Author POV"Jika benar apa yang dikatakan warga, bahwa sayalah penyebab huru-hara di kampung ini, maka saya tidak akan pergi sebelum menyelesaikan masalah yang timbul," ujar Sri pada Fakhri."Tapi, saya sendiri masih bingung dengan apa harus menyelesaikan masalah ini, Kang." Dia tapak menghela nafas frustasi.Beberapa hari yang lalu, warga berbondong-bondong datang ke rumah Abah Ilham dan menyuruh Sri untuk meningalkan Kampung mereka, segera."Lihatlah! Gara-gara kamu, Kampung kami jadi tidak aman. Gara-gara kamu, anak gadis kami harus meninggal dengan tidak wajar dan sebagian warga lainnya diganggu Jin-jin penunggu hutan yang kamu bebaskan," amuk salah satu warga kala itu.Salah satu warga bahkan bersaksi bahwa dia melihat Sri masuk ke dalam hutan untuk mencabut kujang di atas batu di hutan itu. Mereka memfitnah Sri, bahwa gadis itu telah bersekutu dengan dukun untuk membebaskan kekuatan gaib yang beberapa ratus tahun meneror tempat tinggal mereka.Sebagian dari mereka memfitnah jika
Keadaan Kampung semakin memprihatinkan. Banyak dari jamaah yang biasa memenuhi masjid pondok setiap waktu salat wajib kini tak lagi menampakkan batang hidung mereka.Suasana masjid begitu senyap. Hanya ada beberapa jamaah yang terdiri dari santri yang tersisa dan keluarga Sri. Tak ada lagi suara canda tawa anak-anak yang biasa terdengar riuh saat mendekati waktu salat. Terutama saat memasuki waktu magrib.Para warga tidak berani keluar setelah adzan magrib atau sepuluh menit sebelum azan dikarenakan banyak Jin yang sering menelor mereka. Bahkan, pernah sekali kejadian di mana salah seorang anak yang hendak pulang setelah bermain di waktu itu disembunyikan oleh Jin. Dan katanya lagi bahkan sampai sekarang anak itu masih belum ditemukan."Sudah Ibu bilang Nyimas, kita kembali saja ke Jakarta. Semua warga di sini menyalahkanmu, dan Ibu tidak menyukainya."Sri menghela nafas pelan. Entah sudah berapa kali Ibunya meminta agar dia kembali ke Jakarta. "Kita bicarakan ini nanti, Bu. Sekarang
"Jadi, maksud kakek, kita bisa mengalahkan dukun itu jika kita berhasil menghancurkan kekuatan yang dia serap dari batu itu? Begitu?" tanya Sri pada pria tua berjubah putih di depannya."Betul, Nyimas." Kakek itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan sang gadis muda."Lalu, dengan cara apa saya bisa menghancurkan kekuatan hitam itu?""Bukankah Nyimas memegang kuncinya?"Dahi Sri berkerut. Kunci? Dia tidak ingat memegang sebuah kunci. "Kunci? Maksud kakek?" tanya Sri tak paham."Kekuatan itu dulunya terkurung dalam batu di hutan dengan kunci di atasnya. Nyimas pasti paham maksud kakek," jelas kakek itu."Ooh, maksudnya kujang itu?" Sri sedikit ragu. Kakek itu mengangguk."Akan tetapi, kujang itu saja tidak cukup untuk mengalahkan mereka," ujar sang kakek."Perlu tekad yang kuat serta sebuah usaha yang keras untuk melakukannya. Misalnya, Nyimas berlatih menggunakan senjata itu," imbuhnya."Kami hanya memiliki sedikit waktu, Kek. Bagaimana bisa saya mempelajarinya dalam waktu sesingkat itu?"
"Sekarang, apa yang akan Nyimas lakukan?" tanya Abah Ilham pada cucunya."Nyimas akan pergi ke tempat yang diminta kakek guru," balas Sri."Tapi Geulis, tempat itu cukup jauh dari sini." Abah Ilham sedikit khawatir jika cucunya harus ke sana. Mengingat saat ini warga tengah menggila dan menyalahkan sang cucu atas apa yang terjadi pada mereka."Tidak pa-pa, Sri bisa melewatinya atas seizin Allah." Sri berseru dengan yakin."Baiklah kalau begitu."Setelah obrolan tersebut, keduanya berjalan menuju rumah. Orang tua Sri sudah kembali ke Jakarta beberapa waktu lalu karena urusan pekerjaan, sedangkan Rendi masih betah di sana meski Sri beberapa kali memintanya untuk kembali ke kota."Kang," panggil Sri ketika melihat Fakhri."Iya, Teh." Pemuda itu segera menghampiri Sri yang sedang berdiri bersama kakeknya."Boleh minjem motor, gak?" tanya Sri."Boleh. Memangnya Teteh sama Abah mau kemana?" Fakhri balik bertanya."Sri mau pergi sebentar ke kampung sebelah, Ri," jawab Abah."Sama Abah?""Tid
Sri berlatih ilmu dasar silat dengan sangat gigih dalam pengawasan Nyi Ajar Saketi. Mulai dari tangan kosong, hingga menggunakan senjata berupa belati. Meski lelah, tetapi gadis itu tetap memaksakan diri untuk terus menggerakan jurus-jurus yang telah diajarkan sang guru."Saya akan pergi ke belakang sebentar, Nyimas," pamit Nyi Ajar Saketi."Baik, guru." Setelah berhenti sebentar, Sri kembali bergerak mempraktekan jurus-jurus tadi.Sepeninggalnya Nyi Ajar Saketi, Sri berhenti menggerakan tubuhnya. "Keluarlah, aku tahu kau memperhatikanku sejak tadi!" serunya tegas.Tak berselang lama, sekelebat bayangan terbang di atas kepala Sri dan mulai menyerangnya secara membabi buta. Sri yang seorang pemula jelas kewalahan menghadapi sosok bercaping itu.Satu sampai dua serangan dia masih bisa menghindar meski kecepatan menangkisnya belumlah cukup cepat. Dia mencoba memukul lawannya, tetapi pukulan Sri tidak cukup kuat bahkan sekedar membuat lawannya terhuyun
Di kampung saat ini, warga masih tidak bisa tenang jika telah memasuki waktu senja. Karena pada waktu itulah makhluk-makhluk gaib berkeliaran dan tak segan mengganggu warga yang mereka temui.Seperti saat ini, Fakhri dan Abah Ilham di panggil untuk mengusir Jin yang merasuki tubuh salah satu warga Kampung untuk yang kesekian kalinya. Entah sudah berapa rumah yang mereka datangi dalam satu hari itu. Meski sebagian besar warga masih membicarakan hal buruk tentang sang cucu, tetapi Abah tetap tidak bisa membalikan badannya dan tetap menolong warga yang membutuhkan bantuan."Hatur nuhun, Bah. Dan saya juga ingin meminta maaf jika selama ini, istri dan keluarga saya yang lain termakan hasutan orang sekitar dan menjelekkan Neng Sri," ungkap seorang pria, pada Abah yang telah membantu istrinya yang kesurupan."Sama-sama. Lain kali, tolong jangan termakan hasutan seperti itu lagi, Ha." Abah Ilham menepuk pelan bahu Mang Toha dan berpamitan."Kalau begitu, kami akan kembali sekarang, Mang. Ass
POV SriSiang hari, tepatnya setelah melaksanakan salah duhur. Aku, Abah serta Fakhri bersiap untuk mencari tempat persembunyian Ki Amar dan anak buahnya."Aku ikut, ya?" rengek Rendi padaku yang saat ini tengah mempersiapkan apa saja yang diperlukan nanti ketika mencari Risma."Tidak usah, kamu di sini saja bersama Idrus menjaga pondok." Abah memberi isyarat agar aku cepat bersiap dan keluar.Terdengar helaan nafas dari Rendi yang mengiringi langkahku menuju pintu keluar. "Hati-hati, dan kembalilah dengan selamat." Rendi hendak memelukku, tetapi dengan cepat Fakhri menarikku dan berdiri di depan hingga dialah yang kini dipeluk teman masa kecilku itu."Kau!" seru Rendi, geram dengan tindakan Fakhri."Ingat! Bukan muhrim." Fakhri tersenyum ke arah Rendi yang tengah menahan kekesalannya karena bukan aku yang dipeluknya, melainkan Fakhri.Entah kenapa, Rendi dan Fakhri sulit sekali akur. Padahal mereka tidur dan tinggal di tempat yang sama belakangan ini. Sebenarnya aku tidak ingin kegee
Fakhri berlari menghampiriku yang duduk tak berdaya di atas tanah. Beberapa kali dia mengguncang bahu hinggga aku tersadar dari lamunan. Sebuah anak panah melesat tepat ke depan wajah hingga batang hidungku tergores. Karena terkejut, aku bahkan menjatuhkan diri ke tanah. "Kamu baik-baik saja, kan?" Wajah Fakhri berubah pucat. Apa dia begitu mengkhawatirkanku?."Hanya tergores saja, Kang." Aku menekan luka di batang hidung agar darah berhenti mengalir."Di mana Abah?" tanyaku saat tak kudapati sosoknya di sekitar kami."Saya tidak tahu." Fakhri segera melihat ke bawah tebing. Barang kali Abah turun ke sana mencari orang yang menembakkan anak panah itu tadi."Tunggu di sini, saya akan mencari Abah ke bawah," pamit Fakhir, dan aku pun mengangguk.Sepeninggalnya Fakri, aku membuka ransel kecil dan mengambil obat merah serta plester yang kusimpan dalam sebuah wadah kecil. Untung saja aku tidak lupa membawa alat-alat pertolongan pertama itu.Sekitar dua puluh menitan, Abah dan Fakhri kemba