Roy sebenarnya adalah anak yang baik. Ia memang sering bercanda seolah menindas teman-temannya di sekolah. Namun, semua itu ia lakukan lantaran ia ingin akrab dengan teman-temannya. Sayangnya, banyak dari mereka malah salah paham dengan cara bercandanya. Mereka bahkan takut untuk dekat dengannya mengetahui dirinya adalah anak dari pemilik sekolah.
Di sisi lain, sudah lama ia tertarik dengan seorang gadis di sekolahnya, gadis itu tak lain adalah Luna. Ia sering mengerjai Luna seolah seperti menindasnya. Entah mengapa, ia senang melihat ekspresi Luna yang lucu saat ia mengerjainya.
Hari itu, saat para pria berbaju serba hitam lengkap dengan senjata yang tampak mengerikan datang menyerang Luna. Roy merasa sangat khawatir tidak akan bisa melihat Luna lagi.
Setelah kejadian itu, Luna bahkan sama sekali tidak terlihat di sekolah. Hal itu membuat Roy begitu takut. Ia bahkan melihat berita di tv tentang penangkapan penjahat yang melibatkan keluarga Luna.
Karena kejadian itu, Roy berpikir untuk mencari cara agar bisa terus terhubung dengan Luna. Hingga akhirnya ia menemukan gelang pasangan berteknologi canggih berbalut emas murni yang bisa menyala saat ditekan.
Beruntung beberapa hari kemudian ia bisa melihat Luna lagi di sekolah. Sehingga ia memiliki kesempatan untuk memberikan gelang itu pada Luna. Perasaan Roy begitu lega saat melihat gadis itu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mulai memperlakukan Luna dengan baik.
"Berhenti bercanda! Hahaha." Luna terkekeh. Ia kemudian menjauhkan tubuh Roy darinya.
"Apa aku tampak bercanda sekarang?" Roy kembali menarik tangan Luna. Raut wajahnya terlihat serius membuat Luna menghentikan tawanya.
"Sudahlah! Aku harus pergi sekarang. Aku benar-benar akan pindah dari kota ini." Luna berusaha memberitahu Roy kembali. Namun, raut wajah Roy benar-benar tampak menyedihkan seakan tidak mau berpisah dengannya lagi.
"Kumohon jangan pergi! Tetaplah di sini. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik mulai saat ini." Roy menggenggam erat tangan Luna.
"Harusnya dari dulu kau memperlakukanku dengan baik." Luna mencoba melepaskan tangan Roy perlahan.
"Ingatlah untuk menekan gelang ini saat kau merindukanku dan jangan pernah melepaskannya!" Kini Roy memeluk tubuh Luna dengan erat, membuat wajahnya tenggelam di dada bidangnya.
"Lepaskan! Aku benar-benar harus pergi." Luna berusaha keras melepaskan pelukan Roy sembari melirik ke arah di mana sang Ayah berada. Ia takut akan ada yang melihatnya tengah berpelukan dengan Roy. Terlebih Sang Ayah dan Tuan Hendrik berada di tempat yang tidak jauh darinya. Kedua pria itu terlihat sedang terlibat dalam perbincangan serius.
"Maaf aku terlambat mengenalimu Kai." Tuan Hendrik menepuk pundak Kai dengan penuh tekanan.
"Apa maksud anda, Tuan?" Kai mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti dengan maksud ucapan Tuan Hendrik.
"Sebenarnya akulah client TIS yang memintamu untuk menghabisi Jarwo dan anggotanya 20 tahun yang lalu." Tuan Hendrik menatap wajah Kai dengan tatapan tajam.
"Benarkah?" Kedua mata Kai terbelalak. Ia terkejut mendengar ucapan Tuan Hendrik.
"Benar, aku tidak menyangka pria itu masih menyulitkanmu hingga saat ini. Keparat itu bahkan hampir mencelakai keluargamu. Maafkan aku, Kai." Tuan Hendrik menarik napas dalam.
"Ah, kau tidak perlu meminta maaf. Itu sudah menjadi tugasku. Akulah yang ceroboh, tidak melaksanakan tugas dengan baik." Kai bahkan menyunggingkan senyuman pada Tuan Hendrik yang terlihat penuh penyesalan. Ia sendiri tengah mengutuki kecerobohannya karena telah gagal menghabisi Jarwo saat itu.
"Bagaimanapun juga, aku tetap harus minta maaf padamu. Mari terus berhubungan baik mulai hari ini. Aku harap kau dan keluargamu hidup bahagia. Jika kau membutuhkan bantuan apapun, katakan saja padaku!" ucap Tuan Hendrik tulus.
"Terima kasih Tuan. Kau baik sekali padaku. Aku sangat menghargai itu." Kedua pria itu kini terlihat saling melemparkan senyuman satu sama lain.
"Panggil saja namaku!" Tuan Hendrik kembali menekankan suaranya agar Kai mau menurutinya.
"Baiklah Hen! Hahaha." Kini keduanya tenggelam dalam tawa.
"Ayah!" Luna akhirnya berhasil melepaskan diri dari Roy. Ia pun bergegas berlari meninggalkan Roy begitu saja mendekati sang Ayah.
"Ah, kau datang bersama Roy?" Tak lama setelah itu, Roy terlihat berjalan di belakang Luna mendekati mereka. Luna pun melirik ke arah Roy sejenak.
"Halo Om, saya Roy." Tanpa menunggu perintah dari sang Ayah, Roy langsung berinisiatif untuk memperkenalkan diri pada Kai.
"Wah senang bertemu denganmu Roy, bukankah kita pernah bertemu sebelumnya?" Pernah sekali Kai datang ke sekolah saat Luna mendapat masalah dengan teman-temannya. Saat itu juga Roy lah yang berani meminta maaf pada Kai meski bukan dirinya yang mengerjai Luna.
"Ah iya Om, maafkan saya waktu itu." Roy menunduk malu mengingat kejadian sebelumnya.
"Tidak masalah, dulu aku juga senakal kau saat masih seusiamu hahaha." Kai terkekeh seraya menepuk pundak Roy beberapa kali.
"Apa? Dasar anak nakal! Bagaimana bisa kau menyulitkan anak perempuan seperti itu?" Hal itu tiba-tiba membuat kemarahan Tuan Hendrik tersulut. Ia bahkan hendak memukul punggung Roy.
"Ah hentikan, Hen! Hentikan! Itu tidak seperti yang kau pikirkan. Roy adalah anak yang bertanggung jawab. Dia bahkan berani meminta maaf padaku atas nama teman-temannya." Kai berusaha menepis tangan Tuan Hendrik yang hendak memukul tubuh sang anak.
"Begitukah? Kau tidak membohongiku bukan?" Tuan Hendrik masih terlihat tidak percaya pada anaknya.
"Kau membesarkannya dengan baik, Hen." Kini Kai merangkul tubuh Tuan Hendrik dan membawanya menjauh dari anaknya.
Kedua pria itu berjalan menuju parkiran. Luna pun hendak mengikutinya. Ia juga pergi meninggalkan sekolah mengikuti sang ayah karena sudah mendapat ijin pemindahan.
"Lunaaa!" Roy memanggil nama gadis itu untuk pertama kalinya, membuat Luna menghentikan langkahnya. Perlahan ia memutar kepala ke belakang.
"Ke-kenapa?" Kedua bola mata Luna membulat dengan sempurna menatap pria yang ada di hadapannya.
"Kemana pun kau pergi, aku pasti akan menemukanmu." Roy menyunggingkan senyum termanis pada gadis yang ia sukai itu. Ia bahkan terus menatapnya tanpa berkedip.
"Coba saja! Kau tak akan menemukanku dengan mudah." Luna kemudian membalikkan tubuhnya begitu saja tanpa menyahuti perkataan Roy lagi. Gadis itu tersipu malu. Cepat-cepat ia ingin menyembunyikan wajahnya yang berubah merah dari Roy.
Luna pun kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Roy yang masih tak bergeming di tempatnya. Ia cukup lama terdiam di halaman sekolah yang luas itu sambil terus memandang punggung gadis yang terlihat semakin menjauh dan hilang dari pandangannya. Ia bahkan tak peduli dengan terik matahari yang menyengat kulitnya.
Sejak saat itu, gadis itu tak pernah terlihat lagi di sekolah. Roy pun menjalani hari-hari di sekolahnya dengan penuh rasa kesepian hingga hari kelulusan. Ternyata memang tidak mudah untuk menemukan keberadaan Luna. Ternyata perkataan gadis itu memanglah benar meski berbagai cara telah Roy lakukan.
2 tahun kemudian.Luna berlari kecil di area dekat rumahnya yang menghadap ke laut lepas. Udara pagi itu masih terasa segar. Embun pun masih hinggap membasahi daun-daun di pepohonan yang memenuhi area pekarangan.Sesekali Luna menghirup udara segar dalam-dalam ke dalam hidungnya. Semenjak tinggal di rumah barunya, Luna selalu menyempatkan diri untuk lari pagi sebelum pergi ke sekolah. Kini ia benar-benar menjaga stamina tubuhnya agar selalu fit."Kau sudah kembali?" Regina terlihat sedang sibuk di dapur saat Luna masuk ke dalam rumah."Iya, Bu." Luna menyahut seraya berjalan mendekati lemari pendingin. Ia meraih botol air mineral dari dalam sana dan segera menenggaknya.Luna kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Tubuhnya pun terbilang tinggi sempurna lantaran dua tahun terakhir ini ia sudah tergabung dalam ToughgVrl Club yang membuatnya harus terus berlatih bertarung setiap hari.Kala itu ia harus berusaha keras untuk memohon pa
Leon masih termenung. Ia terus memperhatikan gadis berseragam sekolah yang sedang melawan para preman dari dalam mobilnya.Sebelumnya ia berniat untuk membantunya. Namun, niatnya ia urungkan lantaran gadis yang sedari tadi ia perhatikan ternyata mampu mengalahkan para preman yang berusaha menyakiti anak kecil itu seorang diri."Aku akan menghabisi kalian jika kalian berani menyentuhnya!" Suara Luna terdengar lantang di hadapan para pria yang sudah terkapar di tanah. Ancaman dari mulutnya benar-benar membuat mereka bergidik ngeri."Ampun, kumohon ampuni kami." Salah satu dari mereka terlihat memohon di bawah kaki Luna."Siapa bos kalian? Beritahu aku sekarang!" Luna kembali berteriak. Darah di tubuhnya benar-benar terasa mendidih saat melihat orang dewasa berani menyakiti anak kecil."Ampun Nona. Jika bos tahu kami gagal seperti ini, dia akan menghabisi kami." Salah satu dari preman itu bahkan memegang erat kaki Luna, berharap mendapat belas kasih d
Beberapa hari sebelumnya.Kulit wajahnya yang keriput telah basah oleh peluh yang mengalir deras. Terik matahari yang menyengat tubuh tuanya seakan tak ia rasakan lagi. Kedua kaki Pak Ilyas terus mengayuh pedal sepeda tuanya. Ia berkeliling menjajakan dagangannya dengan semangat."Pak, es krim!" Suara teriakan sontak membuat Pak Ilyas menghentikan laju sepeda tuanya. Ada gejolak bahagia dalam hatinya karena akhirnya ada juga yang mau membeli dagangannya."Mau yang rasa apa, Nak?" Tangan yang sudah sedikit gemetar, dengan sigap membuka petutup wadah tempat es krim jualannya."Adakah es krim yang membuat perasaan lebih baik, Pak?" Roy menghembuskan napasnya sesaat. Kedua matanya memperhatikan es es yang ada di dalam wadah besar itu."Rasa coklat akan membuatmu merasa lebih baik, Nak." Pak Ilyas menyerahkan satu buah es krim pada Roy sambil menyunggingkan senyuman hangat padanya."Terima kasih, Pak." Roy pun meraih es krimnya dan membalas senyu
Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak tergeletak tak berdaya di sebuah ruangan gelap berukuran cukup besar. Debu-debu tebal yang menempel di hampir seluruh ruangan menunjukkan bahwa tempat itu jarang dijamah manusia. Ruangan itu lebih mirip seperti gudang tua yang terbengkalai."Bangun! Bangun!" Beberapa pria datang membangunkannya dengan paksa.Ketiganya mulai membuka mata pelan. Mereka menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan dan orang-orang yang ada di dalamnya."Ini penawaran terakhirku. Aku akan melepaskan kalian jika kalian mau pergi dari rumah tua itu." Pria bengis berparas rupawan yang sedari tadi berdiri di hadapan keluarga itu, kini menunduk mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Pak Ilyas."Jika aku harus mati, maka aku akan mati di rumah tua itu!" Pak Ilyas mengeratkan giginya menahan amarah."Sungguh kau ingin melihat anak dan istrimu mati di depan matamu? Hahaha." Arnius tertawa puas. Kedua matany
"Tuan, rumah orang tua gadis kecil itu telah dihancurkan." Seorang pria berlari tergopoh-gopoh mendekati Leon yang saat itu sedang berada di satu ruangan yang sama dengan Luna dan beberapa orang lainnya. Informasi yang terdengar langsung di kedua telinga Luna semakin membuat kesabarannya menipis.Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Luna berjalan keluar meninggalkan rumah Leon begitu saja. Kedua tangannya mengepal, langkahnya mantap. Orang-orang yang berpapasan dengannya pun bergidik ngeri melihat aura kemarahan yang terpancar jelas dalam diri Luna."Kau sudah tiba?" Luna terlihat berbicara sebentar dengan seseorang melalui ponselnya seraya terus melangkahkan kedua kakinya. Namun, ia kembali menyimpan ponselnya di saku celana saat mendapati seorang gadis tengah berdiri di samping sepeda motornya yang tak jauh darinya. Luna pun segera berjalan menghampiri gadis itu."Saya sudah mengirimkan lokasinya pada anda dan ini senjata yang kau minta, Master." Gadis cantik
"Sial! Aku kehilangan gadis itu." Roy memukul kemudi mobilnya dengan sangat keras, ia terus mengumpat di dalam mobilnya. Ia kesal karena kecepatannya berkendara masih kalah jauh dibanding kemampuan Luna. Terlebih, akibat lampu merah yang membuatnya terpaksa berhenti, akhirnya dirinya harus kehilangan jejak gadis yang tanpa ia tahu adalah Luna, orang yang selama ini ia cari.***Mobil yang dikendarai Arnius terus melaju hingga melintasi jalanan sepi yang dipenuhi oleh pepohonan. Meski sudah jauh dari keramaian kota, Luna tetap tak menyerah sedikit pun untuk mengejar orang di balik celakanya keluarga Ely.Sesekali Arnius memperhatikan Luna dari kaca spion mobilnya. Ia memang sengaja memancing Luna ke dalam perangkapnya. Ia berniat mencari lokasi yang tepat untuk membuat Luna jatuh. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah tikungan tajam yang ada di dalam area villa pribadi miliknya."Hahaha, rasakan ini!" Ia pun menghentikan laju mobilnya seketika, membuat Luna tak
Angel kembali ke markas Tohpati setelah sebelumnya sudah berusaha mencari keberadaan Luna. Gadis itu kehilangan jejak Luna di pinggiran kota."Kalian agen junior terbaik saat ini, kenapa bisa sangat ceroboh?" Ketua tim Tohpati terlihat sangat murka mendapati Angel dan Luna yang menjalankan misi di luar tugasnya."Maafkan kami, Ketua." Hanya permintaan maaf lah yang sanggup Angel katakan demi mendapat bantuan dari anggota Tohpati lainnya."Master Luna bersikeras untuk menghabisi Arnius. Lengannya tertembak, Ketua." Angel berdiri tegak. Namun, kepalanya tertunduk tak berani menatap sang Ketua."Arnius tex bukan ranah kalian, kau tahu itu! Agen senior yang menangani. Ini bukanlah misi yang bisa kalian jadikan permainan." Ketua tim seakan ingin menumpahkan seluruh amarahnya pada gadis yang sedang berdiri di hadapannya."Arnius mengusik Master Luna, Ketua. Itu yang membuatnya marah." Angel masih tertunduk meski ia memberi penjelasan dengan nada suara ya
Beberapa pasang tatapan mata tajam menghujani seorang gadis yang tengah berjalan memasuki gerbang Sekolah Menengah Pertama. Bisikan demi bisikan terdengar bersamaan dengan hentakan kaki di sepanjang lorong bangunan sekolah.Sedangkan Luna, gadis culun yang tak begitu mempedulikan penampilannya itu, hanya tertunduk dan menyembunyikan wajahnya di balik penutup kepala pada jaket hoodie berwarna hitam berukuran besar yang membalut tubuh mungilnya."Hei, kau! Gadis bodoh!" Seorang murid laki-laki tiba-tiba menarik penutup kepalanya dengan kuat hingga membuat beberapa helai rambutnya ikut tercabut dari kepalanya."Aw, sakit!" Luna meringis kesakitan seraya memegang puncak kepalanya yang terasa pedih. Ia menyipitkan kedua matanya sambil menatap pria yang baru saja menyakitinya."Melihat wajahmu yang tidak menarik, membuatku sama sekali tak merasa bersalah telah menyakitimu. Hahaha." Roy, murid laki-laki yang tengah berdiri di hadapan Luna terlihat menyeringai pa
Angel kembali ke markas Tohpati setelah sebelumnya sudah berusaha mencari keberadaan Luna. Gadis itu kehilangan jejak Luna di pinggiran kota."Kalian agen junior terbaik saat ini, kenapa bisa sangat ceroboh?" Ketua tim Tohpati terlihat sangat murka mendapati Angel dan Luna yang menjalankan misi di luar tugasnya."Maafkan kami, Ketua." Hanya permintaan maaf lah yang sanggup Angel katakan demi mendapat bantuan dari anggota Tohpati lainnya."Master Luna bersikeras untuk menghabisi Arnius. Lengannya tertembak, Ketua." Angel berdiri tegak. Namun, kepalanya tertunduk tak berani menatap sang Ketua."Arnius tex bukan ranah kalian, kau tahu itu! Agen senior yang menangani. Ini bukanlah misi yang bisa kalian jadikan permainan." Ketua tim seakan ingin menumpahkan seluruh amarahnya pada gadis yang sedang berdiri di hadapannya."Arnius mengusik Master Luna, Ketua. Itu yang membuatnya marah." Angel masih tertunduk meski ia memberi penjelasan dengan nada suara ya
"Sial! Aku kehilangan gadis itu." Roy memukul kemudi mobilnya dengan sangat keras, ia terus mengumpat di dalam mobilnya. Ia kesal karena kecepatannya berkendara masih kalah jauh dibanding kemampuan Luna. Terlebih, akibat lampu merah yang membuatnya terpaksa berhenti, akhirnya dirinya harus kehilangan jejak gadis yang tanpa ia tahu adalah Luna, orang yang selama ini ia cari.***Mobil yang dikendarai Arnius terus melaju hingga melintasi jalanan sepi yang dipenuhi oleh pepohonan. Meski sudah jauh dari keramaian kota, Luna tetap tak menyerah sedikit pun untuk mengejar orang di balik celakanya keluarga Ely.Sesekali Arnius memperhatikan Luna dari kaca spion mobilnya. Ia memang sengaja memancing Luna ke dalam perangkapnya. Ia berniat mencari lokasi yang tepat untuk membuat Luna jatuh. Hingga akhirnya ia tiba di sebuah tikungan tajam yang ada di dalam area villa pribadi miliknya."Hahaha, rasakan ini!" Ia pun menghentikan laju mobilnya seketika, membuat Luna tak
"Tuan, rumah orang tua gadis kecil itu telah dihancurkan." Seorang pria berlari tergopoh-gopoh mendekati Leon yang saat itu sedang berada di satu ruangan yang sama dengan Luna dan beberapa orang lainnya. Informasi yang terdengar langsung di kedua telinga Luna semakin membuat kesabarannya menipis.Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Luna berjalan keluar meninggalkan rumah Leon begitu saja. Kedua tangannya mengepal, langkahnya mantap. Orang-orang yang berpapasan dengannya pun bergidik ngeri melihat aura kemarahan yang terpancar jelas dalam diri Luna."Kau sudah tiba?" Luna terlihat berbicara sebentar dengan seseorang melalui ponselnya seraya terus melangkahkan kedua kakinya. Namun, ia kembali menyimpan ponselnya di saku celana saat mendapati seorang gadis tengah berdiri di samping sepeda motornya yang tak jauh darinya. Luna pun segera berjalan menghampiri gadis itu."Saya sudah mengirimkan lokasinya pada anda dan ini senjata yang kau minta, Master." Gadis cantik
Sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak tergeletak tak berdaya di sebuah ruangan gelap berukuran cukup besar. Debu-debu tebal yang menempel di hampir seluruh ruangan menunjukkan bahwa tempat itu jarang dijamah manusia. Ruangan itu lebih mirip seperti gudang tua yang terbengkalai."Bangun! Bangun!" Beberapa pria datang membangunkannya dengan paksa.Ketiganya mulai membuka mata pelan. Mereka menatap sekeliling, memperhatikan setiap sudut ruangan dan orang-orang yang ada di dalamnya."Ini penawaran terakhirku. Aku akan melepaskan kalian jika kalian mau pergi dari rumah tua itu." Pria bengis berparas rupawan yang sedari tadi berdiri di hadapan keluarga itu, kini menunduk mendekatkan wajahnya tepat di depan wajah Pak Ilyas."Jika aku harus mati, maka aku akan mati di rumah tua itu!" Pak Ilyas mengeratkan giginya menahan amarah."Sungguh kau ingin melihat anak dan istrimu mati di depan matamu? Hahaha." Arnius tertawa puas. Kedua matany
Beberapa hari sebelumnya.Kulit wajahnya yang keriput telah basah oleh peluh yang mengalir deras. Terik matahari yang menyengat tubuh tuanya seakan tak ia rasakan lagi. Kedua kaki Pak Ilyas terus mengayuh pedal sepeda tuanya. Ia berkeliling menjajakan dagangannya dengan semangat."Pak, es krim!" Suara teriakan sontak membuat Pak Ilyas menghentikan laju sepeda tuanya. Ada gejolak bahagia dalam hatinya karena akhirnya ada juga yang mau membeli dagangannya."Mau yang rasa apa, Nak?" Tangan yang sudah sedikit gemetar, dengan sigap membuka petutup wadah tempat es krim jualannya."Adakah es krim yang membuat perasaan lebih baik, Pak?" Roy menghembuskan napasnya sesaat. Kedua matanya memperhatikan es es yang ada di dalam wadah besar itu."Rasa coklat akan membuatmu merasa lebih baik, Nak." Pak Ilyas menyerahkan satu buah es krim pada Roy sambil menyunggingkan senyuman hangat padanya."Terima kasih, Pak." Roy pun meraih es krimnya dan membalas senyu
Leon masih termenung. Ia terus memperhatikan gadis berseragam sekolah yang sedang melawan para preman dari dalam mobilnya.Sebelumnya ia berniat untuk membantunya. Namun, niatnya ia urungkan lantaran gadis yang sedari tadi ia perhatikan ternyata mampu mengalahkan para preman yang berusaha menyakiti anak kecil itu seorang diri."Aku akan menghabisi kalian jika kalian berani menyentuhnya!" Suara Luna terdengar lantang di hadapan para pria yang sudah terkapar di tanah. Ancaman dari mulutnya benar-benar membuat mereka bergidik ngeri."Ampun, kumohon ampuni kami." Salah satu dari mereka terlihat memohon di bawah kaki Luna."Siapa bos kalian? Beritahu aku sekarang!" Luna kembali berteriak. Darah di tubuhnya benar-benar terasa mendidih saat melihat orang dewasa berani menyakiti anak kecil."Ampun Nona. Jika bos tahu kami gagal seperti ini, dia akan menghabisi kami." Salah satu dari preman itu bahkan memegang erat kaki Luna, berharap mendapat belas kasih d
2 tahun kemudian.Luna berlari kecil di area dekat rumahnya yang menghadap ke laut lepas. Udara pagi itu masih terasa segar. Embun pun masih hinggap membasahi daun-daun di pepohonan yang memenuhi area pekarangan.Sesekali Luna menghirup udara segar dalam-dalam ke dalam hidungnya. Semenjak tinggal di rumah barunya, Luna selalu menyempatkan diri untuk lari pagi sebelum pergi ke sekolah. Kini ia benar-benar menjaga stamina tubuhnya agar selalu fit."Kau sudah kembali?" Regina terlihat sedang sibuk di dapur saat Luna masuk ke dalam rumah."Iya, Bu." Luna menyahut seraya berjalan mendekati lemari pendingin. Ia meraih botol air mineral dari dalam sana dan segera menenggaknya.Luna kini sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Tubuhnya pun terbilang tinggi sempurna lantaran dua tahun terakhir ini ia sudah tergabung dalam ToughgVrl Club yang membuatnya harus terus berlatih bertarung setiap hari.Kala itu ia harus berusaha keras untuk memohon pa
Roy sebenarnya adalah anak yang baik. Ia memang sering bercanda seolah menindas teman-temannya di sekolah. Namun, semua itu ia lakukan lantaran ia ingin akrab dengan teman-temannya. Sayangnya, banyak dari mereka malah salah paham dengan cara bercandanya. Mereka bahkan takut untuk dekat dengannya mengetahui dirinya adalah anak dari pemilik sekolah.Di sisi lain, sudah lama ia tertarik dengan seorang gadis di sekolahnya, gadis itu tak lain adalah Luna. Ia sering mengerjai Luna seolah seperti menindasnya. Entah mengapa, ia senang melihat ekspresi Luna yang lucu saat ia mengerjainya.Hari itu, saat para pria berbaju serba hitam lengkap dengan senjata yang tampak mengerikan datang menyerang Luna. Roy merasa sangat khawatir tidak akan bisa melihat Luna lagi.Setelah kejadian itu, Luna bahkan sama sekali tidak terlihat di sekolah. Hal itu membuat Roy begitu takut. Ia bahkan melihat berita di tv tentang penangkapan penjahat yang melibatkan keluarga Luna.Ka
Kai bergegas memarkirkan mobil sesaat setelah Luna pergi. Lahan parkir yang luas itu sudah tampak penuh oleh kendaraan yang berjajar rapi di sana. Membuatnya sedikit kesulitan untuk memarkirkan mobilnya."Anda bisa parkir di sebelah sini Pak!" Seorang pria paruh baya tiba-tiba berteriak saat melihat Kai dari balik pintu mobil dengan kaca terbuka yang sedang terlihat kebingungan.Kai menganggukkan kepala dengan cepat ke arah pria itu seraya menyunggingkan senyuman padanya. Setelah mobilnya berhasil terparkir, Kai keluar dari dalam mobil lalu menghampiri pria itu."Terima kasih banyak atas bantuan anda." Kai berjalan mendekati pria yang membantunya tadi."Sama-sama, Pak. Apa anda wali murid di sekolah ini?" Pria itu melemparkan pertanyaan pada Kai."Iya Pak. Saya datang untuk bertemu kepala sekolah." jawab Kai jujur."Oh kebetulan sekali, mari sekalian saya antar. Saya juga akan pergi menemuinya." Pria itu terlihat antusias saat mendengar ucap