Home / Thriller / Thirty Days / Jalanan Sepi

Share

Jalanan Sepi

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2022-07-24 21:46:14

Nohan merogoh saku pakaiannya, dan tersenyum lebar kala ternyata uang dua lembar yang diberikan sang Ibu ada di sana.

"Aku akan membelinya, dan setelah itu kembali ke sini!" monolognya sembari tersenyum lebar memandangi toko alat tulis di seberang.

Nohan berjalan sembari menyeret tiang penyangga infusnya, susah sebenarnya apalagi jalanannya tak semulus lantai rumah sakit--ada beberapa kerikil kecil yang membuat Nohan harus mengangkat tiang penyangga infusnya.

"Selamat malam, Nak!" seorang satpam menyapa Nohan dengan ramah.

Mendadak Nohan terdiam, wajahnya menjadi datar seketika.

"Malam!" saut Nohan sekenanya.

"Kau hendak pergi kemana, Nak?" tanya satpam rumah sakit itu ramah.

Nohan hanya diam, entahlah ia tahu semua manusia tidak bisa disamaratakan, tapi Nohan sudah terlanjur menanam kebencian pada setiap sosok yang mirip dengannya tanpa ia sadari.

Nohan berdehem pelan, berusaha meredakkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal.

Sungguh, Nohan sebetulnya tak ingin menimpali pertanyaan satpam ini. Tapi bukankah itu tak sopan?

Orang tua harus selalu dihormati, ingat itu Nohan, seburuk apapun dia. Nohan kembali teringat kata-kata ibunya beberapa bulan yang lalu.

Baiklah Nohan harus berpura-pura, ia harus berpura-pura bahwa ia menimpali dengan tulus, padahal tidak sama sekali.

"Aku ingin pergi ke toko alat tulis di seberang," timpal Nohan berusaha seramah mungkin, meski tetap kentara bahwa Nohan agak kaku.

Satpam di hadapan Nohan tersenyum ramah. Oh sungguh Nohan benci senyum lelaki paruhbaya ini, Nohan tidak tahu mengapa ia dengan mudah membenci orang, padahal ia saja tak tahu namanya.

Apa kau mulai membenci semua orang, Nohan? Tiba-tiba saja sebuah suara di hatinya terdengar. Seolah mempertanyakan sikap Nohan, yang sepertinya memang benar-benar menjadi anti sosial.

Nohan hanya diam, benar juga. Mengapa ia jadi begini? Mengapa perkataan Jay dan gengnya malah betulan melekat pada dirinya?

Nohan sungguh bingung.

Tapi sebelum kebingungan itu semakin menjauh, otak Nohan menguasai dirinya. Berkata di dalam kepala Nohan, tentu saja kau wajar membenci orang-orang, Nohan. Mereka terlalu banyak menyakitimu.

Nohan merasa bingung, apa ia harus mengikuti kata hati atau otaknya. Keduanya tidak pernah ada yang mau mengalah, hingga pada akhirnya Nohan terdiam cukup lama.

Sampai akhirnya tepukkan dari satpam di bahunya membuatnya berjingkit.

"Kau baik-baik saja, Nak? Mau kuantar?" tawar satpam itu tulus.

Satpam ini tidak seperti dia, Nohan. Satpam ini berbeda. Kali ini hatinya kembali bersuara, seolah ingin merenggut Nohan agar kembali menjadi dirinya sendiri lagi.

Kali ini otak Nohan tak lagi menyauti seperti biasanya.

"Bagaimana?"

Nohan menggeleng sebagai jawaban, "Tidak, terima kasih! Aku bisa sendiri!" kata Nohan menolak bantuan satpam itu.

Rumah sakit yang ditempati Nohan bukanlah rumah sakit elite, wajar jika pasien nekat sepertinya bisa keluar dengan mudah. Ya rumah sakit ini tak terlalu besar, bangunannya juga sudah tak terlalu terawat.

"Baiklah, Nak! Hati-hati!" pesan satpam barusan tersenyum ramah.

Nohan hanya menganggukkan kepala tanpa mengatakkan apapun, jangankan mengatakan sesuatu. Nohan bahkan tak membalas senyum pria paruhbaya itu.

Nohan berjalan pelan, ia mengangkat tiang penyangga infusnya, lantaran kerikil memenuhi jalan menuju keluar rumah sakit.

"Tenang, Nohan! Kau bukan ansos, ya bukan!" kata Nohan seolah meyakinian dirinya sendiri, bahwa ia tak seperti apa yang dikatakan oleh Jay dan teman-temannya.

Rumah sakit ini tak memiliki pagar, jadi Nohan bisa keluar tanpa harus meminta bantuan satpam.

Nohan sudah keluar dari area rumah sakit, ia menatap jalanan sepi di hadapannya.

Sangat senyap, dan sepi. Tentu saja jalanan di depan bukanlah jalan raya utama, maka tak usah heran jika senyap dan sepi.

Nohan menyeberang sembari kepalanya menoleh kanan kiri, barang kali ada kendaraan yang melintas. Bukan tidak munkin tiba-tiba ada kendaraan melintas, mengingat ini juga jalanan meski bukan jalan utama.

Usai berhasil menyeberang, senyum di wajah Nohan kembali mengembang sempurna, sesempurna kala ia tersenyum bersama Nasai.

Kini ia berdiri di depan toko alat tulis, menatap deretan benda-benda yang menarik di matanya; gunting kecil, sticky notes, pulpen berbagai warna dan karakter, penghapus, tip-x, dan hal lainnya.

Nohan terdiam menatap deretan benda-benda itu, yang seolah menari-nari di matanya. Entah apa atau bagaimana bisa benda-benda itu seolah menarik di mata Nohan, ia memang tak pernah membeli peralatan sekolah di tempat sebagus ini.

"Tempat ini bagus sekali, ini pertama kalinya aku membeli alat tulis bukan di warung itu!" monolog Nohan dengan mata berbinar senang.

Nohan masih menatap benda-benda itu dibalik etalase, sampai sosok remaja perempuan menyapanya, membuatnya terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Mau beli sesuatu?" sapa remaja perempuan yang sepertinya seumuran dengan Nohan, lantaran bisa Nohan lihat bahwa remaja perempuan di hadapannya punya seragam sama dengannya.

Nohan berdehem pelan berusaha meredakkan keterkejutannya.

"Kau beli atau mau berdiri saja disitu?" tanya si remaja perempuan lagi.

Meski satu sekolah, Nohan tak tahu nama remaja perempuan di hadapannya ini.

"Aku beli! Aku mau beli pulpen," kata Nohan berusaha ramah.

Remaja perempuan itu mengangguk, dan menyodorkan beberapa merk pulpen di meja etalase pada Nohan.

"Kau mau yang mana?"

Nohan segera memilih pulpen yang sekiranya ingin ia beli.

Dan jatuhlah pilihan Nohan pada pulpen hitam, ia mengambil tiga pulpen dan menyodorkan satu lembar uang.

"Kau beli tiga pulpen, dan uangmu seratus ribu? Serius?" tanya si remaja perempuan menatap Nohan tak habis pikir.

Nohan hanya mengangguk, bukankah lebih baik dari pada ia tak membayar pulpen ini?

Remaja perempuan yang tak Nohan ketahui namanya menganggukkan kepala, "Baiklah! Kau tunggu dulu sebentar, aku akan mencari uang kembaliannya ke dalam!" kata si remaja perempuan segera melengang pergi.

Nohan menatap jalanan sembari menunggu uang kembalian.

Hingga empat sosok yang dibencinya datang menyapanya, membuat Nohan membeku seketika.

Mengapa mereka harus kesini, Tuhan? Batin Nohan.

"Hai, Ansos! Sedang apa kau di sini huh?" sapa Jay dengan seringaian di wajahnya.

Jay, Ray, Ren, dan Jio. Keempat manusia itu masih mengenakan seragam sekolah, bahkan masih terlihat rapi, kecuali Jio yang memang sudah sedari pagi tak rapi.

Nohan diam saja, tak berniat meladeni manusia-manusia ini.

Kenapa lama sekali? Batin Nohan sembari melongok ke dalam toko.

Terdengar deheman Ray, "Kau tidak bisa menjawabnya atau bagaimana, Ansos?" tanyanya dengan tajam.

Nohan mendesis, apa mereka tidak lelah menganggu Nohan terus-terusan? Apa mereka tidak punya pekerjaan lain? Apa mereka belum puas setelah melihat Nohan dengan pakaian rumah sakit, dipasangi infus? Mereka belum puas?

Tentu monster makin senang menyiksa saat korbannya makin lemah bukan?

Ren tak banyak bicara, tapi sekalinya memukul itu terasa amat menyakitkan.

Bughh...

Nohan terjatuh, dengan tiang infus yang menimpa kepalanya.

"Bagus, Ren!" bangga Jio tersenyum.

Sementara Jay, dan Ray tak kalah bangga bahkan sampai menatap Nohan seolah mengatakan "Rasakan itu, Ansos!"

Bugh...

Dan lagi, Ren menendang perut Nohan.

Nohan tak tahu apa mungkin ia akan selamat malam ini.

"Singkirkan selang infusnya!" perintah Jay, yang diangguki Ray dan Ren.

Settt...

Terlepaslah selang infus dari tangan Nohan, bahkan seolah menghina Nohan Ray tanpa perasaan menginjak-injak kantong infus itu, membuat cairannya muncrat kemana-mana.

"Kau tahu, Nohan! Hal paling mengerikan bukanlah saat kau berhadapan dengan kami, tapi saat kau berhadapan dengan dirimu sendiri... yang lemah!" tegas Jay dan segera melengang pergi bersama tiga kawannya.

Nohan tergeletak tak berdaya di pinggir jalanan sepi, ia menatap langit yang kini menggelap sepenuhnya.

Langit atau pandangannmu, Nohan?

Bersambung.

***

Terima kasih buat kalian semua yang udah mau baca ceritaku, jangan lupa votenya ya.

Stay healthy and happy.

Related chapters

  • Thirty Days   Hal Tak Tertulis

    Nohan tidak pingsan, nyatanya memang langit yang menggelap. Mengusir rembulan dan bintang-bintang, yang sebelumnya menggantung di sana. Jeduarr...Suara kilat menyambar, cahayanya menyerang terang tepat di hadapan Nohan. "Lelaki harus kuat apapun yang terjadi!" mendadak Nohan teringat kata-kata Mr. Henry, guru olahraga nyentrik di sekolahnya. Kau lelaki atau bukan, Nohan. Ayo bangun, kau harus bangun. Dan buang saja pulpen-pulpen itu, kau tak membutuhkannya, tinggalkan saja selembar uang itu. Lupakan semuanya, Nohan. Berlarilah, tinggalkan dunia mengerikan ini, Nohan. Suara di kepala Nohan kembali terdengar, otak Nohan seolah memberikan ide agar Nohan terbebas dari kelamnya hidup. Bangun, Nohan. Kembalilah ke rumah sakit, tidurlah. Hari sudah semakin larut. Hati Nohan bersuara, seolah mengajaknya untuk tertidur. Dan bermimpi, yang meski dalam mimpipun Nohan tak dapat ketenangan. Bayangan masa lalu itu melebur menjadi satu kisah bersama kejadian tahun-tahun ini. Semua mimpi Nohan

    Last Updated : 2022-07-24
  • Thirty Days   Seorang Ansos?

    Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit. Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana. Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja. Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya. Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen. "Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan

    Last Updated : 2022-09-02
  • Thirty Days   Para Monster

    Nohan diam saja, ia tahu siapa yang memanggilnya. Tentu saja suara keras bernada menghina itu milik Jay si ketua geng perundung. Nohan hanya diam, ia tak berniat menyauti atau sekadar melihat wajah Jay. "Si ansos ini pasti merasa senang sekarang!" ini suara mengejek milik Jio. Entah mengapa diantara keempat orang yang merundungnya, Nohan paling membenci Jio. Tapi tentu bukan berarti Nohan membenci Jay, Ray, dan Ren sedikit. Ia membenci mereka dengan kadar yang sudah melebihi kebenciannya. Nohan benci mereka berempat, ia juga benci semua yang hanya menonton ketika ia dirundung, ia benci semua hal yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin tanpa sadar Nohan juga membenci dirinya sendiri. Sungguh, Nohan yang malang. "Semuanya boleh pulang! Hari ini guru-guru rapat!" suara Jay kembali terdengar, membuat kelas menjadi ramai seketika. Siswa-siswa segera merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke tas dengan terburu-buru. "DIAM! DAN SEGERALAH KELUAR!" teriak Ren menggelegar, semuanya t

    Last Updated : 2022-09-03
  • Thirty Days   Keanehan

    "Kau belum pulang, Nak?" tanya seseorang barusan, yang ternyata adalah Mr. Jusuf. Nohan hanya menundukkan kepalanya. Kemudian Mr. Jusuf terbelalak, menyadari Nohan basah kuyup, dan aroma tak sedap mengitari muridnya itu. "Sesuatu terjadi padamu, Nak?" tanya Mr. Jusuf khawatir. Nohan berdehem pelan, dan berusaha tersenyum walau sebetulnya hatinya benar-benar tak ingin tersenyum. "Tadi aku tak sengaja menyenggol ember yang berisi air untuk mengepel, Mr. Jusuf. Dan ya akhirnya aku terpeleset airnya mengguyurku," jelas Nohan berusaha berbohong sebaik mungkin. Satpam yang berdiri di belakang Nohan menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Mr. Jusuf yang juga menatapnya. Mr. Jusuf pun akhirnya percaya. "Nohan! Karena kau sudah basah kuyup, kau boleh pulang! Tadinya aku hendak berbicara denganmu, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat," kata Mr. Jusuf tersenyum ramah penuh perhatian. Nohan menganggukkan kepala sebagai respon. "Kalau begitu aku permisi! Dan selamat pulang, Nak! Hati

    Last Updated : 2022-09-04
  • Thirty Days   Bus

    Tuhan, apa aku bahkan tidak boleh dikenal dengan namaku? Namaku Nohan bukan Ansos ataupun pecundang. Batin Nohan mendesis, menyadari tatapan menyeringai tiga remaja lelaki di hadapannya. "Ya Tuhan, sepertinya menyenangkan mengajaknya bermain!" saut salah satu dari remaja lelaki barusan, yang ini rambutnya cepak rapi, hanya saja pakaiannya sudah acak-acakkan. Sudah keluar dari celananya. Kemejanya bahkan sudah terlepas kancingnya, menampilkan kaos hitam di dalamnya.Berani-beraninya kau membawa nama Tuhan, disaat kau akan menyakiti makhluk ciptaan-Nya. Batin Nohan mendesis. "Kau tidak lihat dia basah kuyup begitu? Kasihan kalau kita mengajaknya bermain, eh apa tadi di luar hujan?" saut sosok dengan hoodie abu-abu, rambutnya sudah agak menutupi telinga. Ketiga manusia itu tertawa terbahak-bahak, seolah menertawakan Nohan dan kemalangannya adalah suatu hal yang membahagiakan. "Mungkin saja! Bukankah setiap hari adalah hujan baginya?" saut sosok dengan jaket hitam, rambutnya cepak bah

    Last Updated : 2022-09-05
  • Thirty Days   Gudang Terkunci

    Nohan berjalan mendekat ke arah sosok kecil menggemaskan itu, ia tersenyum lebar. "Kau baik-baik saja, kucing kecil?" tanya Nohan yang tentu tak dijawab oleh sosok kecil, yang ternyata adalah seekor anak kucing berwarna abu-abu. Nohan tersenyum makin lebar, dan tanpa menunggu lama tangannya terulur untuk memungut anak kucing itu. Ia mengambilnya lalu menggendongnya penuh sayang. Usai memungut anak kucing barusan, Nohan segera menyingkir dari jalan. Membiarkan bus super itu melaju kembali. "Kau aman sekarang, kucing kecil!" kata Nohan tersenyum tulus, yang berikutnya seolah menyauti Nohan dengan menjilat lengan Nohan. Nohan terkekeh merasa geli di tangan akibat lidah si anak kucing. "Kau benar-benar menggemaskan, aku akan membawamu pulang," kata Nohan sembari menatap anak kucing di gendongannya. Dan berikutnya Nohan tersadar bahwa dirinya harus segera pulang, membersihkan diri dari aroma got ini, dan juga mengompre

    Last Updated : 2022-09-06
  • Thirty Days   Dark Home

    Mengapa tempat ini begitu mengerikan? Sangat gelap, dan beberapa benda-benda tajam terpampang dengan jelas di meja. Nohan merasa bulu kuduknya meremang seketika, ia melihat berbagai benda tajam. Ada parang, celurit, roda gerigi, dan pedang? Sungguh itu pedang? Nohan mendekat ke arah meja kayu yang dipenuhi benda tajam itu, ia melihat betapa tajam benda-benda itu; terlihat begitu mengilap seperti sering kali diasah. Nohan terdiam, ia bahkan mendadak lupa apa tujuannya masuk ke gudang. Cuitt...Cuitt...Nohan terkesiap, ia tahu itu suara apa--tikus penghuni gudang ini pastinya. Bukkk...Suara cicitan tikus berhenti, tepat ketika suara benda terjatuh muncul. Nohan segera membuka jendela gudang, setidaknya agar ia bisa melihat benda apa yang terjatuh barusan. Nohan menoleh

    Last Updated : 2022-09-07
  • Thirty Days   Dasar Lemah

    Pagi berikutnya Nohan sudah bersiap untuk berangkat sekolah, ia kini tengah sarapan ditemani anak kucing abu-abu--yang belum ia beri nama. Pagi ini seperti biasa--roti sisa kemarin dan susu cair yang sebentar lagi kadaluarsa. Akh... Nohan bahkan sudah tak takut kalau-kalau ia akan keracunan. Ia sudah terlampau sering mengonsumsinya, dan selama ini ia baik-baik saja. Jadi sepertinya sebelum susu itu kadaluarsa tepat di tanggal dan harinya, maka Nohan harus buru-buru menghabiskannya. "Aku akan memberimu nama Uba! Kau suka nama itu?" tanya Nohan pada kucing kecil yang tengah meminum susu cair di piring kecil semalam. Entah mengapa tiba-tiba saja Nohan terpikir untuk memberi nama, pada si anak kucing menggemaskan ini. Tadinya jika ibunya melihat anak kucing ini, Nohan sudah bersiap akan mengembalikannya ke tempat semula; di sekitar jalanan. Tapi ternyata ibunya melihatnya, dan biasa saja. Itu artinya sang Ibu mengizin

    Last Updated : 2022-09-08

Latest chapter

  • Thirty Days   Epilog

    Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh

  • Thirty Days   Ten Day

    Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a

  • Thirty Days   Nine Day

    Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya

  • Thirty Days   Akhirnya Kau Lenyap

    Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re

  • Thirty Days   Eight Day

    Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d

  • Thirty Days   Seven Day

    Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d

  • Thirty Days   Aku Membencimu Sungguh

    Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem

  • Thirty Days   Membencinya

    Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap

  • Thirty Days   Six Day

    Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu

DMCA.com Protection Status