Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.
“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.
“Untuk apa?”
“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.
Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”
Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”
“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.
“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.
Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.
“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”
“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran keluar dari kelas begitu bel pulang berbunyi. Dengan langkah kaki gontai, gadis berambut pendek sebahu berponi tipis itu dibuat kaget dengan kehadiran seseorang yang menunggunya di depan gerbang. Seseorang yang sangat ia kenali dan membuat matanya membulat lebar.Jantung Ran berpacu cepat saat sepasang manik cokelat kelam miliknya menangkap sosok lelaki bertubuh tinggi yang berpakaian casual dan melambaikan tangan ke arahnya. Sudah empat tahun lamanya Ran berpisah. Selama itu, Ran tidak pernah bertemu dengan lelaki itu.Pelupuk mata Ran terasa panas. Ia berpikir kalau yang dilihatnya itu semata-mata hanya mimpi.Ran mengucek kedua matanya. Saat ia melihat lagi, lelaki itu menghilang dari tempat berdiri semula.“Kan, cuma ilusi,” gerutu Ran kesal.“Bukan ilusi, Ran,” ucap seseorang dari belakang membuat Ran kaget.Spontan Ran memutar arah tubuhnya. “Kakak!” serunya dengan suara yang melengking. Namun, c
Tujuh tahun kemudian.“Kemana Ran?” tanya Theo saat melihat sang adik tengah berjalan menuruni anak tangga. Ia yang baru saja keluar dari kamar, terheran-heran melihat penampilan sang adik.“Ran mau pergi ketemu teman-teman SMA. Ada acara reuni, Kak!” seru gadis berambut hitam legam nan panjang itu. Rambutnya bergoyang-goyang ke sana ke mari saat ia berjalan menuruni anak tangga satu persatu. Langkah kakinya terlihat anggun dengan tubuh yang berjalan tidak membungkuk atau membusung. Persis seperti putri-putri yang telah mempelajari etika bangsawan.Bibir tipisnya dipoles dengan lipstik merah muda. Memberikan kesan imut dan manis saat menatap wajahnya yang mulus itu.“Jangan pulang terlalu malam,” titah Theo mengingatkan. Ia tahu Ran kalau sudah melakukan kegiatan di luar, bisa lupa waktu. Lebih tepatnya ia tidak ingat untuk pulang!“Siap Boss!” Ran melayangkan senyum hangat pada sang ka
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.“Untuk apa?”“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.