata hazel-nya sudah melayang tajam pada Jullian yang berbicara sembarangan. Roland tak takut bersikap tak sopan pada sosok ayah kandungnya itu, baginya sudah terbiasa bahkan muak meladeni orang tua yang sibuk dengan pemikirannya sendiri.“Kau adalah pemimpin sekaligus wajah dari Trilogi Group. Jika menginginkan wanita, pilihlah wanita yang tepat. Bukan yang tak selevel denganmu.”Roland menertawakan nasihat Jullian. Pria itu sampai berdecak dan geleng-geleng kepala menyepelekan nasihat yang dianggap sampah.“Wanita yang selevel menurut Daddy itu adalah
Setir kemudi yang cukup lama dicengkram kencang berakhir dibebaskan setelah jemari-jemari mulai lemas. Kedua tangan Roland terjatuh pasrah ke pangkuan, mengistirahatkan tangan yang masih gemetaran.Perdebatan tadi sangat menguras emosi Roland. Dia kehilangan seluruh energi sampai membuatnya kelelahan.Entahlah! Roland juga bingung. Dia selalu bisa menahan diri di depan Jullian, walau terkadang mulutnya masih tajam berkata-kata.Ada dorongan yang mendesak sampai Roland bersikap kurang ajar seperti tadi. Sehingga semuanya tertumpahkan tanpa bisa dikendalikan.Anehnya, Roland sama sekali tidak menyesal. Justru sebaliknya Roland merasa lega bisa meluapkan semua hal menyiksa yang lama tertahan diri. Puncak keanehan diri terjadi ketika Roland berakhir menepi di sekitar depan rumah Michelle.Tempat itu seperti penenang bagi Roland. Tak peduli bagaimana Michelle meluapkan emosi, Roland tak berpengaruh pada perkataan Michelle. Tetapi saat itu Roland tak bertindak memaksa Michelle yang dikuasai
Pukul sebelas malam, Michelle diserang kecemasan pada Leah. Dia panik melihat demam Leah yang tak kunjung turun, malah semakin meningkat pada suhu hampir empat puluh derajat.Sebelumnya Michelle telah memberikan penanganan tepat yang dilakukan untuk mengembalikan ke suhu normal. Sayangnya, hal itu tidak mampu menormalkan kembalikan suhu tubuh Leah. Apalagi tingginya suhu tubuh saat itu telah melemahkan Leah.Kesialan yang terjadi malam itu menambah rentetan hal-hal buruk menimpa Michelle. Dia kesulitan memesan taksi pada jam menginjak tengah malam. Alins yang terbiasa tak pernah mengabaikan telepon, tak kunjung menjawab telepon Michelle. Dan Danny, pria itu pasti memiliki jadwal pekerjaan jika tak bisa dihubungi.“Leah, Mommy akan menggendongmu. Kita akan ke rumah sakit,” ucap Michelle berhati-hati meraup tubuh Leah yang panas.Meski keputusannya sedikit konyol, Michelle berharap bisa menemukan taksi atau apa pun di luaran sana yang cepat mengantarnya ke rumah sakit. Michelle tak bisa
“Siapa pria yang tadi bersamamu?” Danny berani bertanya setelah matang-matang memutuskan.Michelle terlihat bergeming pada posisinya duduk di kursi ruangan tunggu. Tatapannya yang lurus ke arah bilik Leah mendapatkan pertolongan penuh kekosongan sulit dijabarkan.“Dilihat dari penampilannya, dia bukan seperti orang biasa-biasa—”“Dia adalah Roland.” Michelle menghela napas panjang setelah cukup lama menahan. “Dia adalah Roland Archer,” lanjut Michelle menegaskan dengan suara lemah.Danny tak bereaksi lebih dikarenakan memahami perasaan Michelle saat itu. Tetapi dia tak bisa menutupi rasa ingin tahu kronologi Leah berakhir di rumah sakit.“Apa yang terjadi? Bukankah kalian pergi ke acara ulang tahun Axel?” tanya Danny penasaran.Michelle berdehem lemah. “Kami berakhir pergi bersama Roland karena tanpa aku tahu Leah meminta Roland untuk ikut ke acara itu. Aku tidak bisa menolak karena Leah yang terus merengek. Dan ternyata Axel merupakan anak dari saudari tirinya Roland. Di sana aku ber
“Terima kasih telah membantuku, tapi aku baik-baik saja—”Bibir Danny langsung terkatup saat matanya beradu dengan Roland. Wajahnya yang memucat telah membeku menatap seseorang yang tak terduga.“Aku rasa Anda sedang tidak dalam keadaan baik.” Roland menatap cemas pria yang bersikap canggung itu.“Tidak! Aku baik-baik saja.” Danny memalingkan tatapannya yang canggung, tetapi wajahnya masih menahan sakit akibat nyeri di dada kiri.Sikap Danny itu dipahami oleh Roland. Jika diingat-ingat keakraban Michelle dengan pria itu di UGD, dia pasti merupakan orang terdekat Michelle setelah pindah dari New York.Bryan juga teringat mengenai Leah yang kerap kali menyebutkan sosok grandpa dan grandma. Mungkinkah Danny dan Alins yang Michelle sebutkan tadi adalah keluarga Michelle?“Anda terlihat tidak baik-baik saja. Biar aku bantu ke UGD agar Anda mendapatkan pertolongan—”“Tidak perlu, Tuan Roland.” Danny masih keras hati pada keputusannya. Dia juga mendorong lembut Roland yang ingin memapah.Perl
Walau tidak berhasil mengantarkan Danny ke rumah, Roland berhasil membujuk Danny pulang menggunakan taksi yang dicari sendiri oleh Roland.Danny sendiri masih geleng-geleng kepala menanggapi sikap Roland. Di sisi lain ada sebuah harapan yang terwujud mengenai sikap Roland tidak lagi berpura-pura demi kembali menyakiti Michelle.Perhatian Danny teralihkan ketika taksi itu telah tiba dengan aman di halaman depan rumahnya. Pria itu langsung keluar dengan tenang, sampai masuk ke dalam rumah tak menimbulkan suara demi tak mengusik tidurnya Alins.“Kau baru pulang, Sayang?”Danny terkejut Alins tiba-tiba menyalakan lampu ruangan.“Kau belum tidur?” Danny berbasa-basi saat berjalan menghampiri istrinya.“Aku terbangun karena mendengar suara mobil. Aku pikir itu bukan kau karena itu adalah taksi. Tapi, setelah mengintip ternyata itu kau. Kenapa tidak naik mobilmu?”Danny tertawa lemah menanggapi istrinya yang cemas. Lebih dulu dia menarik Alins ke dalam pelukannya. “Ban mobilku bocor, jadi aku
Roland dipaksa puas oleh Michelle yang mengabaikan pernyataannya. Dari dini hari sampai matahari telah terik menyinari daratan Los Angeles, Michelle banyak berdiam diri dengan wajah tanpa ekspresi.Apa pun yang Roland lakukan tak Michelle respon. Wanita itu sepenuhnya acuh, sampai-sampai dia tidak menyahuti Roland yang memaksanya berisitirahat.Roland pun tetap pada keputusannya. Dia setia di sisi Michelle tanpa peduli kasarya Michelle mengusir.Pukul sebelas siang, Roland yang lama bergeming menatap Michelle akhirnya beranjak mendekati. Pria itu mengantongi handphone yang sejak tadi dari dipergunakan sembari berjalan menghampiri Michelle yang setia duduk menemani Leah yang sudah terbangun.“Istirahatlah, Michelle. Kau juga belum sarapan sejak pagi.” Roland bersuara rendah membujuk, tetapi nadanya sedikit menekan seperti tak ingin dibantah.Reaski Michelle masih sama. Wanita itu malah lebih peduli pada Leah yang menatap bingung kedua orang dewasa itu.“Apa kau ingin sesuatu?” Michelle
“Bagaimana bisa anak berandal itu belum datang juga ke sini?”Bentakan Jullian memekik sakit ke telinga orang-orang di kamar inap mewah itu. Dia tidak peduli bagaimana berisiknya suaranya menyakiti, termasuk mengabaikan kondisinya yang belum sepenuhnya pulih.“Apa kalian belum memberitahu dia?” lanjutnya melotot marah.“Aku sudah menghubungi Daniel. Sepertinya Roland sulit datang karena sibuk.” Odelia dengan santai bersuara tanpa rasa takut sedikit pun. Dia sudah terbiasa menghadapi Jullian yang selalu emosi terhadap Roland.“Kau! Kenapa harus istriku yang menghubungi sekretaris anak berandal itu?” Jullian menumpahkan kekesalan pada asisten pribadinya yang sejak tadi merunduk takut. Saking kesalnya, pria yang mengenakan piyama pasien itu menunjuk-nunjuk asisten pribadi itu. “Kenapa juga harus Daniel yang dihubungi? Ke mana anak berandal itu sampai tidak bisa dihubungi?” lanjutnya membentak.Odelia yang duduk di kursi sebelah ranjang pasien tersentak kaget akibat bentakan berisik suamin