Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.
Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.
“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.
Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.
“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.
Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mereda. “Aku nggak mau dipermalukan, Lie,” ungkapnya sambil mendongakkan kepala.
“Tidak akan ada yang bisa mempermalukan istriku,” ujar Charlie meyakinkan.
Ran memasang wajah cemberut. “Pernikahan kita hanya karena terpaksa, jangan sebut aku dengan kata istri seperti itu,” ketus Ran.
Charlie terkekeh. “Siapa bilang pernikahan kita terpaksa? Aku melakukan ijab kabul dengan sukarela, bahkan sangat rela untuk menyerahkan diriku menjadi milikmu, Ran.”
“Itu ‘kan kamu, aku mah terpaksa menikah sama orang yang udah tua,” ujar Ran dengan mengaitkan umurnya Charlie.
Umur mereka terpaut 10 tahun. Charlie sekarang berusia 29 tahun, sedangkan Ran masih 19 tahun. Jadi, wajar kalau Ran mengatakan ia menikah dengan orang yang sudah tua.
“Terpaksa menikah, tapi masih nyaman di dalam pelukanku,” sindir Charlie membuat Ran terasadar kalau dirinya masih dalam pelukan Charlie. Dengan segera ia berusaha lepas, tetapi tangan Charlie yang kekar itu mengunci tubuhnya hingga tidak bisa lepas.
“Lepas, Lie!”
“Nggak!” tolak Charlie.
“Lepasin!”
“Ran, kalau kamu mau aku lepasin, kamu jangan batalkan perjanjian kita dan jangan ceritakan tentang aku yang mau menikah denganmu itu kepada papamu,” ujar Charlie membuat Ran mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Kamu kenapa? Kelilipan?” tanya Charlie melihat reaksi Ran yang aneh.
“Nggak kok. Cuma merasa kalau kamu takut kita akan berpisah setelah aku menceritakannya pada Papa. Benarkan kamu takut kita cerai?”
Charlie diam, tidak memberikan jawaban.
“Kalau aku bilang aku sangat ingin berce—”
“Ran, aku nggak akan menceraikan kamu. Aku nggak bisa melihat kamu berada dalam bahaya lagi. Jika aku bisa bersama denganmu setiap hari, aku akan melindungimu meski itu mempertaruhkan nyawaku sendiri. Aku bersedia melakukan apa pun untukmu asal jangan pernah meminta pisah denganku!”
Ran tidak menyangka dengan kata-kata yang Charlie lontarkan. Matanya menatap lekat wajah Charlie dan sesuatu yang aneh ia rasakan pada dadanya. Detak jantungnya berdetak cepat dan perasaannya menjadi tidak karuan.
“Di rumah kamu adalah istriku dan di luar kamu tetap jadi dirimu yang dulu. Aku tidak akan melarang kamu bertemu dengan teman-temanmu, tetapi batasi hubungan dengan laki-laki lain untuk hal yang tidak perlu,” ujar Charlie, lalu melepaskan Ran. Pria itu kembali masuk ke kamar mandi dan lanjut untuk mandi.
***
Ran berdiri di balkon sambil merenungi kata-kata yang Charlie katakan. Terlebih lagi, yang ia khawatirkan adalah orang yang mengirimkan foto padanya itu, cepat atau lambat akan membuat foto tersebut viral.
Pada saat foto itu viral, hancur sudah reputasi baik Ran. Yang lebih ia takutkan adalah membuat malu papa dan kakaknya.
“Argh!” Ran sangat kesal. Ia tidak terima dengan hal ini. Andai saja ia bisa menghentikannya. Namun, ia tidak tahu siapa pelakunya.
Ran berbalik kembali masuk ke dalam. Saat bersamaan, Charlie juga keluar dari kamar mandi.
Ran melihat Charlie sekilas, tetapi ia segera palingkan wajah ke arah lain.
Saat Charlie pergi menuju lemari pakaian, Ran melihat punggung Charlie penuh dengan bekas pukulan. Matanya membulat seperti ingin melompat dari tempatnya. Mulutnya juga menganga karena tidak percaya.
Segera Ran berlari mengejar Charlie. “Punggungmu kenapa?” tanyanya dengan nada bergetar. Melihat punggung yang terluka sangat parah itu, membuat Ran merasa tidak sanggup. Pasti sangat sakit, pikirnya.
“Tidak apa-apa,” ujar Charlie. Padahal tadi Charlie keluar tanpa berpakain, tetapi Ran tidak memperhatikannya.
Ran sangat ingat, sebelumnya punggung Charlie masih mulus-mulus saja saat ia terbangun di kamar hotel. Punggung itu bersih dan tidak ada bekas luka sama sekali. Lantas, kenapa sekarang ada bekas pukulan seperti itu?
Ran menarik tangan Charlie lalu menyuruh pria itu duduk di tempat tidur. Bergegas Ran mengambilkan kotak obat dan mencari salep untuk menyembuhkan luka.
Saat akan mengoleskannya, Ran memicingkan mata karena terbayang ini pasti sangat sakit.
“Kalau sakit bilang, ya.”
“Hmm, iya,”
Ran pun mulai mengolesi. Dengan sangat lembut dan hati-hati ia mengobati lukanya Charlie.
Charlie merasa senang karena Ran masih memedulikan dirinya. Hatinya merasa hangat saat sentuhan Ran terasa dikulitnya.
Sama sekali ia tidak merasakan sakit, tetapi malah merasa kalau tangan Ran adalah penyembuh untuk lukanya.
“Sudah selesai,” ujar Ran lalu duduk di samping Charlie.
“Terima kasih, Ran,” ucap Charlie disertai senyum.
“Kenapa bisa seperti ini?” tanya Ran ingin tahu.
“Tidak apa-apa. Jangan dipikirkan, ya!” Charlie mengacak puncak kepala Ran.
Ran menggeleng. “Kamu harus cerita, Lie.”
Charlie menatap lekat kedua bola mata Ran. “Kamu peduli padaku lagi, Ran?”
“Nggak!” sanggah Ran cepat. Namun, matanya tidak bisa berbohong. Ia melihat ke arah lain karena tidak jujur menjawab pertanyaan Charlie. Ia sendiri juga bingung kenapa sampai peduli. Ah, mungkin itu karena perasaannya sebagai seorang manusia. Sebagai manusia ia tentu punya rasa kemanusiaan.
Charlie menarik dagu Ran. “Kamu yakin tidak peduli padaku? Kamu bukan sekali mengkhawatirkan aku, Ran.”
“Kepedulianku hanyalah sebagai bentuk rasa kemanusiaan, bukan … karena yang lain.”
Ran bergegas pergi menuju lemari pakaian. Ia mengeluarkan pakaian serta handuk.
Charlie masih duduk di sana. Ia memperhatikan apa yang Ran lakukan.
Ran tidak peduli, ia hanya ingin cepat-cepat pergi untuk menghindar dari Charlie. Ia pergi menuju kamar mandi.
***
Ran sudah selesai mandi. Ia keluar dari kamar mandi dan melihat kamar itu kosong.
“Ke mana Lie?” batinnya bertanya.
“Ran! Kenapa juga lo tanyain dia ada di mana!” ketusnya sambil menepuk jidatnya sendiri. Di saat yang bersamaan Charlie masuk ke dalam kamar.
“Ran,” panggil Charlie.
“Apa?”
“Ada petunjuk tentang orang yang menjebak kamu. Ini,” ucap Charlie memperlihatkan gambar yang ada di ponselnya.
Ran memelototkan matanya. “Itu … Joan!” teriaknya.
“Iya, dia yang membawa kamu ke hotel. Aku menyelamatkanmu dari dia,” terang Charlie.
“Terus dia udah ketangkap?” tanya Ran.
“Belum. Polisi tidak bisa melacak keberadaannya. Di rumahnya pun tidak ada yang tahu anak itu ke mana. Katanya Joan tidak pernah pulang semenjak tamat dari SMA, bahkan mereka sangat kaget ketika mendengar kasus anaknya yang ingin melakukan hal tidak senonoh padamu, Ran.”
Ran terhenyak mendengar penjelasan Charlie. Ia ingat kalau dirinya diantar oleh Joan untuk pulang, tetapi Joan tidak tahu di mana rumahnya dan lebih parahnya ia tidak sadarkan diri sebelum menyebutkan alamat rumahnya di mana.
Ran menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Tidak terbayang bagaimana nasib hidupnya ke depan. Sangat kacau!
“Ran, kamu nggak apa-apa?” tanya Charlie sambil berjongkok di depannya.
Ran menggeleng pelan. Ia menangis. Ia menjadi gadis rapuh seperti tujuh tahun yang lalu. Ia bukan Ran yang tegar dan bisa mengatasi setiap masalahnya.
Charlie berdiri lalu memeluk tubuh Ran. “Semua akan selesai, Ran. Kamu harus percaya padaku, aku akan menyelesaikan semua ini.”
“Huaa!” teriak Ran menangis keras.
“Kenapa Ran?” tanya Charlie tidak paham. Ia sudah berusaha menenangkan.
“Aku hancur, Lie. Sangat memalukan!”
“Nggak, Ran! Kamu nggak hancur, juga sama sekali nggak memalukan.”
“Kalau semuanya terbongkar dan orang-orang tahu, pasti akan menghinaku, Lie. Siapa juga mau dengan orang seperti aku ini,” ucap Ran merasa miris terhadap dirinya.
Charlie berusaha menyamakan posisinya dengan Ran. Dilepaskannya kedua tangan yang menutupi wajah cantik itu.
“Lihat aku! Tidak peduli apa yang terjadi, mau orang-orang menghina atau menjauhimu, aku akan selalu ada di sisimu, Ran. Aku akan menjadi tamengmu setiap kali kamu menghadapi bahaya,” ujar Charlie sambil mengusap air mata di pipi Ran.
***
Bersambung—
Setelah menangis cukup lama, Ran pun tanpa sadar dari tidurnya. Ia tidak tahu kalau dirinya tertidur dalam pangkuan Charlie. Hingga saat ia bangun, baru ia merasa kalau ada yang memeluk tubuhnya.“Aku … kenapa bisa berada di dalam pelukannya?” pikir Ran mencoba ingat apa yang terjadi sebelumnya.Setelah mengumpulkan nyawa dan membulatkan mata lebar-lebar, akhirnya Ran ingat kalau setelah Charlie berkata akan selalu ada di sisinya dan menjadi tameng untuknya, membuat ia memeluk pria itu tanpa berpikir panjang. Ia meluapkan kesedihannya dalam pelukan Charlie. Semua ketakutan dan kekhawatirannya ia tumpahkan hingga tak sadar jadi tertidur.Ran mencoba untuk melepaskan dirinya dari pelukan Charlie. Ia menyingkirkan tangan Charlie dengan hati-hati. Lalu, ia melihat kalau baju Charlie di bagian dada masih kelihatan agak basah.“Kamu sampai tertidur juga karena tidak ingin melepaskanku,” gumam Ran. Ran melihat jarum jam dinding yan
Ponsel Ran tiba-tiba berdering. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang Charlie lontarkan padanya. Ia langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.“Halo Yun, kenapa tadi lo matiin panggilan gue?” tanya Ran dengan nada ketus. Bukan menunggu temannya menjawab duluan, ia malah menyemprot dengan kata-kata.“Sorry, gue lagi di jalan, mau angkat, tapi malah ketekan matiin,” jawab gadis itu disertai tawa.“Oh! Sekarang lo di mana? Masih di jalan?” tanya Ran lagi.“Enggak, sekarang udah sampai di rumah. Kenapa Ran? Ada yang bisa gue bantu?”“Hmm, gue minta tolong buatin tugas yang dikasih sama Pak Hamdi minggu kemarin. Lo bisa?” tanya Ran dingin. Padahal, ia yang butuh bantuan, tetapi seolah orang lain yang membutuhkan.“Gue nggak bisa bantuin lo, soalnya banyak banget tugasnya. Gue aja seharian kemarin bikin sampai nggak sempat pergi jalan sama pacar gue,” terang Yuni.
Ran kini tengah fokus menonton film di televisi kamarnya Charlie. Charlie mengatur film yang menurutnya bagus untuk Ran jadikan referensi review tugas.Dengan serius Ran mengamatinya. Ia bahkan mencatat hal-hal penting yang bisa ia jadikan bahan penyusun review.Charlie memperhatikan gadis itu. Ia terlihat sangat serius, membuat senyum pun terbit di wajahnya Charlie.“Sudah sangat lama tidak melihatnya seserius ini,” gumam Charlie.Charlie pergi keluar dengan membawa laptopnya. Ia pergi menuju ruangan kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai akibat acara pernikahannya dengan Ran.Saat sedang fokus bekerja, Charlie kepikiran dengan Ran. Ia pun balik ke kamar dan melihat Ran tertidur pulas di tempat tidur. Di depan Ran, ada tablet yang ia serahkan pada gadis itu untuk membuat tugas.Ternyata Ran sudah menyelesaikan tugasnya, hanya perlu memperbaiki sedikit kesalahan pada beberapa penulisan.“Ran, kamu
Ran tengah mencetak tugasnya yang ia kerjakan semalam untuk diserahkan pagi ini. Sementara itu, Charlie pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke kantornya.Selesai mencetak tugas, Ran keluar untuk melihat apa yang bisa ia santap untuk sarapan pagi. Di lemari makanan ada roti tawar dan juga selai cokelat. Sepertinya memang disediakan oleh Charlie. Sangat kebetulan sekali kalau selai cokelat itu adalah kesukaannya.Ran mengeluarkan roti dan selai cokelat itu. Ia membawanya ke meja makan. Lalu, ia mengambil dua piring. Ia oleskan roti tersebut dengan selai cokelat. Satu untuknya, satunya lagi untuk Charlie.Untuk mengoles roti Ran masih bisa, karena tidak terlalu sulit, meski selama di rumah ia pasti dibantu oleh pelayan atau tidak kakak iparnya, Lidya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa membantu, ia juga ingin melakukannya sendiri.Ran merasa puas karena bisa menyiapkan sarapan seperti ini. Ia bergegas menuju lemari pendingin untuk mencari susu cair. Kebetula
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.“Untuk apa?”“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.“Untuk apa?”“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.