The Lombok Lodge, satu hari yang lebih gerah dari musim panas di Amerika
Pendingin ruangan dinyalakan, dan jendela tinggi dengan korden tertutup tak sempurna mengelilingi penginapan mewah di Pulau Lombok itu. Suhu di luar ruangan lebih hangat, sekitar 26℃, lebih hangat daripada musim panas yang ada di Amerika Serikat tepatnya di kota New York pada bulan Mei.
Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri ketakutan, aroma alkohol menyengat dari mulutnya, tapi meski begitu dia tidak mabuk sepenuhnya. Punggungnya yang tinggi menghimpit pada tembok, keringat mengucur di kening dan wajahnya. Tubuhnya bergetar karena sudah siap menemui ajalnya, jika perlu.
“Siapa kau sebenarnya?” Suara lelaki itu – yang bernama Elang Wibisono– terdengar sangat putus asa dan tercekat. Seperti ada penahan di tenggorokannya, atau sebuah cekikan mematikan yang membuatnya tidak bisa bicara dengan normal. Tapi itu datang dari rasa takut yang memenuhi isi kepalanya sendiri.
Keadaan di sekeliling hampir gelap gulita. Lampu dimatikan, satu ritual yang selalu Elang lakukan saat akan pergi tidur. Meskipun dia adalah lelaki kaya dan menjabat menjadi seorang CEO di perusahaan ayahnya, Elang sangat tau bahwa tidak ada orang yang berani mengusiknya atau berani membahayakan nyawanya. Setidaknya itu yang selalu dia yakini selama ini.
Jadi meskipun di tempat asing ini dia tetap melakukan apa yang biasa dia lakukan, meski dalam keadaan setengah mabuk sekalipun. Jika di rumahnya, di negara di mana dia biasa tinggal, saja keamanan bisa didapat meskipun dia begitu terkenal dan mendapat banyak pesaing, lalu kenapa di sini tidak? Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Elang kini berada di ambang kematian!
“Sial!” umpatnya kala mendapati sepertinya keberuntungan tak berpihak padanya. Pelariannya di Pulau Lombok demi kabur dan menghindari ayahnya sendiri sepertinya tidak akan semulus yang Elang kira.
Padahal ini harapan satu-satunya yang dia miliki. Pulau Lombok, atau lebih tepatnya Negara Indonesia, adalah satu-satunya tempat yang tidak akan terpikirkan oleh Tuan Cakra Wibisono, ayah Elang, sebagai tempat pelarian diri dari anak lelakinya itu. Tapi kenapa? Kenapa begini jadinya?
Mata Elang yang menciut dan melebar tak pasti layaknya lensa kamera yang rusak itu semakin menggila saja. Apalagi kala melihat sosok hitam bertudung yang berdiri di tengah ruangan, menghadap pada Elang yang sudah terhimpit dan terpojok. Di tangan sosok tak dikenal itu beradalah sebuah senjata berupa pisau. Kilatannya seperti peringatan kematian, yang ditujukan untuk Elang.
“Apa yang kau inginkan? Kau ingin uang? Hah?” Sebuah negosiasi telah dijatuhkan oleh Elang. Jarang sekali orang bisa mendapatkan negosiasi dari CEO itu, karena biasanya dia akan memutuskan iya atau tidak, menolak berarti final. Siapa orang yang sangat beruntung itu? Yang mendapatkan kehormatan itu?
Karena tidak mendapatkan jawaban apa pun, Elang sepertinya tau bahwa sosok asing bertudung itu sepertinya bukan perampok, dengan kata lain dia tidak membutuhkan uang Elang. Tempat ini begitu mewah, pengamanan sangat ketat, CCTV disebar pada banyak tempat yang strategis. Kemungkinan dibobol sangat kecil, apalagi jika sampai tidak terdeteksi. Lalu bagaimana bisa orang asing itu masuk ke kamarnya? Hanya ada satu jawaban : orang asing itu pasti sangat ahli!
Tapi jika bukan perampok, lantas siapa? Pembunuh bayaran? Atas suruhan siapa?
Akan tetapi Elang mengenyahkan pikiran itu untuk sejenak. Jangan berpikiran yang aneh-aneh kala terpojok. Itu akan membuatmu kehilangan kendali dan akan sulit memenangkan pertempuran ini. Elang harus mengulur waktu agar dia bisa memiliki senjata demi bisa melawan sosok asing itu.
“Berapa uang yang kau minta? Sebutkan saja!” sembur Elang. Ada harapan di hatinya bahwa mungkin orang di luar akan mendengar teriakannya. Jika itu terjadi mungkin bantuan bisa dia dapatkan. Rasanya memang aneh ketika bepergian dan tidak mendapatkan pengawalan satu pun. Meski hal seperti ini, hal lengang dan bebas dari pengawasan, adalah hal yang diinginkan Elang. Akan tetapi jika hasilnya begini maka Elang tidak akan menyerah untuk menyalahkan dirinya.
Pelariannya di sini untuk meraih kebebasan. Dan jika dia harus mati di dalam pelariannya, ada rasa tidak terima yang mengganjal di perasaannya.
Sekarang tindakan demi tindakan diambil oleh Evan. Erangannya meninggi hingga memenuhi ruangan, layaknya sebuah gua yang sangat dalam yang baru saja memantulkan suara.
BRAK! BUGH! PRANG!
Benda terlempar dengan dasyat dan membabi buta dari tangan Elang. CEO itu memang bergerak serampangan untuk meraih barang apa pun yang bisa dia raih. Semuanya dilemparkan, tak terkecuali, dengan harapan bisa melumpuhkan sosok asing berpisau itu. Lentingan tubuh dan tangan menghempas udara, seperti sebuah turbin berkecepatan ganda, hingga pada akhirnya Elang tersungkur dan menghantam lantai karena efek mabuk.
Pening! Sial, ini pasti pengaruh alkohol. Andai saja dia tidak mabuk malam ini mungkin dia bisa menerobos udara dingin untuk menggulingkan orang asing itu. Akan tetapi satu kelemahan sudah mencoreng Elang, dia tidak akan menang malam ini. Jika begitu apa artinya dia harus menyerah? Apalagi kala melihat semua barang yang terlempar tadi sama sekali tidak mengenai sasaran?
Orang asing itu seperti ninja, setidaknya begitu kelihatannya di dalam kegelapan malam. Dia bisa melompat dengan gesit demi menghindari semua pukulan dari barang-barang yang dilemparkan oleh Elang. Tamat sudah.
Melihat sepasang sepatu mendekat dengan tipukan kaki layaknya gema kematian telah membuat Elang semakin tak berdaya. ‘Mungkin ini akhirnya. Seorang anak lelaki yang diharapkan bisa mewarisi kekayaan justru akan mati karena mencoba untuk melarikan diri. Tapi apa salahku sampai mendapatkan semua ini?
‘Aku hanya tidak bisa bertunangan dengan Anne. Aku tidak bisa membuka hati untuk para wanita, aku benci mereka.’ Di sela suara pikiran Elang, lelaki itu mengepalkan tangannya. Rasa muak menguasai dirinya, juga takdir menjijikkan yang dia dapatkan selama ini.
Dari kecil dia sudah mendapatkan nasib ketidakmujuran, atau nasib tidak adil dibandingkan dengan kembarannya sendiri.
Benar, Elang memang memiliki seorang kembaran. Kembaran Elang adalah seorang lelaki yang selalu mendapat banyak perhatian di lingkungannya dulu, dibandingkan dengan Elang. Jika bertanya kenapa, mungkin jawabannya adalah karena kembaran Elang lebih rupawan dibanding dengannya di masa lalu.
Elang begitu kurus, kurang terawat, dan sering sakit-sakitan. Sementara kembarannya, dia memang mendapat banyak keberkahan semasa kecil. Kulitnya selalu sehat, dengan rona merah di pipi. Saat semua orang lebih memilih untuk mencium dan menggendong kembaran Elang, kala itu Elang tau bahwa hidupnya memang tidak akan bisa dikatakan adil.
Dan sekarang, saat kembarannya itu bisa hidup bahagia bersama ibu kandungnya, Elang justru terpojok di sini, dalam pelarian penuh kata pengecut, dan siap untuk dibantai.
Elang meringkuk, dia menangis walau tanpa suara. ‘Akhirnya begini, aku akan mati.’ Di dalam hatinya Elang seperti sudah mempersiapkan diri. ‘Mungkin ini yang terbaik. Daripada aku harus mati karena menahan benci dengan para wanita, lebih baik aku mati mengenaskan dengan nama samaran yang tidak akan dikenali oleh orang-orang.’
Mata Elang mencoba untuk menyeimbangkan pandangannya yang mulai kabur. Itu efek dari air mata yang menggenang dan meleleh di pipi tirus lelaki itu. Di ujung sana jendela sepertinya benar-benar tertutup rapat, korden masih tertutup secara tidak sempurna. Keadaan semua itu begitu sama persis seperti ketika Elang keluar dari kamar untuk pergi ke club dan minum-minum sepuasnya.
Lalu bagaimana orang asing ini bisa masuk?
Sepasang sepatu itu semakin mendekat bersama penetrasi cahaya rembulan yang tiba-tiba jatuh dan mengenai ujung benda yang terbuat dari kulit itu. Ada bagian yang terkelupas, dan juga tergores. Tapi bukan itu yang terpenting sekarang.
Di tengah semua itu, di tengah kepercayaan diri Elang akan kematiannya, sebuah suara terdengar. Sepertinya itu adalah suara dari sosok asing itu. “Bangunlah, maka aku tidak akan menyakitimu!”
***
Suhu menjadi turun secara drastis, seolah berniat untuk membekukan Elang yang seperti sekarat di dalam ketakutannya sendiri. Buku jarinya sudah pucat, kulitnya apalagi. Pandangan matanya seperti linglung, deru napas tersendat dan hampir musnah. “Sial! Sial!” geram Elang dalam suara yang teramat lirih. Memaksakan pandangannya yang kabur karena terbenam air mata untuk mendongak tentu bukan perkara yang mudah bagi Elang, apalagi setelah tubuhnya bergetar dan dia mulai merasakan pening yang sangat di kepalanya. Layaknya sesuatu pernah menghantam kepalanya hingga membuatnya gagar otak. Melayang dan hampir tidak sadar adalah efek yang lain. “Jika kau tidak ingin menyakitiku lalu apa yang kau inginkan?” Suara Elang terdengar seperti cicitan tikus yang tengah sekarat, bersama tenggorokannya yang sudah serasa tersumpal oleh sesuatu, yakni ketakutannya sendiri. Bukan tipikal Elang menjadi pengecut dan
“Elang, menikahlah dengan istriku!”Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, k
Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, SurabayaDengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tida
Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
Elang memutuskan untuk memasak makan malam, sama seperti apa yang sudah dia pertimbangkan sejak pagi tadi. Kebaikan Bela yang berkenan menunggunya semalaman di kamar yang sama agak membuatnya tak berdaya, dan kemudian dia menikmati kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari.Kini sosoknya sedang sibuk di dapur, di tangannya berada wajan penggorengan. Untuk makan malam dia menyediakan menu ikan bakar, sebagai pengganti salmon bakar. Lalu dia juga membuat jus sebagai hidangan penutup.Bela tidak bisa berhenti menganga. Aru memang pandai memasak, akan tetapi dia tidak pernah ingat bahwa suaminya itu begitu mahir memasak berbagai hidangan, bahkan sampai bercita rasa seperti restoran bintang lima. Ini terlalu mendadak. Bela nyaris tidak percaya bahwa lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah suaminya.Untuk saat yang sangat singkat, dia nyaris mempertanyakan tentang identitas Elang. Namun dia segera mengurungkan niatnya.“Kenapa kau melamun?” tegur Elang, setelah melepas celemek di tubuhn
“Kau tidak bisa seenaknya untuk pergi bersama lelaki lain. Apa kau sudah lupa bahwa kau sudah menikah?” omel Elang pada Bela, masih belum mau menurunkan emosinya. Dadanya terlalu panas saat mengetahui Bela pulang bersama Randy, dengan kedekatan yang patut untuk dicurigai. Apalagi gadis itu keluar tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.Dia selalu berkilah bahwa, ‘Aku melakukan ini agar Aru tidak menuduhku tidak bertanggung jawab saat bersama istrinya.’Tapi hey, sejak kapan Elang begitu peduli dengan pendapat kembarannya? Itu hanya kecemburuan, yang ditutupi dengan sangat bodoh.Bela mengernyit heran pada Elang. Ada sejuta pertanyaan yang disimpan di dalam pandangan matanya yang jernih. “Aku tadi ingin minta izin pada Mas, tapi ternyata Mas sedang tidur. Aku tidak ingin…”“Kau bisa menghubungiku kan?”Bela menundukkan kepala, seolah sedang diadili karena sebuah kesalahan yang sangat besar. “Nomor Mas yang lama kan sudah tidak aktif. Sementara aku belum tau nomor baru milik Mas.”E
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Mata mereka bertemu, keju dan salju seolah meleleh mengelilingi mereka. Waktu seperti berhenti, detak jantung yang melambat karena kesadaran yang sempat hilang. Bibit cinta yang bersemi dari kuncup paling dasar, menjawil hati mereka secara pelan-pelan. Sampai kemudian lelehan itu memenuhi seluruh tubuh dengan nuansa hangat.Elang yang pertama kali sadar. Dia lantas memalingkan wajahnya sembari menarik tubuhnya mundur. Sementara Bela terlihat tidak terlalu naïf. Bagaimana pun dia sudah merasa menikah dengan lelaki yang ada di depannya itu. Jadi untuk apa malu-malu?Sebagai gantinya gadis itu justru sibuk memeriksa perban di tubuh Elang, khawatir jika terjadi sobekan yang baru. “Ayo kita periksakan saja ke rumah sakit, sekalian perbannya diganti dengan lebih baik.”Tapi Elang menolaknya. Wajahnya dibuat seolah dia tidak peduli, seolah dia lelaki paling dingin yang tidak pernah merasa gugup dan salah tingkah. Selama ini dia sukses melakukannya tanpa perlu berpura-pura. Tapi sekarang, sia