Beranda / Horor / Tilasmat / 20. Demi Sebuah Ambisi

Share

20. Demi Sebuah Ambisi

Penulis: Anonymous Girl
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Satu minggu berlalu. Masih di tempat dan situasi yang sama di mana aku masih terkurung di tempat dukun cabul itu. Rasanya sudah tak tahan lagi dan ingin segera mengakhiri semua penderitaan ini.

Bapak. Laki-laki yang membuatku ada atas izin Allah itu tak pernah sekalipun menemuiku sejak dia menyerahkan satu-satunya anak gadis yang dia miliki hanya demi sebuah ambisi duniawi.

Menangis dan menangis, hanya itu yang aku lakukan setiap harinya. Setiap hari pula dukun cabul itu menggauliku layaknya pasangan menikah.

Marah! Siapa yang tidak akan marah diperlakukan hina seperti itu, terlebih orang yang menyebabkan ini semua tak lain orang tua kita sendiri.

Melawan? Ki Amar bukanlah tandinganku. Meski tubuhnya telah renta tetapi dengan kekuatan yang dia dapat hasil dari bersekutu dengan Iblis bukanlah tandinganku yang hanya seorang wanita lemah.

Setiap hari dia akan mengurungku di ruangan sempit dengan jeruji besi. Dia hanya akan membiarkan aku keluar jika hendak ke kamar mandi dan ketika dia m
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tilasmat   21. Amukan warga

    Author POV"Jika benar apa yang dikatakan warga, bahwa sayalah penyebab huru-hara di kampung ini, maka saya tidak akan pergi sebelum menyelesaikan masalah yang timbul," ujar Sri pada Fakhri."Tapi, saya sendiri masih bingung dengan apa harus menyelesaikan masalah ini, Kang." Dia tapak menghela nafas frustasi.Beberapa hari yang lalu, warga berbondong-bondong datang ke rumah Abah Ilham dan menyuruh Sri untuk meningalkan Kampung mereka, segera."Lihatlah! Gara-gara kamu, Kampung kami jadi tidak aman. Gara-gara kamu, anak gadis kami harus meninggal dengan tidak wajar dan sebagian warga lainnya diganggu Jin-jin penunggu hutan yang kamu bebaskan," amuk salah satu warga kala itu.Salah satu warga bahkan bersaksi bahwa dia melihat Sri masuk ke dalam hutan untuk mencabut kujang di atas batu di hutan itu. Mereka memfitnah Sri, bahwa gadis itu telah bersekutu dengan dukun untuk membebaskan kekuatan gaib yang beberapa ratus tahun meneror tempat tinggal mereka.Sebagian dari mereka memfitnah jika

  • Tilasmat   22. Kedatangan Teman Masa Kecil

    Keadaan Kampung semakin memprihatinkan. Banyak dari jamaah yang biasa memenuhi masjid pondok setiap waktu salat wajib kini tak lagi menampakkan batang hidung mereka.Suasana masjid begitu senyap. Hanya ada beberapa jamaah yang terdiri dari santri yang tersisa dan keluarga Sri. Tak ada lagi suara canda tawa anak-anak yang biasa terdengar riuh saat mendekati waktu salat. Terutama saat memasuki waktu magrib.Para warga tidak berani keluar setelah adzan magrib atau sepuluh menit sebelum azan dikarenakan banyak Jin yang sering menelor mereka. Bahkan, pernah sekali kejadian di mana salah seorang anak yang hendak pulang setelah bermain di waktu itu disembunyikan oleh Jin. Dan katanya lagi bahkan sampai sekarang anak itu masih belum ditemukan."Sudah Ibu bilang Nyimas, kita kembali saja ke Jakarta. Semua warga di sini menyalahkanmu, dan Ibu tidak menyukainya."Sri menghela nafas pelan. Entah sudah berapa kali Ibunya meminta agar dia kembali ke Jakarta. "Kita bicarakan ini nanti, Bu. Sekarang

  • Tilasmat   23. Mimpi Sri

    "Jadi, maksud kakek, kita bisa mengalahkan dukun itu jika kita berhasil menghancurkan kekuatan yang dia serap dari batu itu? Begitu?" tanya Sri pada pria tua berjubah putih di depannya."Betul, Nyimas." Kakek itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang gadis muda."Lalu, dengan cara apa saya bisa menghancurkan kekuatan hitam itu?""Bukankah Nyimas memegang kuncinya?"Dahi Sri berkerut. Kunci? Dia tidak ingat memegang sebuah kunci. "Kunci? Maksud kakek?" tanya Sri tak paham."Kekuatan itu dulunya terkurung dalam batu di hutan dengan kunci di atasnya. Nyimas pasti paham maksud kakek," jelas kakek itu."Ooh, maksudnya kujang itu?" Sri sedikit ragu. Kakek itu mengangguk."Akan tetapi, kujang itu saja tidak cukup untuk mengalahkan mereka," ujar sang kakek."Perlu tekad yang kuat serta sebuah usaha yang keras untuk melakukannya. Misalnya, Nyimas berlatih menggunakan senjata itu," imbuhnya."Kami hanya memiliki sedikit waktu, Kek. Bagaimana bisa saya mempelajarinya dalam waktu sesingkat itu?"

  • Tilasmat   24. Pergi ke Dunia Lain

    "Sekarang, apa yang akan Nyimas lakukan?" tanya Abah Ilham pada cucunya."Nyimas akan pergi ke tempat yang diminta kakek guru," balas Sri."Tapi Geulis, tempat itu cukup jauh dari sini." Abah Ilham sedikit khawatir jika cucunya harus ke sana. Mengingat saat ini warga tengah menggila dan menyalahkan sang cucu atas apa yang terjadi pada mereka."Tidak pa-pa, Sri bisa melewatinya atas seizin Allah." Sri berseru dengan yakin."Baiklah kalau begitu."Setelah obrolan tersebut, keduanya berjalan menuju rumah. Orang tua Sri sudah kembali ke Jakarta beberapa waktu lalu karena urusan pekerjaan, sedangkan Rendi masih betah di sana meski Sri beberapa kali memintanya untuk kembali ke kota."Kang," panggil Sri ketika melihat Fakhri."Iya, Teh." Pemuda itu segera menghampiri Sri yang sedang berdiri bersama kakeknya."Boleh minjem motor, gak?" tanya Sri."Boleh. Memangnya Teteh sama Abah mau kemana?" Fakhri balik bertanya."Sri mau pergi sebentar ke kampung sebelah, Ri," jawab Abah."Sama Abah?""Tid

  • Tilasmat   25. Belajar Jurus

    Sri berlatih ilmu dasar silat dengan sangat gigih dalam pengawasan Nyi Ajar Saketi. Mulai dari tangan kosong, hingga menggunakan senjata berupa belati. Meski lelah, tetapi gadis itu tetap memaksakan diri untuk terus menggerakan jurus-jurus yang telah diajarkan sang guru."Saya akan pergi ke belakang sebentar, Nyimas," pamit Nyi Ajar Saketi."Baik, guru." Setelah berhenti sebentar, Sri kembali bergerak mempraktekan jurus-jurus tadi.Sepeninggalnya Nyi Ajar Saketi, Sri berhenti menggerakan tubuhnya. "Keluarlah, aku tahu kau memperhatikanku sejak tadi!" serunya tegas.Tak berselang lama, sekelebat bayangan terbang di atas kepala Sri dan mulai menyerangnya secara membabi buta. Sri yang seorang pemula jelas kewalahan menghadapi sosok bercaping itu.Satu sampai dua serangan dia masih bisa menghindar meski kecepatan menangkisnya belumlah cukup cepat. Dia mencoba memukul lawannya, tetapi pukulan Sri tidak cukup kuat bahkan sekedar membuat lawannya terhuyun

  • Tilasmat   Bab. 26 Kembali Setelah Merantau ke Dunia Lain

    Di kampung saat ini, warga masih tidak bisa tenang jika telah memasuki waktu senja. Karena pada waktu itulah makhluk-makhluk gaib berkeliaran dan tak segan mengganggu warga yang mereka temui.Seperti saat ini, Fakhri dan Abah Ilham di panggil untuk mengusir Jin yang merasuki tubuh salah satu warga Kampung untuk yang kesekian kalinya. Entah sudah berapa rumah yang mereka datangi dalam satu hari itu. Meski sebagian besar warga masih membicarakan hal buruk tentang sang cucu, tetapi Abah tetap tidak bisa membalikan badannya dan tetap menolong warga yang membutuhkan bantuan."Hatur nuhun, Bah. Dan saya juga ingin meminta maaf jika selama ini, istri dan keluarga saya yang lain termakan hasutan orang sekitar dan menjelekkan Neng Sri," ungkap seorang pria, pada Abah yang telah membantu istrinya yang kesurupan."Sama-sama. Lain kali, tolong jangan termakan hasutan seperti itu lagi, Ha." Abah Ilham menepuk pelan bahu Mang Toha dan berpamitan."Kalau begitu, kami akan kembali sekarang, Mang. Ass

  • Tilasmat   27. Menuju Tempat Persembunyian Ki Amar

    POV SriSiang hari, tepatnya setelah melaksanakan salah duhur. Aku, Abah serta Fakhri bersiap untuk mencari tempat persembunyian Ki Amar dan anak buahnya."Aku ikut, ya?" rengek Rendi padaku yang saat ini tengah mempersiapkan apa saja yang diperlukan nanti ketika mencari Risma."Tidak usah, kamu di sini saja bersama Idrus menjaga pondok." Abah memberi isyarat agar aku cepat bersiap dan keluar.Terdengar helaan nafas dari Rendi yang mengiringi langkahku menuju pintu keluar. "Hati-hati, dan kembalilah dengan selamat." Rendi hendak memelukku, tetapi dengan cepat Fakhri menarikku dan berdiri di depan hingga dialah yang kini dipeluk teman masa kecilku itu."Kau!" seru Rendi, geram dengan tindakan Fakhri."Ingat! Bukan muhrim." Fakhri tersenyum ke arah Rendi yang tengah menahan kekesalannya karena bukan aku yang dipeluknya, melainkan Fakhri.Entah kenapa, Rendi dan Fakhri sulit sekali akur. Padahal mereka tidur dan tinggal di tempat yang sama belakangan ini. Sebenarnya aku tidak ingin kegee

  • Tilasmat   28. Memasuki hutan larangan

    Fakhri berlari menghampiriku yang duduk tak berdaya di atas tanah. Beberapa kali dia mengguncang bahu hinggga aku tersadar dari lamunan. Sebuah anak panah melesat tepat ke depan wajah hingga batang hidungku tergores. Karena terkejut, aku bahkan menjatuhkan diri ke tanah. "Kamu baik-baik saja, kan?" Wajah Fakhri berubah pucat. Apa dia begitu mengkhawatirkanku?."Hanya tergores saja, Kang." Aku menekan luka di batang hidung agar darah berhenti mengalir."Di mana Abah?" tanyaku saat tak kudapati sosoknya di sekitar kami."Saya tidak tahu." Fakhri segera melihat ke bawah tebing. Barang kali Abah turun ke sana mencari orang yang menembakkan anak panah itu tadi."Tunggu di sini, saya akan mencari Abah ke bawah," pamit Fakhir, dan aku pun mengangguk.Sepeninggalnya Fakri, aku membuka ransel kecil dan mengambil obat merah serta plester yang kusimpan dalam sebuah wadah kecil. Untung saja aku tidak lupa membawa alat-alat pertolongan pertama itu.Sekitar dua puluh menitan, Abah dan Fakhri kemba

Bab terbaru

  • Tilasmat   105. Akhir Kisah

    Sri mengendarai motor trail milik Fakhri dengan wajah tegang. Fikirannya kacau dengan dugaan-dugaan yang muncul bagaikan slide film.“Khalid ada di kelasnya, tapi Khalif tidak masuk hari ini. Saya baru saja mau menghubungi Bu Sri untuk menanyakan alasan Khalif tidak masuk sekolah.”Ucapan wali kelas Khalif terus terngiang dan membuat fikirnya tak tenang. Di mana anaknya sekarang? Warga bilang, Dandi hanya tergeletak sendiri ketika ditemukan.Motor yang dikendarai Sri berhenti di tempat Dandi kecelakaan. Suasana sekitar terlihat sepi, hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. “Aneh, kondisi Dandi terlihat parah padahal dia mengalami kecelakaan tunggal.” Sri merasa ada yang janggal. Kondisi motor yang digunakan Dandi bahkan hampir hancur.Sri merogoh ponsel dari saku gamis lalu menghubungi Fakhri. Panggilan tersambung, tapi Fakhri tak kunjung mengangkatnya. “Kamu sedang apa sih, Bi. Anak hilang kok malah susah dihubungi,” gumam Sri seraya memijat keningnya yang berdenyut.“Neng?” sa

  • Tilasmat   104. Fakta Menyakitkan

    Sesosok wanita paruh baya tergesa turun dari angkutan umum setelah memberikan ongkos pada sang kenek. Dia setengah berlari menuju rumah yang terletak beberapa meter dari jalan raya.“Assalamualaikum,” salamnya setengah berteriak. Raut wajahnya begitu tegang. Sebelah tangannya meremas kuat punggiran gamis yang dikenakan, sementara tangan satunya dia gunakan kembali untuk mengetuk pintu rumah duduk jendela di hadapan.“Waalaikumsalam.” Setelah hampir sepuluh menit menunggu, terlihat pintu dibuka oleh wanita yang usianya tak jauh dengan wanita tadi.“Kang Muh di mana?” tanya wanita yang tak lain adalah Bi Anih.Wanita yang ditanya malah mengerutkan dahi. “Kenapa Euceu nyari suamiku?” Wanita itu malah balik bertanya.“Katakan saja di mana Kang Muh, Surti? Saya ada perlu dengan dia sekarang,” desak Bi Anih.“Dia ada di halaman belakang,” jawab Surti.Tak menunggu waktu lama, Bi Anih gegas menuju halaman belakang rumah untuk menemui mantan kakak iparnya. Disusul Surti yang merasa heran deng

  • Tilasmat   103. Firasat Buruk

    “Makhluk itu tidak akan meninggalkan tubuh Irfan jika bukan pengirimnya sendiri yang menyingkirkannya,” ucap Bah Thoha pada Sri juga Fakhri.Terdengar helaan nafas berat dari ayah dua anak itu. “Bagaimana caranya meminta Pak Muh supaya membantu Irfan? Bi Anih sendiri mengatakan jika dia enggan membantu ponakannya itu,” resah Fakhri.Tak berselang lama, suara dering telpon milik Fakhri terdengar. “Saya permisi dulu, Bah,” pamit Fakhri. Setelahnya dia pergi menjauh untuk menerima telpon.“Apa yang sedang kamu pikirkan, Neng?” tegur Bah Thoha.Sri yang sempat melamun langsung melempar senyum. “Tidak ada, Bah. Hanya kepikiran kondisi Irfan saja,” ucap Sri. Bah Thoha mengangguk seraya tersenyum.Fakhri yang selesai menerima telpon kembali ke dalam, menghampiri sang istri dan juga kakek mereka. Raut wajahnya berubah tegang sekaligus menyiratkan sebuah kekhawatiran.“Ada apa, Ri?” tanya Abah.“Itu, tadi Mang Supri mengatakan jika kondisi Irfan kritis dan Bi Anih ingin saya ke sana,” jelas Fa

  • Tilasmat   102. Rencana Jahat Pak Muh

    “Bu, saya ridha bekerja di rumah Ibu tanpa bayaran sepeser pun asal Ibu dan Ustaz Fakhri menolong saya untuk menyembuhkan Irfan seperti sedia kala,” lirih Bi Anih yang berlutut di depan Sri seraya memegangi kakinya. Sri sampai tak bisa berkata-kata.“Bibi tolong jangan seperti ini. Bibi ini lebih tua dari saya, tidak enak jika Bibi harus begini di depan kaki saya,” ucap Sri seraya berusaha membantunya bangkit. Mereka bahkan tengah jadi pusat perhatian pengunjung rumah sakit yang berlalu lalang."Saya tidak akan bangun sampai Ibu setuju." Bi Anih tetap bersikukuh dalam posisinya sekarang.“Dia keluarga saya satu-satunya, Bu. Kalau sampai Irfan kenapa-napa, saya tidak bisa menghadap bapaknya nanti karena malu akibat perbuatan saya Irfan harus jadi korban,” ucapnya spontan.“Maksud Bibi apa?” tanya Sri tak paham.Bi Anih refleks menutup mulut menggunakan kedua tangan dengan lelehan air mata yang sejak tadi menganak sungai. Hampir saja dia kelepasan bicara di depan Sri. Namun, wanita paru

  • Tilasmat   101. Pertolongan

    “Kang, tolongin Irfan. Semakin hari tubuhnya semakin mengurus. Jika tetap dibiarkan Irfan mungkin tidak akan selamat,” mohon Bi Anih seraya berlutut di depan kakak iparnya- Pak Muh.“Kenapa harus aku? Kau sendiri yang teledor. Aku sudah mengatakan untuk tidak menerima jika Gus kecil itu menawarkan jambu yang aku berikan. Tapi kau….” Pak Muh menjeda perkataannya.“Semua salahmu, kau tidak memperingati Irfan untuk tidak menerima pemberian Gus kecil itu,” tambahnya.“Saat itu aku tak tahu jika Irfan akan berkunjung ke rumah mereka dan bertemu Khalif,” sesal Bi Anih.Jika saja dia tidak teledor dan melupakan beberapa bahan pokok keperluan bulanan keluarga Fakhri hingga membuatnya harus kembali pergi ke pasar, maka anaknya tidak mungkin memakan jambu yang diberikan Khalif. Irfan memang kerap kali menemuinya di rumah keluarga Fakhri untuk sekedar meminta makan atau uang jajan. Pak Muh sudah mewanti-wanti, tetapi saat itu Bi Anih terlalu sibuk hingga lupa jika pada jam-jam menuju sore, sang

  • Tilasmat   100. Keistimewaan Darah Anak Ketujuh

    Dahi Fakhri berkerut. Respon Srikandi ketika menerima kabar tentang sosok Bah Ilham yang sering muncul di sekitar rumah Idrus begitu mengejutkan sekaligus membuatnya penasaran. Seolah kabar yang dia berika bukan sesuatu yang begitu mengejutkan.“Kenapa menatap saya seperti itu?” Sri ikut mengerutkan dahi.“Respon kamu kok biasa, Mi?” Fakhri balik bertanya.“Memangnya Abi mau Ummi berekspresi seperti apa? Terkejut, terus nangis-nangis seperti dalam sinetron ikan terbang?” Fakhri menggeleng.“Ummi udah tahu, waktu itu Ayu enggak sengaja keceplosan,” tambah Sri.‘Lah, percuma selama ini aku tutupi kalau ternyata Sri udah tahu. Kang Idrus lagian kenapa tidak bilang sama Ayu untuk tidak memberitahu dulu pada Sri tentang masalah ini.’ Fakhri membatin.“Ummi tahu juga pelakunya?” tanya Fakhri memastikan. Sri menggeleng."Ayu hanya bilang jika dia dan Idrus sering melihat Abah di sekitar rumah atau bahkan muncul dalam mimpi." Sri yakin jika semua itu hanya ulah seseorang yang berniat jahil.S

  • Tilasmat   99. Masalahmu juga Masalahku

    “Untuk malam ini, pembelajaran akan ditunda sementara waktu. Bagi semua santri, silahkan mengambil mushaf yang tersedia. Kita akan membaca surah Yasin serta Al-jin berjamaah,” ucap Idrus melalui pengeras suara.Semua yang terjadi akhir-akhir ini cukup memprihatinkan. Gangguan demi gangguan berdatangan pada keluarganya dan Fakhri. Untuk itu, pondok mengadakan yasinan berjamaah.Seluruh santri telah berada di aula terpisah antar laki-laki dan perempuan. “Bagi santriwati yang sedang berhalangan bisa membaca surah al-ikhlas, al-falaq, dan an-nas dalam hati tambah juga ayat kursi,” ujar Fakhri sebelum memulai acara.“Sebelum memulai pada acara inti. Kita berdoa terlebih dahulu agar dijauhkan dan dilindungi dari orang-orang zalim yang mengincar kita maupun keluarga kita. Bilbarkati ummul qur’an al-fatihah.” Semua orang serempak membaca surah yang dijuluki sebagai induk Al-quran tersebut.Setelah itu, Fakhri melanjutkan acara dengan bertawasul lalu setelahnya mereka berjamaah membaca Surah Y

  • Tilasmat   98. Menjual Gerobak Hantu

    “Mereka tak ada kapoknya,” desah seorang pria bercaping yang berdiri di atas pucuk pohon. Dia memperhatikan beberapa orang yang tengah duduk bersila dengan kemenyan yang terbakar di depan mereka. Setelah memperhatikan cukup lama, dia pun pergi entah ke mana.Sementara itu di bawah pohon besar. Beberapa orang tengah melakukan ritual yang dipimpin pia yang lebih tua dari keempat pria lainnya. “Keluarga Ilham terlalu naif karena mengira tidak akan ada ancaman setelah Amar terbunuh.” Pria tua yang memimpin ritual tertawa terbahak. Diikuti keempat pria lainnya juga terbahak.“Usaha kita menciptakan ketakutan di hati warga telah berhasil,” ujar salah satu pria.“Benar. Selain itu, tidak akan ada yang tahu kalau kitalah dalang dari semua kejadian terror di kampung,” timpal pria lainnya.“Tinggal satu langkah lagi. Bagaimana caranya kita memancing cucu Ilham lalu membunuhnya tanpa sepengetahuan siapa pun,” desis pria tua di depan.“Itu akan sulit, Ki. Kalian tahu anak pertama cucu Ilham memil

  • Tilasmat   97. Terror yang Meresahkan

    “Ja, dagoan heula sakeudeung, urang rek ka imah nyokot sarung,” ucap seorang bapak yang kebetulan malam itu mendapat jadwal ronda.(Ja, tunggu sebentar, saya mau ke rumah dulu ngambil sarung)“Ulah lila tapi,” sahut Mang Jaja yang duduk di dalam gardu yang terbuat dari bambu di depan.(Jangan lama)"Iya, sepuluh menitan lah," ucapnya seraya terkekeh.Setelah itu, bapak tadi segera pergi meninggalkan rekannya sendirian. Suasana kampung begitu sepi. Hanya ada suara binatang-binatang malam yang berbunyi saling bersahutan. Entah kenapa pundak Mang Jaja terasa berat.Beberapa kali pria paruh baya itu mengusap tengkuk yang mulai dingin. “Si Iwan ke mana sih, katanya gak akan lama. Ini udah ada sepuluh menitan masih juga gak balik-balik. Curiga tidur ini mah,” gumam Mang Jaja.Trok, trok, trokSuara alat yang sering dipakai para pedagang kaki lima terdengar dipukul tiga kali. Mang Jaja menoleh ke sumber suara. Tak ada apa pun di sana.“Aneh, tadi jelas-jelas ada bunyi benda dipukul. Kirain t

DMCA.com Protection Status