—03—
Clara menghentikan mobilnya di depan halaman sekolah anak-anak yang masih dalam tahapan pre-school.
Marshella Anggie Wesley, anak yang berada di samping Clara tersenyum menatap ke arah layar jendela mobilnya.
Bocah berusia tiga tahun itu turun dari mobil, sambil berseru kepada Clara.
"C'mon, Mom!" ajak bocah perempuan itu berseru.
Clara tersenyum membuka seatbelt dan mematikan mesin mobilnya, ia turun menyusul Anggie -panggilan anak tersebut- yang berjingkrang senang saat hari ini adalah first timenya ia masuk sekolah.
"Wait, An ... jangan tinggalkan, Mom." Clara menyahut dan terburu-buru mengejar Anggie.
Bocah perempuan yang begitu aktif dan sangat antusias untuk masuk ke lingkungan barunya itu, berlari dan berhenti menatap kagum bangunan indah yang ada di hadapannya.
Dengan mulut yang menganga ... bocah itu terlihat sekali sangat takjub dengan apa yang dia lihat saat ini. Irish sebiru lautan itu berbinar cerah seakan memantulkan apa yang tengah ia lihat saat ini.
Di hadapannya terdapat sebuah sekolah dengan bangunan sederhana berwarna-warni seperti pelangi di dinding luar sekolah itu, seakan menambahkan semangat Anggie dan murid baru yang hendak belajar serta bermain bersama teman sebaya mereka.
Tak seperti Anggie ... disekeliling sana, ada juga beberapa anak seusia Anggie yang menangis dan takut untuk masuk ke gedung sekolah tersebut. Ada juga yang tak ingin lepas dari gendongan ayah dan ibunya.
Beberapa ada yang mandiri seperti Anggie yang berlari lebih dulu ke dalam gedung sekolah.
"Anggie jangan lari, nanti kau terjatuh ... lagi!" belum habis ucapan Clara. Bocah itu kembali terjatuh.
Namun tak ada tangis di wajah Anggie, bocah itu hanya meringis dan menunduk malu dengan orang di sekitarnya. Terutama dengan bocah laki-laki di hadapannya, yang menjadi penyebabnya menghentikan laju larinya—karena tak ingin menabrak bocah tersebut.
Clara menghampiri kedua bocah yang hampir saja saling beradu. Ia membantu Anggie untuk bangun dan membersihkan lututnya.
"Sudah berapa kali Mom katakan ... jangan sembarangan berlari, An. hampir saja kau menabrak bocah laki-laki ini," peringat Clara. Wajahnya tampak khawatir memerhatikan lutut Anggie dengan teliti.
"I'm sorry, Mom ...," cicit Anggie. Kini ekspresi wajah bocah itu seakan menyesal karena tak mendengarkan nasihat ibunya.
Lalu Anggie, terdiam menatap bocah laki-laki yang sedang memegang sebuah kamera mainan yang tergantung di lehernya.
Clara tersenyum dan menanyakan bocah laki-laki yang tak ada orang tua di samping bocah itu.
"Siapa namamu? Dimana orang tuamu? Apa kau tersesat?" tanya Clara bertubi-tubi, sambil mengernyit.
"Aku Dave, orang tuaku baru saja pulang. Itu mobilnya," ungkap bocah laki-laki bernama Dave.
Sambil menunjuk sebuah mobil sedan yang melaju meninggalkan anaknya.
Seketika Clara tersentak dengan nama yang dikatakan bocah tersebut. Raut wajahnya berubah tegang dan senyumnya menghilang saat mendengar nama pria yang pernah dicintainya terdengar keluar dari bibir bocah itu.
"Mom," panggil Anggie menggerakkan tangan Clara.
Karena bocah laki-laki bernama Dave itu hendak pamit untuk melanjutkan langkahnya ke dalam sekolah.
Clara yang tersadar dengan lamuman bodohnya ... menunduk dan mengusap bahu Dave.
"Hah... seharusnya mereka menemanimu sampai masuk ke kelas. Baiklah, kau bisa masuk denganku dan putriku. Aku Clara dan ini Anggie," ujar Clara, kembali menampilkan seulas senyuman manis.
Seakan dejavu ... ia sedikit teringat dengan kejadian dirinya saat baru tiba di Manhattan—Tepatnya di apartemennya. Waktu itu ia juga menabrak Dave yang dengan angkuhnya tak membantunya bangun.
"Aku tak mau berteman dengannya, Mom. Dia membuatku terjatuh tapi dia tak mau membantuku bangun," keluh Anggie. Kembali membawa Clara dari lamunannya.
"Anggie... jangan berkata seperti itu, Mom tak mengajarkanmu begitu terhadap teman di sekitarmu," tutur Clara. Berjongkok menghadap Anggie.
"Aku juga tak ingin berteman denganmu gadis ceroboh. Aku bahkan tak menyentuhmu ... kau yang terjatuh sendiri," ujar Dave mencibir.
"Ya sudah ... siapa juga yang mau berteman denganmu!" tukas Anggie membalas, "Mom tak perlu mengantarku ... aku bisa sendiri," timpal Anggie.
Kembali melangkah menjauhi Dave dan meninggalkan Clara yang ternganga tak percaya.
Bagaimana bisa bocah berusia tiga tahun setengah bisa saling menukas. Semua itu semakin mengingatkannya akan kejadian dirinya di masa lalu ... Dimana Dave begitu angkuh—karena tak sedikitpun membantunya, bahkan mengucapkan maaf pun tidak sama sekali.
"Hm ... Dave, maafkan Anggie. Dia hanya sedikit kesal... jangan marah padanya, aku akan membujuknya untuk berteman denganmu," kata Clara kembali membungkuk, setelah sempat berdiri hendak mengejar Anggie.
Clara mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala bocah laki-laki tersebut. Bagaimana bisa anaknya baru masuk sekolah bukannya mendapatkan teman, namun malah mendapati musuh.
Dave tersenyum. "Terima kasih, Cla ... tak apa. Aku tahu gadis itu memang menyebalkan. Aku masuk dulu," ujar Dave tersenyum manis.
Setidaknya Dave tetaplah bocah laki-laki yang memiliki sifat angkuh terhadap sebayanya. Mungkin karena kurangnya perhatian kedua orang tuanya, mempengaruhi sikap anak tersebut hingga terlihat begitu angkuh, demi mencari perhatian di sekitarnya.
Namun tetap saja... kedua anak berusia tiga tahun setengah, mampu bertingkah menyebalkan layaknya orang dewasa?
Sungguh membuat Clara harus menepuk keningnya karena tak percaya dengan semua ucapan kedua bocah yang menurutnya terlalu cepat dewasa untuk berkata begitu sinis dan bijak.
"Hah ... ya ampun, apa anak zaman sekarang begitu cepat dewasa?" Clara bertanya pada dirinya sendiri.
Sambil mengedikkan bahunya ... ia berjalan ke luar dari pelataran sekolah. Berniat mencari kedai kopi untuknya menjernihkan kepala.
________
Clara mendaratkan bokongnya di kursi yang menghadap ke jalan... ia cukup kelelahan karena berjalan menuju kedai kopi yang berjarak kurang lebih 200 meter.
Setelah memesan kopi dan croissant, ia memperhatikan sekitarnya ... suasana kota The Rocks sungguh pilihan terbaik untuknya menetap di sana—setelah sebelumnya ia sempat berpindah-pindah tempat.
Namun pilihannya berakhir di The Rocks yang memiliki lingkungan di sepanjang jalan bersejarah di bawah bayangan Jembatan Sydney Harbour.
Clara begitu menyukai semua orang di sekitarnya yang berbaur dengan baik....
Banyak warga lokal dan turis berbaur di The Rocks Market yang terbuka untuk membeli makanan jalanan dan busana buatan tangan.
Tak hanya itu ... di sepanjang kawasan pejalan kaki tepi pantai yang sibuk, para pengamen tampil memberikan kesan hiburan tersendiri bagi Clara jika ia sedang jenuh dan mencari udara segar.
Sesungguhnya nama The Rocks itu sendiri karena aslinya tempat itu adalah bukit batu yang kemudian menjadi pemukiman.
Namun bukan hanya sekadar pemukiman biasa ..., The Rocks punya sejarah amat penting untuk Australia. Terletak di Teluk Sydney, The Rocks adalah pemukiman pertama dari koloni Inggris tahun 1788. Seakan menjadi sejarah pertama Australia hingga membuat pemerintah begitu menjaga tempat tersebut sebagai salah satu kota tua di negaranya.
Clara seakan kembali ke rumah saat ia berkeliling pemukiman The Rocks yang cukup banyak menyimpan kenangannya bersama orang yang cukup penting dalam hidupnya yang kini, orang tersebut telah tiada dan membuatnya harus menetap di sana.
Demi membalas semua kebaikan sahabat sekaligus sosok seorang kakak yang begitu banyak berkorban untuknya.
Clara tersentak saat menatap langit tiba-tiba seorang pelayan mengantarkan kopi pesanannya. Ia tersenyum dan mulai mengendus bau kopi yang terlihat masih hangat untuk diseruput.
Pikirannya kembali mengingat nama bocah laki-laki yang baru saja ia temui.
"Huh ... sungguh seperti sebuah kebetulan. Atau mungkin memang namanya cukup pasaran," gumam Clara terkekeh.
Lalu mulai menikmati sarapannya yang cukup membuatnya kenyang hingga siang hari. Sambil menunggu Anggie selesai kelas pertamanya.
Clara yang terlalu larut menikmati kopinya ... tak menyadari bahwa saat ini, ia sudah menjadi perhatian seseorang yang berpakaian serba hitam dengan kacamata yang bertengger di hidungnya.
Seorang pria yang duduk dua meja di belakangnya tak henti memerhatikan gerak-geriknya dari ia keluar rumah, sambil menghubungi seseorang yang dipanggilnya Bos.
***
Dave turun dari pesawatnya sambil merapatkan mantel. Ia memakai kacamata hitam dan mulai melangkah menuju parkiran mobil yang sudah menunggunya sejak satu jam yang lalu.
Perjalanan yang cukup melelahkan baginya... namun ia tak ingin menyia-nyiakan waktu untuk bermalas-malasan.
Dave memasuki mobil sedan berwarna hitam dan langsung menanyakan apa yang didapat oleh Stein —pria yang duduk di balik kemudi—.
"Katakan bahwa kau salah, Stein! Kau tahu aku tak menyukai kesalahan sedikitpun. Aku tak akan mentolerirnya!" tukas Dave.
Saat ia mendaratkan bokongnya di kursi penumpang, sambil melepas kacamatanya.
Dirinya sungguh kesal ketika ia harus mengalami transit dan membuatnya harus menunggu satu hari lebih lama untuk tiba di Sydney.
Hingga sebelum ia kembali terbang, Stein kembali melaporkan bahwa Clara sungguh sudah memiliki seorang anak.
Stein meyakini semuanya karena ia mendengar sendiri bocah perempuan yang bersama Clara memanggilnya dengan sebutan mom.
"Aku tak tuli, Dave. Sungguh ... bocah yang bersama Clara memanggilnya begitu. Aku bahkan merekamnya dan kau juga sudah melihat video yang kukirimkan bukan?" tanya Stein.
Melajukan mobilnya dan membawa Dave ke apartemennya. Karena Dave meminta semuanya dirahasiakan, jadi ia tak ingin ada namanya ataupun nama Stein yang menyewa sebuah hotel ataupun penginapan lain di Sydney.
Dave meremas benda pipih yang ada didalam genggamannya. Ketika ia mengingat kembali bagaimana interaksi Clara dengan seorang bocah perempuan yang memanggilnya dengan sebutan mom.
Sebuah berita yang membuatnya cukup pesimis. Namun tidak sampai membuatnya berhenti ... karena ia akan mencari tahu sendiri dengan cara terang-terangan.
"Untuk saat ini, aku percaya dengan semua pengintaianmu Stein. Tapi jika ternyata semua itu ada alasan lain dibalik panggilan itu... Aku tak akan memaafkanmu," ujar Dave.
Ia memijat sisi pelipisnya, mencoba menghilangkan denyutan di kepalanya yang kian terasa kuat.
"Baiklah ... terserah. Kau bosnya," kata Stein.
Menanggapinya dengan sedikit gurauan. Karena ia tahu, bos kecilnya itu terlihat tak bisa menerima kenyataan yang baru diketahuinya.
"Well ... kau ingin langsung ke apartemenku?" tanya Stein.
"Hem, kau sudah menyiapkan semua yang kubutuhkan?" tanya Dave bergumam.
"Sudah... hanya seadanya. Kau yang memintaku untuk tak terlalu berlebihan bukan?" tanya Stein memastikan, sambil melirik ke kaca spion.
"Ya. Yang terpenting aku bisa mendatanginya besok pagi dengan segera... aku tak memerlukan kemewahan apapun untuk mendatangi wanita kurang ajar itu!" tukas Dave.
Kekesalannya begitu memuncak karena dirinya bukan hanya merindukan sosok seorang Clara. Melainkan ia merasa tertipu dengan perpisahannya yang terlalu lama.
"Kenyataannya... yang kau sebut wanita kurang ajar itu, mampu membuatmu menjadi bodoh. Heh! Kakak dan ayahmu menjadi bodoh karena memperebutkan satu wanita, Dan sekarang kau juga, apa kalian—"
"Stein... Apa kau dibayar untuk mengomentari semua itu? Kau ingin menutup mulutmu sendiri, atau aku yang membantumu?!" sarkas Dave menyela.
Menatap dari kaca spion dengan santainya berkata seolah ia sangat ingin memakan Stein saat itu juga karena begitu berani mengomentari kehidupan ketiga bosnya.
Stein hanya melakukan gerakan mengunci mulutnya dan membuang kunci itu keluar jendela.
"Bagus jika kau bisa menutup mulutmu sendiri!" tukas Dave.
Dasar Stein sialan! Berani-beraninya dia mengejekku! Lihat saja nanti ... saat aku mendapatkan Clara kembali, aku akan membuatmu menyesal telah mengejekku barusan! tukas Dave dalam hati.
Seperti bocah kecil yang tak menyukai adanya ejekan menyebalkan dari siapapun.
**
—04—Dave menggebrak-gebrak Stein yang masih tertidur di sofa ruang tamu apartemen asisten sekaligus detectif yang merangkap menjadi sahabat Dave. Lebih tepatnya... Teman curhat Dave selama beberapa tahun terakhir.Well ... Bagaimana bisa Stein -sipemilik apartemen- malah tidur di sofa ruang tamunya?Kembali lagi pada kenyataan, bahwa Dave adalah bosnya!Setelah perdebatannya dengan Stein semalam ... Dave —pengungsi tak tahu diri itu. Meminta tidur di kamar Stein, dengan alasan ia lelah karena perjalanan panjangnya dari Manhattan menuju Sydney yang memakan waktu empat jam lebih lama dari penerbangan yang biasanya hanya mencapai duapuluh tiga jam paling lama.Erangan dari mulut Stein terdengar menggerutu kesal. Bosnya yang satu itu memang tak bisa memberikan Stein sedikit jeda untuk bernapas sejenak dan menikmati tidurnya dengan tenang."Stein bangun! Jika kau tak ingin
-05-Dave tersadar setelah beberapa detik bergeming menatap kepergian Clara. Lantas dia bergegas mengikuti Clara yang sudah diketahuinya menuju sekolah di mana bocah perempuan itu diantarkan Clara.Dave memasuki mobil milik Stein dan langsung menekan pedal gasnya untuk bisa menyusul kepergian Clara.Ia melewati beberapa mobil yang telah menutupi jalannya, untuk menyusul mobil Clara yang berada dua mobil di depan darinya. Di sisi jalan terlihat tanda kehidupan dari orang yang berlalu lalang untuk memulai harinya.Hingga beberapa menit kemudian, Mobil yang dikendarai Clara terlihat berhenti di pelataran halaman parkir sekolah Anggie.Bocah kecil itu keluar dan melambaikan tangannya kepada Clara. Setelah ia mencium pipi ibunya dan Clara membalasnya sambil mengusap kepala Anggie dengan sayang.Sementara Dave terdiam menatap pemandangan indah tersebut. Hatinya tereny
—06—Dave menghentikan mobilnya tepat di belakang mobil Clara. Ia keluar dari mobil sambil memakai kacamata hitam karena terik matahari tepat berada di atas kepalanya.Otaknya terasa mendidih seperti hatinya saat ini. Ketika mendengar pengakuan omong kosong dari Clara yang berkeras bahwa wanita itu merasa telah bahagia tanpanya.Terlihat Clara yang masuk ke rumah, membawa Anggie yang terus berceloteh menceritakan kegiatannya di sekolah. Sesekali bocah itu menyebut nama Dave yang begitu angkuh tak ingin bermain dengan teman lainnya.Dave mengikuti dan memilih membiarkan Clara melakukan kegiatannya seperti biasa. Mengurus Anggie, dengan menyuruh bocah itu untuk mengganti pakaian. Sementara Clara hendak memasak makan siang mereka."Aku ingin bermain dengan teman perempuan ... tapi Dave dengan angkuhnya berkata, bahwa kami berisik. Dan dia ....""Okay, An. Simpan ce
—07—Clara masuk kembali ke rumah, setelah selesai menjawab panggilan yang membuatnya naik darah.Terlihat dari wajahnya yang memerah dan hilangnya senyuman di wajah yang masih terlihat cantik.Clara bergabung bersama Dave dan Anggie yang kompak memerhatikan wanita itu. Clara duduk dan langsung mengambil makanan ke atas piring kosong. Lalu melahapnya dengan segera seperti orang kelaparan.Padahal sebelumnya ia berkata kepada Anggie bawah dia masih kenyang. Dave dan Anggie melongo melihat Clara begitu lahap menyuapkan nasi berkali-kali ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya dalam jumlah banyak hingga kedua pipinya menggelembung menjadi chuby."Apa masakanku seenak itu?" tanya Dave.Seketika Clara baru teringat bahwa makanan yang ia lahap sedemikian rakusnya adalah masakan Dave. Ia hanya sedang kesal dan meluapkannya begitu saja tanpa tahu dirinya sudah menjadi pusat perhatian kedua
-08-"Matheus Arthur Wesley! Berhenti bicara dan jangan campuri urusanku!" hardik Clara.________Lagi-lagi menghentikan ucapan Matheus. Bersamaan dengan itu Clara berbalik, menatapnya dengan sorot mata tajam, begitu juga Dave yang berada tepat di belakang Clara berjarak beberapa langkah sambil mengerutkan keningnya dalam."What happened, Cla? Kenapa kau menghentikan ucapannya?!" tanya Dave.Membuat Clara menoleh dan menatapnya sinis. Tatapan yang diterima dan dibalas oleh Dave tak kalah sinis.Dave melangkah mendekati Clara, tanpa berniat menghilangkan sorot tajam dari manik abunya."Apa yang hendak kau sangkal, Cla? Kenyataan bahwa kalian adalah adik kakak? dan tak dapat terelakkan bahwa darah yang ada di dalam tubuh kalian yakni dari gen yang sama, sebagai keturunan Wesley?!" sergah Dave.Semakin m
—09—Dave terdiam di dalam mobil yang masih diparkirkan di depan rumah Clara, ia memandangi lembaran kertas laminating putih yang bergambar sesosok wanita yang dicintainya. Gambar yang menunjukkan kegiatan Clara setelah perpisahan terjadi antara dirinya dan wanita yang dicintainya.Dave mengusap lembaran demi lembaran dengan perlahan dan membalik lembaran itu satu persatu, seperti sedang membaca agenda perjalanan wanitanya selama berpisah dengannya.Terdapat sebuah tulisan tangan Maggie yang menjelaskan sedang apa Clara di dalam foto tersebut. Dave terkekeh saat cerita yang dijabarkan dalam tulisan itu mengandung unsur keluguan seorang Clara."Kau memang tetap lugu, Cla... sekalipun kini kau berubah menjadi lebih dewasa. Apa tak sedikitpun kau merindukanku? Kau tak adil... kau tahu keberadaanku, namun tidak denganku. Dan yang lebih parahnya, kau bahkan tak pernah mendatangiku," lirih Dave dala
Clara menginjakan kaki di tempat semula ia memulai segala sesuatunya di kota Manhattan. Terletak di pusat kota yang penuh dengan hiruk pikuk germerlapnya dunia malam. Gedung pencakar langit yang menjulang tinggi begitu angkuh menghiasi kota pada malam di mana kini dirinya telah tiba di apartemen.Tepatnya di dalam kamar yang menghadap langsung keluar, menampilkan cahaya terang dari lampu jalan yang memantul di dinding kaca hingga menyilaukan penglihatannya saat berada dalam gelapnya ruang kamar tersebut.Clara dengan sengaja tak menyalakan lampu, karena menunggu kehadiran Dave dan menjelaskannya langsung. Clara tak ingin Dave melihat air matanya nanti saat berusaha menjelaskan semua. Ia hanya berharap pria itu mengerti dan tidak meninggalkannya, seperti yang ditakutkannya selama ini.Pintu kamarnya terbuka. Ia tahu Dave telah datang. Aroma parfum yang sama tercium dan tak pernah hilang dari ingatannya saat mendekap pria itu."I'mhere
Keheningan malam di ruang kamar apartemen Clara semakin terasa merasuk ke jiwa, sunyi meniupkan angin yang melintas melewati jendela kaca, menerpa kulit mereka dan merasakan dingin menghampiri keduanya. Dave semakin mengeratkan pelukannya, begitu juga dengan Clara yang kian masuk dalam dekapan pria itu. Saling menguatkan dan melepaskan kesedihan yang telah berlalu.Getaran di tubuh Clara perlahan mereda, tangisnya kini hanya menyisakan isakan yang mereda. Dave melepaskan pelukannya, menangkup kedua pipi wanitanya dan mengusap sisa air bening di ujung mata. Dave menunjukkan seulas senyum. Ia ingin memberi tahu, semua akan baik-baik saja dan mengikhlaskan yang telah berlalu.Jemari Dave mengusap surai coklat bergelombang milik Clara, mencium kening cantik itu begitu dalam. Menunjukkan betapa ia sangat menyayangi wanitanya, dan turut sedih melihat penderitaan yang teramat berat selama ini."Kau sudah merasa lega?" tanya Dave.Clara mengangguk dan berusaha me
Clara memekik terkejut saat mendengar nama pria yang memperkenalkan dirinya dengan cara menyeramkan itu menerobos masuk melewatinya dengan mudah.Clara menoleh dengan tatapan menyelidik walau terdapat secuil rasa takut dari aura pria yang terasa telah membunuh banyak orang."Who are you?!"tukas Clara berusaha terlihat berani. Walau dalam hatinya merutuki Leonard yang pergi entah kemana.Bukannyamenjawab,pria itu melangkah menghampiri Clara dan berhenti di hadapannya."Apa kau tak mendengar perkenalanku tadi?Aku Bastian Fer—argh!"pekik pria bernama Bastian, memegangimiliknyayangterkena tendangan lutut Clara.Bastian hendak meraih tangan Clara tetapi wanita itu lebih dulu meraih tangannya dan menarik, menambahkan pukulan pada perutnya.Bastian me
Dave menapakkan kakinya di kediaman seorang petinggi mafia yang diduga sebagai bos Diego. Kedatangannya sudah diketahui orang itu hingga saat ia tiba di bandara, Dave sudah mendapat jemputan menggunakan helikopter dan berhenti tepat dihelipadrumah mafia tersebut. Seolah diperlakukan sebagai tamu spesial yang membuat Dave harus semakin waspada.Dave bersama Stein dan Frank diantarkan seorangbodyguarduntuk menemui pemimpin itu. Dengan menaiki sebuah lift agar tiba di atap tertinggi terbuka yang terdapat pria paruh baya sedang memberi makan peliharaannya di tempat terbuka. Terdapat beberapa unggas berbagai macam bentuk yang terlihat cukup besar dimasukan ke dalam kandang."Boss,Mr. Williams sudah di sini," ujarbodyguardberseragam hitam itu menyapa boss besarnya.Pria dengan setelan kemeja putih yang lengannya digulung menampilkan beberapa tato, dipadukan dengan rompi abu yang dan
Dave mendengar panggilan telepon yang tersambung pada Celine atau Shello, begitulah Frank dan Stein memanggil wanita itu dengan akrab. Setelah menunggu selama beberapa menit, kini ia harus menerima kenyataan dan benar akan pemikirannya.Pria yang membantu petinggi mafia dari Diego adalah Leonard Dowson yang tak lain adalah suami dari Shello. Dave sempat memaki dan menghujat Shello untuk mengembalikan Clara sesegera mungkin. Akan tetapi setelah mendengar penjelasan Shello yang mengatakan bahwa suaminya terpaksa melakukan itu karena putrinya yang juga menjadi sandera dan sebagai bayarannya, Leonard harus melakukan tiga kali penculikan.Tentu saja, Shello sudah menyusun rencana untuk menyelamatkan keduanya. Bahkan klan Dowson dan Wilfred serta klan Walz yang turut ikut membantu sudah siap menjalankan misi yang dipimpin oleh Shello dan ayahnya—Marshello.Dave hanya diminta untuk mempercayakan semua pada apa yang sudah diatur oleh wanita yang pan
Stein menutup panggilan Dave saat bos kecilnya mengatakan hal yang begitu mencurigakan. Tak biasanya Dave menghubunginya hanya untuk berpamitan dan memintanya untuk tidak mengganggu acaranya. Selama ini baik Stein atau pun Frank selalu profesional melakukan tugas memantau kedua putra Marvin Williams tanpa mengganggu kesibukan mereka."Oh,came on,boss. Kau membuang ponsel modifikasiku ke jalan?!" keluh Stein saat melihat dari layar laptopnya melalui kaca spion mobil Dave yang dipasangi kamera kecil lengkap dengan alat GPS dan penyadapnya.Sebelum mendapat telepon dari Dave. Stein sudah mengetahui bahwa bos kecilnya itu sedang berseteru di telepon. Membuat Stein mulai bersiaga dan bergegas menghubungi Frank untuk menjemputnya dan terbang ke Manhattan. Tentunya mereka memiliki izin menggunakan pesawat jet Williams Corp dalam keadaan mendesak seperti saat ini.Mereka bukan hanya pekerja yang mengurus pekerjaan kantor biasa. Semua itu hanyalah se
Dave menginjakan kaki di Metropolitan Correctional Center yakni pusat pertahanan para narapidana Manhattan, New York. Aura mengerikan terasa saat beberapa kawanan polisi yang sedang bertugas membekuk kriminal terlihat bagai pemandangan biasa yang terjadi disana.Kubikel-kubikel para petugas polisi dan detektif sibuk melakukan tugasnya masing-masing. Beberapa terlihat di satu ruangan berdinding kaca, sedang berdiskusi sambil memperhatikan lembaran-lembaran foto yang diduga Dave sebagaisuspectyang mereka curigai dalam sebuah kasus.Langkah Dave terhenti di depan pintu bertuliskan Chief Of Department, yang diantarkan seorang sersan dan dipersilakan masuk menghadap sang atasan, tentunya setelah meminta izin melalui intercom dengan laporan singkat.Dave mengangguk mengerti dan masuk lalu berjabat tangan sejenak, sampai pintu ruangan tertutup. Mereka mulai melakukan pembicaraan serius.Setengah jam berlalu setelah diskusi yang membuat banya
Wajah Dave kini terlihat memerah padam dengan remasan pada benda pipih di tangannya yang kini masih tertempel di telinganya. Rahangnya mengatup kuat dan aliran darahnya naik ke kepala hingga meluap seiring dengan ucapan dan kekehan menertawakan dirinya di ujung panggilan sana."Jangan pernah mengancamku karena kekuasaanmu yang berbau busuk! Katakan di mana Clara?! Atau aku tak akan segan untuk—""—Untuk apa,Dave?!Melaporkan perusahaanku untuk kedua kalinya?Heh!" Decihan terdengar mengejek.Sekali lagi, Dave memejamkan matanya menelan kembali ucapannya. Posisi ia saat ini tak menguntungkannya untuk meladeni seorang bajingan licik yang berani menculik Clara darinya."Kau tak akan berani menyentuhku lagi,jikaClaramu tak ingin disentuh.Kau tak akan mudah menemukannya,karena kau berurusan de
Setelah puas menyiksa suaminya, kini Clara bergegas ke toilet untuk merapikan dirinya. Bagaimana pun ia tetap terlihat kacau akibat ulahnya yang ingin menggoda Dave. Ia membuat sapuan lipstik merah menyalanya berantakan.Dan kini ... waktu yang telah cukup sore membuat gedung mulai sepi. Beberapa pekerja sudah pulang dan juga ada yang baru bersiap pulang. Sementara Bradley dan tim sukses beserta model seangkatan Clara yang menyiapkan perayaan kembalinya dirinya, sudah menuju restoran tempat mereka merayakan."Mousie sudah mendapat balasan, dia pasti kesulitan menidurkan'si littlemousie'," kekeh Clara.Wanita berkaki jenjang itu menuju baseman dan menekan kunci mobil hingga bunyi kunci pintu mobilnya terdengar. Clara masuk dan mulai menyalakan mobilnya. Tapi, sesaat ia terdiam sebelum sempat menjalankan mobilnya. Sampai yang terlihat dari kamera CCTV beberapa menit kemudian, mobil putih itu berjalan keluar dari area parkir.Da
Satu minggu kemudian proses audisi Clara telah selesai. Karena kemampuan dirinya yang profesional yang miliki aura sebagai seorang model sejati, membuatnya lolos kriteria di luar dari penilaian fisik yang sempurna.Tak dapat disangka bahwa kini Clara kembali ke gedung Mose Entertain dengan status sebagai model yang siap melakukan pemotretan pertama. Clara turun dari mobilnya, tanpa didampingi Dave.Clara sengaja tak ingin pergi bersama, sebagai profesional kerja. Ia sangat tak ingin dinilai istri CEO yang hanya menggunakan kuasa suaminya untuk menjadi terkenal.Walau sesungguhnya dirinya sendiri sudah dikenal. Namun, akan ada saja orang yang menilainya lain. Clara memiliki kesepakatan dengan Dave untuk menghindari berita tersebut."Huh! Ini hari pertamaku kembali. Semoga semuanya lancar!" gumam Clara menyemangati dirinya.Kaki jenjangnya melangkah memasuki lobi utama. Beberapa sapaan dari orang yang mengenal membuatnya merasa diterima kembali denga
Mose Entertain - 11.00 AMKedatangan Dave dan Clara setelah berlibur selama satu minggu lebih lama dari keluarga di pulau, membuat beberapa wartawan penasaran apa yang terjadi. Setelah Dave dikabarkan dekat dengan pengusaha dari Roma, kini malah kembali dengan Clara yang terlihat datang bersamaan ke gedung Mose Entertain.Bahkan kedatangan mereka berdua disambut antusias oleh pekerja di sana. Tentu saja semua itu ulah Bradley yang dibantu oleh Matheus dan Anna untuk hadir di ruangan Dave yang sudah disulap menjadi lebih meriah."Oh... kami tak sabar mendengar kabar gembira dari kalian. Mose kau sudah melakukannya berulang kali bukan? Pastinya akan membuahkan hasil," bisik Bradley yang masih bisa didengar oleh Clara.Wanita itu seketika menegang kaku, tak ada yang mengetahui kondisinya saat ini selain Dave dan Matheus. Bahkan Clara juga tak memberitahukan itu pada kedua orang tuanya, agar mereka tak mengkhawatirkan keadaannya.