“Aku di mana?” tanya Ran begitu ia bangun. Ia merasa asing dengan tempat ini.
Ran mengucek kedua matanya. Ia ingin memastikan di mana ia berada sekarang.
Ran menoleh ke arah samping.
“Apa!” teriak Ran sambil menutup mulutnya. Ia melihat ada punggung yang sangat lebar tanpa ada kain yang menutupi. Seperti punggungnya laki-laki.
Cepat-cepat Ran melihat dirinya. Pakaiannya juga sangat berantakan, bahkan ada bagian yang robek.
“Oh My God!” jerit Ran tercekat. Matanya membulat sempurna.
Ia memandangi punggung pria itu dengan tidak berkedip. Pikirannya bertanya-tanya, perihal apa sebenarnya yang terjadi semalam? Apa saja yang sudah ia lakukan hingga menjadi begini?
“Shit! Kenapa aku nggak ingat apa pun?” tanyanya sambil memukul kepala. Ran mencari ingatan mengapa sampai hal seperti ini terjadi, tetapi nihil. Tidak ada yang bisa ia ingat.
Tepat saat itu juga pintu kamar terbuka.
“Ran,” ucap orang yang masuk ke dalam kamar itu. Ran yang masih dalam posisi berbaring di tempat tidur pun menarik selimut untuk menutupi tubuhnya karena pakaian yang ia kenakan telah robek.
“Papa,” ujar Ran dengan suara bergetar.
Mata Tito melihat tajam ke arah tempat tidur. Di sana ada pria yang terlelap di samping anaknya, sesuai dengan foto yang ia dapatkan pagi ini dari nomor yang tidak dikenal, bahkan alamat IP-nya tidak bisa dilacak.
“Kamu ….”
“Pa, ini semua nggak seperti yang Papa kira … Ran nggak melakukan apa-apa, Pa!” seru Ran berusaha membela dirinya.
Pria di sebelah Ran itu pun terbangun karena suara ributnya Ran. Ia membuka mata lalu melihat ke sampingnya ada Ran dan juga Tito, papa Ran.
“Ran! Paman!” Charlie sangat kaget. Lebih parahnya lagi, ia melihat kalau kemeja yang dikenakannya sudah tidak berada di tubuhnya!
“Apa yang terjadi, Ran?” tanya Charlie pada Ran.
“Lie!” teriak Ran terkejut saat tahu siapa pria itu. Ia tidak menyangka kalau pria yang tidur bersama dengannya adalah … keponakan dari mamanya sendiri, Charlie!
Ran meneguk salivanya. Dadanya bergerak naik turun dan matanya membulat sangat besar.
Seketika air mata Ran pun meluncur. Matanya menatap kosong ke depan dengan otak yang berpikir—apa yang sudah dilakukannya semalam hingga kekacauan yang sangat aneh ini terjadi?
“Kalian … jelaskan apa yang terjadi!” ujar Tito mencoba menahan emosinya.
Ran adalah anak kesayangannya, sedangkan Charlie adalah keponakan almarhumah istrinya. Tito hanya bisa memegangi kepalanya—tidak habis pikir dengan perbuatan anak muda sekarang yang berlaku semena-mena seperti ini.
“Pa, Ran nggak tahu apa-apa! Ran bahkan nggak tahu kalau Charlie ada di Indonesia,” ungkap Ran. Ia benar-benar tidak tahu kalau Charlie berada di Indonesia dan terakhir mereka bertemu adalah tujuh tahun yang lalu.
Gadis itu tidak ingin dikira oleh papanya telah melakukan sesuatu di luar batas. Ia meski suka hidup bebas, tetapi ia selalu menjaga dirinya dan bersikap waspada.
“Pa,” ucap Theo tiba menyusul ke dalam kamar.
Theo kaget bukan main begitu ia melihat siapa yang ada di dalam kamar itu. Ini ternyata yang membuat papanya tiba-tiba membatalkan rapat penting hari ini. Kejadian yang di luar dugaan dan juga memalukan.
Mata Theo membulat saat ia menangkap sosok pria yang masih berada di atas tempat tidur, tepat di sebelah adiknya duduk. Segera ia menghampiri ke sana.
“Apa yang kau lakukan pada Ran, Lie?” tanya Theo pada Charlie lalu menariknya turun dari tempat tidur dan memukul Charlie tanpa ampun.
“Theo!” bentak Tito membuat Theo menghentikan pukulannya.
“Pa, dia benar-benar jahat pada Ran! Aku tidak menyangka kalau orang baik bisa berubah menjadi begitu bejat,” ujar Theo menatap Charlie dengan rasa jijik.
“Kak, aku tidak tahu apa yang terjadi hingga menjadi seperti ini,” terang Charlie sambil mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
“Tidak tahu? Kau pikir aku percaya dengan kata-katamu itu?” tanya Theo meremehkan. Apakah Charlie berpikir kalau dirinya itu bodoh? Mudah percaya karena hubungan mereka sebelumnya sangat dekat?
“Aku juga tidak percaya kenapa bisa tidur dengan Ran!” jelas Charlie membela dirinya. Ia menutupkan mata sejenak, lalu bangkit.
“Paman, maafkan Lie. Sungguh, Lie tidak tahu apa-apa. Lie hanya berniat menyelamatkan Ran semalam, tapi apa yang terjadi selanjutnya Lie nggak tahu,” ungkap Charlie jujur.
Tito menghela napas. Di sudut tempat tidur, Ran menangis tersedu-sedu. Ia tidak tahu kenapa kesialan seperti ini menimpa dirinya.
“Karena sudah seperti ini, tidak ada pilihan lagi. Kalian harus segera menikah,” ucap Tito memutuskan. Ran dan Charlie pun membulatkan matanya lebar-lebar saat mendengar kata-kata yang Tito lontarkan.
“Apa?” tanya Ran terkejut, sedangkan Lie hanya memandang wajah Tito tanpa mengatakan apa pun.
“Ya, kalian harus menikah. Ini sudah melampaui batas, Ran! Sudah cukup selama ini Papa beri kamu kebebasan, sekarang kamu harus menurut dengan apa yang Papa putuskan!”
Ran menatap tajam ke arah papanya. Gadis itu seperti ingin memberontak dan melawan. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kejadian yang terjadi benar-benar membuat papanya sangat marah dan pasti juga kecewa.
“Tapi … Ran belum ingin menikah, Pa,” cicit Ran pelan.
“Kalau tidak ingin menikah, seharusnya kamu pikir sebelum melakukan hal seperti ini,” ujar Tito.
Sudah cukup kesabaran Tito terhadap perangai Ran selama ini. Ia selalu luluh ketika Ran menangis atau meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya. Namun, kali ini berbeda!
Ran tidak bisa seenaknya bertindak. Ia harus membuat keputusan supaya Ran tidak terjebak di jalan yang salah untuk kedua kalinya. Keputusan menikahkan Ran dengan Charlie adalah salah satu pilihan supaya gadis itu tidak melakukan perbuatan di luar batas kelak.
Tito mengalihkan wajahnya menghadap kepada Charlie. “Dan kamu Lie, Paman sangat kecewa! Paman percaya denganmu, tetapi kamu … kenapa tidak mengatakan dengan baik-baik untuk bisa bersama-sama dengan Ran?”
Tito tahu kalau Charlie menyayangi Ran lebih dari apa pun. Bahkan, dahulu saat kepergiannya, Charlie sering menghubungi Tito untuk menanyai keadaan Ran. Hanya saja, Ran tidak pernah tahu kalau dari jauh, Charlie selalu memedulikan dirinya.
***
Keesokan harinya, pernikahan Charlie dan Ran pun dilangsungkan. Pernikahan dadakan itu tidak dihadiri oleh banyak orang. Hanya keluarga dan kerabat dekat saja.
Setelah melakukan prosesi akad nikah, Charlie dan Ran sudah resmi menjadi pasangan suami istri.
Setelah menikah, Ran dibawa oleh Charlie untuk tinggal di apartemennya. Ran dan Charlie tidak ingin tinggal bersama orang tua mereka karena merasa mereka tidak pantas menjadi anak dari keluarga tersebut.
Lebih tepatnya mereka merasa malu atas perbuatan yang sama sekali mereka tidak ketahui apa detail kejadian sebenarnya. Ran dalam kondisi tidak sadarkan diri, begitu pun dengan Charlie yang juga tidak sadar hingga ketika bangun, ia sudah berada di samping Ran.
Di dalam mobil, Ran menatap kosong ke arah jalanan. Ia tidak ada semangat seperti dirinya yang biasa. Lebih banyak melamun.
“Ran, kamu ingin makan?” tanya Charlie kepada Ran.
Ran menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin mengeluarkan suara karena itu hanya akan membuang energi.
Charlie mengerti. Semua ini terjadi tanpa rencana. Bukan rencana, lebih tepatnya adalah bencana. Kekacauan ini pasti sangat mengguncang mental Ran.
Charlie menelepon seseorang. Namun, Ran sama sekali tidak peduli dengan apa yang Charlie katakan dengan orang yang diteleponnya itu.
Tidak lama di perjalanan, mereka pun sudah sampai.
“Ran, sudah sampai. Ayo turun,” ajak Charlie. Ran mengangguk. Ia melepaskan seatbelt lalu membuka pintu mobil.
Setelah Charlie keluar dan menurunkan koper miliknya Ran, Charlie mengajak Ran untuk masuk ke dalam.
Charlie membawa Ran ke apartemennya. Di sinilah mereka akan tinggal setelah menjadi pasangan suami istri. Ya, tempat ini adalah tempat tinggalnya Charlie saat dirinya balik dari luar negeri.
Semenjak ia kuliah, jarang sekali Charlie pulang ke rumahnya. Ia lebih memilih menetap di apartemen, dengan begitu ia bisa melakukan apa pun tanpa diatur-atur oleh keluarga.
***
Ran masuk ke dalam kamar mengikuti Charlie. Ia melihat kalau kamar itu cukup besar dan juga rapi. Namun, hanya ada satu tempat tidur di sana.
“Kenapa, Ran?” tanya Charlie begitu melihat keterkejutan di mata Ran.
“Kita akan tidur bersama?” tanya Ran khawatir.
“Iya, kita ‘kan sudah menikah, Ran. Apakah salah kalau kita tidur bersama?” tanya Charlie sambil menatap Ran lekat. Alisnya terangkat sebelah.
“Kita memang sudah menikah, tapi ….”
“Apa Ran?” tanya Charlie dan berjalan mendekati Ran. Jantung Ran menjadi berdetak tidak menentu. Ia berjalan mundur karena Charlie semakin mendekat.
Sial! Punggungnya malah menabrak dinding kamar dan Charlie sudah berdiri di depannya yang hanya berjarak 20 cm saja.
Pria itu semakin maju. Bola matanya mengunci manik cokelat kelam miliknya Ran.
“Apa yang ingin dilakukan Charlie?” tanya Ran dalam hati dengan perasaan was-was.
***
Bersambung—
“Kamu mau apa?” tanya Ran kepada Charlie.Pria itu menjangkau rambut Ran lalu menghirup aromanya. Ia seperti menikmati wangi rambut Ran yang begitu lembut dan menenangkan hidung itu.Ran dengan cepat menepis tangan Charlie untuk melepaskan rambutnya.“Kenapa Ran?” tanya Charlie dengan santai. Seolah apa yang dilakukannya sama sekali tidak salah.“Kamu udah janji kalau nggak akan apa-apain aku,” ujar Ran dengan lantang. Matanya menatap tajam pria itu.“Memangnya aku mau ngapain kamu?” tanya Charlie sambil memajukan wajahnya ke depan—semakin dekat dengan wajahnya Ran.Ran menggeleng pelan. “Nggak tahu,” jawabnya cepat.“Jangan terlalu banyak berpikir, Ran. Kamu kebanyakan melamun,” ucap Charlie sambil mengusap puncak kepala Ran.Charlie pun berbalik dan pergi keluar dari kamar. Ia tidak jadi melanjutkan untuk membantu memasukkan pakaian Ran ke dalam lemari.Ran merasa heran dengan apa yang terjadi, termasuk terhadap reaksi diri
Charlie memperhatikan foto tersebut. Ia menelisik detailnya dengan saksama.Foto itu adalah foto Ran dan Charlie yang tidur di kamar hotel. Foto itulah yang menjadi alasan mengapa papanya Ran sampai datang ke hotel, hingga membuat mereka berdua berakhir dengan pernikahan tanpa rencana.“Lie, dia mengancam akan menyebarkannya. Kalau sampai itu terjadi …?” Ran menatap ke arah Charlie dengan rasa takut yang melingkupinya. Sungguh, Ran benar-benar sangat takut kali ini. Ia tidak ingin reputasi baiknya hancur karena sebuah foto yang entah siapa mengambil gambar tersebut.Di dalam foto itu tidak terlihat jelas wajahnya Charlie, hanya wajahnya Ran yang terlihat jelas.“Jangan khawatir, kita pasti bisa menyelesaikan masalah ini, Ran.” Charlie membawa Ran ke dalam dekapannya. Ran meluapkan air matanya di dada bidang Charlie.Dengan sentuhan yang lembut yang diberikan oleh Charlie pada punggungnya membuat tangis Ran mered
Setelah menangis cukup lama, Ran pun tanpa sadar dari tidurnya. Ia tidak tahu kalau dirinya tertidur dalam pangkuan Charlie. Hingga saat ia bangun, baru ia merasa kalau ada yang memeluk tubuhnya.“Aku … kenapa bisa berada di dalam pelukannya?” pikir Ran mencoba ingat apa yang terjadi sebelumnya.Setelah mengumpulkan nyawa dan membulatkan mata lebar-lebar, akhirnya Ran ingat kalau setelah Charlie berkata akan selalu ada di sisinya dan menjadi tameng untuknya, membuat ia memeluk pria itu tanpa berpikir panjang. Ia meluapkan kesedihannya dalam pelukan Charlie. Semua ketakutan dan kekhawatirannya ia tumpahkan hingga tak sadar jadi tertidur.Ran mencoba untuk melepaskan dirinya dari pelukan Charlie. Ia menyingkirkan tangan Charlie dengan hati-hati. Lalu, ia melihat kalau baju Charlie di bagian dada masih kelihatan agak basah.“Kamu sampai tertidur juga karena tidak ingin melepaskanku,” gumam Ran. Ran melihat jarum jam dinding yan
Ponsel Ran tiba-tiba berdering. Ia tidak menanggapi pertanyaan yang Charlie lontarkan padanya. Ia langsung menyambar ponsel itu dan mengangkatnya.“Halo Yun, kenapa tadi lo matiin panggilan gue?” tanya Ran dengan nada ketus. Bukan menunggu temannya menjawab duluan, ia malah menyemprot dengan kata-kata.“Sorry, gue lagi di jalan, mau angkat, tapi malah ketekan matiin,” jawab gadis itu disertai tawa.“Oh! Sekarang lo di mana? Masih di jalan?” tanya Ran lagi.“Enggak, sekarang udah sampai di rumah. Kenapa Ran? Ada yang bisa gue bantu?”“Hmm, gue minta tolong buatin tugas yang dikasih sama Pak Hamdi minggu kemarin. Lo bisa?” tanya Ran dingin. Padahal, ia yang butuh bantuan, tetapi seolah orang lain yang membutuhkan.“Gue nggak bisa bantuin lo, soalnya banyak banget tugasnya. Gue aja seharian kemarin bikin sampai nggak sempat pergi jalan sama pacar gue,” terang Yuni.
Ran kini tengah fokus menonton film di televisi kamarnya Charlie. Charlie mengatur film yang menurutnya bagus untuk Ran jadikan referensi review tugas.Dengan serius Ran mengamatinya. Ia bahkan mencatat hal-hal penting yang bisa ia jadikan bahan penyusun review.Charlie memperhatikan gadis itu. Ia terlihat sangat serius, membuat senyum pun terbit di wajahnya Charlie.“Sudah sangat lama tidak melihatnya seserius ini,” gumam Charlie.Charlie pergi keluar dengan membawa laptopnya. Ia pergi menuju ruangan kerjanya dan mulai mengerjakan pekerjaan yang terbengkalai akibat acara pernikahannya dengan Ran.Saat sedang fokus bekerja, Charlie kepikiran dengan Ran. Ia pun balik ke kamar dan melihat Ran tertidur pulas di tempat tidur. Di depan Ran, ada tablet yang ia serahkan pada gadis itu untuk membuat tugas.Ternyata Ran sudah menyelesaikan tugasnya, hanya perlu memperbaiki sedikit kesalahan pada beberapa penulisan.“Ran, kamu
Ran tengah mencetak tugasnya yang ia kerjakan semalam untuk diserahkan pagi ini. Sementara itu, Charlie pergi mandi dan bersiap-siap untuk ke kantornya.Selesai mencetak tugas, Ran keluar untuk melihat apa yang bisa ia santap untuk sarapan pagi. Di lemari makanan ada roti tawar dan juga selai cokelat. Sepertinya memang disediakan oleh Charlie. Sangat kebetulan sekali kalau selai cokelat itu adalah kesukaannya.Ran mengeluarkan roti dan selai cokelat itu. Ia membawanya ke meja makan. Lalu, ia mengambil dua piring. Ia oleskan roti tersebut dengan selai cokelat. Satu untuknya, satunya lagi untuk Charlie.Untuk mengoles roti Ran masih bisa, karena tidak terlalu sulit, meski selama di rumah ia pasti dibantu oleh pelayan atau tidak kakak iparnya, Lidya. Namun, sekarang tidak ada yang bisa membantu, ia juga ingin melakukannya sendiri.Ran merasa puas karena bisa menyiapkan sarapan seperti ini. Ia bergegas menuju lemari pendingin untuk mencari susu cair. Kebetula
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran bergegas keluar setelah selesai bersiap-siap. Saat tiba di luar, papa, kakak, kakak ipar dan juga keponakannya sudah siap-siap untuk berangkat.“Papa,” sapa Ran saat menuruni anak tangga.“Aunty, aku berangkat sekolah dulu sama Mama,” teriak keponakannya Ran. Ran menganggukkan kepala dan melambaikan tangan kepada anak kecil itu.Keluarga kecil Theo pergi dari rumah duluan.“Ran,” panggil Tito sambil berdiri di dekat ambang pintu.“Iya, Pa,” sahut Ran.“Kamu yakin mau bawa mobil sendiri?” tanya pria itu.“Iya Pa, Ran nggak mau repotin Lie terus,” ujar Ran.“Nggak mau repotin Lie atau … supaya kamu bisa bebas pergi ke mana pun?”Ran mengerucutkan bibirnya. “Papa ih …,” keluh Ran.Tito mengusap kepala Ran. “Iya, ini kunci mobil kamu. Eh, tapi Lie mana?” tanya Tito pada putrinya itu.&ld
Ran dan Charlie tengah duduk bersama di dalam kamar. Setelah berbicara dengan Tito sore itu, satu hal yang Ran simpan rapat-rapat 7 tahun yang lalu terkuak ke permukaan.Charlie meraih tangan Ran. Diusapnya lembut tangan itu sembari menatap lekat wajah Ran.Rambut hitam panjang milik Ran bergoyang terkena angin malam yang masuk ke dalam jendela. Sepertinya angin itu sengaja membuat rambut Ran bergerak hingga menutupi sebagian wajahnya.“Ran, terima kasih,” ucap Charlie.“Hhahaha.” Ran tertawa. “Terima kasih untuk apa?”Ran menolehkan wajahnya pada Charlie dengan tampang sedikit gugup. Membuat pria itu mengembangkan senyum lebar nan indah karena merasa Ran sangat cantik malam ini.“Karena surat kamu membuat Papa kamu tahu kalau ….”“Lie, asal kamu tahu, aku udah move on mengenai masalah itu. Aku nggak ada perasaan apa pun lagi,” ujar Ran berterus terang. Ya, Ra
Ran dan Charlie sudah tiba di rumah besar di mana sejak bayi, Ran tinggal di sana. Rumah yang sudah menyimpan kenangan untuknya selama 19 tahun.Ran keluar dari mobil. Langkahnya terhenti saat mengamati rumah itu. Beberapa hari pergi, rumah itu terlihat sepi. Ya, memang selalu sepi, bukan? Tidak pernah ramai karena semua orang sibuk.Ponakannya, anak dari Theo dan Lidya tidak ada di rumah karana ikut kegiatan di luar. Biasanya akan pulang barengan dengan mamanya, Lidya.Tiba-tiba Charlie meraih tangan Ran membuat Ran terkejut.“Ayo masuk,” ajak Charlie pada gadis itu. Ran mengangguk kecil.Charlie menggandeng tangan Ran berjalan ke dalam. Siapa yang bisa menyangka, satu-satunya nona muda di rumah itu akan pergi meninggalkan rumah di saat usianya baru saja menginjak 19 tahun. Karena pernikahan membuatnya meninggalkan rumah yang konon menyimpan banyak kenangan terutama tentang mamanya.Ran melangkah masuk. Tiba diambang pintu, semu
“Ran! Kamu kok baru datang!” seru Tiara saat Ran tiba di depan kelas. Gadis dengan rambut bergelombang itu bertanya langsung pada Ran yang baru saja tiba.“Kenapa? Aku belum telat juga,” ujar Ran terlihat bingung karena semua teman-temannya memperhatikan ia sejak datang ke sini.“Kamu udah tahu belum sahabat tentang sahabat kamu, si Hera itu masuk penjara?” tanya Tiara memperlihatkan ponselnya pada Ran. Ada berita tentang Hera yang masuk penjara dan heboh di kalangan mahasiswa sejak semalam.“Kamu ‘kan sahabat Ran juga, Tia,” timpal Lala. Wajah Lala sedikit keheranan karena dari gaya bicara Tiara menunjukkan kalau yang bersahabat dengan Ran hanya Hera saja.“Kita beda, Lala. Kita sahabatan sama Ran sejak kuliah, sedangkan si Hera ‘kan sahabatnya Ran pas sekolah,” cetus Tiara. Ia tidak terima disama-samakan dengan Hera. Dari awal tahu kalau Ran bersahabat dengan Hera sudah tidak disuka
Ran dan Charlie sudah tiba di apartemen. Charlie bilang ingin ke dapur dulu, sedangkan Ran segera pergi ke kamar mandi untuk mandi air hangat.Usai mandi, Ran mendapati Charlie membawakan secangkir cokelat panas.“Ini buat kamu. Aku mau mandi dulu,” ujar Charlie meletakkan cangkir tersebut di atas meja—dekat sofa santai mereka.Ran hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa pun. Ia pergi menuju sofa dan duduk di sana. Lalu, mengambil cangkir cokelat itu dan menghangatkan tangannya dengan memegang badan cangkir.Ran menghirup aroma cokelat panas yang begitu enak. “Harumnya,” ucap Ran disertai senyum menghiasi bibirnya yang pucat.Ran sangat suka dengan cokelat panas. Apa lagi saat dingin seperti ini, cokelat panas adalah minuman yang sangat cocok untuk diminum.Ran menyesapnya sedikit-sedikit karena masih panas. “Rasanya enak,” puji Ran mengakui kalau cokelat panas buatan Charlie memang enak.
Langit kota Jakarta yang mendung membuat Charlie kian cemas karena takut hujan tiba-tiba turun. Pikirannya dipenuhi rasa bersalah kepada Ran. Belum lagi keberadaan Ran yang tidak jelas ada di mana.“Semoga kamu ada di sana, Ran,” gumam Charlie sambil membaca alamat yang dikirimkan oleh Lidya.Belum sampai tujuan, benar saja hujan pun turun. Hujan itu pun kian lebat. Membuat jalanan menjadi macet dan Charlie terjebak lama menuju tempat itu.Charlie tidak menyerah. Ia tetap lanjut menuju tempat itu. Meski sekali pun Ran sudah tidak ada di sana, tetapi ia tetap akan pergi ke tempat itu.Charlie berhenti di sebuah pemakaman umum. Di sana, Charlie melihat ada sebuah taksi yang terparkir.“Kenapa ada taksi hujan-hujan begini di dekat pemakaman?” tanya Charlie heran.Charlie tersadar. “Pasti Ran ada di sini!”Bergegas Charlie turun dengan memakai payung keluar dari mobil. Ia berjalan masuk ke dalam kawasan
Ran sudah bangun dari pingsannya. Charlie berada di sampingnya dengan setia menggenggam tangan Ran.“Terima kasih, Lie,” ucap Ran pelan.“Untuk apa?”“Kamu udah bantuin masalah aku,” ujar Ran dengan segaris senyum terukir di bibirnya.Charlie menghela napas. Kemudian, pria itu mendekat. “Untukmu akan aku lakukan apa pun, Ran.”Ran menatap Charlie lama. “Benarkah?”“Iya,” sahut Charlie dengan pasti.“Kalau aku minta kamu untuk tinggalin aku, apa kamu mau?” tanya Ran pada Charlie.Wajah Charlie langsung berubah. Namun, ia tidak memberikan jawaban.“Aku udah tahu kok jawaban kamu seperti apa. Aku nggak akan minta kamu ninggalin aku, tapi mungkin suatu hari kamu akan sadar kalau semua yang kamu lakukan untukku adalah sia-sia, Lie. Kamu akan pergi dengan sendirinya dan aku—”“Aku nggak akan pergi dari kamu, Ran!&
Charlie duduk di sofa dan mengode Ran untuk ikut duduk juga.“Jadi, ada apa?” tanya Charlie kepada Ran.“Aku takut ke kampus,” cicit Ran pelan.“Kenapa? Ada yang menjahatimu?” tanya Charlie khawatir.“Bukan. Hanya … takut kalau sampai foto itu tiba-tiba tersebar dan teman-teman kampus akan menghinaku,” ungkap Ran dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua tangannya mengeluarkan keringat dingin. Bayangan yang terjadi saat di kampus itu terputar kembali. Ia benar-benar sangat takut!Charlie langsung mendekat. Ia membawa Ran ke dalam dekapan. “Ran, tidak akan ada apa-apa. Kamu aman, Ran.”“Aku takut, Lie.”“Sudah, jangan khawatir. Kalau kamu nggak mau ke kampus untuk hari ini, istirahat saja di sini dulu,” ujar Charlie sambil melepaskan pelukannya. Ia tatap kedua manik cokelat kelamnya Ran.Ran mengangguk. “Oke.”“Lie, kam
Ran tiba di kantornya Charlie. Ia berjalan masuk ke dalam dan langsung menemui resepsionis.“Halo Mbak, ada yang bisa kami bantu?” tanya resepsionis itu dengan ramah, tetapi sangat jelas kalau itu dibuat-buat.“Saya ingin ketemu Charlie,” ujar Ran langsung.“Apakah sudah membuat janji dengan Bapak Charlie?” tanya resepsionis itu.“Tidak,” jawab Ran dengan mengerutkan kening. Apa perlu membuat janji dahulu baru ia bisa bertemu? Oh ayolah, ia bukan klien dari Charlie, kenapa harus membuat janji segala?“Maaf kalau begitu, Mbak bisa menunggu dahulu. Sekarang Bapak Charlie sedang bersiap-siap untuk rapat. Mungkin akan selesai pukul sebelas nanti,” jelas resepsionis itu.“Apa? Gila ya, gue harus nunggu sampai jam sebelas untuk menemuinya? Sekarang lo tunjukin lift mana yang bisa gue naikin untuk ketemu dengan atasan lo itu!” bentak Ran dengan memarahi resepsionis itu.