Beranda / Horor / Tilasmat / 61. Kehilangan dan Kembali ke Tanah Leluhur

Share

61. Kehilangan dan Kembali ke Tanah Leluhur

Penulis: Anonymous Girl
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kupandangi sosok yang kini terbaring tak berdaya di atas ranjang di hadapan. Tubuh yang beberapa bulan lalu tampak berisi, kini hanya tinggal tulang berbalut kulit. Sama persis seperti yang terlihat ketika pingsan.

"Kenapa kalian tidak memberitahu kalau kakek sakit?" lirihku, bertanya pada paman dan bibi.

"Tadinya kami memang ingin memberitahu. Tapi, Ayah sudah mewanti-wanti agar kami tidak memberitahumu tentang penyakitnya. Dia tidak mau sampai kau khawatir, Sri," sela paman.

Apa mimpi itu pertanda jika kakek akan pergi meninggalkanku sama seperti Ayah dan Ibu? Tidak. Aku tidak ingin kehilangan lagi.

"Kita bawa kakek ke rumah sakit, paman," ajakku, seraya berdiri.

Paman dan bibi tampak menunduk dalam. Bibi kembali terisak yang langsung dirangkul oleh paman. Lalu, dengan suara bergetar beliau berujar, "Penyakit Ayah bukan penyakit yang bisa disembuhkan oleh tenaga medis, Sri."

Perkataan Bibi membuatku kehilangan keseimbangan hingga terduduk di lantai. "Bagaimana mungkin. Apa maksud bi
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tilasmat   62. Menghadiri Pernikahan

    Kutatap bangunan berlantai dua di hadapan. Tempat yang sama, ketika seseorang keluar lalu kami tak sengaja saling berpandangan untuk sepersekian detik."Neng, Geulis," sapa sebuah suara yang langsung membuyarkan lamunan.Bibir pun langsung melengkung membentuk sebuah garis senyum begitu sosok itu berada di hadapan. Segera kami berpelukan untuk melepas rasa rindu yang begitu membuncah dalam dada. Beliau bahkan sampai terisak karena haru.Setelah pelukan terlerai, segera kuraih tangan itu dan menciumnya takzim. "Kenapa Mamah kurusan? Mamah baik-baik saja, 'kan?" Aku baru menyadari jika tubuh yang dulu sedikit berisi kini berubah kurus."Perasaan Neng aja mungkin. Mamah sehat kok, ayo masuk dulu." Beliau segera membimbing ke dalam rumah. Pun dengan Pak Ahmad yang menyusul di belakang."Abah ke mana?" tanyaku saat tak mendapati sosok lain yang begitu dirindukan."Abahmu pergi dengan Fakhri ke rumah Abahnya Ranti untuk membicarakan seputar pernikahan."Degh.Meski sudah mendengarnya lebih

  • Tilasmat   63. Tiga Insan Yang Saling Terhubung

    Fakhri POVSatu persatu mobil melaju meninggalkan pelataran pondok. Mobil yang kutumpangi berada di jajaran tengah dengan dikendarai oleh sosok yang coba dilupakan setelah kepergiannya empat tahun lalu. Kenapa dia harus kembali saat hati masih begitu apik menyimpan nama serta kenangannya.Kupikir, setelah pertemuan di Jakarta saat orang tuanya meninggal kami tidak akan bertemu kembali. Namun, entah kenapa kami ditakdirkan untuk bertemu lagi dalam situasi canggung seperti sekarang. Betapa terkejutnya aku saat melihat sosok itu keluar dari dapur degan membawa serta tiga gelas berisi kopi.Jantung berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya saat sosok itu perlahan mendekat. Begitu pandangan terangkat, mata kami saling mengunci untuk beberapa saat sebelum ia memutuskannya. Tuhan mempertemukan kami kembali saat berusaha menghilangkan semua kenangan tentang dia. Bukan tak tahu kalau dia yang akan menyetir mobil pengantin. Aku memang sengaja ingin berbicara dengannya sebelum akad nikah yang

  • Tilasmat   64. Tujuan Awal

    Author POVAcara resepsi telah usai satu jam yang lalu. Semua tamu undangan telah meninggalkan tempat hajatan dua jam yang lalu. Kini, pasangan pengantin baru tengah berada di dalam kamar mereka dengan saling terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.Ranti dihantui rasa bersalah karena merebut pria yang dicintai sepupunya, Srikandi. Sedangkan Fakhri, entah apa yang ada di pikirannya saat ini."Akang ke masjid dulu, ya," pamit Fakhri gegas berdiri lalu menyambar sarung yang telah disiapkan sang istri di atas bangku di samping tempat tidur. Ranti hanya mengangguk lemah dan membiarkan sang suami pergi untuk menunaikan salat magrib.Seperginya sang suami, giliran dirinya yang mengambil wudhu lalu menggelar sejadah di samping tempat tidur. Kumandang azdan yang dilantunkan sang suami membuat air mata luruh seketika. Rasa haru sekaligus bersalah datang secara bersamaan.Bersyukur karena mendapatkan pria yang dicintainya, bersalah karena telah menikung sepupu sendiri. Tiga insan yang me

  • Tilasmat   65. Perbincangan Dengan Kakek Guru

    "Apa kedatangan Nyimas kemari ada kaitan dengan awan hitam yang menutupi langit?" tanya Kakek Guru pada Srikandi. Saat ini keduanya tengah berada di sisi tebing yang mengarah ke lautan biru."Ya, saya merasa sesuatu akan terjadi, tapi tidak tahu persisnya seperti apa."Kakek Guru manggut-manggut dengan tatapan lurus ke arah lautan lepas. "Kakek sudah mengetahuinya dari Gusti Prabu, Nyimas," ungkap sang kakek."Tentang apa, Kakek Guru?" tanya Sri penasaran."Kekuatan besar yang akan mengganggu ketenangan Nyimas lagi. Dan kakek mengetahuinya beberapa waktu lalu," ujar kakek guru.“Kenapa kakek tidak memberitahu sebelumnya? Kalau saja waktu itu..""Kakek memberitahumu, maka orang tua Nyimas akan selamat? Begitu maksudnya?" potong sang kakek. Sri mengangguk dengan air mata yang sudah meleleh dikedua pipi."Apa yang terjadi pada orang tua Nyimas sudah menjadi suratan takdir mereka dari Allah, dan kita tidak bisa mencegah itu," jelas Kakek Guru.Benar, Sri melupakan satu fakta itu. Tuhan la

  • Tilasmat   66. Sosok Di Atas Tubuh Ranti

    Abah dan Fakhri berubah panik ketika Ranti tak sadarkan diri setelah mengambil wudhu. Dengan sigap, Fakhri mengangkat tubuh sang istri lalu membaringkan di sofa ruang tamu. Sementara Abah gegas mengambil minyak herbal. Sri yang hendak berangkat ke masjid langsung dihentikan Bah Ilham. "Nyimas," panggil sang kakek dengan raut wajah yang sulit diartikan."Tolong Ranti, Neng," pintanya, mengusap kepala sang cucu dengan tatapan teduh.Sri tak paham dengan apa yang dikatakan sang kakek. Gadis itu pun mengikuti langkah Abah menuju ruang tamu, tempat Ranti terbaring dengan ditemani Fakhri. Hati Sri tersayat sembilu menyaksikan wajah Fakhri yang begitu khawatir karena sang istri yang tak kunjung membuka mata.Akan tetapi, ada yang lebih menarik perhatian Sri saat ini. Sosok bergaun putih yang tengah duduk di atas dada Ranti. Sri tentu mengenal sosok yang kini memperlihatkan wajah aslinya yang begitu menyeramkan."Pulanglah, dia tidak bersalah. Kau tidak harus melakukan itu padanya," ujar Sri

  • Tilasmat   67. Target Berikutnya

    “Neng, Mamah kira sudah tidur.” Mamah menghampiri Sri yang masih saja diam di ambang pintu.Sri mengelus punggung tangan sang nenek yang merangkulnya. “Neng terbangun karena suara ribut,” kata Sri seraya tersenyum pada sang nenek.“Maafkan kami, Geulis,” ucap Abah merasa tak enak, cucunya terbangun karena obrolan mereka.“Gak papa.” Suasana kembali hening dan canggung. Sampai akhirnya, Ranti membuka suara. “Teh, apa boleh malam ini kita tukeran kamar? Soalnya kamar Kang Fakhri ranjangnya tidak akan muat untuk kami berdua. Cuma malam ini saja, sebelum kami mengganti dengan yang lebih besar,” ungkapnya ragu.Abah Ilham mengamati ekspresi sang cucu. Sri terlihat memaksakan senyum saat mendengar permintaan sang sepupu. Dan itu membuat Abah Ilham semakin merasa bersalah karena tak bisa menolak kedatangan Ranti serta Fakhri saat sang cucu pun ada di rumah.“Ya, tidak masalah. Saya bisa tidur di ruang tamu.”“Kenapa di ruang tamu? Teteh bisa menggunakan kamar saya,” sela Fakhri yang langsun

  • Tilasmat   68. Kehilangan Yang Kesekian kali

    Bah Ilham menatap kebun singkong di depan dengan pikiran menerawang. “Biasanya Abah yang akan mengurus singkong-singkong itu. Sampai hari di mana Abah harus pergi ke ladang dekat pantai, akhirnya Mamah-lah yang membersihkan kebun dari rumput liar,” ungkap beliau.“Apa sebelumnya ada seseorang yang mencurigakan datang ke kebun?” tanya Sri memastikan.Abah menggeleng pelan, lalu kembali berkata. “Abah tidak pernah melihatnya. Namun, memang saat itu banyak singkong yang sudah tergali. Entah siapa yang mengambilnya dari kebun, karena saat Abah tanyakan pada para santri, mereka bilang tidak mengambilnya.”“Berarti orang itu mengambil singkong sekaligus menyimpan bungkusan itu di sana. Tapi siapa dia?” Sri tampak berpikir keras. Apa itu Mang Burhan, ataukah ada orang dalam yang menjadi mata-matanya seperti yang dia lakukan dulu pada Risma?“Bah,” panggil seseorang dari dalam yang langsung membuyarkan lamunan Sri.Kakek dan cucu itu langsung bergegas kembali ke dalam. Dilihatnya wajah Fakhri

  • Tilasmat   69. Akhir Dari Ki Amar

    “Idrus mohon, hentikan semua ini, Bah.” Pemuda itu menatap sang kakek dengan tatapan memohon. Namun, Ki Amar sama sekali tidak tertarik untuk mendengarkan ocehan cucunya.“Diamlah! Kau dan Bapakmu sama-sama mengecewakan. Tidak ada satu pun dari kalian yang mendukungku dan malah berpihak pada orang munafik seperti Ilham,” bengis Ki Amar.Ki Amar masih ingat bagaimana anaknya menentang dan menyuruh untuk berhenti mencelakai orang dengan ilmu hitam yang dimiliki. Bahkan, sang anak memasukkan cucunya yang dia harapkan menjadi penerus ke pesantren.Saat Ki Amar mengeluarkan bola api dari tangan untuk menyerang Srikandi, Idrus berdiri di depan gadis itu untuk melindunginya. “Minggirlah, Idrus. Atau kau akan mati,” kesal Ki Amar.“Silahkan saja. Aku tidak takut, Bah. Namun, aku kasihan pada Bapak yang nanti mungkin akan kecewa karena ayahnya sendiri yang telah membunuh anak semata wayangnya,” tantang pemuda itu masih bergeming di tempat.Dengan tenaga dalam yang dimiliki, Ki Amar membuat Idr

Bab terbaru

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status