Home / Horor / Tilasmat / 70. Pulang

Share

70. Pulang

Author: Anonymous Girl
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Srikandi POV

Kami telah sampai di depan rumah. Idrus dan Abah sudah lebih dulu memasuki ruangan, sedang aku masih enggan untuk ke sana karena rasa bersalah yang terus menghantui. Apa yang terjadi pada Mamah benar karena salahku. Ya, meski memang Allah yang menghendakinya, tetapi aku merasa bertanggung jawab akan hal itu.

Ki Amar memiliki dendam terhadapku. Namun, yang dia incar malah orang di sekitar. Terhitung sudah lima orang terdekatku pergi untuk selama-lamanya, dan Ki Amar mengatakan jika dia akan tetap mengambil dua orang tersisa meski jiwanya telah lenyap. Siapa kira-kira dua orang tersebut.

Rasanya sangat percuma memiliki segalanya, jika tak mampu menolong keluarga sendiri dari bahaya yang mengintai mereka. “Ya Allah, semua yang terjadi adalah atas kehendakmu. Maka berikan aku kelapangan hati untuk menerima semua yang tergaris di hidup ini.”

“Nyimas, kenapa tidak masuk?” tegur suara wanita yang langsung membuyarkan lamunan.

Bi Wirda, Ibu Ranti menghampiri seraya membimbingku a
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Tilasmat   71. Tekanan Perusahaan

    Author POV“Paman.” Sri bergegas menghampiri Reksa, adik dari Bu Intan yang membantu mengelola perusahaan.“Perusahaan tidak bisa menerima tekanan lebih dari ini, Nyimas.” Paman Reksa menyugar rambut ke belakang, kebiasaannya ketika tertekan.Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Siapa pun yang berniat menjatuhkan kerja keras sang ayah akan berhadapan langsung dengannya. Sri yakin seseorang melakukan ini dengan sengaja. Tapi siapa? Dia tak merasa memiliki musuh atau seseorang yang disinggung.Tunggu. Ada satu orang yang sepertinya tersinggung oleh perusahaan, atau lebih tepatnya oleh Sri selaku pimpinan perusahaan. Alexander Corp’s, kemungkinan besar merekalah dalang dari semua ini.Tak menunggu waktu lama, gadis itu segera meninggalkan ruangan sang paman. Sri bahkan mengabaikan panggilan Anita, lalu menghilang dibalik pintu elevator setelah menekan angka menuju lantai dasar. Begitu sampai di lantai dasar, Sri segera menghampiri resepsionis yang berjenis kelamin laki-laki.“Apa aku bi

  • Tilasmat   72. Sebuah Jebakan

    Tatapan Alex terpaku melihat sosok Srikandi. Ternyata apa yang dikatakan Rasya benar adanya. Gadis itu terlihat begitu misterius, dan sangat anggun dengan pakaian serta benda yang menutupi kepala hingga bawah dadanya yang Alex sendiri lupa namanya.“Ekhem..” Sri yang merasa risih dengan pandangan Alex langsung menjauh kemudian mendudukkan bokong di sofa.“Bisakah Anda menyingkirkan botol minuman ini, tuan?” Sri menatap pria yang sejak tadi berdiri di samping Alex.“Kenapa Nona?” Pria itu bersuara.“Saya tidak suka dengan baunya.” Sri mengibas-ngibaskan telapak tangan di depan hidung.Pria itu menatap sang atasan sejenak. Setelah mendapat anggukan dari Alex, barulah ia menyingkirkan botol serta gelas bekas tadi mereka minum. Alex bangkit dari kursi kebesarannya lalu berjalan ke arah sofa.“Nona Srikandi, bukankah seharusnya sayalah yang bertanya kenapa Anda membatalkan proyek kerja sama kita?” Alex malayangkan tatapan tajam pada gadis di seberang.Sri tersenyum kecil, lalu berkata, “Sa

  • Tilasmat   73. Korban Fitnah

    “Terima kasih, Pak. Saya harap pelaku yang mencuri mobil saya bisa segera diketemukan,” ucap Srikandi pada seorang inspektur polisi.Siang itu, dia mengunjungi kantor polisi untuk melaporkan kehilangan mobil miliknya yang terjadi tadi malam. Sri takut jika mobil itu digunakan untuk kejahatan yang nanti akan menyeret namanya mengingat mobil terdaftar atas nama Sri sendiri.“Baik, Bu. Laporan Anda akan segera kami proses.”Setelahnya, Sri meninggalkan kantor polisi tanpa menyadari jika seseorang telah memotretnya secara diam-diam dari kejauhan. Sri segera menghampiri sebuah lamborgini warna hitam yang terparkir di depan kantor kepolisian.Setelah itu, seorang pemuda keluar dan membukakan pintu untuknya di bagian samping kemudi. “Bagaimana?” tanya pemuda itu, sesaat setelah masuk ke dalam kursi kemudi.“Mereka akan memeriksa rekaman CCTV di sekitaran kompleks nanti,” jawab Srikandi.“Syukurlah.” Si pemuda berucap lega."Semoga segera ketangkep," harap pemuda itu. Sri langsung mengaminkan

  • Tilasmat   74. Penculikan

    Sri POVEntah kenapa dua hari ini aku merasa seseorang terus membuntuti kemana pun pergi. Apa hanya perasaan saja? Karena ketika dicari, tak ada seorang pun yang mencurigakan. Ini sangat aneh.Tak ingin berlama-lama terpaku dalam pikiran negatif, tungkai kembali melangkah ke arah mobil, hendak mengambil baju ganti karena malam ini seperti biasa aku akan menghabiskan waktu memeriksa dokumen.Tak biasanya juga Pak Cecep tertidur di pos satpam. Ingin menegur, tetapi kasihan. Mungkin dia kelelahan karena harus masuk shift malam setelah bekerja sebagai sopir bis. Biarlah, toh masih ada beberapa karyawan yang juga tengah lembur.“Kami pulang duluan, Bu.” Baru saja merasa senang karena ada teman lembur, sudah dipatahkan lagi sebab mereka telah menyelesaikan pekerjaan dan bersiap untuk pulang.“Ya, hati-hati kalian,” kataku.Begitu sampai di ruangan, tiba-tiba segelas kopi telah tersaji dengan masih menguarkan asap putih yang seketika membuatku tergugah dengan wanginya. Siapa yang bikin kira-

  • Tilasmat   75. Double POV (Titik Temu)

    Dengan sedikit kesadaran yang masih tersisa, terlihat Alex berjalan mendekat. Ternyata mereka membawaku kembali ke kamar sebelumnya.“Jangan,” lirihku ketika tangan besar itu menarik paksa jilbab yang menutupi kepala. Bahkan, tangan itu kini telah merambat ke arah tubuh bagian atas.“Ayah, Ibu!” Kugenggam erat pecahan beling yang diambil saat terjatuh di samping guci tadi."Argh!"Alex meraung kesakitan ketika bahunya ditusuk dengan pecahan itu. “Wanita sialan!” Dia kembali mendaratkan tamparan di pipi.Dengan langkah terseok, aku kembali mencoba melarikan diri. “Lepaskan aku!” Mencoba berontak ketika Alex memeluk dari belakang.“Sudah kukatakan jika bukan aku yang melaporkan transaksi itu pada polisi.” Sekali lagi mencoba meluruskan kesalahpahaman di antara kami. Namun, Alex tak juga menggubris. Bahkan, bibirnya beberapa kali mencoba menjangkau area leher.“Aku sudah tidak peduli lagi dengan siapa orang yang melaporkan transaksi itu pada polisi. Yang terpenting sekarang, aku mengingi

  • Tilasmat   76. Demam

    Meraba dinding, mencari saklar lampu agar mudah melihat sekitar. Begitu lampu menyala, tatapan langsung tertuju pada gadis yang tengah meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut yang membungkus tubuh hingga batas leher.“Sri?” Beberapa kali kupanggil nama. Namun, dia tak kunjung membuka mata. Apa Sri pingsan?Entah panggilan keberapa, gadis itu pun perlahan membuka matanya yang terlihat begitu sembab. “Sri?” panggilku, pelan.Sri menoleh dan langsung merapatkan selimut ke tubuhnya. “Rendi? Tolong aku, Ren. Tolong ambilkan sesuatu untuk menutupi tubuhku,” lirihnya, kemudian menunduk.Memilih untuk tidak menanyakan apa yang terjadi dan berjalan ke arah lemari di seberang tempat tidur. Beberapa saat mengobrak-abrik isinya, aku pun mengambil sebuah mantel panjang, celana panjang, serta kaus laki-laki yang entah siapa pemiliknya.“Tolong berbalik, aku akan pergi ke kamar mandi terlebih dahulu untuk mengganti pakaian sebelum menjelaskan semuanya.” Sri bersuara serak, seperti menahan tang

  • Tilasmat   77. Kedatangan Abah

    Sri yang kejang karena demam, akhirnya dimasukkan ke ruang ICU. Seorang dokter wanita lalu masuk untuk memeriksa keadaanya.“Sampai lupa mengabari Om Reksa.” Gegas meroboh saku, kemudian mengetik pesan singkat untuk Om Reksa. Memberitahu keberadaan Sri serta keadaannya sekarang.Tak butuh waktu lama bagi Om Reksa membalas pesan. Dia akan sampai di rumah sakit sekitar beberapa menit lagi.Beberapa kali pandangan mengarah ke pintu ruang ICU. Dokter yang menangani Srikandi belum juga keluar. Apa yang harus kulakukan jika kondisi Srikandi lebih parah dari dugaan? Aku pun mengacak rambut karena frustasi.Di tengah lamunan, suara derit pintu mengalihkan pandangan. Aku pun menghampiri dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Srikandi. “Bagaimana keadaan teman saya, dokter?” tanyaku.Raut wajah sang dokter terlihat tegang, lalu dia pun berkata, “Mari ikut saya ke ruangan, kita akan bahas kondisi pasien di sana,” ajaknya.Aku pun patuh lalu mengikuti langkah dokter bernama Nayla. Setela

  • Tilasmat   78. Menuntut Alex

    Sri POVOm Reksa mengatakan niatannya untuk menuntut Alex atas tuduhan pelecehan terhadapku. Abah setuju dengan usul beliau. Namun, menurutku itu tidak akan mudah. Alex bukan orang sembarangan. Citranya di luaran sana sangat bagus, berbanding terbalik dengan aslinya.Siapa sangka jika dibalik topeng yang selalu ia gunakan di depan media, Alex merupakan ketua pengedar obat-obatan terlarang. Aku sangat yakin, setelah mengetahui kepergianku dari tempatnya, dia tidak akan tinggal diam.“Tapi bagaimana cara kita menjatuhkannya, Om. Alex bukan orang sembarangan, kita tidak memiliki bukti kuat untuk membuatnya membayar apa yang dia lakukan terhadap saya,” lirihku.“Tunggu sebentar.” Om Reksa berjalan ke arah pintu lalu memanggil seseorang. Selang beberapa menit, Rendi mengikuti dari belakang.Om Reksa menyampaikan niatannya pada Rendi dan pemuda itu manggut sebagai tanda bahwa ia paham dengan apa yang disampaikan Om-ku. “Kita hanya perlu mencari bukti untuk memenjarakan pria brengsek itu,” g

Latest chapter

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status