Nohan terbangun di rumah sakit, kondisinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tangan kirinya masih diinfus, dan wajahnya tentu masih lebam membiru.
Nohan menatap langit-langit rumah sakit, terdiam cukup lama. Sampai sebuah suara membuatnya menoleh, dan tersenyum melihat siapa yang datang.
"Kenapa, Nohan? Kau buat masalah lagi?"
Senyum di wajah Nohan lenyap seketika.
Ibu yang dikira akan mendukungnya justru bertanya demikian, mendadak Nohan merasa ia memang seharusnya tidak dilahirkan ke dunia.
Entah mengapa Nohan merasa ia sendiri di dunia, bahkan tiap kali Nohan mengatakan bahwa ia dirundung oleh teman-temannya. Ibunya tak percaya, seolah semua yang dikatakan Nohan hanyalah khayalannya saja.
"Ibu tidak percaya padaku? Aku begini karena... "
"Perundung?" potong Ibu Nohan menatap lelah Nohan.
Nohan menganga tak percaya, kurang bukti apalagi? Apa mungkin Nohan harus lompat dari gedung dulu, baru ibunya mau percaya?
"Sudah ibu bilang berapa kali, Nohan? Tidak ada yang namanya perundungan, kau terlalu banyak menonton televisi, dan sinetron, makannya otakmu jadi berhalusinasi begitu," kata ibu Nohan berusaha menjelaskan pada Nohan, bahwa hal semacam itu tak pernah ada.
Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Nohan bertahan kalau begini? Bagaimana bisa Nohan tidak membenci hidupnya? Jika satu-satunya yang ia harapkan menjadi pendukung malah menolak percaya padanya.
Kau sungguh tidak mau memahamiku, Bu. Batin Nohan terluka.
"Nohan! Aku tahu kau mungkin mengalami hari yang berat, tapi berhentilah menyakiti dirimu sen... "
"Aku tidak menyakiti diriku sendiri, Bu! Sudah kubilang berapa kali?" cerca Nohan dengan nada yang mulai meninggi, Nohan kesal ibunya selalu tak percaya padanya.
Ibu Nohan menarik napas, menatap Nohan lembut.
"Nohan, aku tahu di sekolah itu tak ada anak-anak semacam yang kau kata... "
Nohan menatap ibunya kecewa, "Tidak! Kau tidak tahu, Bu. Kau tidak tahu bagaimana mereka sebenarnya, kau tidak tahu! Mereka itu perundung, dan yang lainnya hanya menonton saja! Aku yang dirundung, Bu!" cerca Nohan menatap ibunya terluka.
"Cukup, Nohan! Cukup!" tegas Ibu Nohan dengan nada meninggi.
Nohan terdiam, kemudian ia terkekeh. Merasa hidupnya memang sangat lucu, benar-benar lucu.
"Bu! Apa mungkin aku memukul diriku sendiri? Apa mungkin aku meminum soda sebanyak itu? Apa mungkin aku menyiramkan minuman ke kepalaku sendiri? Apa aku setidak waras itu dipandanganmu, Bu?"
Nohan berkata sembari menatap ibunya kecewa. Nohan sadar ia hanya sendirian di dunia, semuanya hanya menontonnya ketika ia hancur. Mereka semua penjahat, mereka semua yang hancur seharusnya.
Ibu Nohan terdiam, mengalihkan pandangannya ke arah jendela.
Nohan menghela napas, "Aku tidak tahu mengapa kau sebenci itu padaku, Bu! Tapi aku minta maaf, aku minta maaf padamu, Bu. Aku sudah tak sanggup di sekolah itu, tolong pindahkan aku. Tolong, Bu!" pinta Nohan masih menatap sang Ibu, yang juga masih memandangi jendela.
Ibu Nohan kini menoleh, membalikkan badan.
"Bertahanlah di sana, Nohan! Buat ibu yakin dan percaya padamu," saut Ibu Nohan kini menatap Nohan serius, matanya setenang langit yang mulai senja.
Nohan diam saja dan mulai menundukkan kepala, ia memang sendirian di dunia ini. Ibunya saja tak mau percaya, apa Nohan memang setidak dapat dipercayai itu?
Nohan tak lagi menyauti ibunya, ia memilih berbaring dengan tenang di atas brankar rumah sakit. Tatapan Nohan kosong, sekosong kepercayaan dirinya yang lenyap entah kemana.
Nohan makin merasa dunia begitu kejam untuknya, ia mulai bertanya-tanya. Apa benar Tuhan memang menciptakannya untuk hidup? Tapi mengapa hidup Nohan terasa mengerikan? Mengapa, Tuhan?
Andai saja Nohan punya Ayah, mungkin ini semua takkan terjadi. Ayahnya mungkin saja akan percaya padanya, membiarkannya pindah sekolah, dan ia bebas dari perundungan Jay dan teman-temannya.
Tentu saja pengandaian selalu terasa lebih indah dari pada kenyataan.
Tapi jika pengandaian jauh lebih besar dari tindakan, maka berhati-hatilah. Pengandaian itu akan menguasaimu, dan membuatmu hidup dalam dunia yang kau buat sendiri; ilusi. Ya kau akan hidup dalam ilusi.
"Aku harus pergi ke kantor polisi, aku sudah mendapat panggilan dari komandan," kata Ibu Nohan setelah lama terdiam.
Nohan hanya mengangguk lemah, toh meski Nohan melarang, ibunya takkan mendengarkan.
Ibu Nohan memasukkan sesuatu ke saku baju Nohan.
"Jaga dirimu baik-baik, Nohan! Aku pergi!" pamit perempuan paruhbaya itu, dan meninggalkan Nohan sendiri di ruang rawatnya.
Ibu Nohan sudah menghilang dibalik pintu ruang rawat.
Kini Nohan beranjak dari posisi berbaringnya, ia mendudukkan diri sembari berpikir, mungkinkah Nohan akan menjadi korban perundungan sampai lulus? Apa itu tidak terlalu mengerikan?
Ya lagi-lagi kalimat seandainya yang ada di batin Nohan, seolah kalimat itulah satu-satunya yang mau berteman dengannya.
"Seandainya orangtuaku bukan ibuku dan ayahku, apa hidupku akan jauh lebih baik, Tuhan?" tanya Nohan sembari menatap ke atas.
Tuhan selalu mendengarkan doa hamba-Nya, selalu mengabulkan-Nya. Tapi dengan satu syarat, kau harus menomorsatukan Tuhan dalam menjalankan hidupmu, dalam keseharian kau bernapas, dan melangkah di muka bumi ini.
Nohan sudah mencobanya, tetapi Tuhan belum mau mengabulkan doanya. Mungkin Tuhan menundanya, agar ia bisa lebih kuat lagi.
Nohan kini memutuskan turun dari brankarnya, ia ingin keluar dari ruang rawatnya sebentar.
Keluarlah Nohan sembari menyeret tiang penggantung cairan infus di sebelah kirinya. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit, dan berhenti ketika ada yang memanggilnya.
"Hei!"
Kali ini hanya "Hei!" tanpa tambahan apapun, Nohan sudah terlalu terbiasa dipanggil "Hei, pecundang!" dan "Hei!" yang lainnnya, dan yang terbaru adalah "Hei, Ansos."
Nohan menoleh, menatap sosok remaja lelaki yang seusia dengannya tengah duduk di kursi roda.
"Kau sakit apa?"
Nohan terdiam, baru kali ini ada yang bertanya demikian padanya.
Apa akhirnya Nohan akan punya teman?
Apa menyenangkan punya seorang teman? Ya kelihatannya menyenangkan, mengingat bagaimana teman-teman sekolahnya sering bergerombol, mengobrol ria, bersenang-senang, dan tentu saja Nohan hanya bisa memandangi mereka dengan wajah masam.
"Hei! Kau baik-baik saja?"
Nohan makin terheran-heran, sepertinya ia akan punya teman sekarang ini.
"Kau tidak bisa bicara?" tanya remaja lelaki barusan dengan bahasa isyarat.
Nohan terdiam, dan segera menggeleng. Nohan sedikit paham bahasa isyarat, ibunya sempat mengajari saat ia duduk di bangku SMP.
"Tidak! Aku bisa bicara!" kata Nohan masih berdiri di tempatnya.
Orang-orang berlalu-lalang di sepanjang lorong rumah sakit.
Remaja lelaki itu tersenyum, mendekat pada Nohan dan mengulurkan tangannya.
"Namaku Nasai!" kata remaja lelaki itu tersenyum ramah.
Nohan mengangguk, tanpa sadar bibirnya melengkung dengan sempurna. Setelah bertahun-tahun, inilah lengkungan paling sempurna di wajah Nohan.
"Aku Nohan!" katanya sembari menjabat tangan Nasai; remaja lelaki yang seusia dengannya.
Nasai segera mengajak Nohan pergi ke taman. Katanya ia ingin mengajak Nohan melihat tanaman aneh di taman rumah sakit ini.
Bersambung.
***
Makasih udah mampir diceritaku, oh iya ini cerita thriller pertamaku. Jadi maaf kalo masih acak-acakkan, aku udah usaha sebaik mungkin.
Stay healthy and happy.
Tepat pukul delapan malam, Nasai dipanggil oleh ayahnya untuk kembali ke ruang rawat. Sungguh Nohan iri padanya, Nohan ingin punya Ayah juga. Apalagi melihat bagaimana baiknya Ayah Nasai. Nohan masih duduk di bangku taman, ia menatap sekeliling yang mulai sunyi. Ya tadi Nohan melihat ruang rawat yang tak jauh dari taman, dipenuhi siswa-siswa berseragam SMA. Sepertinya mereka menjenguk salah satu teman mereka. Menyenangkan ya punya teman, ketika kau sakit mereka akan menjengukmu, ketika kau tidak berada di sekitar mereka, mereka akan mencarimu, menanyakan kabarmu. Ya andai saja teman Nohan seperti itu. Nohan pernah punya seseorang yang disebut teman, tepat sebelum seseorang itu menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Yang nyatanya tak jauh beda dari Jay dan gengnya. Nyatanya Nohan tidak pernah benar-benar punya teman. Nohan kini terkekeh mengingat kembali masa-masa mengerikan itu, meski tak jauh lebih mengerikan dari masa sekarang. Selain teman, Nohan juga merasa ia iri pada semu
Nohan merogoh saku pakaiannya, dan tersenyum lebar kala ternyata uang dua lembar yang diberikan sang Ibu ada di sana. "Aku akan membelinya, dan setelah itu kembali ke sini!" monolognya sembari tersenyum lebar memandangi toko alat tulis di seberang. Nohan berjalan sembari menyeret tiang penyangga infusnya, susah sebenarnya apalagi jalanannya tak semulus lantai rumah sakit--ada beberapa kerikil kecil yang membuat Nohan harus mengangkat tiang penyangga infusnya. "Selamat malam, Nak!" seorang satpam menyapa Nohan dengan ramah. Mendadak Nohan terdiam, wajahnya menjadi datar seketika. "Malam!" saut Nohan sekenanya. "Kau hendak pergi kemana, Nak?" tanya satpam rumah sakit itu ramah. Nohan hanya diam, entahlah ia tahu semua manusia tidak bisa disamaratakan, tapi Nohan sudah terlanjur menanam kebencian pada setiap sosok yang mirip dengannya tanpa ia sadari. Nohan berdehem pelan, berusaha meredakkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Sungguh, Nohan sebetulnya tak ingin menimpal
Nohan tidak pingsan, nyatanya memang langit yang menggelap. Mengusir rembulan dan bintang-bintang, yang sebelumnya menggantung di sana. Jeduarr...Suara kilat menyambar, cahayanya menyerang terang tepat di hadapan Nohan. "Lelaki harus kuat apapun yang terjadi!" mendadak Nohan teringat kata-kata Mr. Henry, guru olahraga nyentrik di sekolahnya. Kau lelaki atau bukan, Nohan. Ayo bangun, kau harus bangun. Dan buang saja pulpen-pulpen itu, kau tak membutuhkannya, tinggalkan saja selembar uang itu. Lupakan semuanya, Nohan. Berlarilah, tinggalkan dunia mengerikan ini, Nohan. Suara di kepala Nohan kembali terdengar, otak Nohan seolah memberikan ide agar Nohan terbebas dari kelamnya hidup. Bangun, Nohan. Kembalilah ke rumah sakit, tidurlah. Hari sudah semakin larut. Hati Nohan bersuara, seolah mengajaknya untuk tertidur. Dan bermimpi, yang meski dalam mimpipun Nohan tak dapat ketenangan. Bayangan masa lalu itu melebur menjadi satu kisah bersama kejadian tahun-tahun ini. Semua mimpi Nohan
Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit. Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana. Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja. Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya. Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen. "Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan
Nohan diam saja, ia tahu siapa yang memanggilnya. Tentu saja suara keras bernada menghina itu milik Jay si ketua geng perundung. Nohan hanya diam, ia tak berniat menyauti atau sekadar melihat wajah Jay. "Si ansos ini pasti merasa senang sekarang!" ini suara mengejek milik Jio. Entah mengapa diantara keempat orang yang merundungnya, Nohan paling membenci Jio. Tapi tentu bukan berarti Nohan membenci Jay, Ray, dan Ren sedikit. Ia membenci mereka dengan kadar yang sudah melebihi kebenciannya. Nohan benci mereka berempat, ia juga benci semua yang hanya menonton ketika ia dirundung, ia benci semua hal yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin tanpa sadar Nohan juga membenci dirinya sendiri. Sungguh, Nohan yang malang. "Semuanya boleh pulang! Hari ini guru-guru rapat!" suara Jay kembali terdengar, membuat kelas menjadi ramai seketika. Siswa-siswa segera merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke tas dengan terburu-buru. "DIAM! DAN SEGERALAH KELUAR!" teriak Ren menggelegar, semuanya t
"Kau belum pulang, Nak?" tanya seseorang barusan, yang ternyata adalah Mr. Jusuf. Nohan hanya menundukkan kepalanya. Kemudian Mr. Jusuf terbelalak, menyadari Nohan basah kuyup, dan aroma tak sedap mengitari muridnya itu. "Sesuatu terjadi padamu, Nak?" tanya Mr. Jusuf khawatir. Nohan berdehem pelan, dan berusaha tersenyum walau sebetulnya hatinya benar-benar tak ingin tersenyum. "Tadi aku tak sengaja menyenggol ember yang berisi air untuk mengepel, Mr. Jusuf. Dan ya akhirnya aku terpeleset airnya mengguyurku," jelas Nohan berusaha berbohong sebaik mungkin. Satpam yang berdiri di belakang Nohan menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Mr. Jusuf yang juga menatapnya. Mr. Jusuf pun akhirnya percaya. "Nohan! Karena kau sudah basah kuyup, kau boleh pulang! Tadinya aku hendak berbicara denganmu, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat," kata Mr. Jusuf tersenyum ramah penuh perhatian. Nohan menganggukkan kepala sebagai respon. "Kalau begitu aku permisi! Dan selamat pulang, Nak! Hati
Tuhan, apa aku bahkan tidak boleh dikenal dengan namaku? Namaku Nohan bukan Ansos ataupun pecundang. Batin Nohan mendesis, menyadari tatapan menyeringai tiga remaja lelaki di hadapannya. "Ya Tuhan, sepertinya menyenangkan mengajaknya bermain!" saut salah satu dari remaja lelaki barusan, yang ini rambutnya cepak rapi, hanya saja pakaiannya sudah acak-acakkan. Sudah keluar dari celananya. Kemejanya bahkan sudah terlepas kancingnya, menampilkan kaos hitam di dalamnya.Berani-beraninya kau membawa nama Tuhan, disaat kau akan menyakiti makhluk ciptaan-Nya. Batin Nohan mendesis. "Kau tidak lihat dia basah kuyup begitu? Kasihan kalau kita mengajaknya bermain, eh apa tadi di luar hujan?" saut sosok dengan hoodie abu-abu, rambutnya sudah agak menutupi telinga. Ketiga manusia itu tertawa terbahak-bahak, seolah menertawakan Nohan dan kemalangannya adalah suatu hal yang membahagiakan. "Mungkin saja! Bukankah setiap hari adalah hujan baginya?" saut sosok dengan jaket hitam, rambutnya cepak bah
Nohan berjalan mendekat ke arah sosok kecil menggemaskan itu, ia tersenyum lebar. "Kau baik-baik saja, kucing kecil?" tanya Nohan yang tentu tak dijawab oleh sosok kecil, yang ternyata adalah seekor anak kucing berwarna abu-abu. Nohan tersenyum makin lebar, dan tanpa menunggu lama tangannya terulur untuk memungut anak kucing itu. Ia mengambilnya lalu menggendongnya penuh sayang. Usai memungut anak kucing barusan, Nohan segera menyingkir dari jalan. Membiarkan bus super itu melaju kembali. "Kau aman sekarang, kucing kecil!" kata Nohan tersenyum tulus, yang berikutnya seolah menyauti Nohan dengan menjilat lengan Nohan. Nohan terkekeh merasa geli di tangan akibat lidah si anak kucing. "Kau benar-benar menggemaskan, aku akan membawamu pulang," kata Nohan sembari menatap anak kucing di gendongannya. Dan berikutnya Nohan tersadar bahwa dirinya harus segera pulang, membersihkan diri dari aroma got ini, dan juga mengompre
Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh
Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a
Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya
Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re
Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d
Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d
Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem
Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap
Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu