Alexa sedang duduk di ruang kerjanya, mencoba menenangkan diri setelah menangis. Matanya masih sembab, tetapi ia tidak ingin siapa pun tahu apa yang baru saja ia alami. Di tengah upayanya mengatur napas, terdengar ketukan di pintu. "Ayo masuk," katanya dengan suara yang masih terdengar bergetar.Alexa mengira yang datang adalah salah satu karyawan papanya yang hendak menyerahkan beberapa berkas untuk ditandatangani. Namun, betapa terkejutnya dia ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu."Briyan?" Alexa memaksakan senyum."Hai, Alexa. Boleh aku masuk?" tanya Briyan dengan lembut."Tentu, Briyan. Silakan masuk. Ada apa?" Alexa berusaha menormalkan suaranya, menyembunyikan jejak kesedihannya."Apa aku mengganggumu?""Tidak, kamu tidak mengganggu. Ada yang ingin kamu bicarakan?"Briyan masuk dan menutup pintu di belakangnya, berjalan perlahan ke arah meja Alexa. "Sebenarnya, ini bukan tentang pekerjaan," katanya dengan nada serius."Oh," Alexa mencoba menyembunyikan rasa penasar
Malam itu, Alexa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menunggu kedatangan Kevin. Kecemasan melingkupi hatinya. Ia tahu, Kevin pasti tidak akan setuju jika dia menerima tawaran menjadi model. Namun, Alexa juga tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk bisa bertemu dengan para pebisnis papan atas, dan mungkin, menjalin kerja sama antara perusahaan ayahnya dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Jika rencananya berhasil, Alexa berharap bisa mengembalikan semua nilai investasi yang diberikan Kevin dan keluarganya kepada perusahaan ayahnya. Hanya dengan cara itu, dia bisa lepas dari cengkeraman Kevin.Alexa sempat berpikir, mungkin satu-satunya cara untuk bernegosiasi dengan Kevin adalah menerima tawaran untuk hamil kembali, asalkan Kevin mengizinkannya kembali ke dunia model yang dulu pernah dia cintai. Kevin mungkin tidak akan melarangnya terjun ke dunia modeling selama dia belum hamil. Maka, Alexa pun menyusun rencana: dia akan diam-diam meminum pil KB agar tidak bisa hamil. Denga
Pagi itu, ada sesuatu yang berbeda. Alexa, yang selama ini terlihat rapuh setelah kegugurannya, kini muncul seperti sosok lamanya. Dia kembali menyiapkan kemeja kerja Kevin, memilihkan dasi yang serasi, dan menatanya dengan rapi. Namun, perubahan ini tak membuat Kevin tersentuh. Dia tetap dingin, cuek, seolah tak peduli dengan usaha Alexa. Meskipun Alexa kembali melakukan kebiasaannya, satu hal yang tak berubah adalah dia tak lagi menawarkan untuk memakaikan kemeja atau dasi pada Kevin seperti dulu.Saat Kevin masuk ke kamar mandi, Alexa dengan cepat membereskan segala sesuatu, mempersiapkan diri untuk keluar dari kamar. Dia tak ingin terlalu dekat atau berinteraksi fisik dengan Kevin jika tidak diminta. Alexa bukan lagi wanita yang sama seperti dulu. Kini, dia lebih berhati-hati, walaupun masih berusaha menjaga perhatian terhadap kebutuhan Kevin untuk bekerja, seperti menyiapkan pakaiannya atau memastikan segala sesuatu yang dibutuhkannya sudah tersedia.Ketika Alexa hendak keluar da
Malam itu, Kevin mengadakan jamuan untuk para kolega bisnisnya. Awalnya, dia dengan tegas menolak untuk minum alkohol. Dia tahu dirinya tidak kuat menahan minuman keras; hanya butuh beberapa teguk saja untuk membuatnya mabuk berat. Namun, kali ini situasinya berbeda. Minuman itu dipesan khusus untuknya oleh rekan-rekan bisnisnya. Dengan terpaksa, Kevin pun ikut minum.Di pojok ruangan, seorang pramusaji wanita tampak gelisah. Salah satu tamu yang berpengaruh memberikan instruksi padanya dengan nada memaksa. “Tolong, mbak, kasikan minuman ini ke orang yang duduk di pojokan itu,” ujar pria itu sambil menyerahkan segelas minuman yang sudah dicampur sesuatu.Wanita itu ragu. “Maaf, Pak, saya tidak berani. Ini terlalu berisiko.”Pria itu mendekat, suaranya merendah namun penuh ancaman. “Jika kamu berhasil melakukan tugas ini, kamu akan saya kasih uang 50 juta. Gimana, 50 juta?”Wanita itu terpaku, terkejut dengan jumlah yang disebutkan. “Anda serius?” tanyanya, meski suaranya bergetar.“Se
Pagi itu, ada perasaan bersalah yang menyelinap di benak Kevin. Entah mengapa, rasa itu begitu kuat hingga mendorongnya untuk pulang lebih awal sebelum menuju kantor. Setibanya di rumah, suasana masih sunyi, seakan menandakan bahwa Alexa masih berada di atas, di kamarnya. Belum ada suara tanda-tanda bahwa Alexa sudah turun ke bawah. "Pagi Tuan," sapa seorang pelayan yang tiba-tiba muncul dari arah dapur."Iya, Bibi? Nyonya di mana?" Kevin menoleh, sedikit terkejut karena tidak menyadari kehadiran pelayan itu."Nyonya belum turun untuk sarapan, Tuan," ujar Bibi dengan nada sopan."Oh, begitu. Sarapannya sudah siap?" tanya Kevin."Sudah, Tuan. Kalau Tuan ingin makan sekarang atau nanti, sarapan bisa disajikan kapan saja," jawab Bibi sambil tersenyum kecil.Kevin hanya mengangguk pelan. "Nanti saja, saya mau naik dulu menemui Nyonya."Kevin pun berjalan menaiki tangga menuju kamar mereka. Saat membuka pintu kamar, ia melihat Alexa sedang memoles make up di wajahnya. Tanpa menoleh, Alex
Kevin merasa bersalah kepada Alexa setelah kejadian yang menimpa mereka, namun rasa bersalah itu bukan karena cinta, melainkan karena gengsi dan keinginan untuk menjaga citra dirinya di mata Alexa. Dalam hatinya, Kevin tidak pernah benar-benar mencintai Alexa, tetapi dia tahu bahwa sebagai istrinya, Alexa harus tampil sempurna di mata dunia, sebagai simbol kekuasaannya.Tanpa memberitahu siapa pun, Kevin pergi ke sebuah toko perhiasan ternama di kota itu, tempat yang hanya diketahui oleh orang-orang dengan kekayaan melimpah. Saat tiba di toko tersebut, dia disambut oleh seorang pegawai perempuan yang tampak terkejut dengan kehadirannya. Pegawai itu siapa Kevin, pria kaya yang selalu menjadi perbincangan karena kesuksesannya."Saya ingin melihat beberapa koleksi terbaru," kata Kevin dengan suara penuh wibawa, tidak menyiratkan sedikit pun kelembutan.Pegawai itu dengan cepat mengantar Kevin ke etalase yang memajang perhiasan mewah. Kevin menatap deretan kalung, cincin, dan gelang yang
Alexa tersenyum saat melihat Mamah Miranda, ibu tirinya, yang tiba-tiba muncul di kantor ayahnya. Ini adalah pemandangan yang tidak biasa."Mama, kok tiba-tiba datang ke kantor Papa?" tanya Alexa dengan nada ingin tahu."Oh, Mama mau minta uang sama Papa buat belanja skincare. Mama juga mau beli tas branded, teman-teman sosialita Mama pada beli model baru. Masa Mama masih pakai model dua bulan lalu? Malu dong!" jawab Mamah Miranda, wajahnya tampak bersemangat.Alexa hanya bisa menghela napas dalam hati. *Inilah salah satu alasan perusahaan Papa tidak berkembang pesat, karena Papa terlalu banyak mengeluarkan uang untuk memanjakan Mama*, batinnya."Loh, Alexa! Papa kira hari ini kamu tidak datang ke kantor. Kamu dari mana dengan penampilan seperti ini?" suara tegas ayah Alexa tiba-tiba memecah pikirannya."Oh, aku tadi belum sempat berganti pakaian. Aku baru saja selesai pemotretan. Aku kan sudah janji sama Papa kalau aku akan datang siang setelah kerjaanku selesai. Ternyata pemotretann
Malam itu, setelah Kevin pulang ke rumah, ia menemukan Alexa sedang duduk di ruang tamu, terlihat tenang sambil membaca sebuah majalah. Namun, ketenangan itu segera lenyap saat Kevin membuka pintu dan memasuki ruangan dengan wajah yang gelap dan penuh amarah.“Alexa, kita perlu bicara,” kata Kevin, suaranya terdengar lebih dingin dari biasanya.Alexa menoleh, sedikit terkejut melihat ekspresi suaminya. “Ada apa, Kevin? Kenapa kamu terlihat marah?”Kevin mengambil napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. “Tadi siang, saat makan siang dengan Nora, aku melihat Mamah Miranda di restoran yang sama.”Alexa mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan ini. “Lalu, kenapa?”“Aku melihat Mamah Miranda mengenakan kalung yang baru saja aku berikan padamu kemarin. Dia memakainya di depan teman-teman sosialitanya, memamerkannya seperti miliknya sendiri,” ujar Kevin dengan nada tegas, hampir menggertak.Alexa terkejut, namun ia segera menyadari situasinya. Ia mencoba menjelaskan, “M