Suhu menjadi turun secara drastis, seolah berniat untuk membekukan Elang yang seperti sekarat di dalam ketakutannya sendiri. Buku jarinya sudah pucat, kulitnya apalagi. Pandangan matanya seperti linglung, deru napas tersendat dan hampir musnah.
“Sial! Sial!” geram Elang dalam suara yang teramat lirih.
Memaksakan pandangannya yang kabur karena terbenam air mata untuk mendongak tentu bukan perkara yang mudah bagi Elang, apalagi setelah tubuhnya bergetar dan dia mulai merasakan pening yang sangat di kepalanya. Layaknya sesuatu pernah menghantam kepalanya hingga membuatnya gagar otak. Melayang dan hampir tidak sadar adalah efek yang lain.
“Jika kau tidak ingin menyakitiku lalu apa yang kau inginkan?” Suara Elang terdengar seperti cicitan tikus yang tengah sekarat, bersama tenggorokannya yang sudah serasa tersumpal oleh sesuatu, yakni ketakutannya sendiri.
Bukan tipikal Elang menjadi pengecut dan juga lemah seperti sekarang ini. Semasa hidup barunya yang dia lewati, Elang telah mengubah pribadinya dari sosok yang rapuh dan kurus menjadi sosok yang kuat dan digdaya. Dia memang anak dari Tuan Cakra Wibisono, tidak ada yang bisa mengingkari itu, dan tugas Elang adalah membuktikannya.
Tubuhnya sudah jauh lebih kekar daripada masa kecilnya, yang kurus seperti ranting pohon yang mudah patah hanya karena gesekan angin. Wajahnya yang pucat dan tidak terurus menjelma menjadi rupawan dan sangat cerah. Pasir, debu, kulit mati yang kasar, semuanya sudah bersih dari wajahnya di masa kini.
Tubuhnya juga menjulang, penuh nutrisi dari diet sehat yang selalu Elang lakukan. Olahraga tinju juga selalu menemaninya di pagi hari. Menguatkan buku jarinya adalah yang terpenting, agar para musuh tidak akan bisa melukainya, atau setidaknya akan berpikir seribu kali untuk melukainya.
Dalam kondisi sadar penuh, yakni kala manusia bisa mendengar audiosonik sebesar 20Hz, Elang akan bisa menerjang semua musuh yang berjumlah sepuluh orang sekalipun. Dia akan menghajar mereka, memamerkan siapa itu pewaris tunggal dari Tuan Cakra Wibisono, sekaligus memberikan pembuktian bahwa dirinya telah tumbuh dengan baik.
Akan tetapi kondisinya kini tidak bisa dikata sehat, tidak bisa dibilang sadar. Audiosonik 20Hz sudah lewat dan gagal menembus gendang telinganya. Jadi kelemahan yang kekal sudah mengikat Elang dan gagal melindunginya dari marabahaya.
“Kau…apa kau suruhan dari ayahku?” Seperti orang yang sekarat. Elang gagal untuk bisa berdiri, napasnya juga sudah tak teratur. Meski audiosonik 20Mz gagal dia dengar dengan baik, akan tetapi dia masih bisa mendengar dentuman musik yang sayup berasal dari kejauhan. Mungkin itu musik kematian, walau sebenarnya tidak.
“Apa dia membayarmu untuk ini?” Elang mencoba untuk bangkit. Tubuhnya yang tengkurap di atas lantai yang dingin menusuk kini harus segera terjaga. Dagunya yang menyentuh lantai seperti tertancap sudah mulai terangkat. Kedua tangannya yang seperti patah karena dipiting mulai meraba dataran agar mencari pijakan yang tepat.
Akan tetapi tubuhnya terasa sangat berat, terasa dipancang pada suatu tempat tak kasat mata. BRUKK! Elang ambruk lagi, dan dia mengumpat beberapa kali.
“Bunuh saja aku! Bunuh saja! Jika dia memang kecewa karena pelarianku maka kau bisa mengambil nyawaku sekarang. Apa bedanya dia membunuhku di sini atau di sana? Toh pada akhirnya aku akan mati juga di tangannya.” Elang seperti meringis seolah menahan hujaman di jantungnya sendiri padahal tidak ada orang yang tengah melukainya.
Mentalnya sedang rusak, dia pasti terserang depresi dalam waktu yang sangat lama.
Orang asing – yang dari suaranya adalah seorang lelaki – itu kini kembali mendekat. Cahaya bulan masih jatuh di atas sosoknya, memberikan satu bayangan memanjang layaknya patung paling mengerikan di dunia. Punggung lelaki itu agak bungkuk bersama sosoknya yang lebih mengerikan di mata Elang. Monster!
Dalam satu tarikan yang tiba-tiba terasa sangat cepat, layaknya ledakan menggelegar di langit, tubuh Elang sudah berayun, terhempas menuju ke tembok. Dorongannya agak tersendat walau pada akhirnya Elang tetap terhimpit.
Krak! Sepertinya tulang punggung miliknya memprotes keras atas hantaman yang dia terima karena berbenturan dengan dinding.
Mata Elang yang rapuh tiba-tiba mendongak, seolah itu adalah satu hal yang harus dia lakukan jika dia tidak mau mati. Pada saat itu Elang secara samar mampu mencium aroma obat yang menyengat dari tubuh lelaki yang menahannya pada dinding.
“Ini aku,” desis lelaki asing itu, yang secara cepat sudah membuka tudung kepalanya sendiri. Seperti sebuah tirai yang menutup tiba-tiba tersingkap, atau layaknya sebuah jubah yang ditanggalkan. Misteri itu akhirnya terungkap dengan Elang yang membeku dan nyaris tidak bisa mempercayai matanya yang setengah mabuk.
“Kau…” Suara Elang berhenti di udara, mungkin tertahan oleh kenyataan yang tengah berpusar di sekelilingnya. Matanya yang serasa sangat berat kini sudah tidak bisa ditahan lagi, apalagi kala dia melihat hal gila yang sangat sulit dipercaya. Elang melihat wajahnya sendiri pada lelaki asing itu! Elang pingsan seketika.
…
Elang mual kala dia benar-benar terbangun. Perutnya seperti mendapat tinju yang sudah mengguncang sistem pencernaannya. Seluruh makanan dan alkohol sudah memanas di dalam, bersama suhu tubuhnya sendiri. Namun kala semua itu mencapai di pangkal tenggorokan Elang semuanya terhenti dan tertahan, muntah pun gagal terjadi.
Lelaki asing berwajah sama dengannya itu kini duduk di tepian ranjang. Jaket berwarna hitam polos masih melekat di tubuhnya yang agak bungkuk. Rambutnya penuh peluh, dengan kulit pucat pasi, hampir seperti mayat.
“Kau sudah bangun?” tegur lelaki asing itu. Kepalanya menoleh secara perlahan pada sosok Elang yang beringsut dan masih mengerjabkan mata tak percaya. Mata sayu lelaki asing itu berkedip pelan. “Ada sesuatu yang harus kau lakukan di sini.”
“Kau –“ tuding Elang tertahan. Menyadarkan dirinya penuh, lalu Elang menggeleng dan mengusap kasar kedua matanya, seolah dia ingin menghapus dua organ itu dari tubuhnya sendiri. “Bagaimana kau tau aku di sini?” Suara tinggi rendah tak beraturan dari Elang kini sudah memadat dengan solid, seperti sebuah baja. Dingin dan mengancam.
Itulah Elang yang sebenarnya, pada mode sadar secara penuh. Dia adalah seorang CEO bengis yang mampu mematahkan tulangmu agar kau bisa mati seketika itu juga jika kau berani menyentuh ujung helai rambutnya tanpa izin.
Kerapuhan di mata Elang tadi malam, atau mungkin kesengsaraan yang tergambar di wajahnya sudah musnah sepenuhnya. Sekarang semuanya terbalut dengan aura dingin yang menusuk, dan mampu membunuh siapa pun dan membuat renik paling kecil sekali pun bisa mati.
“Itulah Elang yang kulihat selama ini,” komentar lelaki asing itu. Tubuhnya berdiri walau dengan usaha yang sangat besar. Kedua kakinya mungkin agak lumpuh karena ada getar dan juga ayunan yang tak perlu pada sosoknya yang kurus mengenaskan.
Elang berdecih, setengah mengejek. “Aku heran kenapa kau bisa berubah seperti ini. Akan tetapi aku senang melihat perubahanmu. Dunia memang harus berputar secara adil kan?” Elang ikut berdiri, jaga-jaga saja jika nanti lelaki asing itu menyerangnya tiba-tiba dengan senjata.
Rasa mual sudah terlupakan. Bersama setelannya yang kasual berupa kaos oblong saja, Elang sudah berdiri tegap, melipat kedua lengan di depan dadanya yang bidang. Dia adalah cetakan sempurna dari seorang lelaki.
“Jadi kenapa kau ke sini, Saudara Kembarku?” decih Elang. Senyum puas tergambar di wajahnya yang bengis. Matanya yang tadi malam digenangi air mata tiba-tiba memerah, seolah letusan api membakar semua sudut dari bola matanya.
Tanpa rasa takut, Elang mendekat. Dia menyisiri sosok tubuh Garuda Wibisono yang tak lain adalah saudara kembar Elang sendiri.
Garuda, dari namanya saja lelaki itu sudah mendapat cinta yang lebih dari orang tua Elang selama ini. Apa karena dari lahir Elang sudah lebih rewel dan harus mendapat perawatan ini dan itu agar bisa selamat? Garuda, nama yang terlihat sangat kuat dan berjaya bukan?
Tapi lihatlah kini, nasib telah berada di dalam genggaman Elang. Seorang saudara kembar yang dulu dia cemburui ternyata kini terlihat sangat mengenaskan. Lubang hidung Elang yang runcing dan sempit itu terlihat menarik udara kuat-kuat, mencoba menikmati kemenangannya di dunia.
Aru atau Garuda memberanikan tekadnya. Peluh yang banyak menetes sampai membuat rambut lepek dan tipis miliknya kini semakin membanjiri sosoknya. Tubuhnya juga sudah basah, nampak dari kaos warna abu-abu miliknya yang membentuk motif pulau abstrak tak karuan. Kedua tangan Aru gemetar, dengan kuku jarinya yang memutih. “Elang, menikahlah dengan istriku!”
***
“Elang, menikahlah dengan istriku!”Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, k
Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, SurabayaDengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tida
Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
Elang memutuskan untuk memasak makan malam, sama seperti apa yang sudah dia pertimbangkan sejak pagi tadi. Kebaikan Bela yang berkenan menunggunya semalaman di kamar yang sama agak membuatnya tak berdaya, dan kemudian dia menikmati kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari.Kini sosoknya sedang sibuk di dapur, di tangannya berada wajan penggorengan. Untuk makan malam dia menyediakan menu ikan bakar, sebagai pengganti salmon bakar. Lalu dia juga membuat jus sebagai hidangan penutup.Bela tidak bisa berhenti menganga. Aru memang pandai memasak, akan tetapi dia tidak pernah ingat bahwa suaminya itu begitu mahir memasak berbagai hidangan, bahkan sampai bercita rasa seperti restoran bintang lima. Ini terlalu mendadak. Bela nyaris tidak percaya bahwa lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah suaminya.Untuk saat yang sangat singkat, dia nyaris mempertanyakan tentang identitas Elang. Namun dia segera mengurungkan niatnya.“Kenapa kau melamun?” tegur Elang, setelah melepas celemek di tubuhn
“Kau tidak bisa seenaknya untuk pergi bersama lelaki lain. Apa kau sudah lupa bahwa kau sudah menikah?” omel Elang pada Bela, masih belum mau menurunkan emosinya. Dadanya terlalu panas saat mengetahui Bela pulang bersama Randy, dengan kedekatan yang patut untuk dicurigai. Apalagi gadis itu keluar tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.Dia selalu berkilah bahwa, ‘Aku melakukan ini agar Aru tidak menuduhku tidak bertanggung jawab saat bersama istrinya.’Tapi hey, sejak kapan Elang begitu peduli dengan pendapat kembarannya? Itu hanya kecemburuan, yang ditutupi dengan sangat bodoh.Bela mengernyit heran pada Elang. Ada sejuta pertanyaan yang disimpan di dalam pandangan matanya yang jernih. “Aku tadi ingin minta izin pada Mas, tapi ternyata Mas sedang tidur. Aku tidak ingin…”“Kau bisa menghubungiku kan?”Bela menundukkan kepala, seolah sedang diadili karena sebuah kesalahan yang sangat besar. “Nomor Mas yang lama kan sudah tidak aktif. Sementara aku belum tau nomor baru milik Mas.”E
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Mata mereka bertemu, keju dan salju seolah meleleh mengelilingi mereka. Waktu seperti berhenti, detak jantung yang melambat karena kesadaran yang sempat hilang. Bibit cinta yang bersemi dari kuncup paling dasar, menjawil hati mereka secara pelan-pelan. Sampai kemudian lelehan itu memenuhi seluruh tubuh dengan nuansa hangat.Elang yang pertama kali sadar. Dia lantas memalingkan wajahnya sembari menarik tubuhnya mundur. Sementara Bela terlihat tidak terlalu naïf. Bagaimana pun dia sudah merasa menikah dengan lelaki yang ada di depannya itu. Jadi untuk apa malu-malu?Sebagai gantinya gadis itu justru sibuk memeriksa perban di tubuh Elang, khawatir jika terjadi sobekan yang baru. “Ayo kita periksakan saja ke rumah sakit, sekalian perbannya diganti dengan lebih baik.”Tapi Elang menolaknya. Wajahnya dibuat seolah dia tidak peduli, seolah dia lelaki paling dingin yang tidak pernah merasa gugup dan salah tingkah. Selama ini dia sukses melakukannya tanpa perlu berpura-pura. Tapi sekarang, sia