“Elang, menikahlah dengan istriku!”
Elang membeku seketika. Tatapannya yang dingin mencekik masih terus menyelimuti Aru yang seolah bersimpuh seperti tahanan. Padahal untuk tadi malam, Aru yang menjadi diktator di antara mereka, dengan jaket hitam mengancam bersama pisau tajam yang berdesis siap mencari mangsa.
“Apa katamu?” Nada yang datar, meski tersimpan cemoohan yang kental di dalam suara bariton milik Elang.
Ruangan yang tadinya gelap itu kini mulai perlahan menampakkan keindahannya. Sebuah ruangan dengan desain modern minimalis, warna dinding dicat putih bersama furnitur warna senada dan terkadang abu-abu.
Terangnya ruangan itu semakin menampakkan sisi kelam milik Elang, terkesan kontras dan sangat membahayakan. Dengan penerangan sempurna Aru bisa tau bahwa kemungkinan dia yang tewas di tempat sangatlah besar. Akan tetapi nampaknya Aru tidak gentar, karena dia memiliki sebuah senjata yang sangat kuat.
Tangannya yang gemetar menyeka keringat yang tak berhenti mengalir di dahinya. Bersama kakinya yang sangat kurus yang dibalut oleh jeans warna biru pudar itu, Aru sudah menghenyakkan tubuh dengan rapuh di atas ranjang. Napasnya tak teratur, dan nampaknya sebentar lagi dia akan pingsan. Akan tetapi sebelum itu terjadi dia harus menyelesaikan misinya.
Mata sayu milik Aru dipaksa untuk terus terbuka, dan dengan gerakan patah-patah lelaki itu mendongak untuk menatap langsung pada mata bengis milik kembarannya sendiri. “Aku butuh bantuanmu.”
“Kau pikir aku peduli?” decih Elang, wajahnya kokoh dengan rahang yang tegas. Nampak guratan keindahan Ilahi yang diberkahkan pada lelaki itu. Sinar mentari yang menuyup telah menimpa kulitnya yang bersinar.
Jika Aru berada dalam kondisi yang sehat, pasti ketampanannya tak jauh berbeda dari Elang. Tapi apa daya, takdir membawanya dalam sebuah keadaan yang membuatnya terlihat seperti mayat hidup : kurus kering, dengan wajah pucat membiru, serta rambut yang nampak tipis dan meranggas.
“Aku sungguh butuh bantuanmu.” Aru menunduk dalam. Peluhnya menetes layaknya banjir dalam mode siaga satu. Mungkin itu akan memberikan bekas yang cukup terlihat di atas ranjang Elang, dan betapa kini Elang memandang jijik pada saudara kembarnya sendiri seolah Aru merupakan antigen mematikan yang menular dan membahayakan, atau lebih rendah daripada itu. “Aku mengalami hal-hal buruk, dan kau harus membantuku untuk menjaga istriku. Maka dari itu…”
“Dua puluh tiga tahun yang lalu,” sela Elang dengan buru-buru, seolah dia tidak ingin kehilangan momen untuk mencelakai Aru dengan menggunakan lidahnya yang mematikan. “Aku mengingat bahwa ada seorang wanita yang memilih untuk meninggalkan suaminya sendiri yang tengah sekarat. Dan wanita itu hanya membawa serta seorang anak lelakinya, sementara anak lelakinya yang lain telah ditelantarkan.” Elang memandang jauh ke depan, setengah kosong dan juga setengah berapi-api.
Yang pasti Elang tengah terperangkap di dalam masa lalunya sendiri, pada masa ketika dia ditelantarkan oleh ibu kandungnya sendiri yang memilih untuk pergi meninggalkan Elang dan ayahnya. Hanya Aru yang dibawa, hanya anak lelaki yang sehat dan kuat itu yang dibawa. Dada Elang bergemuruh, rasa sedih dan pilu sepertinya memuncak dan membentuk pertahanannya sendiri. Yang tersisa kini amarah.
Aru bergetar, bukan karena kondisi tubuh yang menyiksanya akan tetapi karena rasa bersalah karena tidak bisa melakukan apa pun. Ingatan kala Elang menggelinjang dan histeris ketika melihat kepergian ibu dan saudara kembarnya masih membekas di dalam ingatan Aru hingga kini, seperti penyakit yang menggerogoti memori Aru dan seperti racun yang melumpuhkan lelaki itu sedikit demi sedikit.
“Maaf soal itu.” Hanya itu yang bisa Aru katakan, karena hanya itu satu-satunya kata yang terngiang di kepalanya yang dipenuhi oleh keringat untuk saat ini.
“Hidup dengan seorang ayah yang sakit-sakitan itu tidak mudah,” kenang Elang dengan berdecih. Wajahnya memang bengis, tapi matanya sangat terluka. “Aku sangat berjuang keras, karena semua itu harus kulalui di tengah kondisi tubuhku yang tidak prima sejak aku lahir. Tapi untungnya ayah memiliki sangat banyak kekayaan, dia memiliki banyak harta jadi itu bukan masalah karena tak lama setelahnya dia bisa berangsur pulih dari penyakitnya.”
Elang tak berhenti sampai di situ, karena dia meneruskan kembali,” Kupikir semuanya sudah berakhir, hari-hari kelam itu. Tapi ternyata semua itu justru adalah sebuah permulaan.”
Pecutan, pukulan, teriakan, makian, dan terkadang tendangan adalah hal lumrah yang Elang dapatkan dari ayahnya. Itu semua dilakukan untuk mendidik seorang anak lelaki berumur tujuh tahun yang kurus kering dan sakit-sakitan.
Siapa yang tidak terluka? Siapa yang tidak sakit hati? Ketika kau adalah seorang anak yang disisihkan dari dunia karena kondisi tubuhmu, yang kemudian ditelantarkan oleh ibumu bersama seorang ayah yang sangat bengis dalam mendidik anak? Dan parahnya tidak ada yang bisa melindungi Elang kala itu. Kesepian dan ketakutan seorang diri, di tengah negara asing yang tidak dia kenal. Kesepian yang mencekik.
“Aku tau kau sangat menderita,” pekik Aru yang terdengar seperti sebuah batuk yang ganjil, batuk yang tertahan di kerongkongan. Mungkin karena deru napasnya yang tidak teratur itu yang membuatnya seperti itu.
“Tau apa kau soal hidupku? Kau tidak akan pernah tau. Bahkan ketika tujuh belas tahun yang lalu aku datang untuk bersimpuh di depan ibumu. Haha, kau ingat apa yang dilakukan wanita itu kan?” Elang menutupi wajahnya dengan telapak tangannya yang tebal dan kekar. Dia hampir menangis, walau harga diri akhirnya menyelamatkannya.
Aru tak berani menjawab, karena itu adalah kesalahan paling fatal kedua yang telah dia lakukan di kehidupannya sekarang ini.
Kesalahannya yang pertama adalah kala dia mengabaikan Elang yang menjerit histeris dan menyeret langkah kakinya di atas tanah kotor demi mengejarnya dan ibunya. Lalu yang kedua adalah ketika mengabaikan Elang yang ditolak mentah-mentah oleh ibu mereka pada enam tahun setelahnya.
Usia mereka masih tiga belas tahun kala itu. Elang datang dengan kondisi yang lebih baik daripada saat mereka masih kecil. Bahkan dalam satu kali lihat Elang remaja akan mendapat pengakuan sejajar dengan Aru remaja, padahal hal-hal seperti itu nyaris mustahil di masa lalu. Aru selalu unggul pada masa kecil mereka, baik secara fisik, secara psikis, dan hal-hal lainnya.
“Aku jauh-jauh datang dari Amerika, karena malam itu aku mendapat ancaman pembunuhan dari ayah hanya karena aku tidak mau menurutinya untuk masuk sekolah menengah bergengsi di sana. Ck, nasib sialku. Aku kira pelarianku pada ibu kandungku akan membuahkan hasil. Kukira walau di masa lalu aku ditelantarkan, maka saat aku remaja akan sedikit berbeda. Tapi nyatanya sama saja, aku masih ditelantarkan dan bahkan tidak diakui sebagai anaknya.” Tawa Elang menggelegar di seluruh ruangan itu, sebuah tawa perih dan sangat kering. Dadanya seperti terhantam benda tumpul, menohok dan perih.
“Siapa yang bisa percaya akan itu? Aku bukan anaknya? Bahkan orang yang kutanyai di sepanjang jalan pun selalu menyangka aku adalah kau. Wajah kita sangat mirip, dan fisikku yang seperti kayu lapuk sudah berubah menjadi sangat sehat. Itu juga berkat gemblengan ayah yang selalu mencekokiku makanan sehat dan kapsul vitamin. Fisikku memang baik, tapi mentalku sudah hancur, dan semakin hancur sejak saat itu.” Elang seperti meringik. Dia tertawa lagi, tapi justru terlihat menangis, walau tanpa air mata.
“Jika kupikir-pikir semua ini salahmu! Salahmu kau lahir bersamaku! Dan salahmu kau lahir ke dunia!” tunjuk Elang dengan amarah yang menggelegar. Matanya yang terluka sudah dipenuhi oleh api yang menjilat, yang mampu memberikan cipratan bara yang bisa membakar Aru.
Dalam gerakan yang sangat cepat dan tidak terduga, Elang melesat dan seperti melompat ke atas kasur. Tangannya yang berbuku tebal seketika menarik kerah jaket Aru tinggi-tinggi. Mata Elang menyalak liar, dengan penampakan layaknya serigala kelaparan. Di matanya sudah berada sosok Aru yang pucat tak berdaya.
“Aku menderita karenamu, tapi beraninya kau datang dan meminta bantuanku,” gerung Elang seperti seekor predator. Tinjunya terangkat di udara dan siap melayang di wajah Aru.
***
Citilink Indonesia, pukul 12:00 WIB pendaratan di Bandara Juanda, SurabayaDengan letih Aru menyeret tubuhnya sendiri untuk keluar dari kabin pesawat. Wajahnya yang pucat tertutup setengahnya berkat masker kesehatan warna hijau yang dia pakai. Jaket hitam miliknya masih tetap melekat di tubuhnya bersama kaos abu-abu polos yang sudah kering sepenuhnya.Terik melanda. Surabaya memang berbeda jauh dari Malang yang memiliki suhu lebih dingin dan sejuk. Di kota besar ini, Aru bisa merasakan sengatan matahari seolah memanggangnya. Belum lagi ini tengah hari. Bentuk fatamorgana pada versi kubangan air terlihat di mana-mana. Entah kenapa semua ini mengingatkannya pada Elang yang hampir membunuhnya di penginapan tadi pagi.Pandangan Aru mulai kabur. Lelaki itu membungkuk sebentar demi menyeimbangkan kesadarannya, jangan sampai dia pingsan di sini.Seorang penumpang yang baru turun menegurnya, “Mas, tida
Kaki berayun di atas ranjang dengan pandangan tak henti menoleh pada kamar mandi. Bela bersenandung kecil sembari merasakan dadanya yang berdegup kencang. Yang dia tunggu hanyalah kemunculan Aru dari kamar mandi paska membersihkan diri. Para lelaki akan seratus kali lebih tampan pada masa-masa itu. Dan lelaki tampan itu adalah suami Bela.Gadis manis dengan pipi sehat dan kenyal itu mengedarkan pandangan sebentar. Di dalam hati dia berbisik, ‘Kamar ini memang serasa lebih hangat saat Mas Aru ada. Suami memang sesuatu sekali ya?’ Lalu dia cekikikan lagi kala memikirkan betapa bahagia dirinya untuk saat ini.“Kenapa kamu tertawa sendirian begitu?” Aru yang sudah keluar dari kamar mandi dengan bagian tubuh bawahnya terbalut handuk tebal pun kini berjalan mendekati Bela.Itu adalah pemandangan yang sangat indah, walau tubuh Aru terlihat kurus dan pucat beserta punggung yang agak bungkuk.
Roda mobil milik Aru sudah berdecit di depan sebuah rumah sakit besar di Kota Surabaya. Lelaki kurus dan pucat itu harus membohongi Bela untuk kesekian kalinya demi keluar kota untuk melaksankan rencana demi rencana miliknya. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang, terik matahari sudah bisa menyengat kulit dengan cukup hebat, terlebih untuk seorang lelaki yang tinggal di dataran tinggi dengan suhu normal sekitar 23℃ pada jam tersebut, sementara Surabaya sendiri berada pada kisaran 30℃ di waktu yang sama. Perbedaan suhu yang sangat mencolok. Aru mendongak di bawah topi hitam miliknya. Terik matahari menghalangi pandangannya demi mengawasi dari jauh serambi rumah sakit yang terpancang beberapa tiang dari besi berukuran kecil itu. “Kuharap dia belum berada di kantornya,” bisik Aru seraya mengecek waktu sekali lagi pada layar ponsel miliknya. Sebenarnya Aru ingin berlari agar bisa dengan cepat mencapai lobi rumah sakit.
“Kau tidak gila sekarang kan, Ru? Dan kau sedang tidak bercanda kan? Atau kau sedang berhalusinasi dan mulai ngelindur?” Wajah Dimas nampak tercengang tak percaya. Kedua matanya yang kecil semakin menyipit di balik kaca mata miliknya.“Aku tau ini terdengar bodoh, dan juga sangat terburu-buru…”“Tidak hanya bodoh. Tapi apa yang kau katakan barusan itu sangat GILA!” teriak Dimas yang terdengar seperti sebuah jerit histeris yang membahayakan. Dimas tak bisa berkata-kata lagi, meski dia masih ingin terus melanjutkan teriakannya sendiri.Mungkin teriakan itu akan menggetarkan meja kerja miliknya dan juga ranjang pemeriksaan yang terbujur tak jauh darinya. Sebuah korden menggantung di ujungnya, yang terdiam kaku seolah takut untuk bergerak sedikit saja meski udara mulai berembus dan mencipatkan angin yang meliuk melalui sebuah jendela kaca yang dibuka lebar di kantor itu.&nbs
Aru sudah menjelaskan semua rencananya kepada Dimas, termasuk sudah mengatakan pada sahabatnya itu bahwa dia sudah mampu membujuk Elang untuk turut andil di dalam rencana ini.Pada mulanya Dimas menentang keras semua rencana Aru, dan bahkan hingga saat ini. Alasannya sungguh beragam, dan Dimas menjabarkannya dengan terang-terangan, terlepas suka atau tidak suka Aru pada pendapat yang diutarakan oleh Dimas. Pada akhir perbincangan mereka Dimas meminta Aru untuk kembali memikirkan ulang pemikiran bodoh soal menukar posisinya dengan Elang.“Kau tidak pernah tau apakah Elang benar-benar akan melakukan tugasnya dengan baik atau tidak. Meski dia saudaramu, akan tetapi Elang tetaplah manusia biasa yang memiliki dendam dan juga sakit hati. Selama ini Elan
la nampaknya menyadari adanya gelagat aneh pada Aru. Dan lagi Aru tidak pernah menyentuhnya seintim ini. Bela tau bahwa apa yang dilakukan Aru masih sah, karena memang dia adalah suami Bela. Akan tetapi biasanya Aru hanya mencium kening Bela, sebagai bentuk tanda cinta yang dia miliki. Akhirnya Bela menoleh pelan pada Aru, yang saat ini sudah menenggelamkan wajahnya pada lipatan leher milik Bela. Terlihat ekspresi prihatin yang samar-samar di mata Bela. Gadis itu menyadari bahwa akhir-akhir ini kondisi Aru semakin memprihatinkan. Tubuhnya yang dulu agak berisi kini menjadi sangat kurus. Lalu kulitnya yang dulu kuning dan segar telah berubah menjadi pucat. Terkadang Bela menyalahkan dirinya sendiri karena dia tidak bisa menahan Aru untuk bekerja melewati batasannya. “Mas? Mas tidak apa-apa? Kalau
Elang memang menyihir pandangan mata Dimas pada awalnya, sampai Dimas mengira bahwa Elang adalah Aru. Akan tetapi ada satu hal mencolok yang membedakan antara Elang dan Aru, yakni tatapan mata mereka.Aru biasanya memiliki tatapan mata lembut dan juga ramah, akan tetapi Elang memiliki tatapan mata yang arogan dan ketus. Dan jujur saja Dimas bisa melihat goresan luka di dalam mata Elang. Dimas semakin merasa cemas. Keadaan seperti Elang mungkin benar-benar menumbuhkan banyak dendam di dalam hatinya. Hal itu bisa saja membuat Elang melakukan hal tidak baik di dalam misi pertukaran peran ini.Akan tetapi Dimas tidak bisa berbuat apa pun, karena sekeras apa pun dia mengingatkan Aru maka hasilnya akan sama saja, yakni Aru tetap bersikukuh pada pendiriannya. Yakni dia tetap akan bertukar peran dengan Elang.
Elang sampai pada apatermen yang disewakan oleh Aru untuknya. Pada misi ini semua biaya kebutuhan termasuk tempat tinggal bagi Elang, Aru yang menyediakannya. Elang menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, dia menekan matanya karena frustasi. Dia mengingat kekalahan yang dia dapatkan saat Aru mengancamnya beberapa hari yang lalu.“Menjaga istri dari saudara kembarku yang brengsek! Aku tentu tidak akan melakukannya begitu saja. Aku akan mencari cara agar bisa mendapatkan hal lebih besar dan lebih menguntungkan setelah ini.” Elang mengerang bersama matanya yang sudah tertutup rapat.…Sementara Aru kini berjalan terhuyung. Dia baru saja selesai mengajak Bela berjalan-jalan dalam rangka perpisahan tersembunyi. Niatannya hanya ingin membuat Bela bah
Meskipun pikiran Bela dihantui tentang alasan kenapa Elang marah-marah, gadis itu tetap bisa memasak dan menyajikan menu makan siang dengan baik. Bahkan dia sempat membuat beberapa menu tambahan, yang semuanya adalah menu kesukaan Elang.“Aku ragu Mas Aru masih memiliki selera yang sama atau tidak,” gumam Bela saat menata makanan di atas meja. “Tapi semoga saja usahaku membuahkan hasil yang manis. Aku ingin Mas Aru cepat mengingat kembali masa lalunya. Jadi aku akan menuntunnya dengan memberinya apa pun yang bisa membangkitkan kenangannya, termasuk makanan-makanan favoritnya.”Tapi sayangnya harapan Bela tidak serta merta menjadi kenyataan, karena Elang hampir tidak menyentuh makanan yang disajikan oleh Bela. Meskipun lelaki itu masih menyimpan dongkol di hatinya karena perbuatan Bela tadi pagi, tapi ada alasan lebih masuk akal kenapa Elang melakukan bentuk protes yang terlalu kentara. Ya, karena memang dia tidak menyukai makanan-makanan itu.“Semua ini makanan kesukaan Mas lho,” tegu
“Mas masih marah padaku ya?” tanya Bela, diam-diam mengawasi Elang dari tadi. Sekarang mereka sedang berada di dalam mobil untuk menuju ke rumah sakit, Elang akan check up hari itu.Sejak sarapan tadi, lelaki itu tidak terlihat bersahabat. Bahkan dia terkesan mengabaikan Bela, enggan memandangnya, dan enggan menjawab pertanyannya. Gadis itu tentu saja kelimpungan, bingung apa yang harus dia lakukan agar bisa menebus kesalahannya.‘Padahal aku hanya ingin memasak sarapan untuk Mas Aru, tapi dia justru marah begini. Apakah dia memang butuh tidur tadi pagi? Tapi biasanya dia tidak begini.’ Punggungnya lemah bersandar di kursi, wajahnya menunduk sedih karena Elang masih belum mau menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tau jawaban itu tanpa perlu mendapatkannya. Elang masih marah padanya.Akhirnya di sepanjang perjalanan mereka tidak bicara sama sekali, membuat sopir sewaan yang mengantarkan mereka menggelengkan kepala.‘Pengantin baru, pasti sering cemburu,’ pikirnya tanpa ragu.Beberapa
“Aku akan menciumu sekarang.” Mata Elang memandang kosong ke sekelilingnya, sementara matanya hanya dipenuhi oleh Bela, yang kini berdiri mematung dan bingung di depannya. Lelaki itu tidak peduli, otaknya kacau karena tidak bisa tidur semalaman, hanya karena dia memikirkan tentang ciuman mereka berdua.Sebenarnya ini bukan ciuman pertama milik Elang, mengingat dulu beberapa wanita murahan melompat dan mencium bibirnya tiba-tiba. Akan tetapi ciuman dengan Bela yang paling berkesan, satu-satunya ciuman yang dia ingin untuk diulangi lagi.Wajahnya mendekat, mengamati mata Bela yang menjeratnya tanpa ampun. Haus yang merongrong di dalam jiwanya, seperti mengoyaknya dan menjeratnya. Yang dia inginkan hanyalah Bela, hanya gadis itu.Bibir mereka bertemu, bersentuhan seperti dua buah sutera yang ditumpuk, saling menekan dan mendorong, saling mencicipi dan saling mencintai. Bela menutup matanya, seperti mimpi, mencoba untuk memahami dan menarik kesadarannya lagi.Saat matanya terbuka, tubuhny
Rasa itu menggeliat dari perut Elang, mengular menuju ke dadanya, sehingga membuat jantungnya berdebar-debar. Bibir ranum Bela menyihirnya, memikatnya dengan cara yang sangat mengesankan. Bahkan lelaki itu tidak sadar dia tidak berkedip, bahkan lelaki itu tidak sadar sedang membuka sedikit mulutnya.Tangannya tiba-tiba saja terulur, jatuh di pipi lembut milik Bela, mengusapnya pelan.Gadis itu terlihat mendongak dan terhenyak kaget. Matanya yang lebar mengerjab berulang kali, memandangi kedua mata lelaki yang ada di depannya. Dia tidak terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. “Mas?” tanyanya, dengan suara yang sangat lirih, serupa sebuah deru napas paling menentramkan.Elang memajukan wajahnya, menghempas udara kosong yang ada di antara mereka, melenyapkan ego yang selama ini bersarang di tubuhnya. Dia benci berdekatan dengan para wanita, akan tetapi saat ini dia justru bergerak untuk mendekati seorang wanita.Kepalanya miring, mencoba untuk menempatkan bibirnya dengan bib
Elang memutuskan untuk memasak makan malam, sama seperti apa yang sudah dia pertimbangkan sejak pagi tadi. Kebaikan Bela yang berkenan menunggunya semalaman di kamar yang sama agak membuatnya tak berdaya, dan kemudian dia menikmati kebersamaan mereka, tanpa mereka sadari.Kini sosoknya sedang sibuk di dapur, di tangannya berada wajan penggorengan. Untuk makan malam dia menyediakan menu ikan bakar, sebagai pengganti salmon bakar. Lalu dia juga membuat jus sebagai hidangan penutup.Bela tidak bisa berhenti menganga. Aru memang pandai memasak, akan tetapi dia tidak pernah ingat bahwa suaminya itu begitu mahir memasak berbagai hidangan, bahkan sampai bercita rasa seperti restoran bintang lima. Ini terlalu mendadak. Bela nyaris tidak percaya bahwa lelaki yang ada di hadapannya saat ini adalah suaminya.Untuk saat yang sangat singkat, dia nyaris mempertanyakan tentang identitas Elang. Namun dia segera mengurungkan niatnya.“Kenapa kau melamun?” tegur Elang, setelah melepas celemek di tubuhn
“Kau tidak bisa seenaknya untuk pergi bersama lelaki lain. Apa kau sudah lupa bahwa kau sudah menikah?” omel Elang pada Bela, masih belum mau menurunkan emosinya. Dadanya terlalu panas saat mengetahui Bela pulang bersama Randy, dengan kedekatan yang patut untuk dicurigai. Apalagi gadis itu keluar tidak meminta izin padanya terlebih dahulu.Dia selalu berkilah bahwa, ‘Aku melakukan ini agar Aru tidak menuduhku tidak bertanggung jawab saat bersama istrinya.’Tapi hey, sejak kapan Elang begitu peduli dengan pendapat kembarannya? Itu hanya kecemburuan, yang ditutupi dengan sangat bodoh.Bela mengernyit heran pada Elang. Ada sejuta pertanyaan yang disimpan di dalam pandangan matanya yang jernih. “Aku tadi ingin minta izin pada Mas, tapi ternyata Mas sedang tidur. Aku tidak ingin…”“Kau bisa menghubungiku kan?”Bela menundukkan kepala, seolah sedang diadili karena sebuah kesalahan yang sangat besar. “Nomor Mas yang lama kan sudah tidak aktif. Sementara aku belum tau nomor baru milik Mas.”E
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Sore harinya Bela ingin keluar untuk membeli beberapa benang untuk merajut. Elang meminta khusus untuknya agar dibuatkan sebuah baju. Apakah ini mimpi? Apakah ini adalah salah satu tanda bahwa lelaki itu telah mengingat lagi tentang masa lalunya?Rasanya sangat bahagia, hari-hari yang berat akhirnya akan segera berlalu.Ada sebuah pesan dari Dimas.“Bel, jangan lupa besok jadwal check up Aru. Pastikan kau yang mengantarnya ya?”Gadis itu pun segera membalas pesan tersebut. “Iya, Mas, aku yang akan mengantar Mas Aru besok. Jangan khawatir.” Hampir saja dia menambahkan perkembangan terkini Elang, yang baginya, mungkin bisa dikategorikan sebagai tanda-tanda kembalinya ingatannya. Namun gadis itu menggeleng.“Mungkin besok saja aku bicarakan hal ini langsung pada Mas Dimas.” Bibirnya yang penuh dan cantik mengembang lembut. “Cinta memang tidak bisa membohongi siapa pun. Mas Aru bisa kembali mencintaiku karena memang adalah suamiku.”Logika yang agak aneh.Kali ini dia mengenakan setelan p
Mata mereka bertemu, keju dan salju seolah meleleh mengelilingi mereka. Waktu seperti berhenti, detak jantung yang melambat karena kesadaran yang sempat hilang. Bibit cinta yang bersemi dari kuncup paling dasar, menjawil hati mereka secara pelan-pelan. Sampai kemudian lelehan itu memenuhi seluruh tubuh dengan nuansa hangat.Elang yang pertama kali sadar. Dia lantas memalingkan wajahnya sembari menarik tubuhnya mundur. Sementara Bela terlihat tidak terlalu naïf. Bagaimana pun dia sudah merasa menikah dengan lelaki yang ada di depannya itu. Jadi untuk apa malu-malu?Sebagai gantinya gadis itu justru sibuk memeriksa perban di tubuh Elang, khawatir jika terjadi sobekan yang baru. “Ayo kita periksakan saja ke rumah sakit, sekalian perbannya diganti dengan lebih baik.”Tapi Elang menolaknya. Wajahnya dibuat seolah dia tidak peduli, seolah dia lelaki paling dingin yang tidak pernah merasa gugup dan salah tingkah. Selama ini dia sukses melakukannya tanpa perlu berpura-pura. Tapi sekarang, sia