Fakhri POVSatu persatu mobil melaju meninggalkan pelataran pondok. Mobil yang kutumpangi berada di jajaran tengah dengan dikendarai oleh sosok yang coba dilupakan setelah kepergiannya empat tahun lalu. Kenapa dia harus kembali saat hati masih begitu apik menyimpan nama serta kenangannya.Kupikir, setelah pertemuan di Jakarta saat orang tuanya meninggal kami tidak akan bertemu kembali. Namun, entah kenapa kami ditakdirkan untuk bertemu lagi dalam situasi canggung seperti sekarang. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok itu keluar dari dapur degan membawa serta tiga gelas berisi kopi.Jantung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya saat sosok itu perlahan mendekat. Begitu pandangan terangkat, mata kami saling mengunci untuk beberapa saat sebelum ia memutuskannya. Tuhan mempertemukan kami kembali saat berusaha menghilangkan semua kenangan tentang dia. Bukan tak tahu kalau dia yang akan menyetir mobil pengantin. Aku memang sengaja ingin berbicara dengannya sebelum akad nikah yang
Author POVAcara resepsi telah usai satu jam yang lalu. Semua tamu undangan telah meninggalkan tempat hajatan dua jam yang lalu. Kini, pasangan pengantin baru tengah berada di dalam kamar mereka dengan saling terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Ranti dihantui rasa bersalah karena merebut pria yang dicintai sepupunya, Srikandi. Sedangkan Fakhri, entah apa yang ada di pikirannya saat ini."Akang ke masjid dulu, ya," pamit Fakhri gegas berdiri lalu menyambar sarung yang telah disiapkan sang istri di atas bangku di samping tempat tidur. Ranti hanya mengangguk lemah dan membiarkan sang suami pergi untuk menunaikan salat magrib.Seperginya sang suami, giliran dirinya yang mengambil wudhu lalu menggelar sejadah di samping tempat tidur. Kumandang azdan yang dilantunkan sang suami membuat air mata luruh seketika. Rasa haru sekaligus bersalah datang secara bersamaan.Bersyukur karena mendapatkan pria yang dicintainya, bersalah karena telah menikung sepupu sendiri. Tiga insan yang me
"Apa kedatangan Nyimas kemari ada kaitan dengan awan hitam yang menutupi langit?" tanya Kakek Guru pada Srikandi. Saat ini keduanya tengah berada di sisi tebing yang mengarah ke lautan biru."Ya, saya merasa sesuatu akan terjadi, tapi tidak tahu persisnya seperti apa."Kakek Guru manggut-manggut dengan tatapan lurus ke arah lautan lepas. "Kakek sudah mengetahuinya dari Gusti Prabu, Nyimas," ungkap sang kakek."Tentang apa, Kakek Guru?" tanya Sri penasaran."Kekuatan besar yang akan mengganggu ketenangan Nyimas lagi. Dan kakek mengetahuinya beberapa waktu lalu," ujar kakek guru.“Kenapa kakek tidak memberitahu sebelumnya? Kalau saja waktu itu..""Kakek memberitahumu, maka orang tua Nyimas akan selamat? Begitu maksudnya?" potong sang kakek. Sri mengangguk dengan air mata yang sudah meleleh dikedua pipi."Apa yang terjadi pada orang tua Nyimas sudah menjadi suratan takdir mereka dari Allah, dan kita tidak bisa mencegah itu," jelas Kakek Guru.Benar, Sri melupakan satu fakta itu. Tuhan la
Abah dan Fakhri berubah panik ketika Ranti tak sadarkan diri setelah mengambil wudhu. Dengan sigap, Fakhri mengangkat tubuh sang istri lalu membaringkan di sofa ruang tamu. Sementara Abah gegas mengambil minyak herbal. Sri yang hendak berangkat ke masjid langsung dihentikan Bah Ilham. "Nyimas," panggil sang kakek dengan raut wajah yang sulit diartikan."Tolong Ranti, Neng," pintanya, mengusap kepala sang cucu dengan tatapan teduh.Sri tak paham dengan apa yang dikatakan sang kakek. Gadis itu pun mengikuti langkah Abah menuju ruang tamu, tempat Ranti terbaring dengan ditemani Fakhri. Hati Sri tersayat sembilu menyaksikan wajah Fakhri yang begitu khawatir karena sang istri yang tak kunjung membuka mata.Akan tetapi, ada yang lebih menarik perhatian Sri saat ini. Sosok bergaun putih yang tengah duduk di atas dada Ranti. Sri tentu mengenal sosok yang kini memperlihatkan wajah aslinya yang begitu menyeramkan."Pulanglah, dia tidak bersalah. Kau tidak harus melakukan itu padanya," ujar Sri
“Neng, Mamah kira sudah tidur.” Mamah menghampiri Sri yang masih saja diam di ambang pintu.Sri mengelus punggung tangan sang nenek yang merangkulnya. “Neng terbangun karena suara ribut,” kata Sri seraya tersenyum pada sang nenek.“Maafkan kami, Geulis,” ucap Abah merasa tak enak, cucunya terbangun karena obrolan mereka.“Gak papa.” Suasana kembali hening dan canggung. Sampai akhirnya, Ranti membuka suara. “Teh, apa boleh malam ini kita tukeran kamar? Soalnya kamar Kang Fakhri ranjangnya tidak akan muat untuk kami berdua. Cuma malam ini saja, sebelum kami mengganti dengan yang lebih besar,” ungkapnya ragu.Abah Ilham mengamati ekspresi sang cucu. Sri terlihat memaksakan senyum saat mendengar permintaan sang sepupu. Dan itu membuat Abah Ilham semakin merasa bersalah karena tak bisa menolak kedatangan Ranti serta Fakhri saat sang cucu pun ada di rumah.“Ya, tidak masalah. Saya bisa tidur di ruang tamu.”“Kenapa di ruang tamu? Teteh bisa menggunakan kamar saya,” sela Fakhri yang langsun
Bah Ilham menatap kebun singkong di depan dengan pikiran menerawang. “Biasanya Abah yang akan mengurus singkong-singkong itu. Sampai hari di mana Abah harus pergi ke ladang dekat pantai, akhirnya Mamah-lah yang membersihkan kebun dari rumput liar,” ungkap beliau.“Apa sebelumnya ada seseorang yang mencurigakan datang ke kebun?” tanya Sri memastikan.Abah menggeleng pelan, lalu kembali berkata. “Abah tidak pernah melihatnya. Namun, memang saat itu banyak singkong yang sudah tergali. Entah siapa yang mengambilnya dari kebun, karena saat Abah tanyakan pada para santri, mereka bilang tidak mengambilnya.”“Berarti orang itu mengambil singkong sekaligus menyimpan bungkusan itu di sana. Tapi siapa dia?” Sri tampak berpikir keras. Apa itu Mang Burhan, ataukah ada orang dalam yang menjadi mata-matanya seperti yang dia lakukan dulu pada Risma?“Bah,” panggil seseorang dari dalam yang langsung membuyarkan lamunan Sri.Kakek dan cucu itu langsung bergegas kembali ke dalam. Dilihatnya wajah Fakhri
“Idrus mohon, hentikan semua ini, Bah.” Pemuda itu menatap sang kakek dengan tatapan memohon. Namun, Ki Amar sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan ocehan cucunya.“Diamlah! Kau dan Bapakmu sama-sama mengecewakan. Tidak ada satu pun dari kalian yang mendukungku dan malah berpihak pada orang munafik seperti Ilham,” bengis Ki Amar.Ki Amar masih ingat bagaimana anaknya menentang dan menyuruh untuk berhenti mencelakai orang dengan ilmu hitam yang dimiliki. Bahkan, sang anak memasukkan cucunya yang dia harapkan menjadi penerus ke pesantren.Saat Ki Amar mengeluarkan bola api dari tangan untuk menyerang Srikandi, Idrus berdiri di depan gadis itu untuk melindunginya. “Minggirlah, Idrus. Atau kau akan mati,” kesal Ki Amar.“Silahkan saja. Aku tidak takut, Bah. Namun, aku kasihan pada Bapak yang nanti mungkin akan kecewa karena ayahnya sendiri yang telah membunuh anak semata wayangnya,” tantang pemuda itu masih bergeming di tempat.Dengan tenaga dalam yang dimiliki, Ki Amar membuat Idr
Srikandi POVKami telah sampai di depan rumah. Idrus dan Abah sudah lebih dulu memasuki ruangan, sedang aku masih enggan untuk ke sana karena rasa bersalah yang terus menghantui. Apa yang terjadi pada Mamah benar karena salahku. Ya, meski memang Allah yang menghendakinya, tetapi aku merasa bertanggung jawab akan hal itu.Ki Amar memiliki dendam terhadapku. Namun, yang dia incar malah orang di sekitar. Terhitung sudah lima orang terdekatku pergi untuk selama-lamanya, dan Ki Amar mengatakan jika dia akan tetap mengambil dua orang tersisa meski jiwanya telah lenyap. Siapa kira-kira dua orang tersebut.Rasanya sangat percuma memiliki segalanya, jika tak mampu menolong keluarga sendiri dari bahaya yang mengintai mereka. “Ya Allah, semua yang terjadi adalah atas kehendakmu. Maka berikan aku kelapangan hati untuk menerima semua yang tergaris di hidup ini.”“Nyimas, kenapa tidak masuk?” tegur suara wanita yang langsung membuyarkan lamunan.Bi Wirda, Ibu Ranti menghampiri seraya membimbingku a