“Ayo Ran, nyanyi!” seru teman-teman yang lain.
“Ayo nyanyi Ran!”
“Nyanyi!”
Ran kali ini tidak bisa menolak. Ia ditarik oleh beberapa teman-teman perempuannya untuk naik ke atas panggung. Padahal mood-nya sedang tidak bagus. Kalau bukan karena menjaga images, Ran pasti akan pergi pulang sekarang juga.
Begitu tiba di atas panggung, Ran merasa pandangannya mengabur. Kepalanya terasa melayang.
“Sisi, aku rasanya pusing,” ungkap Ran pada Sisi.
“Kamu jangan cari alasan deh, Ran.” Sisi tidak percaya dengan apa yang Ran katakan. Ia pikir temannya itu hanya beralasan supaya tidak jadi bernyanyi. Namun, Ran benar-benar merasakan pusing dan pandangannya sudah mengabur.
“Aku nggak bisa berdiri, bantu aku duduk, Si.” Ran memegang tangan Sisi. Lalu, ia bersandar pada gadis bertubuh berisi itu.
Hera yang berada di bawah panggung pun bergegas menghampiri. Ia menunjukkan ekspresi khawatir.
“Ran kenapa?” tanya Hera pada Sisi dengan mata yang fokus menatap Ran.
“Nggak tahu, tiba-tiba dia bilang pusing,” jelas Sisi.
“Ya sudah, aku bawa dia turun, ya. Kamu tetap di sini,” ujar Hera pada Sisi.
“Oke Her, jaga Ran baik-baik, ya.”
Ran dipapah turun oleh Hera. Hingga tiba di tempat duduk, Ran meminta Hera untuk mengantarkannya pulang. Ia tidak tahan dengan suara musik yang keras dan orang-orang yang bersenda gurau. Semua ini membuat kepalanya semakin sakit.
“Antarin aku pulang, ya Her.”
“Duh, aku mau aja antar kamu pulang, tapi pacar aku bakalan datang. Kalau aku tinggal dia sendiri di sini, jadinya siapa yang nemani dia, dong?” elak Hera menolak permintaan Ran untuk mengantarnya pulang.
“Ran kenapa?” tanya seorang laki-laki datang ke tempat Ran dan Hera duduk.
“Joan,” ucap Hera menyebut nama laki-laki yang berkulit sawo matang itu. Wajahnya terlihat cukup tampan. Alis matanya tebal, rambutnya ditata seperti model kekinian, dan ada kumis tipis membuatnya terlihat maskulin.
“Hera, Ran kenapa?” tanya Joan karena ia melihat Ran seperti menahan rasa sakit.
“Nggak tahu, mungkin Ran sakit. Dia ingin pulang, tapi aku nggak bisa antar. Apa kamu bisa antar Ran pulang?” tanya Hera pada Joan.
Ran tidak lagi mendengar ucapan orang-orang di sekitarnya dengan jelas. Semua hanya seperti dengung yang memekakkan telinga.
“Ya, biar aku yang antar. Kamu bantu Ran turun, aku bakal nunggu di mobil,” ujar Joan.
“Ran, kamu pulang sama Joan aja, ya?”
Ran menganggukkan kepalanya. Hera membantu Ran untuk keluar dari tempat pesta.
Ran terpikir sesuatu. Ia baru sadar dengan nama Joan yang akan mengantarnya pulang tersebut!
“Joan itu kan … laki-laki yang pernah aku tolak saat sekolah dulu,” batin Ran berucap.
“Kamu yakin nitipin aku sama Joan?” tanya Ran pada Hera. Entah kenapa firasat Ran berkata ini tidak baik. Ia tidak ingin dibantu oleh orang yang pernah ia tolak dan sakiti dahulu. Ia juga tidak ingin berutang budi.
“Kenapa? Joan kan baik sama kamu, Ran. Joan juga suka sama kamu, ‘kan? Kali aja kamu bisa move on kalau lo dekat sama Joan,” ujar Hera memberikan semangat untuk sahabatnya agar move on dari kekasih lama, Darell.
Tidak lama berjalan, akhirnya Ran dan Hera pun tiba di parkiran. Joan sudah menunggu di dekat mobilnya dengan bersandar di pintu mobil.
Ran dibawa masuk ke dalam mobil, kemudian saat menutup pintu, Heran dan Joan saling berpandangan.
Lelaki itu mengacungkan jempolnya kepada Hera sebagai kode kerja bagus terhadap apa yang Hera lakukan.
“Good luck, Joan!” Hera berseru sambil mengacungkan jempolnya juga.
“Thanks Hera. Aku bawa Ran dulu. Nggak sabar menghabiskan malam dengan Ran,” ucapnya sambil tertawa.
“Ssstt, hati-hati kalau bicara. Nanti ada yang dengar,” desis Hera pada Joan. Joan pun spontan menutup mulutnya karena ia kelepasan bicara.
“Lokasinya sesuai yang kamu bilang kemarin itu, kan?” tanya Hera sebelum pergi. Joan yang hendak membuka pintu mobil pun jadi mendadak berhenti.
“Iya. Besok kamu tunggu kabar baiknya saja,” jawab Joan sambil melayangkan senyum penuh kemenangan.
“Oke!” Hera tersenyum sangat lebar. Dalam hatinya ia sangat senang karena sebentar lagi Ran, teman dekatnya itu akan berada di jurang kehancuran. Semua hal yang dibanggakannya akan lenyap dalam semalam.
“Jangan terlalu sombong, Ran. Kamu adalah pembawa sial! Entah itu di keluarga ataupun tempan-teman, kamu selalu memberikan efek sial! Mama kamu aja mati karena melahirkanmu ke dunia ini. Aku kehilangan ketenaran karena kamu membuat semua orang-orang memusatkan perhatian sama kamu! Sekarang, semua yang ada pada dirimu akan hilang dan hanya rasa kecewa serta cemoohan orang-orang yang kamu dapatkan setelah ini. Selamat tinggal Ran yang terkenal. Masa jayamu udah habis! Sekarang adalah kejayaan untuk Hera,” ucap Hera dengan bangga.
Tidak jauh dari tempat itu ada yang mendengar ucapan Hera yang berkata demikian. Orang itu terkejut dengan apa yang terlontar dari bibir Hera. Segera ia pergi dari sana untuk mencari bantuan pada Ran.
Sekarang Ran dalam bahaya!
***
“Joan, kamu tahu rumah aku di mana, ‘kan?” tanya Ran setengah sadar. Matanya sudah berat untuk ia buka.
“Aku nggak tahu, Ran. Aku bawa nginap di hotel aja sementara, ya?”
“Hotel?” tanya Ran. Setelah mendengar kata hotel, Ran tidak tahu lagi apa yang terjadi. Kesadaran dirinya menjadi hilang sepenuhnya.
“Lebih gampang kalau kamu sudah nggak sadar, Ran,” gumam Joan sambil memperbaiki posisi kepala Ran yang miring.
Joan memperhatikan Ran yang terlelap. Ran begitu cantik. Sangat sempurna. Rambut panjang hitamnya begitu lembut, membuat dirinya tak sabar untuk bisa membelai dan menghirup aroma yang pasti sangat memabukkan untuknya.
Bibir tipis berwarna merah menyala milik Ran benar-benar menggoda dan juga terlihat sangat manis. Ingin sekali Joan mengecupinya hingga ia puas. Tidak, sepertinya ia tidak akan puas meski beribu-ribu kali melakukannya terhadap Ran.
“Malam ini kamu akan jadi milikku seutuhnya, Ran.” Joan tersenyum. Sudahlah, ia tidak peduli dengan mana yang benar dan yang salah. Rasa cinta dan obesesi pada Ran benar-benar telah membutakannya. Hingga ia berani melakukan hal seperti ini pada gadis yang masih suci tersebut.
***
Di tempat lain, seorang pria bergegas menghampiri rekannya di dalam kafe. Pria itu terengah-engah karena ia berlari supaya cepat sampai.
“Lie, aku perlu bicara sama kamu. Ini sangat penting,” bisik Rangga pada Charlie.
“Maaf Pak, saya ingin berbicara dengan Rangga sebentar,” ucap Charlie pada klien bisnisnya.
“Ya, silakan.”
Charlie dan Rangga pergi menjauh dari kerumunan para klien bisnis mereka. Sepertinya memang ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Rangga kepada Charlie.
“Ada apa?” tanya Charlie. Tidak biasanya ia melihat Rangga yang selalu berwajah datar itu tampak cemas. Ini mungkin yang pertama kalinya.
“Kamu punya adik sepupu bernama, Randu, ‘kan?” tanya Rangga.
Deg!
Sudah sangat lama Charlie tidak mendengar nama adik sepupunya itu. Kurang lebih 7 tahun ia tidak mendengar tentang Ran. Tiba-tiba dentuman yang tidak biasa itu mengguncang dadanya begitu nama Ran disebut oleh Rangga.
“Kenapa?”
“Dia dalam bahaya. Aku lihat dia dibawa sama seseorang pakai mobil. Aku takut ada niat buruk dari laki-laki itu,” jelas Rangga.
“Kamu yakin itu Ran yang dibawa?” tanya Charlie. Bisa saja itu orang lain, bukan Ran yang dimaksud oleh Rangga.
“Iya, aku sangat yakin. Dia persis seperti Aunty kamu. Tadi nggak sengaja berpapasan sama dia tadi saat masuk ke kafe ini.”
Tanpa pikir panjang, Charlie pun langsung mengelurkan ponselnya. Dengan cepat Charlie mengetik sesuatu, seperti sedang mengirimkan pesan.
“Kamu tangani semua di sini sendiri, ya. Aku pergi selamatin Ran kalau memang benar dia berada dalam bahaya,” ucap Charlie pada Rangga.
“Aman Lie. Pergilah,” suruh Rangga.
Bergegas Charlie keluar dari pintu belakang. Ia tidak ingin berpapasan dengan klien yang lain dan bertanya-tanya padanya kenapa buru-buru keluar. Charlie harus bisa mengejar orang yang membawa Ran pergi.
Ran, siapa yang berani berbuat jahat padamu? tanya Charlie membatin.
***
Bersambung—
Ran dibawa masuk oleh Joan ke dalam sebuah hotel bintang lima. Lelaki itu menggendongnya dan bergegas untuk bertemu dengan resepsionis mengambil kunci kamar yang sudah ia pesan beberapa waktu yang lalu.Joan memesan kamar dengan keamanan yang tidak bisa diganggu oleh siapa pun. Malam ini adalah malam yang sangat ia nantikan. Ran akan menjadi miliknya. Ya, hanya miliknya dan selamanya. Begitulah yang tertanam di pikiran Joan saat ini.Begitu tiba di kamar, Joan membaringkan Ran di tempat tidur yang besar dan sangat empuk. Tempat tidur dengan seprai berwarna putih itu sangat kontras dengan dress yang Ran kenakan. Ia terlihat begitu kecil berada atas di sana.Joan menanggalkan satu per satu kancing kemejanya. Otot badannya yang kekar dan roti sobek yang ada berjumlah enam itu terlihat menggoda. Salah, bukan menggoda, karena tidak ada yang spesial dari lelaki itu. Ia adalah lelaki jahat yang mengambil kesempatan dalam keadaan yang seharusnya tidak seperti ini.
“Aku di mana?” tanya Ran begitu ia bangun. Ia merasa asing dengan tempat ini.Ran mengucek kedua matanya. Ia ingin memastikan di mana ia berada sekarang.Ran menoleh ke arah samping.“Apa!” teriak Ran sambil menutup mulutnya. Ia melihat ada punggung yang sangat lebar tanpa ada kain yang menutupi. Seperti punggungnya laki-laki.Cepat-cepat Ran melihat dirinya. Pakaiannya juga sangat berantakan, bahkan ada bagian yang robek.“Oh My God!” jerit Ran tercekat. Matanya membulat sempurna.Ia memandangi punggung pria itu dengan tidak berkedip. Pikirannya bertanya-tanya, perihal apa sebenarnya yang terjadi semalam? Apa saja yang sudah ia lakukan hingga menjadi begini?“Shit! Kenapa aku nggak ingat apa pun?” tanyanya sambil memukul kepala. Ran mencari ingatan mengapa sampai hal seperti ini terjadi, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa ia ingat.Tepat saat itu juga pintu kamar te
“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi diri
Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mered
Setelah menangis cukup lama, Ran pun tanpa sadar dari tidurnya. Ia tidak tahu kalau dirinya tertidur dalam pangkuan Charlie. Hingga saat ia bangun, baru ia merasa kalau ada yang memeluk tubuhnya.“Aku … kenapa bisa berada di dalam pelukannya?” pikir Ran mencoba ingat apa yang terjadi sebelumnya.Setelah mengumpulkan nyawa dan membulatkan mata lebar-lebar, akhirnya Ran ingat kalau setelah Charlie berkata akan selalu ada di sisinya dan menjadi tameng untuknya, membuat ia memeluk pria itu tanpa berpikir panjang. Ia meluapkan kesedihannya dalam pelukan Charlie. Semua ketakutan dan kekhawatirannya ia tumpahkan hingga tak sadar jadi tertidur.Ran mencoba untuk melepaskan dirinya dari pelukan Charlie. Ia menyingkirkan tangan Charlie dengan hati-hati. Lalu, ia melihat kalau baju Charlie di bagian dada masih kelihatan agak basah.“Kamu sampai tertidur juga karena tidak ingin melepaskanku,” gumam Ran. Ran melihat jarum jam dinding yan
Ponsel Ran tiba-tiba berdering. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang Charlie lontarkan padanya. Ia langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.“Halo Yun, kenapa tadi lo matiin panggilan gue?” tanya Ran dengan nada ketus. Bukan menunggu temannya menjawab duluan, ia malah menyemprot dengan kata-kata.“Sorry, gue lagi di jalan, mau angkat, tapi malah ketekan matiin,” jawab gadis itu disertai tawa.“Oh! Sekarang lo di mana? Masih di jalan?” tanya Ran lagi.“Enggak, sekarang udah sampai di rumah. Kenapa Ran? Ada yang bisa gue bantu?”“Hmm, gue minta tolong buatin tugas yang dikasih sama Pak Hamdi minggu kemarin. Lo bisa?” tanya Ran dingin. Padahal, ia yang butuh bantuan, tetapi seolah orang lain yang membutuhkan.“Gue nggak bisa bantuin lo, soalnya banyak banget tugasnya. Gue aja seharian kemarin bikin sampai nggak sempat pergi jalan sama pacar gue,” terang Yuni.
Ran kini tengah fokus menonton film di televisi kamarnya Charlie. Charlie mengatur film yang menurutnya bagus untuk Ran jadikan referensi review tugas.Dengan serius Ran mengamatinya. Ia bahkan mencatat hal-hal penting yang bisa ia jadikan bahan penyusun review.Charlie memperhatikan gadis itu. Ia terlihat sangat serius, membuat senyum pun terbit di wajahnya Charlie.“Sudah sangat lama tidak melihatnya seserius ini,” gumam Charlie.Charlie pergi keluar dengan membawa laptopnya. Ia pergi menuju ruangan kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai akibat acara pernikahannya dengan Ran.Saat sedang fokus bekerja, Charlie kepikiran dengan Ran. Ia pun balik ke kamar dan melihat Ran tertidur pulas di tempat tidur. Di depan Ran, ada tablet yang ia serahkan pada gadis itu untuk membuat tugas.Ternyata Ran sudah menyelesaikan tugasnya, hanya perlu memperbaiki sedikit kesalahan pada beberapa penulisan.“Ran, kamu
Ran tengah mencetak tugasnya yang ia kerjakan semalam untuk diserahkan pagi ini. Sementara itu, Charlie pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke kantornya.Selesai mencetak tugas, Ran keluar untuk melihat apa yang bisa ia santap untuk sarapan pagi. Di lemari makanan ada roti tawar dan juga selai cokelat. Sepertinya memang disediakan oleh Charlie. Sangat kebetulan sekali kalau selai cokelat itu adalah kesukaannya.Ran mengeluarkan roti dan selai cokelat itu. Ia membawanya ke meja makan. Lalu, ia mengambil dua piring. Ia oleskan roti tersebut dengan selai cokelat. Satu untuknya, satunya lagi untuk Charlie.Untuk mengoles roti Ran masih bisa, karena tidak terlalu sulit, meski selama di rumah ia pasti dibantu oleh pelayan atau tidak kakak iparnya, Lidya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa membantu, ia juga ingin melakukannya sendiri.Ran merasa puas karena bisa menyiapkan sarapan seperti ini. Ia bergegas menuju lemari pendingin untuk mencari susu cair. Kebetula
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.“Untuk apa?”“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.