Share

Teman?

Author: Maulana Hani
last update Last Updated: 2022-07-24 21:45:44

Tepat pukul delapan malam, Nasai dipanggil oleh ayahnya untuk kembali ke ruang rawat. 

Sungguh Nohan iri padanya, Nohan ingin punya Ayah juga. Apalagi melihat bagaimana baiknya Ayah Nasai. 

Nohan masih duduk di bangku taman, ia menatap sekeliling yang mulai sunyi. 

Ya tadi Nohan melihat ruang rawat yang tak jauh dari taman, dipenuhi siswa-siswa berseragam SMA. Sepertinya mereka menjenguk salah satu teman mereka. 

Menyenangkan ya punya teman, ketika kau sakit mereka akan menjengukmu, ketika kau tidak berada di sekitar mereka, mereka akan mencarimu, menanyakan kabarmu. 

Ya andai saja teman Nohan seperti itu. Nohan pernah punya seseorang yang disebut teman, tepat sebelum seseorang itu menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Yang nyatanya tak jauh beda dari Jay dan gengnya. 

Nyatanya Nohan tidak pernah benar-benar punya teman. 

Nohan kini terkekeh mengingat kembali masa-masa mengerikan itu, meski tak jauh lebih mengerikan dari masa sekarang. 

Selain teman, Nohan juga merasa ia iri pada semua anak yang memiliki orang tua. Ia iri tanpa diketahui orang-orang, ia iri melihat bagaimana hubungan anak dan orang tua terjalin dengan baik di luar sana. 

Sementara Nohan? 

Ya tentu saja Nohan bahkan meragukan hubungannya dengan sang Ibu. 

Ibunya tak percaya padanya, tak mau memahaminya. Dan ya Nohan lagi-lagi harus mengorbankan dirinya, membiarkan masa mudanya penuh kesialan, dan kepahitan. 

Andai saja. 

Kata itu selalu menemani Nohan bahkan dalam mimpinya sekalipun. 

Andai saja ayahku masih ada, andai saja ayah dan ibu tidak berpisah dan ayah tidak meninggal, andai saja ayahku tidak pernah menyentuh benda haram itu, dan menyebabkannya terkena HIV. Batin Nohan menundukkan kepalanya. 

Nohan sudah tak ingin menceritakan masalahnya pada siapapun, baginya tak ada yang mau percaya atau mendengarkan ceritanya. 

Ia benci hidupnya, bahkan jika Tuhan mengabulkan permintaannya hari ini. Nohan pasti akan berdoa agar hidupnya segera berakhir, agar penderitaannya juga ikut berakhir. 

Tapi Nohan tidak pernah tahu, bahwa Tuhan tidak suka pada hamba-Nya yang berdoa agar hidupnya segera berakhir. Tuhan tidak senang akan hal itu. 

Sayangnya Nohan tidak tahu. 

"Nak! Kau tidak kembali ke ruang rawatmu?" 

Nohan terdiam, dan menoleh ke belakang. Menemukkan sosok lelaki yang amat ia kenali, dan tanpa kata Nohan segera bangkit dari bangku taman itu. 

Bergegaslah Nohan meninggalkan taman, dan seseorang yang menatap punggungnya merasa aneh. 

"Aku tidak mau berbicara pada orang bermuka dua sepertinya!" monolog Nohan sembari berjalan cepat, ia juga menyeret tiang penggantung kantung cairan infusnya dengan tergesa. 

Nohan segera masuk ke ruang rawatnya, ia kembali berbaring dengan tenang. 

"Kau baik-baik saja, Nohan?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja masuk ke ruang rawat Nohan. 

Nohan tak percaya, itu Nasai. 

Ya Nasai datang menemuinya. Tadi saat di taman Nohan menceritakan bagaimana ia ingin dijenguk saat sakit, seperti teman-temannya. Tapi karena ia tak punya teman, tentu saja tak ada yang mau menjenguknya. 

Dan Nasai menjenguknya. Apakah Nasai benar-benar akan jadi temannya? 

Nohan tersenyum lebar, lengkungan di bibirnya itu benar-benar sempurna dan penuh ketulusan. 

"Aku baik-baik saja, Nasai! Terima kasih sudah datang," saut Nohan tersenyum, menatap Nasai yang duduk di kursi rodanya. 

Nasai menganggukkan kepalanya, ia mendekat pada Nohan. 

"Aku punya sesuatu untukmu, Nohan!" kata Nasai sembari menyodorkan sebuah buku bersampul kertas hitam. Bukunya cukup tebal. 

Nohan terdiam, tak paham maksud Nasai memberinya buku. 

"Untukmu! Kau bilang tak ada yang mau mendengarkanmu bercerita kan?" jelas Nasai menyodorkannya pada Nohan, "Kau bisa menulisnya di sini, Nohan!" lanjut Nasai tersenyum ramah. 

Nohan tanpa ragu menerima buku itu, dan menatap bukunya dengan perasaan senang. 

Akhirnya aku punya teman... lagi. Batin Nohan agak teringat masa lalunya. Tetapi segera ditepisnya masa lalu itu. 

"Terima kasih! Terima kasih juga sudah mau berteman denganku, Nasai!" kata Nohan tersenyum amat lebar. 

"Sama-sama, Nohan! Kalau begitu aku akan kembali ke ruang rawatku, terima kasih juga sudah mau berteman denganku," saut Nasai tersenyum, dan usai pamit pada Nohan. Ia benar-benar pergi dari ruang rawat Nohan. 

Kini Nohan sendirian lagi, tetapi tak lagi dengan wajah sedih ataupun murung. 

Kini wajah Nohan sedikit cerah, senyumnya juga masih mengembang. 

"Buku apa ini?" monolog Nohan sembari membolak-balikkan buku bersampul kertas warna hitam di tangannya. 

Nohan membuka halaman pertama, dan kosong. Halaman kedua, ketiga, dan seterusnya yang ternyata memang benar kata Nasai, bahwa buku ini bisa Nohan gunakan untuk menuliskan unek-uneknya. Lantaran semua kertasnya kosong. 

"Jadi ini semacam buku harian ya?" tanya pada diri sendiri, dan tersenyum makin lebar. 

Nohan ingin menulis sesuatu, tapi ia tak punya pulpen. 

Atau mungkin Nohan bisa meminjamnya pada resepsionis, atau perawat. Ya sepertinya Nohan harus meminjamnya, ia ingin menuliskan kebahagiaannya hari ini di buku harian, yang diberikan Nasai padanya. 

Nohan bergegas bangkit dari posisi berbaringnya, ia kembali berjalan sembari menyeret tiang penggantung cairan infusnya. Sedikit merepotkan, tapi apa boleh buat. 

Ia berjalan menjauhi ruang rawatnya, pokoknya kalau nanti bertemu perawat, Nohan akan meminjam pulpen. Jika tidak bertemu, Nohan mungkin akan menuju ke meja resepsionis dan meminjam pulpennya di sana. 

Nohan berjalan pelan melewati lorong rumah sakit, sedari tadi ia berjalan tak ada satupun perawat yang lewat. Ya mungkin Nohan memang harus menuju meja resepsionis. 

Dan sayangnya di meja resepsionis juga kosong, tak ada siapapun kecuali komputer yang menyala, Nohan bisa melihat cahaya layar komputer dari samping. 

Nohan menghela napas, ia harus dapat pulpennya. Kalau tidak ia jadi tak bisa tidur nanti. 

Nohan terdiam, sampai ia memandang ke arah jalanan yang lengang. Dan di ujung sana ada toko alat tulis.

Tidak mungkin kan di toko itu tak ada pulpen? Ya kecuali stoknya habis, itu mungkin saja terjadi. 

Nohan tersenyum lebar, ia akan ke sana saja. Ia akan membeli pulpen di toko seberang sana. 

Tenang saja, ibu Nohan sudah meninggalkan dua lembar uang jika Nohan ingin membeli sesuatu di kantin misalnya. 

Bersambung. 

***

Makasih yang udah mampir, dukung aku dengan cara vote cerita ini ya. Terima kasih. 

Stay healthy and happy gengs.

Related chapters

  • Thirty Days   Jalanan Sepi

    Nohan merogoh saku pakaiannya, dan tersenyum lebar kala ternyata uang dua lembar yang diberikan sang Ibu ada di sana. "Aku akan membelinya, dan setelah itu kembali ke sini!" monolognya sembari tersenyum lebar memandangi toko alat tulis di seberang. Nohan berjalan sembari menyeret tiang penyangga infusnya, susah sebenarnya apalagi jalanannya tak semulus lantai rumah sakit--ada beberapa kerikil kecil yang membuat Nohan harus mengangkat tiang penyangga infusnya. "Selamat malam, Nak!" seorang satpam menyapa Nohan dengan ramah. Mendadak Nohan terdiam, wajahnya menjadi datar seketika. "Malam!" saut Nohan sekenanya. "Kau hendak pergi kemana, Nak?" tanya satpam rumah sakit itu ramah. Nohan hanya diam, entahlah ia tahu semua manusia tidak bisa disamaratakan, tapi Nohan sudah terlanjur menanam kebencian pada setiap sosok yang mirip dengannya tanpa ia sadari. Nohan berdehem pelan, berusaha meredakkan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa gatal. Sungguh, Nohan sebetulnya tak ingin menimpal

    Last Updated : 2022-07-24
  • Thirty Days   Hal Tak Tertulis

    Nohan tidak pingsan, nyatanya memang langit yang menggelap. Mengusir rembulan dan bintang-bintang, yang sebelumnya menggantung di sana. Jeduarr...Suara kilat menyambar, cahayanya menyerang terang tepat di hadapan Nohan. "Lelaki harus kuat apapun yang terjadi!" mendadak Nohan teringat kata-kata Mr. Henry, guru olahraga nyentrik di sekolahnya. Kau lelaki atau bukan, Nohan. Ayo bangun, kau harus bangun. Dan buang saja pulpen-pulpen itu, kau tak membutuhkannya, tinggalkan saja selembar uang itu. Lupakan semuanya, Nohan. Berlarilah, tinggalkan dunia mengerikan ini, Nohan. Suara di kepala Nohan kembali terdengar, otak Nohan seolah memberikan ide agar Nohan terbebas dari kelamnya hidup. Bangun, Nohan. Kembalilah ke rumah sakit, tidurlah. Hari sudah semakin larut. Hati Nohan bersuara, seolah mengajaknya untuk tertidur. Dan bermimpi, yang meski dalam mimpipun Nohan tak dapat ketenangan. Bayangan masa lalu itu melebur menjadi satu kisah bersama kejadian tahun-tahun ini. Semua mimpi Nohan

    Last Updated : 2022-07-24
  • Thirty Days   Seorang Ansos?

    Pagi ini Nohan terbangun di rumah sakit lagi, semalam Mr. Henry langsung mengantarnya kembali ke rumah sakit. Nohan terdiam, mengamati sekeliling. Dan tatapannya terjatuh di tangan kirinya yang kembali dililit selang infus, mendadak Nohan teringat kejadian semalam. Saat dengan tak punya hatinya, Ray menginjak-injak kantung infusnya hingga isinya muncrat kemana-mana. Ia benci mengingat hal mengerikan itu, tetapi tentu saja Nohan tak bisa melupakannya begitu saja. Nohan mengepalkan tangannya kuat-kuat, dan kepalan di tangannya melemah. Saat tatapannya jatuh ke meja sebelah brankar, di mana tiga pulpen tergeletak di atas buku harian bersampul hitam--yang diberikan Nasai padanya. Nohan tak tersenyum, wajahnya lempeng saja. Ia bangkit dari posisi berbaringnya, dan tangannya berusaha menggapai buku dan juga pulpen. "Aku tidak tahu kalau kau semalam pergi dari sini, Nohan! Kukira kau tertidur lantaran ruang rawatmu terlihat sepi dan senyap," suara seseorang di depan pintu membuat Nohan

    Last Updated : 2022-09-02
  • Thirty Days   Para Monster

    Nohan diam saja, ia tahu siapa yang memanggilnya. Tentu saja suara keras bernada menghina itu milik Jay si ketua geng perundung. Nohan hanya diam, ia tak berniat menyauti atau sekadar melihat wajah Jay. "Si ansos ini pasti merasa senang sekarang!" ini suara mengejek milik Jio. Entah mengapa diantara keempat orang yang merundungnya, Nohan paling membenci Jio. Tapi tentu bukan berarti Nohan membenci Jay, Ray, dan Ren sedikit. Ia membenci mereka dengan kadar yang sudah melebihi kebenciannya. Nohan benci mereka berempat, ia juga benci semua yang hanya menonton ketika ia dirundung, ia benci semua hal yang ada di dunia ini. Bahkan mungkin tanpa sadar Nohan juga membenci dirinya sendiri. Sungguh, Nohan yang malang. "Semuanya boleh pulang! Hari ini guru-guru rapat!" suara Jay kembali terdengar, membuat kelas menjadi ramai seketika. Siswa-siswa segera merapikan buku-buku mereka, memasukkannya ke tas dengan terburu-buru. "DIAM! DAN SEGERALAH KELUAR!" teriak Ren menggelegar, semuanya t

    Last Updated : 2022-09-03
  • Thirty Days   Keanehan

    "Kau belum pulang, Nak?" tanya seseorang barusan, yang ternyata adalah Mr. Jusuf. Nohan hanya menundukkan kepalanya. Kemudian Mr. Jusuf terbelalak, menyadari Nohan basah kuyup, dan aroma tak sedap mengitari muridnya itu. "Sesuatu terjadi padamu, Nak?" tanya Mr. Jusuf khawatir. Nohan berdehem pelan, dan berusaha tersenyum walau sebetulnya hatinya benar-benar tak ingin tersenyum. "Tadi aku tak sengaja menyenggol ember yang berisi air untuk mengepel, Mr. Jusuf. Dan ya akhirnya aku terpeleset airnya mengguyurku," jelas Nohan berusaha berbohong sebaik mungkin. Satpam yang berdiri di belakang Nohan menganggukkan kepala, berusaha meyakinkan Mr. Jusuf yang juga menatapnya. Mr. Jusuf pun akhirnya percaya. "Nohan! Karena kau sudah basah kuyup, kau boleh pulang! Tadinya aku hendak berbicara denganmu, tapi sepertinya bukan waktu yang tepat," kata Mr. Jusuf tersenyum ramah penuh perhatian. Nohan menganggukkan kepala sebagai respon. "Kalau begitu aku permisi! Dan selamat pulang, Nak! Hati

    Last Updated : 2022-09-04
  • Thirty Days   Bus

    Tuhan, apa aku bahkan tidak boleh dikenal dengan namaku? Namaku Nohan bukan Ansos ataupun pecundang. Batin Nohan mendesis, menyadari tatapan menyeringai tiga remaja lelaki di hadapannya. "Ya Tuhan, sepertinya menyenangkan mengajaknya bermain!" saut salah satu dari remaja lelaki barusan, yang ini rambutnya cepak rapi, hanya saja pakaiannya sudah acak-acakkan. Sudah keluar dari celananya. Kemejanya bahkan sudah terlepas kancingnya, menampilkan kaos hitam di dalamnya.Berani-beraninya kau membawa nama Tuhan, disaat kau akan menyakiti makhluk ciptaan-Nya. Batin Nohan mendesis. "Kau tidak lihat dia basah kuyup begitu? Kasihan kalau kita mengajaknya bermain, eh apa tadi di luar hujan?" saut sosok dengan hoodie abu-abu, rambutnya sudah agak menutupi telinga. Ketiga manusia itu tertawa terbahak-bahak, seolah menertawakan Nohan dan kemalangannya adalah suatu hal yang membahagiakan. "Mungkin saja! Bukankah setiap hari adalah hujan baginya?" saut sosok dengan jaket hitam, rambutnya cepak bah

    Last Updated : 2022-09-05
  • Thirty Days   Gudang Terkunci

    Nohan berjalan mendekat ke arah sosok kecil menggemaskan itu, ia tersenyum lebar. "Kau baik-baik saja, kucing kecil?" tanya Nohan yang tentu tak dijawab oleh sosok kecil, yang ternyata adalah seekor anak kucing berwarna abu-abu. Nohan tersenyum makin lebar, dan tanpa menunggu lama tangannya terulur untuk memungut anak kucing itu. Ia mengambilnya lalu menggendongnya penuh sayang. Usai memungut anak kucing barusan, Nohan segera menyingkir dari jalan. Membiarkan bus super itu melaju kembali. "Kau aman sekarang, kucing kecil!" kata Nohan tersenyum tulus, yang berikutnya seolah menyauti Nohan dengan menjilat lengan Nohan. Nohan terkekeh merasa geli di tangan akibat lidah si anak kucing. "Kau benar-benar menggemaskan, aku akan membawamu pulang," kata Nohan sembari menatap anak kucing di gendongannya. Dan berikutnya Nohan tersadar bahwa dirinya harus segera pulang, membersihkan diri dari aroma got ini, dan juga mengompre

    Last Updated : 2022-09-06
  • Thirty Days   Dark Home

    Mengapa tempat ini begitu mengerikan? Sangat gelap, dan beberapa benda-benda tajam terpampang dengan jelas di meja. Nohan merasa bulu kuduknya meremang seketika, ia melihat berbagai benda tajam. Ada parang, celurit, roda gerigi, dan pedang? Sungguh itu pedang? Nohan mendekat ke arah meja kayu yang dipenuhi benda tajam itu, ia melihat betapa tajam benda-benda itu; terlihat begitu mengilap seperti sering kali diasah. Nohan terdiam, ia bahkan mendadak lupa apa tujuannya masuk ke gudang. Cuitt...Cuitt...Nohan terkesiap, ia tahu itu suara apa--tikus penghuni gudang ini pastinya. Bukkk...Suara cicitan tikus berhenti, tepat ketika suara benda terjatuh muncul. Nohan segera membuka jendela gudang, setidaknya agar ia bisa melihat benda apa yang terjatuh barusan. Nohan menoleh

    Last Updated : 2022-09-07

Latest chapter

  • Thirty Days   Epilog

    Nohan sengaja tidak pulang setelah berhasil melenyapkan sosok-sosok alter ego dalam dirinya. Nohan masih duduk di depan ruko, ia memandangi langit yang kembali bersinar. Sialnya Nohan bahkan belum benar-benar merasa hidup normal, ia tahu ia masih harus melenyapkan dua orang itu. Orang yang telah menyebabkan ayahnya pergi, ayahnya pergi bersama luka yang belum sempat disembuhkan. Nohan akan membuat mereka menyadari, bahwa menyakiti harus dibalas dengan menyakiti. Bahwa rasa sakit yang diterima ayahnya, juga harus dirasakan oleh mereka. Ya harus begitu. Nohan memilih bangkit dari posisi duduknya, segera ia memasukkan buku milik ayahnya ke dalam tas, berikutnya ia menggendong tasnya, dan berjalan keluar dari gang kumuh nan mengerikan itu. Nohan berlari agar ia bisa cepat sampai di rumah, ia akan berganti pakaian dan setelahnya ia harus menemui Mr. Pram. Ya apapun itu, ia harus menemui ayah sambungnya, yang siang ini pasti tengah berada di salah satu ruangan di gedung pemerintahan. Noh

  • Thirty Days   Ten Day

    Nohan membaca tulisan ayahnya, tentang betapa terlukanya lelaki paruh baya itu. "Kukira aku sudah berusaha menjadi lelaki yang baik, lelaki yang pengertian! Tapi ternyata aku tetaplah lelaki pecundang di matamu, kau memilih dia. Memilih pergi dengannya, sungguh hatiku terasa diiris-iris sembilu, kala melihatmu memeluk lengannya, mengatakan bahwa kau memilihnya. Mencintainya." Nohan berhenti membaca, dan sadar bahwa mungkin Nohan harus melenyapkan semua orang, yang telah jadi penyebab luka ayahnya. Ya Nohan harus melakukannya. "Aku tidak bisa berharap apa-apa lagi jika begitu, maka aku harus melenyapkan perasaanku padanya. Aku cukup berhasil, hatiku sudah tak terlalu sakit tiap melihatnya memeluk lengannya, atau tersenyum bersamanya. Tapi hatiku terasa sakit luar biasa, bahkan ini jauh lebih sakit dari pada saat aku melihatnya bersama lelaki itu. Dia mencegahku menemui Nohan, dia bahkan melarangku hanya untuk sekadar menyapanya lewat telepon, dia menjauhkanku darinya. Padahal Nohan a

  • Thirty Days   Nine Day

    Hari berikutnya Nohan sudah bersiap ke sekolah, tetapi ia berhenti begitu saja kala suara Amand terdengar memanggilnya. "Nohan!""Kenapa?" tanya Nohan menatap Amand, yang kali ini memakai seragam persis miliknya. "Kau tidak mau berangkat bersama?" ajaknya dengan wajah sok baik. Nohan mendecih dalam hati, menjjikan sekali orang-orang macam ini. "Kenapa? Kenapa aku harus berangkat bersamamu? Apa kau pikir aku tidak tahu jalan ke sekolah? Atau kau yang tidak tahu?" cerca Nohan menatap kesal Amand. Amand terkekeh masam, "Kau ini sangat tidak tahu diri ya? Kau bersekolah di sana menggunakan uang ayahku, kalau kau lupa, Nohan! Dasar Ansos tidak tahu diri!" ejek Amand dengan mata tajam menatap Nohan. "Jangan banyak omong! Kalau kau mau ke sekolah, silahkan pergi saja sendiri! Jangan mengajakku, aku sudah hapal jalannya. Dan tidak akan terlambat meski tidak semobil denganmu!" tegas Nohan dan menubruk bahu Amand, yang mengahalangi jalan keluarnya. Amand tersenyum menyeringai, "Rupanya

  • Thirty Days   Akhirnya Kau Lenyap

    Entah siapa yang mengetuk pintu, tetapi setelah sesosok lelaki paruhbaya yang amat Nohan kenali masuk. Saat itu juga Nohan menyadari ada hal yang tak beres, dan benar saja sosok yang amat ia benci muncul dari pintu. Sosok itu tersenyum amat lebar, seolah menyapa Nohan dengan keramah-tamahannya. Nohan mendecih dalam hati, entah apa yang dilakukan manusia ini di sekolahannya.Amand dan sopirnya. Ya saudara tirinya itu entah mau apa datang kemari, atau jangan-jangan ia mau pindah ke sekolah ini? Hahah ... Nohan tertawa dalam hati. Memang sungguh sial hidupnya, sial dan makin sial saja saat ia tak bisa bertindak kala Amand mengejeknya, melalui ekspresi wajah. Mr. Adam menatap Nohan, ia tahu Amand mana yang tadi dikatakan Nohan. Tentu saja hanya ada satu Amand, yaitu Amand si putra kandung Mr. Pram, orang penting di pemerintahan kota ini. "Baiklah, Nohan! Kau sudah selesai, jadi kau bisa pergi! Dan hati-hatilah, Nak!" kata Mr. Adam yang menyadari ada aura permusuhan, di antara kedua re

  • Thirty Days   Eight Day

    Pagi ini Nohan sengaja berangkat lebih awal ke sekolah, ia tidak mau berlama-lama di rumah. Apalagi setelah kejadian kemarin, saat ibunya menamparnya hanya demi Amand. Sosok yang membuat Nohan dianggap anti sosial, bahkan psikopat. Yang akhirnya membuatnya dijauhi teman-teman. Ternyata Amand pulang ke rumah, ia bilang ingin menemui Nohan. Ya kemarin monster mengerikan itu mengatakan hal itu, dasar si tukang manipulatif. Nohan membenci Amand, melebihi ia benci pada dirinya sendiri. Sungguh. Tetapi Nohan pindah sekolah saat kelas satu SMA semester pertama, ia sudah tak mau satu kelas ataupun satu sekolah dengan Amand. Dan akhirnya di sekolah baru pun Nohan tak bisa mendapat teman, lantaran hal-hal buruk tentangnya telah disebarkan oleh Amand melalui berita. Ya Amand sengaja mengundang para wartawan, kala hari di mana Nohan keluar dari ruang psikoterapi di salah satu rumah sakit jiwa di kota ini, bahkan saat keluar dari sana. Amand sengaja menggandeng tangan Nohan, lalu mengangkatnya d

  • Thirty Days   Seven Day

    Hari berikutnya Nohan sudah pulang ke rumah, ia tak lagi tinggal di rumah Paman Khamdi. Ia sadar selalu merepotkannya, dan memilih kembali saja ke rumah. Pagi ini Nohan sudah bersiap untuk kembali ke sekolah, hal yang sejak lama telah ia benci. Nohan tidak suka sekolah, ia benci tempat itu, apalagi tiap ke sekolah hal mengerikan selalu terjadi padanya; Jay, Jio, Ray, dan Ren akan datang mengganggunya, membuat hidupnya terasa mengerikan, dan membuatnya ingin lekas pergi dari dunia. Nohan keluar dari kamarnya, ia melongok ke sekitar dan benar saja di meja makan, ada ibunya dan sosok lelaki yang ia benci. Nyatanya Nohan sudah sedikit pulih, ia mulai bisa sedikit membedakan mana yang nyata, mana yang berupa khayalannya. Saat ini di depannya ia melihat ibunya tersenyum tipis, pada lelaki paruhbaya yang bagi Nohan adalah penyebab ayahnya pergi. "Aku pergi! Selamat pagi!" kata Nohan dan benar saja ia segera melengang pergi keluar rumah. "Nohan!" panggil Ibu Nohan yang dikiranya takkan d

  • Thirty Days   Aku Membencimu Sungguh

    Nohan menoleh, dan matanya seketika memicing tajam melihat siapa, yang berdiri di sebelah ibunya. Berani-beraninya dia datang menjengukku. Batin Nohan merasa kesal luar biasa. "Nohan?" panggil ibunya dengan suara lembut.Nohan tak mengindahkan panggilan itu, tatapan tajamnya tak mau sekadar mengalih dari sosok lelaki, yang berdiri di sebelah ibunya dengan senyum hangat mengembang. Sungguh aku membencimu, kau telah membuat ayahku pergi. Karena ayahku pergi dari hidupku, karenamu ayahku hilang tak bisa ditemukan. Aku membencimu, karena kau merebut ibuku, aku membencimu karena kau menciptakan jarak antara Ayah dan ibuku. Kau penjahat. Batin Nohan dengan kedua tangan terkepal erat. "Aku tidak mau melihatnya! Aku membencinya!" sentak Nohan masih memandang lelaki paruhbaya, yang sudah lama ia benci. Nohan membenci lelaki itu, hingga tiap pulang ke rumah. Ia tidak pernah menganggapnya ada, bahkan dalam dunia yang ia buat sendiri. Ia menciptakan bahwa di rumah hanya ada ia dan ibunya, sem

  • Thirty Days   Membencinya

    Nohan sudah kembali tidur di brankarnya, setelah tadi perawat menyuntikan obat tidur, lantaran Nohan meraung-raung tak terkendali. "Maafkan aku, Nohan!" kata Ibu Nohan mengusap wajah putranya penuh sayang, "Maaf, maaf karena aku kau jadi begini, Nohan! Maafkan aku," lanjutnya sembari menggenggam tangan kanan Nohan. Ia menatap wajah putra satu-satunya itu, ia menatapnya lama. Sampai bayang-bayang lelaki di masa lalunya berkelebat--Ayah Nohan. Ibu Nohan makin menangis sesenggukkan, menyadari ia telah salah memisahkan mereka berdua; Nohan dan ayahnya. Aku bukan hanya gagal menjadi Ibu, tapi aku telah menjadi penjahat, aku begitu jahat telah memisahkan Nohan dengan Dama ayahnya. Aku bahkan telah menyakiti Dama begitu dalam, aku terlalu egois, hingga tanpa sadar menyakiti kalian berdua, memisahkan kalian berdua. Batin Ibu Nohan memandangi Nohan dengan air mata, yang membasahi wajahnya. Tangannya terulur kembali mengusap wajah damai Nohan, lalu tangisnya kembali mengeras ketika mengusap

  • Thirty Days   Six Day

    Hari berikutnya Nohan sudah sadar, hanya saja ia tidak ingin mengatakan apapun. Lebih tepatnya diam membisu sejak mengingat bahwa ia membunuh seseorang, ya Nohan mengingatnya. Membuatnya merasa bersalah telah membunuh seseorang itu. "Nohan!"Panggilan dari Paman Khamdi tak membuat Nohan menoleh, ataupun sekadar menyauti lelaki paruhbaya, yang tak lain tak bukan adalah dokternya. Dokter yang berusaha membantunya sembuh dari skizofrenia, dan alter ego yang makin mengerikan dalam dirinya. Nohan ternyata selama ini telah kehilangan kemampuannya, ia kehilangan kemampuannya untuk membedakan mana halusinasi mana kenyataan. Ya Nohan tidak menyadari itu. "Ada yang ingin menemuimu, Nohan!" kata Paman Khamdi yang sama sekali tak digubris oleh Nohan.Remaja lelaki itu hanya diam, tatapannya kosong memandang ke arah jendela rumah sakit yang menyita seluruh perhatiannya. "Permisi! Apa aku boleh masuk?" izin seseorang, yang barusan dibicarakan Paman Khamdi. Paman Khamdi mengangguk, pada perempu

DMCA.com Protection Status